MENGENAL SEBELUM MEMULAI
Ditulis oleh Alleennn
"Andai kata memang waktu adalah jawabannya, apa benar? Pada akhirnya, bahagia bisa ditemukan?"
Pertanyaan itu kembali berputar di kepala seorang anak berkepribadian melankolis, dengan tubuh dibalut penuh kepingan es. Sebuah pertanyaan semu, yang sebab semakin sering munculnya, kini telah menjelma bagai teman sejatinya.
Jika ada yang ingin tahu, mengapa sebuah pertanyaan bisa dijadikan seorang teman baginya, jawabannya adalah, karena dia tidak dikelilingi oleh siapa pun selain kesendirian. Harinya diselimuti kesepian.
Namanya Shiver, pemilik jiwa yang sulit untuk berkembang karena sewaktu kecil, anak-anak di sekitarnya enggan membawanya jalan.
Katanya, Shiver terlalu dingin, tidak menyenangkan, cenderung membosankan, kaku, sehingga tidak cocok dengan kelompok mereka. Melalui ucapan yang kian menyakiti hati tersebut, Shiver jadi paham kehadirannya tidak diterima.
Oleh karena itu, ketika waktunya hadir di saat anak-anak berkumpul untuk bermain di tengah hamparan ilalang kuning, Shiver hanya memangku lututnya erat di bawah pohon rindang demi menutupi keberadaannya. Duduk, mengamati tiap gelak tawa yang terpancar di antara anak-anak yang sibuk bercengkerama bersama, namun ia tidak ikut meramaikannya.
Demi sebuah alasan yang sesulit itu untuk ia petik, Shiver menyimpulkan jika ia bergabung, kebahagiaan yang terpancar di depannya akan serempak menghilang begitu saja. Presensinya seburuk itu dalam menghancurkan suasana. Anak-anak membenci dirinya. Wajar ia perlu menghilang.
Satu-satunya hal yang biasa ia lakukan untuk menghibur diri ketika itu terjadi adalah, Shiver akan membayangkan sebuah skema dalam benak di mana dirinya turut berlari mengitari ilalang kuning dengan senyum terbaiknya. Membaringkan tubuh, sejajar lurus di atas rerumputan, sedang tangannya digerakkan melayang seakan ia tengah bermain kejar-kejaran.
Nahas, ketika ia tersadar bahwa imaji hanyalah gambaran semu yang sulit menjadi nyata, Shiver biasanya akan segera pulang ke rumah dan menangis seharian. Iya, bayangannya tidaklah nyata. Begitu seterusnya, hari demi hari, hingga waktu memakan usianya tanpa memancarkan kebahagiaan.
Lantaran kehidupan Shiver sangatlah muram, di suatu malam seorang nenek sihir datang mengunjungi kediamannya. Sesumbar dengan tongkat kayu yang ujungnya memercik cahaya gelap menakutkan, Nenek Sihir itu berkata, "Kau terlalu menyedihkan Shiver! Anak-anak seumurmu, seharusnya hidup bahagia dalam masanya. Jika kau tidak segera merasakan itu, maaf, maka setiap air mata yang menggenang jatuh dari pelupukmu, akan menjelma bagai es batu yang semakin lama ia beku, ia dapat membunuh jiwamu."
Kala itu, Shiver tidak melawan. Ia secara sukarela menerima kutukan tersebut. Namun, selepas semua mantra habis diucapkan, Shiver mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Nenek Sihir terdiam menimbang jawaban.
"Jika memang hidupku menyedihkan dan begitu berbeda dari yang lainnya, apa yang mungkin sebenarnya hilang dalam diriku ini?" kata Shiver berani mendongakkan kepalanya menghadap Nenek Sihir. Matanya yang kelam tidak menyorotkan sedikit pun ketakutan, Shiver hanya ingin mendengar sebuah alasan. "Apa waktu bisa menjadi jawabannya? Banyak orang bertaruh pada waktu untuk mengubah nasib buruk. Apa itu juga berlaku untukku?"
"Itu merupakan sesuatu yang perlu kau temukan sendiri, Shiver. Barangkali, waktu bisa jadi musuh terbesarmu. Ingat, kutukan ini mengikat jiwamu bersamanya." Melalui kalimat terakhir itu, bayangan Nenek Sihir pun hilang bagai debu yang begitu mudahnya diterpa udara malam.
Hari itu, adalah hari pertama di mana air mata Shiver yang biasa datang menemani kesendirian, berubah selayaknya musuh yang tidak segan mengikis usianya.
Bertahun-tahun pun cepat berlalu semenjak kejadian tersebut. Kabar Shiver masih tidak baik-baik saja. Tubuhnya semakin berat menopang padatan es akibat tumpahan air mata sementara ia belum bisa menemukan bahagianya.
Selama itu pula, Shiver belum lagi keluar rumah. Ia takut, rasa sepi yang menyelimuti akibat sakitnya sebuah penolakan akan membuat air matanya turun deras memadati tubuh. Jadilah, untuk mengingat bentuk rupanya sebuah canda tawa yang begitu ia dambakan, Shiver mencurinya dengan cara mengintip ke luar jendela yang mengarah tepat ke hamparan ilalang kuning tempat anak-anak biasa berkumpul. Pecahan tangisnya tidak akan seburuk ketika ia melihatnya langsung dari jarak yang lebih dekat.
Kutukan yang dimilikinya saat ini, mungkin hanya memberinya kesempatan satu kali seumur hidup untuk dipatahkan. Pilihannya hanya ada dua, Shiver bisa memperpanjang hidupnya dengan terus membekukan diri di dalam rumah sampai nanti waktunya tiba, atau Shiver bisa pergi mengangkat kakinya ke luar sana, dengan catatan, jiwanya menjadi taruhan atas rasa sakit dalam perjalanan mencari kebahagiaan.
Demikian, tepat pada hari ini, Shiver memutuskan untuk mengambil risiko kesempatan satu kali seumur hidupnya.
Shiver menarik napas panjang. Ia bergegas menarik daun pintu dengan jantung menggebu-gebu, siap kembali memasuki dunianya yang nyata. Hilir embusan angin yang menderu, menjadi sobat pertama yang menyambut kedatangannya. Kupu-kupu pun beterbangan, daun-daun jatuh bebas berkeliaran, Shiver rindu semua tentang dunia luar yang memberinya kehangatan.
Tak lama kemudian, anomali sekejap berubah. Tiba-tiba, cerahnya cuaca yang dikibarkan mentari, mendadak dingin akibat kehadiran Shiver. Shiver memeluk dirinya dengan erat. Berharap apa? Alam pun menghindari sebuah kutukan. Namun, Shiver sudah terlanjur keluar, tidak mungkin ia kembali masuk ke dalam.
Berbekal kutukan Nenek Sihir yang sangatlah ingin ia patahkan, Shiver tetap menapakkan kakinya maju menuju hamparan ilalang kuning. Ia tidak mau menerima nasib buruknya begitu saja. Shiver ingin mengakhirinya sekarang juga.
Sesampainya di tempat tujuan tempat anak-anak biasa berkumpul, Shiver mendapati kolam kebahagiaannya terpancar dari sana. Mungkin, selama waktu telah berjalan, mereka telah berubah. Barangkali di masa kini, Shiver akan diterima.
"Hai, boleh aku ikut bergabung?" batin Shiver berucap. Belum benar-benar diucapkan, melainkan masih sebatas angan-angan di kepala.
Meski begitu, keberadaan Shiver tetaplah kentara. Kumpulan pasang mata berbalik menghadap Shiver. Shiver terpaku. Ada rasa sakit yang ia tidak mengerti, hadirnya selalu muncul di dalam sana. Tatapan yang diterimanya saat ini, bukanlah tatapan yang menyenangkan. Shiver tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Jelek sekali? Siapa manusia es batu itu?"
"Aku tidak menyukainya."
"Dia sangat berbeda dari kita semua."
"Kutukan Nenek Sihir? Dia pasti melakukan sesuatu yang sangat buruk!"
"Menyusahkan! Lebih baik pergi saja!"
"Iya, pergi yang jauh sekalian!"
Mendengar banyaknya untaian kata yang menyusun kalimat penuh lara, Shiver menggenggam kedua tangannya erat. Ia tidak membalas. Sebaliknya, ia menuruti permintaan mereka semua. Bedanya, kali ini ia tidak kembali ke rumah. Ia benar-benar pergi jauh sekali melewati perbatasan kampung halamannya.
"Aku tidak akan pernah bisa bahagia," ucap Shiver di sela-sela pelariannya. Kutukan tentu tidak mengingkari janji. Tubuhnya tidak mampu lagi menahan padatnya kepingan es yang meninggi. Air mata Shiver terus bercucuran, rasa sakit itu tidak bisa ia lupakan.
"Sampai di sini." Pada akhirnya, Shiver tidak bisa melanjutkan perjalanan. Ia menggigil berat. Terjatuh begitu saja di tengah hamparan salju entah sejauh mana ia telah berkelana.
Di penghujung sisa-sisa waktu terakhirnya, Shiver mendongakkan kepala mengamati bola air berbentuk kapas yang melayang di udara. Shiver pikir, setidaknya jika ia menghilang hari ini, cukuplah keberadaannya ditemani kerumunan salju berwarna putih.
"Hei! Kau tidak apa-apa?"
Shiver tersentak. Ada seseorang yang berusaha menopangnya dari belakang.
"Kau bisa mati jika menyerah di sini. Ayo, ikut aku!" ujarnya menggendong Shiver secara sukarela.
Shiver terperanjat. "Kenapa kau menolongku?" Sedikit rona kehangatan muncul dari dasar hatinya.
"Kenapa? Bukankah sudah seharusnya sebagai sesama makhluk hidup, kita perlu saling menolong?" jawabnya terhadap Shiver. "Apa yang kau lakukan di tengah badai salju seperti ini?"
"Aku sedang mencari seorang teman," balas Shiver kepada sang penyelamat.
"Teman?"
"Iya, teman. Aku butuh teman untuk saling berbagi kisah mengenai kebahagiaan."
Sang penyelamat termenung. Ia terus membawa Shiver menuju gubuk tempatnya tinggal. Sembari menyalakan api unggun dan memberi Shiver pakaian berjahit tebal, ia menyambung percakapan. "Aku bisa menjadi temanmu."
"Hm ... tapi kita adalah dua orang asing yang tidak saling mengenal."
"Kalau begitu, ayo, saling berkenalan." Sang penyelamat tersenyum.
"Kau tidak takut dengan penampilanku yang seperti ini?" Shiver memindai perawakannya yang tampak sangat kacau. "Di sisi lain, banyak yang bilang aku membosankan."
Sang penyelamat duduk mendekati Shiver. "Aku tidak percaya kata orang-orang. Sebagian besar dari mereka, hanya terpaku pada apa yang terlihat di luar. Buta sebelum menilik ke arah dalam." Ia mengucapkan hal tersebut dengan lugas. "Aku ingin memastikan, bahwa aku bukanlah salah satu dari orang-orang itu. Oleh karenanya, mari kita berteman. Aku yakin, kau pun tidak seburuk apa yang dibicarakan orang-orang."
Untuk pertama kalinya, Shiver menemukan sesosok manusia yang mau menerimanya begitu sempurna. Tak terasa, balok-balok es yang menutupi tubuhnya mulai mencair sebagaimana hatinya pun menghangat. Bukan dari panasnya api unggun, bukan juga dari pakaian berjahit tebal, melainkan berdasar atas kebaikan sang penyelamat.
"Baik, mari kita berteman." Shiver tersenyum ceria. "Akan kupastikan, aku tidak seburuk apa yang dibicarakan orang-orang."
Hari itu, sebuah kutukan kejam yang diberikan Nenek Sihir pun terangkat dari kelamnya jiwa Shiver. Selama terjadinya, Shiver telah banyak menderita sebab orang-orang enggan mengenalnya sebelum memulai. Bahagianya bergantung pada penilaian massa. Namun, berkat keajaiban sang penyelamat, Shiver percaya, waktu akan terus memberikan kesempatan untuknya menemukan seseorang yang tepat.
Shiver hanya perlu terus mencari. Pula memercayai, suatu saat nanti layaknya hari ini, akan ada masa di mana dunia kembali membagi hangatnya pertemanan yang turut menyertai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top