MERRIE SI KUCING PELIT
Ditulis oleh fateflying
Di sebuah rumah keluarga seorang petani timun yang makmur. Mereka memelihara kucing dan kelinci yang dirawat oleh sosok anak perempuan lembut dan cantik bernama Marsha. Merrie, si kucing betina menyukai namanya yang sangat bagus dan manis. Tidak seperti temannya, si kelinci yang diberikan nama Kici.
Hanya Merrie yang bisa menjadi tempat mengeluh kelinci jantan yang lebih suka memiliki nama Ricky itu. "Aku yakin nama Ricky lebih keren dibandingkan Kici!" keluh Kici setiap kali teringat namanya yang jelek dan tak disukai olehnya. Walaupun begitu, di lain waktu dia akan lupa pada kejengkelannya.
Mereka hidup berdampingan hanya memiliki satu sama lain untuk menjadi kawan bermain dan berbicara. Selalu disayangi, dirawat, dan dibersihkan. Merrie si kucing cantik yang sedikit sombong, memiliki bulu putih bersih pada bagian kaki dan perut, sedangkan dari buntut, punggung hingga ke wajah bulunya berwarna abu-abu tua. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk tidur daripada bermain. Di tengah tidurnya, Merrie akan segera bangun saat mengendus aroma makanan, seperti saat ini dia mencium aroma wangi ayam goreng. Begitu melihat Marsha yang berjalan cepat menuju ke arah depan rumah, dia menyusul dengan berlari cepat-cepat amat penasaran.
Saat tiba di pintu, Merrie melihat Marsha memberikan potongan ayam itu kepada kucing jalanan yang jelek, kurus, bulunya kotor, dan mukanya menyedihkan—seakan-akan tengah memohon-mohon pemberian. Merrie tahu kucing jelek itu sedang meminta makanan dan dia menjaga matanya tertuju pada makanan yang dibawa oleh Marsha. Kemunculan Merrie bagai menimbulkan hawa persaingan yang tak diinginkan.
Merrie mendengkus kesal, jatah makanan yang bisa diberikan kepadanya malah dibuang-buang untuk kucing jalanan. Dia bersiap mau menyerobot potongan daging ayam yang diletakkan Marsha pada tempat makanan. Namun, belum sempat merebut dan membawa kabur potongan ayam itu, tubuhnya sudah ditarik lalu digendong oleh Marsha. Perempuan itu menasihati dengan suara lembut yang dibuat sok imutnya. Merrie hanya bisa pasrah saat mendengar suara Marsha yang berbicara akan memberikan makanan kemasan khusus untuknya.
Sebelum Marsha kembali dari mengambil makanan di gudang penyimpanan, Merrie kembali ke halaman depan dengan gerakan gagah. Wajahnya sombong terangkat tinggi-tinggi, sorotnya menampilkan kekesalan saat mendapati kucing jalanan itu sudah menyelesaikan makanannya dan memberikan tatapan waswas.
"Gara-gara ada kamu, makanan itu tidak diberikan padaku! Pergi sana, jangan datang ke sini lagi merebut makananku!" maki Merrie pada si kucing berwarna putih kumal yang warnanya nyaris menyamakan bercak oren di ujung kepalanya sendiri. Jika tidak dilihat seksama, kucing itu terlihat seperti kucing berwarna oren muda sepenuhnya, bukan percampuran.
"Apa aku tidak boleh menerima sedikit makanan? Bukankah makananmu sudah banyak dan terjamin diberikan oleh gadis baik itu?" tanya si kucing jalanan dengan suara lirih dan mata sendu.
"Ini rumahku. Daerahku. Kamu mengambil jatah yang harusnya adalah milikku! Cepat pergi!!!" Merrie mulai marah membuat geraman dan bulu-bulu serta buntutnya menegak menyeramkan. Kucing jalanan itu pun segera pergi berlari cepat-cepat.
Kemudian Merrie dipanggil oleh Marsha dengan suara merdu untuk masuk ke rumah dan menikmati makanannya, Marsha juga mengelusi badan Merrie yang empuk, hangat, dan dilapisi bulu-bulu yang lembut.
"Miaw!"
***
Setiap hari Merrie dan Kici hanya bisa melihat segalanya dari halaman depan rumah. Menyaksikan binatang-binatang lain diajak para pemiliknya bekerja ke kebun, sawah, atau hutan. Terkadang dari mencuri dengar cerita para binatang yang baru kembali, mereka dapat bermain di kebun, sungai, atau parit-parit.
Merrie dan Kici sering mendengar cerita dari Marsha dan Pak Beni, mereka semakin penasaran pada tempat-tempat yang kerap kali didatangi oleh para teman binatangnya. Mereka mengharapkan kebebasan karena hanya bisa mengintip dunia luar. Iri pada binatang lain yang bisa melihat keindahan dan bermain bersama-sama dengan yang lainnya.
Merrie iri melihat burung yang berseru ramai di angkasa saat terbang. Para gerombolan kambing, sapi, dan kerbau yang bercerita satu sama lain tentang pengalaman dilepas di lapangan untuk makan rumput, lalu bebek yang berkata betapa segarnya air parit dan sungai yang mengalir, terlebih untuk mandi. Rasanya seakan hanya Merrie dan Kici yang tidak tahu bagaimana suasana selain di halaman rumah Marsha dan tak pernah melihat pemandangan langit yang menakjubkan tanpa penghalang pepohonan.
Rasanya bagai ada kabar baik saat Marsha berceloteh tentang kontes binatang yang diadakan di kantor desa setempat. Kici dan Merrie sangat antusias menguping Marsha yang berbincang dengan para temannya, bahkan orang tuanya. Ini salah satu cara agar mereka dibawa keluar rumah. Merrie sangat bahagia saat membayangkan dirinya akan melihat lingkungan luar.
Beberapa hari Merrie bersikap kelewat manja pada Marsha agar disayang-sayang dan dibawa pergi. Sayang sekali, hari itu hanya Kici yang dimandikan sampai putih kinclong. Kandang untuk membawa Kici pergi juga sudah dibersihkan dari beberapa hari lalu. Merrie iri dan cemburu karena hanya Kici yang akan dibawa ke kantor desa. Selama beberapa jam dia menunggu Kici dan Marsha kembali dengan amat gelisah dan sedih di atas kain keset depan pintu rumah. Merrie selalu menahan kantuknya agar tidak tertidur.
Sekembalinya Kici ke rumah, dia tersenyum dengan sombong karena merasa ditunggu dan dia berniat membuat Merrie semakin iri sekaligus penasaran.
"Kamu dari mana saja?" Nada suara Merrie meninggi.
"Marsha menyuruhku lari-lari bersaing dengan para kelinci lainnya," tutur Kici usai Marsha memasukkannya ke dalam kandang yang biasa ditempatinya.
"Lalu? Kamu menang?" Merrie menatap penasaran. "Bukankah langkah larimu pendek sekali?"
"Tidak, tapi itu bukan masalah." Kici tertawa menggoda.
"Payah. Marsha sangat bodoh membawamu untuk berkompetisi. Larimu, kan, lelet. Andai aku yang dibawa ke sana pasti bisa menang!" seru Merrie berapi-api.
Seketika Kici tertawa terpingkal. "Kamu tahu alasan kenapa dirimu tak dibawa? Pantas saja kamu tidak diajak pergi ke sana. Kucing-kucing yang dibawa ke sana sangat cantik-cantik, bulunya lebat, halus, dan matanya berwarna-warni. Sangat lucu dengan pita dan baju cantik. Tak ada yang seperti kamu. Aku baru tahu bahwa bangsamu ada yang secantik itu."
Merrie menggeram kesal, dia memang hanya kucing betina domestik berwarna gelap pada bagian atas tubuhnya, yang beruntung dipelihara oleh manusia sehingga kini terawat bersih dan gemuk. Kalau tidak dirawat Marsha, dia akan sama saja seperti kucing jalanan lainnya. Dia iri pada Kici yang jantan, tetapi sangat lucu dan indah. Bulu putihnya panjang dan halus. Matanya berwarna merah.
Kici bercerita, "Lapangan itu luas sekali untuk melihat langit yang luas. Aku bisa melihat gunung yang indah walau dari jauh dan ada tempat yang rindang namanya hutan. Aku melihat para kambing, sapi, dan kerbau bergerak bebas di padang rumput sedang makan, sementara majikan mereka bekerja memotong dan mengumpulkan makanan mereka."
Merrie langsung membayangkannya, bagaimana rasanya bisa berjalan-jalan di luar dengan bebas seperti binatang lainnya?
"Kamu mau pergi keluar? Ayo, kita buat suatu rencana!" pekik Kici tiba-tiba dengan penuh semangat dan matanya berbinar memberikan harapan cerah untuk Merrie.
"Kamu bisa melakukannya?" Kucing itu tersenyum meremehkan.
Merrie menjadi amat yakin kala Kici menyipitkan matanya dengan mimik serius. "Kita buktikan! Ikuti saja rencanaku!"
***
Suatu hari Merrie dan Kici mengatur rencana, ingin kabur saat Marsha lengah. Merrie diperintah Kici untuk membuat gaduh suasana rumah. Dengan sengaja Merrie melompat naik ke atas meja makan dan saat melihat piring kecil yang berisikan sisa makanan, dia menendang dengan kaki belakangnya hingga piring-piring itu terjatuh.
Untuk sesaat Merrie ikut terlonjak saat mendengar suara pecahannya yang begitu nyaring. Dia segera melompat untuk mencari posisi aman agar jauh dari lokasi pecahan piring yang berserakan.
"Merrie!" Suara teriakan Marsha menggelegar dari pintu depan saat berpapasan dengannya.
Berakting ketakutan, Merrie segera berlari cepat-cepat ke halaman samping, pergi menuju kandang Kici. Setibanya di sana, dia segera berusaha membuka pintu kandang Kici dengan tangan bulatnya.
Pintu berhasil dibuka, Kici segera meloncat keluar dan tersenyum bangga, matanya bersinar-sinar licik. "Ayo, kita segera pergi selagi Marsha masih mengomel dan dimarahi oleh Bu Lyly!" ajak kelinci itu sembari berusaha berjalan cepat.
Merrie melangkah riang mengikuti Kici, bahkan berhasil melampaui langkah lompatan Kici yang pendek. Keduanya berjalan beriringan melewati pagar rumah yang beruntungnya kini sedang terbuka, kalau saja pagarnya tertutup maka hanya Merrie yang akan mampu melompati pagar tinggi itu.
Inilah kali pertama Merrie melihat indahnya dunia luar. Kebebasan di lingkungan yang luas. Dia merasa bagai burung yang terbang di langit dan bagai bebek, kambing, dan sapi yang tak pernah hidup bosan karena terkurung terlalu lama di kandang. Kici juga merasakan hal yang sama. Sesungguhnya dia bosan sekali karena paling sering berada di dalam kandang, sedangkan Merrie bisa bebas bergerak bahkan masuk ke dalam kamar Marsha.
Sudah lama berjalan-jalan, Merrie dan Kici menyatu dengan dua ekor kambing dan satu ekor sapi yang sedang diikat pada pohon di kebun, dijaga oleh sosok manusia yang sedang bekerja memotong rumput. Merrie dan Kici menatap takjub pada asap yang membumbung tinggi akibat pembakaran sisa-sisa rumput dan sampah.
"Kalian sedang apa di sini wahai para anak kecil?" Sosok sapi menatap Merrie dan Kici dari atas. Keberadaan mereka disadari oleh makhluk lain.
"Main. Melihat-lihat saja. Kami bosan di rumah," jawab Kici.
"Berhati-hatilah!"
Namun, saat sedang bermain di padang rumput dekat hutan, ada teriakan panik yang mengejutkan semua yang mendengarnya.
"Ada kebakaran!" Teriakan itu berasal dari para kambing dan sapi yang sedang dibuka tali ikatannya, mereka akan dibawa pergi oleh para majikan masing-masing yang ketakutan.
Merrie dan Kici terkejut bukan main saat melihat ada kobaran api tinggi yang membakar salah satu tumpukan sampah dan sedang berusaha dipadamkan oleh seorang manusia. Hawa panasnya terasa menyergap, mereka membayangkan bagaimana jika mereka sampai dilalap api tanpa ada pertolongan manusia.
Teriakan para kambing dan sapi serta kepanikan seorang manusia yang akan membawa para hewan itu pergi membuat Merrie dan Kici lari kocar-kacir tanpa peduli arah. Mereka takut terbakar oleh api. Tanpa tahu jika kebakaran kecil itu sudah berusaha dipadamkan.
Terlalu jauh pergi dari kebun mengakibatkan mereka lupa jalan kembali. Ketika pergi ke sebuah saung dekat ladang jagung. Mereka lapar ingin mencari makanan, tetapi diusir oleh binatang lain, seekor burung gagak. Mereka lantas pergi ke sebuah rumah di tepi hutan, tetapi kembali diusir lagi. Saat menemukan kebun petani wortel. Kici berhasil menyelinap dan memakan wortel di sana.
Merrie memintanya agar tidak mencuri. "Jangan makan yang bukan milikmu!"
Kici melirik kesal. "Kalau ada ayam atau ikan goreng, kamu juga pasti akan mencurinya. Kalau lapar masuk saja ke dalam rumah itu dan carilah sesuatu."
Merrie hanya bisa iri dan kesal. Dia tak bisa makan wortel yang masih utuh. Biasanya Marsha akan mencampurkan wortel dengan daging ayam untuk pakannya. Nekat karena sudah sangat kelaparan, dia pun masuk ke rumah itu, tetapi perasaan takut hinggap di hatinya, dia ragu akan berhasil mengambil makanan. Merrie mencoba mengintip dengan harapan ada manusia baik seperti Marsha, yang akan menyukainya dan memberinya makan. Dia mengendap pelan-pelan masuk ke rumah saat mencium aroma ikan goreng yang menggoda hidungnya. Kala sudah berada di dalam, tiba-tiba muncul sosok manusia yang langsung menghardiknya.
"Husssss! Pergi!!!" serunya keras membuat Merrie lari kencang ketika dikejar oleh manusia yang membawa sapu kayu.
"Pergi! Jangan maling makanan!" pekik sosok wanita itu dengan amat seramnya.
Merrie berlari kencang ke halaman depan, membuat Kici yang ketahuan mencuri ikut berlari menghindar, padahal dia sedang asyik menikmati wortelnya. Karena larinya jauh lebih cepat, Merrie kini menunggu kemunculan Kici di tepi hutan.
Kelinci itu marah pada Merrie. "Kamu membuatku jadi terkena imbas ikut dikejar, padahal aku sedang asyik menikmati makanan!"
"Rasakan itu! Kamu enak sendiri, sedangkan aku harus kesusahan tak dapat makanan!" balas Merrie menatap sinis, matanya menyorotkan kekesalan.
Mereka masih berdebat panjang di tepi hutan, sampai tiba-tiba ada suara mesin penebang pohon yang sangat keras dan mengejutkan Merrie. Kucing itu merasa asing dan ketakutan mendengar suara keras yang membuatnya seketika panik karena merasa nyawanya terancam. Merrie sangat ketakutan. Tanpa peduli apa pun, kucing panik itu berlari kencang, bahkan meninggalkan Kici. Kelinci itu sangat lambat, pikirnya. Dia terus berlari tak tentu arah hingga akhirnya jatuh terpeleset ke dalam kubangan air hujan, kini tubuhnya basah dan kotor.
Terpisah. Merrie tersesat. Di sisi kanan dan kirinya yang ada hanyalah pepohonan tinggi dan beberapa batang yang tumbang. Dia mengamati sekitar dengan gelisah dan menunduk lesu. Telinganya bergerak untuk berusaha mengenali suara-suara asing.
Beberapa puluh langkah saat masuk semakin dalam ke hutan, ada kucing hitam muncul menghardiknya, "Kucing baru, ya! Aku tak pernah melihatmu! Ini bukan daerahmu, ini daerahku! Pergi sana! Kalau tidak, kamu akan bertemu anjing dan babi. Kamu mau dimakan sama mereka?"
Merrie tahu dari televisi, binatang bernama anjing sangatlah galak dan mampu bergerak cepat. Giginya yang tajam mampu mengoyak. Merrie makin mengkeret takut membayangkan dirinya akan dimakan oleh anjing. Dia berjalan berbalik arah sambil mengendus aroma. Sampai hari mulai gelap, tak kunjung juga dia sampai di rumah Marsha.
Di tengah perjalanannya Merrie melihat seekor anjing muncul dari tengah hutan, dari balik pohon-pohon tinggi itu. Merrie bersembunyi di balik batang pohon tumbang yang sudah sangat lapuk, bersembunyi dengan ketakutan sambil menahan bau tubuhnya karena basah dan kotor. Sampai akhirnya anjing itu pergi menjauh bersama sekelompok manusia menyerukan kalimat, "Ada Babi di sana!"
Lega berhasil sembunyi, Merrie keluar dari tempatnya bersembunyi. Namun, itu tidak serta merta membuatnya aman, Merrie dihadang oleh seekor kucing oren yang langsung mengibarkan permusuhan. Kucing oren itu menyerangnya dengan cakaran hingga lengan Merrie terluka, berdarah, dan terasa perih. Merrie ingin membalas, tetapi setiap ingin mengeluarkan cakarnya, selalu saja kucing oren itu bergerak lebih ganas. Merrie hanya bisa berusaha berteriak dengan suara keras dan berlari menghindar sekencang-kencangnya. Ternyata yang melukainya justru bangsa sesamanya.
"Perih, lenganku terluka dan berdarah." Merrie menahan tangis, merintih menatap suasana sekitar yang semakin asing dan menyeramkan. Langit sudah semakin gelap.
***
Merrie semakin lapar dengan perutnya yang terus berbunyi. Dia hanya bisa minum dari air sisa hujan yang tertampung pada kubangan. Dia lemas tak mampu menemukan jalan sampai hari benar-benar sudah gelap. Tanpa cahaya, dalam kesunyian, kedinginan, kelaparan, dan juga haus mendambakan air bersih. Tempat baru yang dia datangi tak lagi memiliki sisa-sisa air hujan. Lukanya terasa semakin sakit. Sambil merenungi, dia menyesali perbuatannya. Andai saja dia tidak pergi keluar dari rumah, dia juga sangat merindukan Marsha.
Kucing itu mencari tempat yang aman, tidur bersembunyi di atas dahan pohon. Hanya suara jangkrik dan burung hantu yang menemaninya. Terkadang ada suara kodok dan tokek saling bersahutan.
Waktu berjalan cepat, di pagi hari si kucing hitam membangunkannya. Merrie bisa bangun, tetapi kesulitan untuk turun. Si hitam memaksanya turun dengan menyusul naik ke atas dan mendorong Merrie untuk melompat ke tanah. Si hitam memberikan informasi yang beredar di kalangan para binatang, khususnya dari kelompok kucing yang mengatakan bahwa ada seekor kucing bernama Merrie yang sedang hilang dan diminta untuk cepat pulang. Pemiliknya yang bernama Marsha sedang mencarinya.
"Jika kamu bertemu dengan binatang lain, tolong katakan bahwa kucing bernama Merrie sedang dicari oleh Marsha!" titah si kucing hitam itu.
"Merrie itu aku! Oh, Marsha! Cepat temukan aku di sini," ratap Merrie dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah aku duga, kamu adalah kucing yang dicari. Kenalkan, aku Black. Kamu terluka?"
"Diserang kucing oren. Aku benci padanya!" geram Merrie.
"Dia memang musuh semua kucing di sini. Tukang bikin keributan."
"Oh ya, apa kamu bertemu dengan Kelinci bernama Kici?"
"Tidak. Marsha hanya menyebut nama Merrie," jawab Black.
Merrie akhirnya mengaku, "Aku tak tahu jalan pulang kembali ke rumah Marsha." Nada suaranya penuh penyesalan dan lirih. Dia menahan diri untuk tidak menangis.
"Mari aku antarkan ke kawanan kucing pinggir hutan, di sana asal beritamu tadi beredar. Pasti semakin dekat dengan Marsha."
Black mengarahkan jalan menuju keluar hutan, sampai Merrie akhirnya melihat kebun pertama yang dia kunjungi bersama Kici. Sayangnya, dia tak ingat jalan menuju rumah Marsha. Black kemudian menitipkan Merrie agar dijaga oleh kucing lainnya, yang rupanya sosok kucing jalanan jelek yang sering dihina olehnya. Kucing dengan warna putih dan oren di bagian kepala yang dulu dia benci.
"Marsha memberiku nama Abi. Kau pasti sudah tidak asing denganku!" pekik Abi, wajahnya sudah tak semenyedihkan waktu itu. "Mari aku antar ke rumah gadis baik itu!" ajaknya.
Merrie menjadi malu karena diperlakukan baik dan dibantu oleh kucing yang dulu dia benci, usir, dan marahi. Merrie mengikuti Abi dari belakang dengan penuh rasa bersalah. Dalam perjalanan mereka, Merrie akhirnya mengatakan sesuatu.
"Maaf, aku pernah mengusirmu. Kamu tidak marah dan dendam? Kenapa mau membantuku?" tanya Merrie menatap dengan mata berkaca-kaca sedih, hampir menangis.
"Kalau kamu hilang selamanya, gadis itu akan sedih sekali. Aku sangat menyayanginya. Aku merasa cukup dengan pemberiannya, tak pernah iri padamu." Abi membuat Merrie semakin kagum dan terpana.
Merrie merasa malu. Baru juga sehari dia menjadi kucing liar, dia sudah nekat mencuri makanan, tetapi Abi bahkan tak pernah masuk ke rumah Marsha. Hanya menunggu manis di halaman menanti makanan sisa.
Perjalanan itu terasa begitu jauh dan daerah itu masih asing untuknya. Namun, tiba-tiba dia mendengar pekikan lantang. Marsha sudah berada di dekatnya dan meneriakkan namanya, gadis itu langsung menggendong dan tanpa ragu memeluk kucingnya yang kini jelek, kotor, dan bau itu.
"Jelek dan bau sekali! Kamu pergi ke mana saja?" omel Marsha sambil mengendus tubuh Merrie, sedangkan kucing itu ingin menangis terharu. "Kamu terluka Merrie. Terima kasih Abi sudah kembali bersama Merrie!"
Sembari digendong Marsha, Merrie melihat ke arah Abi yang sedang menyenggolkan punggungnya pada betis kaki Marsha lalu mengeong.
"Kamu takut karena habis memecahkan piring, ya, Merrie? Jangan kabur lagi." Marsha semakin memeluk Merrie dengan amat erat.
Merrie memandang gadis itu dengan tatapan berkaca-kaca. Dia merasa bersalah atas segala perbuatannya. Dia amat beruntung disayangi oleh Marsha.
"Terima kasih, aku pulang dulu!" seru Merrie pada Abi.
"Jangan pergi jauh lagi!" balas Abi.
"Datanglah ke rumah Marsha kapan pun. Aku akan menunggu kamu datang bermain!" seru Merrie.
Di rumah, Merrie melihat Kici sudah berada di kandang memakan wortel. Ternyata Kici ditemukan lebih cepat karena kaburnya tak jauh. Usai dimandikan, Merrie menyambangi kandang Kici. "Kapan kamu kembali ke sini? Kamu sudah sempat makan wortel dan kembalinya cepat sekali!"
Kici mengomel, "Kenapa kamu lari kencang sekali hanya karena takut suara keras?" Kici juga ketakutan, tetapi kakinya yang pendek tak bisa membuatnya pergi terlalu jauh. Dia tak bisa menyusul Merrie yang berlari kencang sekali.
"Dasar lelet!" ledek Merrie.
"Kamu jadi nyasar dan sengsara saat pergi jauh. Rasakan itu kucing bodoh." Kici tertawa nyaring.
Merrie merasa sedih dan langsung tertunduk lesu, tubuhnya kini berbaring di lantai.
"Hei ... kok, lesu? Kamu sedih? Maaf, aku hanya bercanda." Kici seketika panik dan berubah serius.
"Maafkan aku yang meninggalkanmu karena sangat ketakutan, Kici." Merrie memandangi Kici dengan tatapan bersalah.
"Tak apa-apa kalau memang kekuatanmu lebih besar dibanding aku. Maafkan aku juga yang selalu membuatmu sedih." Kici tersenyum hangat, tidak menyebalkan dan sinis seperti biasanya.
Keduanya kini berbaikan, tetap menjadi teman bermain dan berbicara. Merrie sangat menyayangi Kici yang mungil. Merrie seketika teringat akan satu hal yang tak pernah dia lakukan, yaitu bersyukur.
Dia tak mau membuat Marsha bersedih lagi karena dirinya yang hilang dan terluka. Merrie jadi harus membuat Marsha mengurus luka-lukanya dan membawanya ke dokter hewan di kota untuk mengecek kesehatannya.
Merrie berjanji tak akan nakal lagi pada Marsha, apalagi sampai merepotkan dan membuat rumah berantakan. Meskipun mengurus Merrie itu merepotkan, Marsha tak pernah marah dan mengeluh.
Lain hari Merrie tak akan marah lagi jika kucing jalanan yang bernama Abi itu main ke rumah Marsha dan dia berjanji akan berbagi makanannya. Kini Merrie bahkan sering mengintip di pintu menunggu kedatangan Abi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top