OTTO SI MOBIL KESAYANGAN AYAH

Ditulis oleh Grey010

Hai teman-teman! Namaku Otto. Coba tebak apakah aku ini? Apa aku manusia atau hewan? Bukan. Bukan. Aku adalah mobil. Mobil Jeep berwarna putih kesayangan Ayah.

Aku lahir di tahun 2010, tahun yang sama di mana Ayah membeliku dari dealer mobil di kota. Aku senang sekali! Teman-teman iri karena Ayah memilihku.

Selain warnaku yang putih cerah, ukuranku cukup mungil, hanya muat untuk lima orang, berisi satu kursi pengemudi dan empat kursi penumpang. Berukuran 4x4 dengan kapasitas 2000 cc. Aku muat untuk Ayah dan keluarganya.

Ayo kukenalkan kepadamu keluarga Ayah. Selain Ayah, ada Ibu, wanita yang cantik dan bersahaja sekali. Ibu sudah melahirkan dua anak, nama panggilan mereka adalah Kakak dan Adik. Kakak lebih tua tiga tahun dari Adik, mereka kadang seperti dua sahabat karib, tetapi juga kadang menjadi musuh bebuyutan.

Pada hari pertama Ayah membawaku ke rumah, Ayah mengenalkanku kepada keluarganya.

"Kakak, Adik ... ini mobil pertama Ayah, namanya Otto." Begitu Ayah mengenalkanku sekaligus memberiku nama.

Sejak hari itu, sudah menjadi tugasku membawa Kakak dan Adik pergi ke sekolah setiap hari. Tidak hanya itu, di hari Sabtu dan Minggu, Ayah juga akan membawa keluarganya jalan-jalan. Bila hari ini ke mal, maka esok harinya akan diajak jalan-jalan ke pantai atau gunung. Ayah senang sekali setiap berjalan-jalan, beliau akan menyalakan radioku dan menyenandungkan lagu dangdut dari penyanyi bernama Elvi Sukaesih atau Rhoma Irama.

Kakak dan Adik tidak suka lagu dangdut, Kakak suka lagu dari sebuah sinema anak-anak berjudul Power Ranger, setiap saat ia akan berteriak "Power Ranger!" Sembari menirukan Power Ranger merah. Kebalikannya, Adik lebih senang mendengar lagu-lagu dari Barbie: Princess and The Pauper.

Ayah sering bertanya ke Kakak dan Adik, "Kakak, Adik, kalau sudah besar mau jadi apa?"

Kakak segera menjawab, "Mau jadi dokter, Yah!"

"Kalau, Adik?"

Adik membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menjawab sebelum akhirnya berkata, "Aku ikut Kakak aja, deh."

"Jadi dokter juga?"

"Enggak." Adik menggeleng polos. "Aku mau jadi suster, biar bisa jadi asistennya Kakak."

Ayah dan Ibu tertawa mendengar jawaban Adik. Apalagi Adik yang suka mengganti cita-citanya setiap tahun, sering kali ketika melihat si Merah, mobil milik para pemadam kebakaran, Adik akan berseru, "Aku mau jadi seperti mereka!"

"Kenapa?" Kakak bertanya dengan dahi berkerut dalam, di tangannya tergenggam sebuah mainan mobil-mobilan berwarna putih yang menyerupai aku.

"Aku mau naik mobil merah dengan suara 'niuniuniu'! Pasti seru sekali!" Mata Adik selalu berkilat senang setiap kali melihat si Merah yang melesat di antara kerumunan mobil-mobil lain, dipersilakan lewat terlebih dahulu di antara kami para mobil keluarga.

Selain si Merah, Adik juga suka sekali dengan Lili si mobil polisi. Dia juga suka dengan seragam yang para polisi kenakan.

"Aku ingin menangkap para penjahat! Dor! Dor!" Adik akan meloncat-loncat senang di atas jokku yang empuk.

Setiap kali Adik meloncat-loncat, Kakak yang kalem akan menegur adiknya dan memintanya duduk dengan tenang sembari memakai sabuk keamanan. "Jangan loncat-loncat!" Kakak menegur dengan suara keras.

Tidak hanya ada si Lili atau si Merah, Adik juga akan berseru setiap kali melihat mobil baru yang terlihat unik di matanya. Suatu hari dia bertanya kepada Ayah, "A-N-T-O-N," Adik mengeja tulisan di badan sebuah truk tronton. "Nama mobilnya Anton. Itu mobil apa, Yah?"

"Itu truk tronton, Dik." Ayah tersenyum melihat anaknya itu.

"Wah, rodanya banyak sekali, ya." Adik berusaha menghitung jumlah roda yang Anton miliki. Belum selesai menghitungnya, aku sudah menyalip lebih dahulu dan berada jauh di depan kumpulan truk-truk yang membawa aneka benda; ada semen, kadang pasir, kadang pula bebatuan, dan kerikil untuk jalanan yang baru saja ingin dibangun. "Yah, Ayah! Adik, kan, belum selesai menghitung."

Ayah dan Ibu akan tertawa mendengar seruan Adik. Sesaat kemudian Adik kembali bertanya tentang aneka mobil lainnya, di mulai dari Bang Toyib—si bus antarkota, Anton si truk tronton, hingga aneka mobil keluarga lainnya.

"Udah, ah, Dik. Tidur." Kakak akan mengeluh kesal tiap kali mendengar Adik menunjuk mobil-mobil lain dan terus menerus bertanya ke Ayah tipe-tipe mobil apa saja yang lewat di sebelah mereka.

Ibu akan tertawa mendengarkan kakak adik itu saling bersahut-sahutan atau berebut memutar lagu kesukaan mereka juga menceritakan pengalaman seru mereka di sekolah, sementara Ayah akan mendapatkan giliran paling akhir.

Sst ... Ibu tidak bisa menyetir, jadi sering kali Ibu pergi ke pasar bersama Juki. Motor bebek Suzuki yang menjadi temanku di garasi. Omong-omong, Juki Itu berisik sekali. Jangan bilang-bilang ke siapa-siapa, ya!

Tidak terasa sudah beberapa tahun aku menemani keluarga Ayah. Kakak dan Adik sekarang sudah besar, loh! Mereka tidak lagi suka berebutan radio untuk mendengarkan lagu. Ayah masih setia mengantar Kakak dan Adik ke sekolah denganku.

Suatu hari Kakak membawaku untuk menjemput pacarnya. Mereka mau berkencan. Selama ini Kakak naik motor kalau membawa pacarnya berkencan, tapi karena hujan deras, kali ini jadi tugasku membawa mereka jalan-jalan.

Malang nian nasibku kali ini. Aku yang sudah mulai sakit-sakitan, tiba-tiba saja mogok di tengah jalan! Tepat sebelum lampu merah. Kakak malu sekali. Hujan deras membasahi bajunya yang apik ketika membuka kapku, untuk memeriksa bagian mesin mana yang rusak.

Aku terbatuk-batuk, uap yang mengepul dari kapku menghalau pandangan Kakak.

Tak lama kemudian, Kakak menelepon Ayah. Meminta Ayah untuk menjemputnya, sementara ia sendiri memanggil taksi untuk mengantar kekasih hatinya. Aku sedih sekali karena tidak bisa menjalankan tugasku dengan baik.

Hari itu, mobil derek, yang omong-omong namanya juga Derek—sok kebule-bulean sekali, ya?!— menjemputku dari tengah jalan raya. Aku terpaksa menginap di bengkel selama beberapa hari. Tugas mengantar Adik ke sekolah pun digantikan oleh Kakak dan si Juki.

Di usiaku yang sudah sepuh ini, Ayah masih setia menggunakan jasaku. Setiap pagi Ayah akan menyabuniku dengan sabun khusus mobil lalu memeriksa mesin-mesinku.

Namun, akhir-akhir ini baik Ayah dan keluarganya tidak pernah lagi jalan-jalan. Bahkan si Juki pun jarang diajak keluar ke pasar bersama Ibu. Kakak dan Adik juga tidak lagi ke sekolah, mereka semua di rumah! Ada apa, ya?

Sesekali Ayah menggunakanku ketika pergi ke kantor. Beliau menyalakan siaran radio, tepat ke bagian berita. Wah, rupanya ada penyakit baru yang bernama Covid-19 dan kini menjadi pandemi sehingga Ayah dan keluarganya jadi nyaris tidak pernah keluar rumah. Ayah tampak sedih, belakangan ini Ayah juga tidak lagi menyanyikan lagu dangdut kesukaannya.

Di jalan raya, aku sering menyapa mobil-mobil lain. Lili si mobil polisi yang lebih sering parkir di depan kantor polisi, kini juga ikut parkir di tepi jalan. Banyak polisi berlalu lalang yang memeriksa kelengkapan berkas pengemudi kendaraan.

Yang paling sering kulihat di jalan raya saat ini adalah si Alan, mobil ambulans. Alan sering menyapa ketika dia berhenti di sebelahku saat tidak sedang membawa pasien. Namun, Alan pun sibuk sejak penyakit yang disebabkan oleh virus corona itu membuatnya bolak-balik ke rumah sakit.

Tanggal 17 Juni 2021, Ayah masuk rumah sakit karena tertular dari teman kantornya saat WFO. Kakak dan Ibu membawa Ayah ke rumah sakit bersamaku. Keadaan Ayah tiba-tiba memburuk setelah sempat demam dan meriang beberapa hari lalu, batuknya terdengar berat dan tidak kunjung berhenti, Ibu, Adik, dan Kakak pun tetap memakai masker walaupun berada di dalam rumah.

"Otto! Ayo, Otto!" Kakak berseru ketika men-starter mesinku, memaksaku untuk menyala dan meraung kencang. "Ayo, Bu!" Menggunakan masker yang didobel dengan masker kain, Kakak dan Ibu mengantar Ayah ke rumah sakit sementara Adik menunggu di rumah.

Di hari Sabtu ini, jalanan ramai sekali. Kakak memencet klaksonku berulang kali, sementara aku berteriak agar diberikan jalan oleh mobil-mobil lain. Situasi Sabtu ini berbeda dengan saat ketika pandemi baru pertama kali muncul, jalanan yang dulunya lenggang kembali ramai dan macet seperti pandemi telah berakhir.

Beberapa pesepeda motor dan pesepeda balap berada di tengah jalanan yang ditujukan untuk mobil.

"Minggir! Ayo, minggir!" Aku membunyikan klaksonku, meminta mereka menyingkir dari jalanan agar aku bisa melaju cepat dan membawa Ayah ke rumah sakit.

Pada akhirnya, Kakak berhasil menyetir mobil hingga sampai di rumah sakit terdekat. Kakak memarkirkanku di parkiran dekat UGD lalu terburu-buru Kakak dan Ibu membopong Ayah ke UGD sementara aku menunggu.

Selama aku di parkiran, aku melihat banyak mobil yang berlalu lalang, salah satunya si Alan, mobil ambulans yang bekerja keras membawa pasien kritis ke rumah sakit.

"Hai, Otto!" Alan menyapaku.

"Hai, Alan! Kamu kelihatannya sibuk sekali akhir-akhir ini."

"Iya, nih. Pak Joko, lengkap dengan pakaian hazmat-nya, membawaku ke mana-mana. Sayangnya, jalanan ramai sekali dan mobil-mobil lain sulit memberikan jalan. Seringnya kita tidak bisa tiba lebih cepat ke rumah sakit atau rumah warga yang membutuhkan bantuan." Alan menghela napas keras. "Akhir-akhir ini, pasien semakin bertambah. Jadi, banyak yang membutuhkan jasaku."

Benar saja, seperti kata Alan, tidak lama kemudian ada mobil ambulans lain yang membawa pasien, sementara Alan pun tidak bisa menemaniku berbincang lebih lama karena Pak Joko, supir yang membawa Alan, harus menjemput pasien lain.

Aku menatap pintu UGD, tampak Kakak dan Ibu tengah berbincang. Mereka tidak bisa masuk lebih jauh menemani Ayah, ada manusia-manusia lain berpakaian hazmat yang mengambil alih Ayah. Ibu terlihat lelah, sementara Kakak mengelus punggung Ibu. Semoga saja Ayah cepat sembuh.

Tak dapat berbuat banyak dan karena ruang isolasi hanya terbatas untuk pasien positif dan kritis, Kakak dan Ibu pun beranjak pulang.

Hari demi hari berlalu, tidak ada Ayah yang mencuci dan mengelap kacaku di pagi hari. Kakak, Ibu, dan Adik pun melakukan isolasi mandiri di rumah, mereka menghindari keluar rumah dan bertemu orang-orang. Aku sedih sekali karena rumah tampak sepi tanpa senda gurau Ayah dan keluarganya.

Tanggal 20 Juni 2021, tepat pada Hari Ayah, Ayah telah tiada. Kakak, Ibu, dan Adik tidak bisa melihat Ayah untuk terakhir kalinya secara langsung, menggunakan video call yang disambungkan oleh suster di rumah sakit, keluarga menyampaikan salam perpisahan untuk Ayah.

Kakak, Adik, dan Ibu sedih sekali, aku juga sedih karena tidak ada lagi yang memandikanku setiap pagi atau memutar lagu dangdut dengan suara kencang. Si Juki pun turut sedih hingga mogok berhari-hari.

Ah, seandainya saja teman sekantor Ayah tidak terkena Covid-19, seandainya saja aku bisa berlari lebih cepat membawa Ayah ke rumah sakit, seandainya saja mobil-mobil di jalanan itu tetap di rumah mereka masing-masing, mungkin saja Ayah masih akan ada saat ini.

Aku tidak bisa mengubah keadaan saat ini, tetapi aku berharap mobil-mobil lain tetap di rumah mereka masing-masing dan tidak jalan-jalan terlebih dahulu agar pandemi ini segera berakhir.

Hari demi hari berlalu, Ibu, Kakak, dan Adik tidak lagi memakai masker di dalam rumah, pelan-pelan mereka berusaha bangkit setelah kepergian Ayah. Sesekali aku masih mogok di jalan karena bukan Ayah yang memanasi mesinku ataupun memandikanku. Gantian Kakak dan Adik memandikanku di pagi hari lalu membawaku sesekali berjalan-jalan ke kota lengkap dengan masker dan protokol kesehatan yang ketat untuk memanaskan mesinku tak jauh dari kompleks perumahan. Tanpa Ayah, mobil tidak seseru biasanya, tidak ada yang menyanyikan lagu dangdut dengan suara keras ataupun melemparkan candaan yang membuat Kakak dan Adik mengerutkan kening berpikir keras sebelum akhirnya mengerti apa maknanya.

Sementara itu Alan dan Pak Joko serta mobil-mobil ambulans lainnya masih bekerja keras berusaha memerangi virus corona ini. Sering kali Kakak menekan klaksonku setiap kali mereka lewat sebagai tanda kasih atas segala jasa Alan dan Pak Joko di masa pandemi ini.

Aku tidak tahu kapan Covid-19 akan berlalu, tetapi melihat mobil-mobil tidak lagi sebanyak saat Kakak mengantar Ayah ke rumah sakit, aku berharap manusia-manusia pun mulai sadar bila pandemi dapat lebih mudah diatasi bila semua tetap di rumah dan jaga jarak.

Catatan Penulis:

Nama Otto terinspirasi dari ayah saya yang seringkali menyebut mobil dengan panggilan Oto. Cerita ini terinspirasi dari mobil-mobil yang sering terlihat di jalan ketika pandemi ini masih ada bahkan meningkat jumlahnya. 

Otto si Mobil Kesayangan Ayah adalah cerita untuk merayakan Hari Anak dan Hari Ayah yang jatuh di bulan Juni. Tepat ketika saya tengah menulisnya, angka kasus Covid-19 tengah melambung naik di Indonesia. 

Semoga teman-teman Otto bisa tetap di rumah, agar Alan si mobil ambulans, Lili si mobil polisi, dan mobil-mobil penting lainnya tidak kesulitan bekerja di tengah pandemi ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top