PENYIHIR, SANG PUTRI, DAN SI TANGAN MERAH
Ditulis oleh HalfBloodElf
Negeri Whitehaven gempar oleh kabar hilangnya putri kerajaan.
Sudah bertahun-tahun lamanya sejak pengumuman ditempel di alun-alun seluruh kota, yang mengungkapkan bahwa Putri Whitehaven telah diculik penyihir di puncak Gunung Merah di hari ulang tahunnya yang ketujuh belas. Raja menawarkan imbalan sepuluh ribu keping emas kepada siapa saja yang mampu membunuh sang Penyihir. Beberapa rakyat mencoba, mulai dari penjagal bertubuh besar hingga gelandangan kurus yang kelaparan. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil mendaki lebih dari setengah jalan menuju puncak.
Desas-desus menyebar cepat bagai kobaran api. Penduduk tidak hentinya memperbincangkan ini di bar, pasar, bahkan di acara minum teh para bangsawan. Konon katanya, Gunung Merah memiliki mata yang tersembunyi di tanah sehingga setiap langkahmu diawasi dan selalu ada sulur yang siap mengikat pergelangan kakimu. Pria-pria bertubuh besar tidak mampu menghindari serangan bebatuan longsor dan yang lainnya terjebak dalam kubangan lumpur hisap. Gosip lain mengatakan seorang pemuda berhasil mencapai pondok Penyihir, tapi kemudian terlempar kembali ke depan pintu rumahnya sendiri dalam keadaan tidak waras.
Jervin sudah mengumpulkan beberapa aturan penting. Pertama, jangan menatap mata sang Penyihir. Kedua, jangan mendengar bisikan sang Penyihir. Ketiga, miliki sihir untuk mengimbangi kekuatan sang Penyihir.
"Taruhan lima keping emas kalau kau tidak akan berhasil," cemooh salah satu pengunjung bar.
"Hanya lima? Aku berani bertaruh sepuluh bahwa Jervin si Penjelajahlah yang akan membawa sang Putri pulang," kata pemilik bar. Dia memandang Jervin untuk memberi dukungan. "Aku percaya padamu, Jervin. Kau legendaris di kampung halamanku."
Tentu saja, Jervin bukan anak kemarin sore. Dia pernah mendaki gunung tertinggi, mengarungi samudra terluas, dan menjelajahi hutan terkejam sekalipun. Orang-orang menyebutnya Jervin si Penjelajah, Jervin Penakluk Troll, dan masih banyak lagi.
Maka, pagi-pagi sekali Jervin sudah bersiap-siap. Setelah menyimpan kertas pengumuman yang disobek ke sakunya, dia mengencangkan sabuk, menarik sarung tangan tebal, dan memasang sepatu bots. Selama perjalanan itu dia bersenandung, membayangkan sepuluh ribu keping emas yang membanjiri rumah kayunya. Kira-kira apa yang akan dia lakukan dengan harta sebanyak itu? Mungkin membeli rumah baru yang lebih besar dan dia masih akan memiliki sisa setengahnya lagi.
Dengan cekatan dia menghindari kubangan lumpur hisap dan hujan batu. Beberapa sulur nakal berlomba untuk menjerat kakinya, tapi dengan mudah ditepis Jervin dengan tongkat perjalanannya. Di lembah, dia berpapasan dengan kakek tua yang menghalangi jalannya.
"Pulanglah, Anak Muda," kata Kakek itu dengan suara serak. "Aku tahu apa yang ingin kau cari. Percayalah, aku sudah banyak melihat korban jiwa yang berjatuhan. Orang-orang pulang hanya dengan sebelah kaki, kehilangan mata, atau menjadi sinting."
Jervin tersenyum percaya diri, sama sekali tidak gentar. "Aku Jervin si Penjelajah, jika aku pulang dengan sebelah kaki, maka itu adalah kaki si Penyihir jahat, Pak Tua."
Si Kakek mengikuti Jervin yang terus melangkah. Menyeimbangkan langkah lebar Jervin, orang tua itu harus berlari kecil-kecil hingga napasnya pendek. "Kau tidak tahu apa yang akan kau hadapi, Dasar Pembangkang. Di tengah jalan menuju puncak ada troll yang mengintai!"
Ancaman si Kakek menggelitik Jervin. "Pak Tua, tidak ada troll yang belum pernah kutaklukkan selama ini. Tunjukkan sarangnya dan biarkan aku yang menemuinya."
Si Kakek menyetujui, biarpun dia heran bagaimana caranya Jervin yang memiliki tubuh kecil mampu mengalahkan troll yang ukurannya lima kali lipat lebih besar. Bersama Jervin, mereka berjalan bersama menuju lokasi kediaman troll. Matahari sudah hampir terbenam saat mereka tiba di depan sebuah goa yang lebar. Si Kakek cepat-cepat bersembunyi di balik semak, sedangkan Jervin berdiri dengan tegap dan mengangkat tongkatnya sambil berseru lantang.
"Wahai, Makhluk Besar, keluarlah!"
Tanah yang mereka pijaki mulai bergetar, diikuti suara gemuruh dan geraman dari dalam goa. Hentakan keras langkah troll membuat si Kakek terlompat-lompat dari persembunyiannya, tapi kedua kaki Jervin masih berdiri kokoh. Di depan Jervin, menjulang sekitar tiga meter tingginya, berdirilah sesosok troll laki-laki. Kulitnya keabuan, dan dia tidak mengenakan apa pun selain kain tebal kasar yang menutupi bawah tubuhnya. Wajah si troll tampak tidak ramah, jelas tidak senang ada yang menginterupsi waktu tidurnya.
"Katakan apa yang kau inginkan, Kurcaci. Jika alasanmu tidak memuaskan, kau akan kumakan," geram Troll.
Jervin meletakkan tongkat ke atas tanah, kemudian melepas kedua sarung tangan. "Aku mendengar bahwa ada troll yang suka mengganggu pendaki di gunung ini dan aku, Jervin si Penjelajah, ingin bertemu dengan makhluk nakal itu."
Troll terkekeh dan bau napasnya yang amis tercium sampai ke hidung Kakek. "Ada penyusup masuk ke wilayahku. Tentu saja dia harus bayar, jika ingin lewat!"
Setelah mengetuk dagu beberapa saat, Jervin mengangguk-angguk. "Aku setuju dengan pendapatmu, Tuan Troll. Karena itu, aku akan menawarkan kesepakatan denganmu. Jika bayaranku memuaskan, kau akan membiarkanku naik dan menghalau musuhku yang lewat."
"Boleh saja," kata Troll senang, "jika tidak kau akan jadi cemilan makan malamku."
Jervin mengambil selembaran seukuran telapak tangan dari balik jubahnya, lalu menyerahkannya ke hadapan troll itu.
"Daun? Kau pikir aku ini kambing?!" teriak Troll marah.
"Ini bukan daun biasa," ujar Jervin kalem. "Jika kau melempar daun ini, targetmu akan terperangkap dan tidak bisa bergerak lagi. Bukankah ini adalah alat bagus untuk menangkap buruanmu?"
"Coba buktikan!" tuntut Troll.
Dengan gerakan cepat, Jervin melempar daun itu ke udara. Beberapa detik kemudian, sebuah gumpalan besar jatuh di hadapan mereka. Jervin memungut bungkusan daun yang melebar tersebut, lalu mengeluarkan seekor burung di dalamnya.
Troll bertepuk tangan dengan senang. "Tentu tidak cukup satu saja. Aku butuh makan yang banyak."
"Daun ini bisa digunakan berkali-kali dan tidak akan rusak," jelas Jervin.
Setelah menerima hadiah Jervin, Troll membiarkannya pergi. Si Kakek mengikuti Jervin dari belakang dan berbisik tidak percaya, "Aku baru kali ini melihat troll melepas buruannya begitu saja."
"Pelajaran pertama, troll mudah diajak negosiasi," kata Jervin. Kedua sarung tangannya digantung di leher. Dia menoleh ke belakang, lalu melanjutkan dengan waswas, "Pelajaran kedua, troll sering kali tidak menepati janji."
Si Kakek ikut menoleh, lalu berseru kaget ketika sebuah lembaran daun hijau menerjang mereka dari belakang, semakin lama semakin melebar. Jervin mengarahkan tongkatnya dengan siaga, mengibas ke arah daun itu dengan keras sehingga targetnya meleset ke batu besar di samping mereka. Dari kejauhan, suara gedebum terdengar. Troll itu sedang berlari ke arah mereka.
"Tidak!" decak Troll jengkel saat melihat Jervin membebaskan batu dari bungkusan daun.
Troll memutar arah, sekarang berlari menjauhi Jervin. Jervin mengejar, kemudian melempar daun padanya. Sedetik kemudian makhluk besar itu tumbang dengan daun yang membungkus seluruh tubuhnya.
"Lepaskan aku!" teriak Troll dengan suara yang kurang jelas. Gumpalan daun raksasa itu meronta-ronta di atas tanah.
"Aku akan melepaskanmu setelah membawa Tuan Putri dan mendapat uangnya, Troll Licik. Setelah itu kita akan membahas ini," kata Jervin, kemudian meninggalkan Troll yang masih meraung-raung.
"Tunggu, Anak Muda," panggil si Kakek. "Aku ingin berterima kasih karena telah menyelamatkanku. Biarkan aku membalasnya dengan mengantarmu sampai ke tujuan."
Jervin mengamati si Kakek sejenak. Walau berusia tua, tapi si Kakek memiliki tubuh bugar dan kelihatannya kedua kakinya cukup kuat untuk mendaki dan menuruni gunung. Mengikutsertakan si Kakek bukan hal yang buruk.
"Baiklah," kata Jervin.
Langit sudah semakin gelap saat mereka melihat setitik cahaya yang berasal dari puncak. Jalanan yang ditempuh semakin curam, dan Jervin menyadari bahwa si Kakek mulai menyusahkannya karena nyaris tergelincir beberapa kali, tapi mereka sudah hampir tiba di tujuan dan mustahil rasanya menyuruh si Kakek pulang sendiri tanpa bantuan Jervin, sehingga mau tidak mau dia bersabar menuntun orang tua itu, sampai akhirnya berhasil menginjak puncak.
Keadaan puncak Gunung Merah sesuai dengan namanya. Tanah dan bebatuan di bawah pijakan Jervin mengkilap merah di bawah sinar bulan. Semakin dekat dia dengan pondok, semakin ringan langkah Jervin. Si Kakek mengikutinya, menyusup lewat sela-sela pagar yang rusak, lalu mengintai pelan-pelan ke sekitar luar pondok.
Sekilas, bangunan itu terlihat seperti tempat tinggal nyaman yang biasa dengan perapian hangat dan aroma coklat lezat yang menyelimuti ruangan. Jervin sudah dua kali mengelilingi pondok dan belum menemukan sang Putri yang dikurung atau jejak penyihir sekalipun. Padahal dia sudah bersiaga, menyipitkan mata setiap bunyi kresekan atau gerakan mendadak di sekitarnya. Insting berburunya membuat Jervin merasakan bunyi ayunan di atas kepalanya, dia mengangkat tongkat untuk menahan kayu tumpul yang hampir saja menghantam ubun-ubunnya.
Si Kakek menyerang Jervin!
"Aku tidak bisa membiarkanmu bertemu Tuan Putri," kata si Kakek.
Tidak berniat basa-basi, si Kakek mengayunkan kayu lagi, lebih agresif dan tanpa ampun. Setiap serangannya berhasil ditangkis Jervin.
Energi orang tua itu tidak bisa diremehkan. Si Kakek belum juga menyerah, walaupun kekuatan tongkat Jervin membuatnya terjatuh beberapa kali. Dengan sisa-sisa usahanya, si Kakek menerjang Jervin hingga tongkat talinya terlempar jauh.
Jervin tidak punya pilihan lain. Digenggamnya batang kayu si Kakek dengan tangan kosong, lalu sedetik kemudian kayu itu berubah menjadi pasir debu. Sambil bangkit, Jervin menepuk kedua telapak tangannya kemudian mengarahkannya ke depan sebagai pertahanan diri.
"Kau, si Tangan Merah!" seru si Kakek terkejut ketika melihat telapak tangan Jervin.
"Benar. Aku Jervin si Tangan Merah. Keturunan penyihir," balas Jervin dengan seringaian. Hampir tidak ada yang mengetahui identitas Jervin yang sebenarnya. Jervin selalu menyembunyikannya dengan baik karena jarang ada penduduk yang bersikap ramah pada penyihir.
Tiba-tiba, sebuah sentakan keras menghantam sisi tubuh Jervin hingga pemuda itu terbanting ke tanah. Dia berbalik, mencari sumber serangan, tapi tidak menemukan apa pun. Ketika Jervin berputar lagi, dia menemukan sosok baru di samping si Kakek, mengenakan gaun sederhana dan sekepala lebih tinggi dari mereka.
"Sedang apa kau di pekaranganku?" geram sosok itu. Jervin mengenali jenisnya sebagai Penyihir Kutukan—penyihir yang hobi mengutuk. Kulitnya berwarna merah dan bersisik di beberapa tempat, terutama di area mata sehingga dia terlihat seperti memiliki wajah ular. Si Penyihir memelototi Jervin, tapi Jervin tidak akan terpengaruh sihirnya.
Karena Jervin adalah keturunan makhluk yang sama dengannya.
"Dia si Tangan Merah, Putri Elena," jelas si Kakek pada si Penyihir.
"Kau orangnya." Si Penyihir tertegun. Dia melangkah mendekat, sehingga Jervin mengangkat kedua tangannya lebih tinggi lagi untuk melindungi wajahnya.
"Ya, aku adalah orang yang akan membunuhmu dan menyelamatkan Tuan Putri," kata Jervin mantap.
"Akulah si Tuan Putri! Elena Whitehaven dan ini Gallus, pengawal pribadiku." Dia menunjuk si Kakek.
Tanpa mengendurkan pertahanannya, Jervin menelengkan kepala. Dia menatap wajah gadis—jika bisa disebut gadis—di depannya, mengingat-ingat kembali sosok Tuan Putri yang selama ini digambarkan seratus delapan puluh derajat berbeda dengannya.
"Kau berbohong. Aku tahu kau adalah Penyihir Kutukan," kata Jervin.
"Aku adalah putri yang dikutuk," jawab si Penyihir, yang katanya adalah Tuan Putri. Dia menunjuk wajahnya sendiri. "Penyihir yang mengutukku berbentuk persis seperti ini. Dia mengatakan kalau si Tangan Merah akan menyelamatkanku."
Jervin hampir tidak percaya. Ternyata selama ini penyihir yang didesas-desuskan adalah Tuan Putri itu sendiri!
Putri Elena mengangkat kedua tangannya sehingga telapak tangan mereka berhadapan. "Kemarilah, selamatkan diriku."
Jervin mundur selangkah. "Dari mana aku bisa tahu bahwa kau adalah Tuan Putri asli atau penyihir yang berpura-pura? Kenapa tidak ada yang tahu bahwa Tuan Putri dikutuk?"
"Raja Whitehaven punya rahasia gelap yang disimpan baik-baik di dalam dinding istana," kata Gallus. "Demi memperoleh seorang anak, sang Raja meminta bantuan penyihir, dengan perjanjian bahwa ketika Putri Elena menginjak umur tujuh belas, Raja harus mengadakan pesta dan mengundang penyihir."
"Sang Raja mengadakan pesta besar, tapi dia mengingkari janjinya karena tidak ingin ada penyihir buruk rupa yang menginjak istananya. Namun, dia tidak sadar bahwa dia sedang berhadapan dengan Penyihir Kutukan. Si Penyihir pun murka dan mengutuk Putri Elena sehingga memiliki rupa sepertinya. "
"Raja pun tidak memiliki pilihan lain. Karena takut putrinya dikucilkan rakyat, dia membangun pondok di puncak gunung terpencil dan membiarkan Putri Elena tinggal sendiri selama bertahun-tahun lamanya. Penyihir yang mengutuk Putri Elena pun merasa kasihan, lalu dia memberi Putri Elena kekuatan penyihir juga dan berpesan kalau Putri Elena akan terbebas dari kutukannya jika mendapat uluran tangan dari si Tangan Merah."
"Aku mengajukan diri menjadi pengawal pribadi Putri Elena, menjaganya dari gangguan makhluk buas dan berbagai macam manusia yang ingin menyakitinya. Itulah kenapa aku mengundang troll untuk mendiami gunung ini dan berharap dia menakutimu. Jika aku tahu kau adalah si Tangan Merah, tentu dengan cepat aku langsung membawamu ke sini."
"Aneh sekali. Raja mengumumkan sayembara untuk membunuh penyihir di puncak gunung," kata Jervin.
"Itu adalah aku!" seru Putri Elena. "Tidak mungkin Ayah ingin membunuhku."
Mendadak Jervin mulai merasa segalanya masuk akal. Sang Raja memang berniat melenyapkan putrinya yang dikutuk. Karena itulah dalam pengumuman, sang Raja hanya memberi perintah untuk membunuh sang Penyihir. Tidak ada petunjuk untuk membawa Tuan Putri pulang ke istana. Untuk membuktikannya, Jervin mengeluarkan pengumuman dari sakunya dan menyerahkan ke Putri Elena. Jervin memang menginginkan sepuluh ribu keping emas itu, tapi jika itu artinya harus membunuh sang Putri yang tidak bersalah, dia tidak bisa melakukannya.
Setelah membaca pengumuman itu bersama Gallus, Putri Elena mundur dengan ketakutan. Kertas di tangannya terbakar oleh api merah.
"Tuan Putri," panggil Gallus. Dia bergerak untuk menyentuh Putri Elena, lalu segera menarik tangannya lagi saat merasakan energi yang amat panas dari kulitnya.
"Tidak!" jerit Putri Elena. Kedua matanya berkobar oleh api amarah, setiap tetesan air matanya yang jatuh berubah menjadi jarum besi yang tajam.
Raungan panjang yang keluar dari mulut Putri Elena membuat berdiri bulu kuduk Gallus, bahkan juga Jervin. Rerumputan di bawah kakinya bergetar dan Jervin merasa seolah Gunung Merah akan terbelah dua.
Sang Putri patah hati. Bersama tangisannya, dia menerobos gulita dan menuruni Gunung Merah. Gallus memanggil, mencoba menahan Putri Elena, tapi kekuatannya tidak cukup. Putri Elena mengutuk Gallus menjadi kelinci gunung.
Jervin tahu betapa bahayanya kekuatan penyihir yang sedang marah. Maka dia mengikuti Putri Elena dari belakang, mengamati bagaimana Putri Elena menghanguskan pohon dan tanah yang dilewatinya. Bersama dengan itu, matahari bangkit dari tidurnya, turut memercikkan kobaran semangat ke setiap hentakan langkah Putri Elena.
Di tengah perjalanan, Jervin kembali bertemu dengan troll yang masih terbungkus daun sebelumnya. Troll yang merasakan kehadirannya pun mulai meronta-ronta.
"Oh, Jervin si Penjelajah, tolong lepaskan aku, aku telah bersalah," pintanya.
"Aku akan melepaskanmu jika kau berjanji satu hal lagi," kata Jervin. "Bantu aku hentikan penyihir yang akan menyerang kerajaan."
"Aku berjanji," kata Troll tanpa basa-basi.
"Jika kau berbuat curang lagi, aku akan mengutukmu." Jervin membebaskan Troll, lalu dengan segera daun ajaib itu kembali ke ukuran semula. Troll yang sudah bisa melihat jelas tangan Jervin langsung sadar kalau dia adalah keturunan penyihir.
Tanpa membuang waktu lagi, mereka segera menuruni gunung, mengikuti jejak hangus dari Putri Elena. Troll mengangkat tubuh Jervin dan meletakkannya di bahu, sehingga dia bisa menyusul dengan langkah yang lebar.
Seperti yang dicemaskan Jervin, mulai terjadi kekacauan di Kerajaan Whitehaven. Putri Elena menyerang serampangan, sementara rakyat berteriak ketakutan dan berhamburan keluar dari rumah mereka.
"Penyihir!" teriak salah satu orang. "Ada penyihir!"
Putri Elena mengutuk orang itu menjadi tikus. Tidak hanya itu, dia melontarkan kutukan pada siapa saja yang menghalanginya. Ada yang berubah menjadi kurcaci, pohon, bahkan sofa. Jervin melompat dari bahu Troll, sebisa mungkin menghentikan sihir sang Putri. Sedangkan Troll membantu penduduk untuk mengungsi.
"Lari! Ada troll!" teriak seorang anak laki-laki yang baru saja dipindahkan Troll ke tempat aman. "Whitehaven diserang!"
"Cih, tidak tahu terima kasih," kata Troll kesal.
Putri Elena sudah tiba di depan istana. Betapa terkejutnya dia saat mendapati para prajurit menghadang dan ada ratusan tombak dan mulut meriam mengancamnya. Jervin hendak mengejar sang Putri, tapi prajurit lain menahannya.
"Aku adalah Putri Elena Whitehaven!" teriaknya.
Para prajurit saling memandang. Orang-orang di sekitar yang mendengar mulai berbisik-bisik. "Tidak mungkin, Putri Whitehaven tidak seburuk itu."
"Itu penyihirnya! Penyihir yang telah menculik putriku!" seru sang Raja. Suaranya membahana saat dia berjalan bersama puluhan pengawal yang berjaga ketat, lalu berhenti sambil menunjuk Putri Elena di depan. Semua rakyat yang menyaksikan memberi jarak, menonton dalam ketegangan.
"Itu tidak benar!" bantah Putri Elena. "Aku adalah putri yang dikutuk, lalu Ayah sengaja membiarkan orang-orang membunuhku!"
Wajah sang Raja menjadi merah padam. "Bohong! Dasar penyihir licik! Kau telah membunuh Putri Elena dan kini mengaku-ngaku sebagai putriku. Aku tidak sudi! Tangkap dia!"
"Dia benar-benar adalah Tuan Putri," kata Jervin, memandang ke semua orang di sana. "Aku berhasil mencapai puncak gunung dan tidak ada siapa pun selain dia. Tuan Putri kita telah dikutuk menjadi penyihir."
"Itu Jervin si Penjelajah!" seru pria pemilik bar yang pernah mendukungnya.
"Tidak, dia penyihir. Lihat tangannya."
"Jervin adalah penyihir!"
"Tangkap si Penyihir!"
"Bakar dia!"
Pekikan keras terdengar saat prajurit mulai melancarkan serangan. Putri Elena menyihir satu per satu tombak menjadi abu, lalu Troll turut membantu dengan menginjak meriam sampai penyet. Penduduk berlomba-lomba membuat obor dan melemparkannya ke arah Putri Elena, tapi dengan cekatan Jervin menghalaunya dengan tali.
Pertarungan berlangsung sengit. Besi bertemu api. Tongkat dan pedang beradu. Sepuluh manusia mengelilingi Troll. Selang beberapa saat kemudian, tidak banyak prajurit yang tersisa lagi untuk bertarung. Mereka semua jatuh dan kalah. Troll kehabisan meriam untuk dihancurkan.
Sang Raja mulai ketakutan. Dia menaiki kereta, bersiap kabur ke balik dinding istana, tapi Troll mengangkat kereta itu tinggi-tinggi.
"Turunkan aku, Dasar Raksasa Jelek!" perintah sang Raja.
Troll menggeram, tidak terima dikatai jelek. Maka dia melempar kereta itu ke tanah, dan jeritan keras sang Raja mengakhiri pertempuran hingga terdengar dentuman yang keras.
"Ayah!" teriak Putri Elena. Dia berlari menghampiri sang Raja, lalu menyingkirkan reruntuhan kereta yang menimpanya tanpa kesulitan. Tetesan air mata merah pun jatuh, mengenai tubuh sang Raja yang tergeletak tidak bergerak di pangkuannya.
Seluruh kerajaan menjadi hening. Rakyat menunduk dalam kebisuan, tidak ada yang berteriak atau berprasangka pada sang Penyihir lagi. Tangisan pilu dari sang Penyihir yang menyayat hati cukup untuk membuktikan bahwa dia adalah Putri Elena yang sebenarnya. Matahari pun bersembunyi di balik awan gelap, tidak tega menyaksikannya.
Di tengah-tengah mereka, muncullah seorang penyihir dari pusaran udara kecil. Semua orang memandangnya heran karena penyihir itu memiliki bentuk fisik yang sama persis seperti Putri Elena sekarang. Ketika Putri Elena berdiri untuk menghadapi si Penyihir baru, mereka tampak seperti bercermin.
"Emosimu yang terlalu kuat telah memanggilku," kata Penyihir itu.
"Tolong selamatkan ayahku, Edena," pinta Putri Elena.
Edena, si kembaran Putri Elena menggeleng prihatin. "Hanya kau yang bisa menyelamatkannya, tapi dengan begitu, kau akan menjadi Penyihir Kutukan selamanya dan tidak ada cara untuk kembali menjadi manusia."
"Dengan segala hormat, Tuan Putri. Raja telah membuatmu dikutuk dan berencana membunuhmu. Dia tidak pantas mendapatkan pengorbananmu," kata Jervin.
"Ah, si Tangan Merah sudah tiba," kata Edena saat melihat Jervin, kemudian kembali menoleh pada sang Putri. "Kau memiliki pilihan lain, Sayang. Si Tangan Merah bisa mengembalikanmu ke manusia, tapi dengan begitu ayahmu tidak akan hidup lagi."
Putri Elena termenung. Menjadi manusia lagi adalah keinginannya selama bertahun-tahun. Jervin memang benar, ayahnya membuatnya menjadi seperti ini, bahkan berpikir untuk menghabisi nyawanya. Menolong ayahnya berarti merelakan impian terbesarnya. Membiarkan ayahnya mati membusuk adalah cara balas dendam terbaik.
"Aku ...." Suara Putri Elena melemah. Semua orang penasaran, kira-kira apa yang akan dia pilih?
"Aku bersedia menjadi Penyihir Kutukan," lanjut Putri Elena.
Benar. Putri Elena punya sejuta alasan untuk mengabaikan ayahnya, tapi dia punya pilihan. Menjadi manusia yang menjalani hari dengan rasa dendam, atau tetap hidup sebagai penyihir menyeramkan demi menyelamatkan kehidupan lainnya. Sang Raja memang menginginkan dia mati, tapi bukan berarti Putri Elena juga harus berpikiran serupa.
Edena tersenyum. Penyihir itu meminta Putri Elena mencabut sisik terbesar di wajahnya sendiri, kemudian menempelkan ke dahi sang Raja. Putri Elena menurutinya. Hal itu ternyata menguras energi Putri Elena, sehingga tubuhnya terjatuh lemas ke atas tanah, di samping sang Raja yang mulai sadar dan terbatuk.
Sang Raja yang mengetahui dirinya diselamatkan Putri Elena pun mulai menangis. Dia merasa bersalah dan malu saat memeluk sang Putri yang lemah. "Oh, uhuk ... uhuk! Elena, putriku, maafkan Ayah."
Pemandangan itu membuat Jervin terpana. Dia tidak menyangka kalau Putri Elena akan menyelamatkan ayahnya, orang yang hampir saja membuat Jervin berniat membunuhnya demi kepingan emas. Jervin melangkah mendekati Putri Elena, lalu menatap wajah tulus nan cantik di balik sisik dan kulit merahnya. Kini dia paham jika Putri Elena tidak membutuhkan fisik manusianya.
Jauh di dalam sana, Putri Elena tetaplah seorang putri.
Jervin mengulurkan tangannya, yang segera disambut Putri Elena dengan sisa tenaganya. Keajaiban pun terjadi. Cahaya merah yang terang bersinar dari kedua telapak tangan mereka yang menyatu, hingga orang-orang harus melindungi mata dari silaunya. Sekarang, sosok besar yang bersalaman dengan Jervin sudah menyusut menjadi gadis muda dengan gaun lusuh kebesaran. Kulitnya berubah layaknya manusia normal, kecuali pada seluruh telapak tangannya yang berwarna merah.
Putri Elena mengamati tubuhnya yang kembali seperti semula, tidak percaya apa yang terjadi. "Katanya aku akan menjadi Penyihir Kutukan selamanya?"
"Ya, persis seperti si Tangan Merah," kata Edena kalem.
Begitulah, setelah Edena menghilang, Putri Elena bersama Jervin membereskan sisa kekacauan yang tercipta. Mereka mengembalikan orang-orang yang dikutuk sebelumnya ke bentuk semula, lalu memperbaiki bangunan yang rusak bersama Troll. Negeri Whitehaven sejak saat itu mulai hidup berdampingan dengan penyihir.
Sementara Troll? Dia tetap di goa, mendapat mainan daun barunya, dan berjanji tidak akan makan manusia lagi, terutama sejak Putri Elena dan Jervin memerintah kerajaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top