PUTRI TIRTA WUNGU
Ditulis oleh aristav
"Oalah ... ndableg! Sulit sekali dibilangi. Jelas-jelas dilarang memancing dan memakan ikan dari goa itu, kenapa si Rinto itu masih kekeh, sih? Kan, ngadep Gusti Pangeran sekarang. (Oalah ... bebal!)"
Aku mendengar orang-orang mulai bergosip soal kematian Pakde Rinto malam kemarin. Pakde Rinto adalah warga di desa kami, semalam ia ditemukan meninggal setelah mengonsumsi ikan yang ia tangkap di Goa Tirta Wungu. Goa tersebut terletak di desa kami, tepatnya di area hutan selatan, salah satu hutan mistis yang sering dijadikan tempat untuk persembahan. Konon katanya, di hutan itu juga terdapat banyak hewan buas dan hal-hal yang menyeramkan. Ibu selalu menakutiku soal itu.
"Eee ... mboh Yu, lak yo mesakne anake iseh cilik-cilik kae? Wonge ki ancene ngeyelan, wes dindari karo wong-wong, tapi ora digatek. (Entahlah, Mbak, kan, kasihan dengan anaknya yang masih kecil-kecil. Orangnya memang suka ngeyel, sudah dikasih tahu, tapi tidak dihiraukan.)"
Aku memeras kain yang baru saja kucuci. Aku memang sedang berada di kali Wungu untuk mencuci pakaian. Sudah menjadi rutinitas setiap pagi, para warga di desa ini juga melakukan hal yang sama. Desa kami adalah Desa Tirta Wungu, letaknya ada di Pulau Jawa bagian timur. Mayoritas warga di sini bekerja sebagai petani tebu. Dulunya, kami menanam padi, tapi semenjak Pemerintah Hindia Belanda menetapkan sistem tanam paksa, sebagian besar dari petani di sini harus menanam tebu, termasuk bapakku. Memang tidak semua lahan, tapi karena warga desa ingin mendapatkan aman, mereka memilih untuk menjadi petani tebu seutuhnya.
"Muning, enggak pulang, toh, Nduk? Sudah siang ini, loh." Yu Sari membuat pemikiranku buyar, aku lalu mendongak, melihat wajahnya yang sudah dipenuhi keriput di sudut-sudut matanya.
"Bentar lagi, Yu. Aku masih ada sisa satu kain lagi."
"Yowes, Nduk, tapi jangan lama-lama, loh, ya, cepat pulang. Keburu ada kompeni lewat," katanya seraya khawatir.
"Iya, Yu. Duluan saja."
"Hmm, aku pulang dulu, yo. Salam kanggo ibumu."
"Iya, Yu Sari."
Sepeninggal Yu Sari, aku buru-buru menyelesaikan sisa cucian yang belum selesai. Yang dibilang Yu Sari memang ada benarnya, para pegawai Pemerintah Hindia Belanda itu sering datang ke desa kami, lalu biasanya akan mengambil beberapa gadis untuk dijadikan pasangan. Biasanya, mereka akan dipanggil Nyai. Anak-anaknya akan menjadi peranakan Indo-Belanda dan sebagian dari mereka selalu merasa tinggi derajatnya dibanding kami para kaum pribumi. Walau sejatinya, para Belanda Totok tidak pernah mengakui mereka sebagai kaum Eropa.
Oh, perkenalkan ... aku adalah Kemuning. Hanya Kemuning, tidak ada nama panjang. Biasanya, orang-orang akan memanggilku Muning atau Ning. Tahun ini aku berusia lima belas tahun. Di Desa Tirta Wungu, anak-anak seusiaku sudah banyak yang menikah, termasuk teman baikku—Arum. Ia dijadikan pasangan oleh seorang pegawai Pemerintah Hindia-Belanda dan dibawa ke kota. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu bagaimana kabarnya, hubungannya dengan keluarga juga telah diputus. Arum dianggap telah mati sejak hari itu. Memang begitu kenyataannya, terdengar menyedihkan bukan?
"Ayo, pulang. Bantu Ibu masak," ibuku berteriak dari tepi kali.
"Iya, Bu. Sebentar."
Aku mengambil bakul yang kujadikan tempat untuk menampung beberapa pakaian yang kucuci, lalu berjalan mendekati Ibu yang sudah menunggu.
"Bu, tadi aku mendengar soal Goa Tirta Wungu. Aku jadi penasaran, kenapa ikan-ikan di goa itu tidak boleh dimakan?"
Ibu menghela napasnya, kami berjalan bersisian, menyusuri jalanan yang dipenuhi lumpur sehabis hujan semalaman suntuk. Ibu hanya diam, belum menjawab pertanyaanku, sementara itu beberapa orang yang bersinggungan dengan kami, melempar senyum atau sekadar menyapa.
"Kau mau tahu ceritanya?"
Aku mengangguk dengan antusias. Sudah lama sekali aku penasaran, tapi setiap kali kutanya pada Ibu dan Bapak, mereka selalu bungkam. Tidak pernah mau menjawab atau bercerita soal Goa Tirta Wungu.
"Nanti akan Ibu ceritakan, setelah kau membantu Ibu memasak. Bagaimana?"
"Ayo, segera memasak kalau begitu, aku tidak sabar." Aku sangat antusias dan segera mempercepat langkah kakiku, mendahului Ibu.
***
Tirta Wungu Sekartadji berlari tak tentu arah, gadis hampir berusia lima belas tahun itu lari tunggang langgang saat dikejar oleh prajurit kerajaan. Putri Tirta Wungu terancam hukuman penjara oleh ayahnya sendiri. Ibu tirinya, Kanjeng Ratu Batari Dewi telah melemparkan fitnah keji padanya. Tirta Wungu dituduh telah membunuh adik tirinya sendiri, anak dari Ratu Batari, padahal kala itu Tirta Wungu hanya mencoba menyelamatkan adiknya Pangeran Seno Adhiyaksa yang tergelincir ke jurang saat mereka tengah bermain bersama.
Napas sang putri hampir putus rasanya, ia masuk ke tengah-tengah hutan belantara yang jarang terjangkau oleh penduduk sekitar. Tirta Wungu tidak tahu apakah ia bisa selamat setelah ini, yang ada di pikirannya hanya lari dan mencari keselamatan.
"Tirta ... berhentilah di depan batu besar itu. Berdiam diri di sana, Ibu akan menolongmu."
Suara itu ... Tirta Wungu tidak asing dengan suara-suara yang terus menghantui isi kepalanya. Suara itu sering ia dengar saat ia sedang terdesak karena sesuatu, atau saat ia sedang bermuram durja. Tirta Wungu tidak tahu siapa pemilik suara yang selalu memanggil dirinya ibu. Apakah benar itu ibunya? Tapi ... mana mungkin? Bukankah ibunya sudah meninggal sejak ia lahir ke dunia?
"Tirta Wungu, segera ... cepatlah."
Bisikan itu lagi. Tirta Wungu merasa tidak punya pilihan, gadis itu mempercepat langkahnya dengan sisa tenaga yang ada. Menuruti perintah dari suara tanpa tuan yang mampir di indra pendengarannya, Tirta Wungu lalu berhenti di sebuah batu besar yang ada di depannya. Batu itu tampak seperti batu biasa, dipenuhi lumut berwarna hijau kekuningan, ada beberapa semak belukar di sisi bawahnya. Tirta Wungu memejamkan matanya sejenak, ia mengumpulkan sisa kekuatan yang ada, tubuhnya gemetaran, Tirta Wungu sangat takut bahwa ini hari terakhir ia hidup.
"Tirta ... bukalah matamu, Nak."
Tirta Wungu terkejut bukan main, ketika ia membuka mata, gadis itu menemukan sosok wanita berbaju biru tua tengah tersenyum padanya. Wanita itu sangat cantik, matanya berbinar-binar, dengan bibir semerah darah yang tampak alami. Selendang berwarna senada membalut tubuhnya yang semampai. Tirta Wungu tidak pernah menemui wanita secantik sosok yang ada di depannya ini. Aromanya juga sangat harum, wangi, dan segar seperti tetesan air di atas tanah kering.
"Si—siapa? Aku di mana?"
Wanita itu tersenyum, membuat Tirta Wungu sedikit tenang. "Perkenalkan Tirta Wungu, aku adalah Dewi Anahita, ibumu."
"Bagaimana bisa? Ibuku sudah meninggal." Tirta Wungu tersentak, ia benar-benar terkejut dengan kehadiran wanita yang mengaku ibunya itu.
"Aku masih hidup anakku, aku mengawasimu dari jauh. Jika kau mendengar suara-suara yang ada di kepalamu, itu adalah aku."
"Lalu kenapa Ayah bilang ibuku sudah meninggal?"
Dewi Anahita tersenyum, ia berjalan mendekat, mengelus rambut panjang milik Putri Tirta Wungu yang tampak berantakan karena tadi berkejaran dengan prajurit istana.
"Aku dan ayahmu, Baginda Raja Sri Adji Bratawirya, bertemu saat beliau melakukan pertapaan di salah satu pantai di daerah selatan. Aku adalah salah satu dari pemilik kerajaan di pantai selatan. Di sana ada banyak kerajaan, termasuk kerajaanku. Singkatnya, kami jatuh cinta dan memutuskan untuk bersama, hingga akhirnya kau terlahir."
Tirta Wungu terdiam, ia berusaha mencerna perkataan Dewi Anahita. "Kau serius? Masih sulit kupercaya."
"Kau boleh saja tidak percaya, tetapi di dalam dirimu tersimpan kekuatan yang hebat, yang mungkin akan kau lihat sebentar lagi. Kau adalah anakku, Tirta Wungu Sekartadji."
"Lalu kenapa I—bu meninggalkanku?"
Ada senyum sedih yang menghiasi wajah sang Dewi. Wanita itu tampak menarik napasnya sebelum melanjutkan perkataannya, "Ibu terpaksa, sang Penguasa Alam Semesta tidak menghendaki manusia biasa seperti ayahmu dan Ratu dari Kerajaan Pantai Selatan sepertiku untuk bersama dan aku juga tidak bisa membawamu karena saat itu kau masih manusia biasa. Nanti, di usia lima belas tahun, kau bisa memilih untuk menjadi sepertiku atau tetap menjadi manusia biasa seperti ayahmu."
"Maksud Ibu, aku punya pilihan untuk itu?"
"Iya, anakku. Kau Tirta Wungu, terlahir saat ombak sedang besar di lautan, saat badai sedang menghantam bumi dan saat bulan sedang terang di atas langit. Kau adalah sumber kekuatan besar, terlalu banyak orang yang mengancam, sehingga selama ini aku dan ayahmu harus menyembunyikanmu, Nak."
Tirta Wungu tertunduk menyedihkan, ia menekuri tanah berbatu yang sedang ia pijak, tak sadar bahwa dirinya saat ini ada di dalam sebuah goa yang indah. Goa yang dipenuhi oleh ukiran-ukiran bebatuan cantik yang membentuk seperti selendang yang panjang.
"Tapi, kenapa Ayah ingin membunuhku sekarang?"
Dewi Anahita tersenyum tipis, ia menggenggam tangan Tirta Wungu erat. "Anakku, manusia biasa tidak akan pernah bisa benar-benar bijak. Seperti ayahmu, beliau mengingkari janjinya pada Ibu untuk menjagamu. Ayahmu berubah, ia lupa untuk bersyukur dan tidak lagi memedulikanmu, kekuasaan jugalah yang membuatnya berubah."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
"Tirta, kau tunggulah di sini. Ibu akan menyediakan banyak makanan dan keperluan untuk kehidupanmu sampai kau berusia lima belas tahun, hanya tinggal beberapa waktu. Tidak akan lama. Setelah itu, ikutlah Ibu pulang ke istana Ibu. Ibu yang akan merawatmu, Anakku."
"Tapi, aku tidak berani di sini sendiri Ibu. Lihatlah tempat ini."
Dewi Anahita tertawa pelan. "Ibu akan mengirimkan satu dayang untuk bersamamu, tapi ingat, jangan biarkan banyak orang melihatnya, atau ia akan menghilang."
"Sungguh?"
Dewi Anahita mengangguk. "Tentu. Ibu akan pastikan itu."
"Dan ... goa ini?"
"Goa ini akan menghubungkanmu dengan istana Ibu, goa ini sangat panjang dan besar, Tirta. Ini semua milik Ibu, kau tidak perlu khawatir."
"Baiklah, aku akan menuruti perkataan Ibu."
"Ibu tahu kau anak yang baik."
***
Hari berganti hari, awalnya Tirta Wungu cukup sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan goa yang lembab. Namun, kini ia mulai terbiasa. Apalagi keberadaan Dayang Winarsih sangat membantu, Tirta Wungu merasa lebih damai hidup di dalam goa ini ketimbang saat ia berada di istana. Karena jujur saja, keberadaannya memang tidak disukai oleh ibu tirinya.
"Dayang Winarsih, aku akan berjalan-jalan sebentar. Kau tunggulah di sini."
"Tapi Putri Tirta, hamba ditugaskan menjaga Anda, dan hamba harus mengikuti Anda ke mana pun Anda pergi."
"Tidak, hanya sebentar. Aku ingin mencari beberapa buah untuk kumakan, hanya di sekitar goa ini, tidak akan lama. Aku akan marah kalau kau mengikutiku," Tirta Wungu mengancam, membuat Dayang Winarsih mau tak mau menurutinya.
"Baiklah, Putri."
Tirta Wungu lalu berjalan, meninggalkan goa itu sambil tersenyum lebar. Ia sudah tahu cara keluar dari goa, setelah Dewi Anihita memberitahu caranya. Mata sang putri menelusuri beberapa pepohonan, mencari keberadaan buah-buah liar yang tumbuh di sekitar goa. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara-suara berisik yang membuatnya waspada. Suara tangisan seseorang, tidak salah lagi. Ia lalu mencari sumber suara itu.
"Hei, kenapa kau di sini?" panggilnya pada seorang gadis seusia dirinya, Tirta Wungu menemukan gadis itu sedang berlari ketakutan.
"Siapa kau?"
"Aku Tirta, kau sedang apa di sini?"
"Aku tersesat, aku sedang mencari buah-buahan dan tersesat sampai ke dalam hutan ini karena tadi aku melihat burung yang sangat cantik masuk ke dalam hutan."
"Aku tahu jalan keluar, kau mau kuantar?" Tirta Wungu menawarkan bantuan.
"Kau bersungguh-sungguh?"
"Ya, tapi siapa namamu?"
"Nara, panggil aku Nara."
"Baiklah, Nara ... apa kau lapar?"
Nara menunduk malu, sejujurnya ia sangat kelaparan, sejak tadi pagi ia belum makan. "Hm, iya."
"Kau mau mampir ke rumahku?"
"Rumah?"
"Ya, kau akan tahu."
"Baiklah kalau kau tidak keberatan."
Tirta Wungu tersenyum lebar lalu mempersilakan Nara untuk masuk ke dalam goanya, sambil menceritakan sedikit mengenai dirinya yang seorang putri raja. Entah mengapa, Tirta sangat percaya pada Nara, padahal baru saja mereka bertemu.
"Jadi, kau adalah sang putri yang hilang?"
"Ya, tapi kumohon, jangan ceritakan pada siapa pun bahwa aku ada di sini."
Nara menggeleng yakin. "Tidak, aku akan menjaga keberadaanmu. Jangan khawatir."
Tirta tersenyum lebar, ia merasa senang dengan keberadaan Nara karena memang ia sudah merasa sangat kesepian beberapa bulan ini.
"Putri Tirta, berhati-hatilah terhadap orang asing," nasihat Dayang Winarsih saat ia melihat keakraban Tirta dan Nara.
"Aku percaya pada Nara, jangan khawatir."
"Hamba hanya takut akan ada hal yang membahayakan Anda, Putri."
"Kau, tenanglah, Dayang. Dan, kau Nara ... kau bisa main ke sini kalau kau mau, aku akan dengan hati menerimamu, lalu ... oh ya, bawalah makanan ini untuk keluargamu."
Nara memandang Putri Tirta dengan penuh haru, gadis berpakaian sederhana itu tak pernah mendapatkan kebaikan sebanyak yang Putri Tirta berikan. "Terima kasih, Putri. Ibuku memang sedang sakit dan aku tadi mencarikannya buah-buahan untuk ia makan. Terima kasih atas kebaikan hatimu."
"Tidak masalah, sekarang ... pulanglah sebelum petang. Mari kutunjukkan arahnya."
Nara bangkit dari duduknya, gadis itu mengucapkan terima kasih kepada Putri Tirta dan Dayang Winarsih karena mau menyelamatkannya. Nara berjanji akan menjaga rahasia sang putri rapat-rapat.
***
Sejak saat itu, Nara dan Putri Tirta sering bertemu. Tiga hari sekali mereka akan bermain bersama di sekitar goa dan sampai saat ini Putri Tirta masih aman, ia masih belum ditemukan oleh pasukan kerajaan. Nara menjaga rahasianya dengan baik. Meski sebenarnya sang putri sedih karena beberapa hari lagi ia akan berusia lima belas tahun dan harus meninggalkan goa itu untuk pergi ke istana Dewi Anahita.
"Penyakit Ibu semakin parah, tapi aku tidak punya uang untuk pergi ke tabib," Nara bermonolog, ia bingung bagaimana harus mengobati ibunya.
"Nara, kau tahu ... ada sayembara untuk mencari keberadaan sang putri. Dan yang mengetahuinya, akan diberi satu peti emas sebagai imbalan. Bagaimana kalau kita ikut? Kau bisa mengobati ibumu dan aku bisa membeli pakaian bagus untukku." Kenanga—temannya memberi tahu Nara mengenai sayembara yang dilakukan oleh pihak istana.
"Tapi, bagaimana caranya? Mencari sang putri? Terdengar mustahil," kata Nara mengelak, meski ia mengetahui keberadaan Putri Tirta.
"Ayolah Nara, kita usahakan saja dulu."
"Hmmm ... akan kupikirkan." Nara menarik napasnya sedih. Haruskah ia mengkhianati persahabatannya dengan Putri Tirta? Namun, ibunya juga membutuhkan pertolongan.
Nara terus memikirkan soal sayembara itu, ia bimbang antara mengingkari janjinya pada sang putri atau menyelamatkan ibunya. Namun, Nara hanya manusia biasa, ia tidak bisa terus menerus melihat ibunya menderita. Nara menghela napasnya berat. Keputusan sudah ia ambil, Nara tidak memiliki pilihan lain. Hari itu juga, ia pergi ke istana, melaporkan pada prajurit istana tentang keberadaan sang putri yang bersembunyi di dalam goa. Berulang kali, Nara meminta maaf pada sang putri dalam hati, berharap sang putri bisa memberi pemakluman padannya.
"Kau yakin, di ada di sana?"
"Ya, tentu saja," kata Nara yakin.
"Tapi di sana hanya batu biasa," kata salah seorang prajurit tidak percaya dengan perkataan Nara.
"Kau tunggulah di sini, aku akan memanggilnya."
"Awas kalau kau berbohong."
"Tidak, percayalah padaku."
Nara lalu berjalan menuju goa, ia bahkan sudah tahu cara masuk ke dalam goa karena Putri Tirta telah memberitahunya. Berkali-kali Nara harus menghela napasnya, saat bertemu sang putri, Nara merasa sangat bersalah.
"Nara, aku merindukanmu."
"Aku juga, Putri."
Putri Tirta tersenyum. "Ayo, kita bermain lagi."
"Bagaimana kalau kita mencari pisang?" Nara memberi penawaran dan Putri Tirta mengangguk dengan antusias.
Mereka lalu memutuskan untuk keluar dari dalam goa, dan saat itulah pasukan prajurit telah mengepung sang putri yang tampak terkejut, tidak menyangka bahwa ia akan tertangkap.
"Nara ...," lirihnya pelan.
"Maafkan aku, Putri. Ibuku sedang sakit dan aku membutuhkan biaya untuk pengobatan."
"Apa, Nara? Kau bahkan tidak pernah meminta bantuanku, padahal kita adalah teman."
"Maafkan aku, Putri, sekali lagi maafkan aku."
"Kau mengkhianatiku! Dayang Winarsih," teriak sang putri membuat Dayang Winarsih datang tergopoh-gopoh dengan wajah paniknya.
"Sampaikan pada Ibu bahwa aku menyayanginya. Maaf sudah tidak mempercayai perkataanmu."
"Putri, hamba akan meminta bantuan pada Kanjeng Dewi."
"Tidak perlu, ini adalah risiko yang harus kuterima."
"Diamlah, Putri, mari ikut kami ke istana, Raja akan segera memberikan hukuman pada Anda karena Anda telah membunuh Putra Mahkota."
Hati Putri Tirta terasa perih, fitnah dan pengkhianatan telah terlampau keji untuknya. Dayang Winarsih tiba-tiba menghilang, Putri Tirta hanya pasrah, meski kemarahan dan rasa sakit hati terasa sesak memenuhinya. Teringat perkataan Dewi Anahita tempo hari tentang keberadaan Dayang Winarsih.
"Ibunda Ratu telah memfitnahku, Ayahanda tidak lagi menyayangiku, dan sahabatku juga melakukan hal yang sama. Bukankah dunia ini tidak adil?" Putri Tirta berteriak kencang.
Ia marah pada ayahnya, pada sang ibu tiri, ia juga kecewa pada Nara. Rasa amarah dan dendam itu menyelimuti dirinya, membuat hawa panas mulai terasa. Sang Putri lalu berteriak kencang, otot-otot tubuhnya mengencang, rambutnya tiba-tiba bertambah panjang, menjadi warna perak yang berkilau, pakaian yang ia kenakan menjadi warna ungu yang berpendar-pendar. Sang Putri telah kehilangan kendali.
Angin kencang melanda hutan dan kerajaan ayahnya, memorakporandakan bangunan. Air dari lautan tiba-tiba menenggelamkan daratan di sekitar. Nara, para prajurit, dan penghuni istana telah tenggelam. Kecuali goa itu, hanya goa itu yang terselamatkan. Goa tempatnya berlindung selama ini, tempat paling aman yang bisa dijangkau oleh sang putri.
"Kalian akan menerima akibat karena telah melakukan kejahatan, aku bersumpah, barang siapa yang mengambil apa pun dari dalam goa itu, ia akan celaka."
Angin menerbangkan tubuh sang putri ke dalam goa. Putri Tirta menghilang dan tidak lagi ditemukan oleh siapa pun. Sejak saat itu, goa tempat sang putri mengalirkan air hingga membentuk sungai sepanjang area hutan dan kerajaan. Sungai itu kemudian dikenal dengan nama Sungai Wungu dan Goa itu dinamai sesuai nama sang putri, Goa Tirta Wungu yang sangat cantik dan indah.
***
"Jadi, begitu ceritanya?" aku bertanya pada Ibu yang baru saja menyelesaikan ceritanya soal Putri Tirta Wungu.
"Ya, sejak saat itu sang putri dipercaya moksa di dalam goa. Kau harus bisa mengambil pelajaran dari itu semua. Jangan mengingkari janji dan tamak, Anakku."
Aku tersenyum lebar lalu menggeleng. "Tidak akan, Ibu. Aku tidak akan menjadi seperti Nara."
"Bagus. Sejujurnya, sebelum hamil kamu, Ibu pernah bertemu dengan sosok yang sangat cantik di hutan selatan sana, katanya ... ia bernama Putri Tirta Wungu Sekartadji. Setelah itu, Ibu memilikimu. Kata Mbah Buyutmu, kau adalah titisan sang putri."
"Benarkah?"
"Ya, mungkin saja. Jadilah anak yang suka menolong seperti sang putri, tapi ingat jangan jadi pendendam. Kau harus bisa memaafkan dengan mudah."
Aku mengangguk, adat di tempatku memang masih mempercayai hal-hal seperti itu dan aku mencintai budayaku. Aku berjanji akan menjadi anak yang baik, berbakti pada Ibu dan Bapak tanpa harus mengorbankan orang lain, seperti yang Nara lakukan. Untuk Putri Tirta, aku berharap bahwa Putri Tirta bisa bahagia di mana pun ia berada saat ini.
"Ayo, masuk ke dalam rumah!" Ibu memerintahku untuk masuk.
"Ya, Bu. Sebentar lagi," balasku.
Tiba-tiba ada angin sepoi-sepoi yang membelai tubuhku dan aroma yang harum menyeruak memasuki hidungku. Di ujung pepohonan, aku melihat sosok cantik yang memakai pakaian berwarna ungu, tersenyum manis padaku sambil melambaikan tangan. Benarkah itu Putri Tirta Wungu Sekartadji?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top