LEGENDA SITU AGENG

Ditulis oleh Sulizlovable

Ribuan tahun silam, di sebelah selatan kota Garut, terdapat desa bernama Desa Damai. Nama desa tersebut merepresentasikan keadaan di sana. Penduduknya ramah, mereka saling membantu, dan penuh toleransi. Mereka hidup tenteram dan penuh suka.

Desa Damai juga punya tanah yang subur sehingga mampu membantu para petani untuk menghasilkan banyak buah-buahan, sayuran, dan padi yang berkualitas. Sumber penghasilan terbesar penduduk Desa Damai adalah dari hasil panen dan karena hal itu, jumlah petani di desa tersebut cukup banyak. Biasanya mereka akan menjual hasil panen ke tengkulak untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Namun, semuanya berubah saat Juragan Ageng mulai menguasai laju perekonomian penduduk Desa Damai. Tubuhnya jangkung dengan tinggi 175 cm membuatnya tampak gagah dan berwibawa. Pakaian yang dikenakannya selalu yang terbagus dan termahal. Tak lupa, untuk menyempurnakan penampilannya, Juragan Ageng selalu memakai perhiasan di tubuhnya, seperti gelang dan cincin. Semuanya berbahan dasar emas murni.

Usai istrinya—Nyai Asri—meninggal, Juragan Ageng mengambil alih pekerjaan Nyai Asri sebagai tengkulak. Tidak seperti sang istri, Juragan Ageng menjadi tengkulak yang semena-mena. Padahal ia mempunyai banyak warisan dari istrinya yang kebetulan sudah tidak punya siapa-siapa termasuk anak. Kendati demikian, Juragan Ageng masih belum puas dengan harta yang ia miliki.

Tak hanya terkenal pelit, Juragan Ageng adalah orang yang sombong. Ia kerap kali memaksa para penduduk agar menjual hasil panen mereka kepadanya dengan harga yang sangat murah dan setelah persediaan hasil panen penduduk sudah habis, Juragan Ageng bisa memanfaatkannya. Ia membalik keadaan dengan cara menjualnya kepada mereka, dan mengambil keuntungan yang sangat besar. Juragan Ageng menjual dengan harga yang meroket tinggi.

Penduduk tidak bisa menolak dan hanya bisa pasrah. Tiap kali penduduk menolak menjual hasil panennya, Juragan Ageng akan menyuruh anak buahnya memukuli mereka. Penduduk Desa Damai memilih diam dan hidup sengsara daripada kehilangan salah satu anggota keluarga.

"Juragan, saya mohon naikkan lagi harga penjualan hasil panen saya. Kalau hanya segitu saya tidak bisa membeli keperluan rumah tangga lainnya."

"Ini sudah harga sepadan. Kau lihatlah itu sayuranmu, wortelnya saja tidak terlihat segar. Jangan-jangan sayuran ini sudah lama dipanen," tuduh Juragan Ageng sekenanya. Penduduk bernama Wawan itu mendesah pelan, peluh di dahinya seakan tidak bermakna di depan lawan bicaranya. Juragan Ageng hanya mencari alasan agar bisa menjual dengan harga rendah.

"Tidak, Juragan. Sayuran ini baru tadi pagi saya panen lalu saya bersihkan. Mana mungkin layu. Lihatlah ini, masih sangat segar, Juragan." Perlahan Wawan mengeluarkan sayuran tersebut agar Juragan Ageng melihatnya dengan benar.

"Baiklah, aku percaya. Jadi, apa kau masih mau menjualnya padaku? Kalau kau masih keberatan, tidak masalah. Kau juga yang akan rugi sendiri," ujar Juragan Ageng jemawa dan Wawan pun hanya bisa setuju dengan keputusan semena-mena Juragan Ageng.

Hari demi hari, kelakuan Juragan Ageng makin kikir dan sombong. Bukannya menolong dan memberikan sedikit saja harta yang dimilikinya kepada penduduk miskin, Juragan Ageng justru berfoya-foya dengan mengadakan pesta di rumahnya. Ia menghambur-hamburkan uang dengan membeli keperluan pesta, seperti baju-baju mahal dan makanan yang berlebihan.

Juragan Ageng juga mengundang beberapa biduan yang turut memeriahkan acara pestanya. Riuh rendah alunan musik menggema memenuhi telinga para penduduk sekitar. Tidak ada yang berani menghentikan kelakuan Juragan Ageng, meskipun mereka begitu terganggu karena malam makin larut. Juragan Ageng sungguh bersenang-senang di atas kesengsaraan penduduk Desa Damai.

Setiap ada yang meminta sedekah atau sekadar meminjam uang, Juragan Ageng tidak segan-segan mengusir mereka, bahkan mencaci makinya. Juragan Ageng bahkan tidak merasa bersalah sudah mengucapkan kata-kata menyakitkan kepada mereka.

"Ini harta milikku. Enak saja mereka tinggal minta dan pinjam. Kalau mau punya harta melimpah sepertiku, harusnya mereka kerja keras bukannya malah meminta-minta! Memangnya harta yang kupunya dari hasil memetik di pohon? Macam-macam saja permintaan mereka itu."

Begitulah omelan yang sering Juragan Ageng ucapkan ketika ada penduduk yang meminta bantuan darinya. Padahal di setiap pesta yang diadakannya, Juragan Ageng selalu memamerkan harta kekayaannya secara sombong kepada penduduk setempat. Tak ayal penduduk merasa sedih dengan polah orang terkaya di Desa Damai itu.

"Pak, persediaan beras kita makin menipis. Bahan makanan juga sudah habis. Bagaimana untuk makan besok?" tanya Ratna kepada suaminya, Wawan.

"Bapak juga bingung, Bu. Juragan Ageng menaikkan harga bahan makanan enam kali lipat. Dari mana kita punya uang sebanyak itu?" Wawan tampak lesu mengetahui fakta yang baru saja dibagikan penduduk lain kepadanya siang tadi.

"Kenapa Juragan Ageng begitu kejam, ya, Pak?" Wawan hanya bisa menggeleng pelan. Dalam hatinya, ia pun sependapat dengan sang istri.

"Kita berdoa saja, Bu, semoga Tuhan memberikan kita keringanan atas beban yang sedang kita pikul ini dan semoga Juragan Ageng dibukakan pintu hatinya agar bisa peduli kepada penduduk di desa ini."

"Iya, Pak, amin," Ratna berujar dengan raut wajah penuh belas.

Setiap hari penduduk Desa Damai makin bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan mereka juga menjual hasil panen kepada Juragan Ageng. Sebagai orang paling kaya di desa ini, Juragan Ageng merasa bangga karena mau tidak mau dan suka tidak suka, para penduduk akan datang kepadanya jika butuh uang dan bahan makanan.

Tiap harinya, Juragan Ageng sibuk memantau persediaan lumbung padi dan bahan makanan di kediamannya. Tak lupa, ia juga terus menghitung seberapa banyak harta kekayaannya, mulai dari uang dan perhiasan yang jumlahnya sudah sangat banyak. Juragan Ageng menyimpan semua hartanya di rumah megahnya, di sebuah kamar khusus. Ia juga menyewa pengawal terbaik agar tempat tinggal serta dirinya selalu aman dari orang jahat.

Musim hujan berganti musim kemarau berkepanjangan. Penduduk Desa Damai benar-benar dilanda kelaparan. Tumbuhan yang mereka tanam kekurangan curah air dan akhirnya mati. Kabar buruknya, para petani mengalami gagal panen. Dengan terpaksa, penduduk berbondong-bondong menjual harta yang mereka punya kepada Juragan Ageng. Meskipun dihargai dengan jumlah yang sangat murah, mereka tidak bisa menolak demi bertahan hidup.

Suatu hari, ada seorang perempuan paruh baya membawa anak dalam gendongannya datang ke rumah Juragan Ageng. Perempuan itu berniat meminta sedekah, atau sekadar air minum demi melepas dahaga. Namun, belum sempat memberikan alasannya meminta-minta, Juragan Ageng sudah mengusir perempuan itu diikuti makian ketus.

Tidak ada rasa iba sedikit pun di dalam hati Juragan Ageng.

"Juragan, saya mohon beri kami air minum. Kami sangat kehausan setelah berjalan jauh." Perempuan itu memohon dengan wajah lelah. Anak dalam gendongannya kini tengah menangis. Juragan sangat terganggu dengan tangisan anak perempuan itu. "Tolonglah, Juragan. Kasihan anak saya."

"Pergi kau dari rumahku, dasar pengemis jelek! Berani-beraninya kau menginjakkan kaki di rumahku. Gara-gara kau, rumahku jadi kotor dan bau," Juragan Ageng berteriak diliputi rasa jengkel tak berkesudahan. "Suara tangisan anakmu juga membuat telingaku sakit. Pergi sana!"

Perempuan itu menunduk lesu. Ia begitu iba dengan anak dalam gendongannya yang pasti sedang kelaparan dan kehausan. Meskipun ucapan Juragan Ageng melukai harga dirinya dan membuatnya sakit hati, ia tidak mampu menyangkal. Ia memang seorang pengemis.

Juragan Ageng yang makin terganggu langsung memanggil para pengawalnya untuk mengusir mereka dari rumahnya, dan perempuan itu pun pergi dengan tangan kosong. Perempuan itu sampai menahan sesak di dada saat melihat sang anak tidak berhenti menangis dalam gendongannya.

Beberapa hari setelah itu, Juragan Ageng kembali kedatangan pengemis. Kali ini pengemis tersebut datang di tengah pesta yang sedang Juragan Ageng adakan. Tentu saja hal itu membuat Juragan Ageng murka karena merasa pengemis itu sudah mengacaukan kebahagiaannya. Lagi dan lagi, Juragan Ageng berhasil mengusir pengemis berkat bantuan pengawalnya. Ia kaya dan berkuasa. Apa pun bisa dilakukannya dengan mudah.

Waktu berlalu, tetapi musim kemarau masih belum ingin pergi. Daun kering berguguran. Tanah makin gersang dan udara makin panas. Sebagian penduduk kekurangan air. Lantas, para penduduk di Desa Damai bahu-membahu saling membantu sebisa mungkin demi kelangsungan hidup mereka.

Ketika sedang berkumpul di lumbung padi, para penduduk desa kedatangan seorang kakek tua dengan membawa tongkat. Pakaiannya lusuh dengan wajah keriput. Tubuhnya ringkih, tetapi terlihat sangat berani pergi sendirian di desa ini.

"Di mana rumah orang yang paling kaya di desa ini?" si Kakek bertanya sembari memperhatikan para penduduk di depannya.

"Maksud Kakek, Juragan Ageng?" Si Kakek mengangguk pelan dan Ratna kembali berkata, "Di ujung jalan itu, ada pertigaan. Nanti Kakek belok kiri, ya. Rumahnya berwarna kuning gading, pasti Kakek tidak akan salah. Rumah Juragan Ageng paling besar di sana."

"Terima kasih," jawab si Kakek lalu kembali berjalan menuju rumah Juragan Ageng. Namun, sesaat Ratna menghentikan langkahnya.

"Kakek ada perlu apa pergi ke sana?" Raut khawatir tak luput dari wajah Ratna.

"Saya mau minta sedekah."

"Percuma, Kek. Kakek tidak akan mendapatkannya. Juragan Ageng sangat pelit."

"Saya akan mencobanya."

"Kalau Kakek mau makan, ke rumah saya saja, tapi makan dengan lauk seadanya. Apa Kakek mau?"

"Terima kasih banyak, tapi saya hanya ingin pergi ke rumah itu." Si Kakek masih bersikukuh. Meskipun khawatir, Ratna tidak bisa menghentikan niatan si Kakek yang terlihat pantang menyerah.

"Kalau begitu, terserah Kakek saja." Ratna hanya bisa berdoa, semoga saja si Kakek tidak sakit hati karena ditolak oleh Juragan Ageng.

Sebelum melanjutkan langkahnya, si Kakek berujar pada Ratna, "Tiga hari lagi akan ada bencana besar di desa ini. Kau harus memberi tahu seluruh penduduk untuk meninggalkan desa ini dan mencari tempat yang aman. Ingatlah kata-kataku ini!"

Kendati merasa aneh, Ratna tetap memercayai ucapan si Kakek. Setelahnya, Ratna langsung menyebarkan berita tersebut kepada penduduk desa. Mereka mulai berkemas dan pergi dengan keluarga masing-masing.

Sesampainya si Kakek di rumah Juragan Ageng, ia langsung memanggil pemilik rumah dengan mengetuk-ngetuk pintu menggunakan tongkat miliknya. Merasa kesal karena tidur siangnya terganggu, Juragan Ageng ke luar seraya memelotot tajam. Ia terkejut mendapati kedatangan kakek tua di depan rumahnya. Lusuh dan kotor, pikirnya.

"Siapa kau? Berani-beraninya pengemis tua dan lusuh sepertimu mengganggu tidur siangku!"

"Aku ingin meminta sedekah kepadamu," ujar si Kakek tanpa basa-basi.

Juragan Ageng tersenyum sinis lalu berkata, "Hah, sedekah? Enak saja minta-minta padaku. Kau hanya mengacaukan tidur siangku demi meminta sedekah. Di mana otakmu, wahai Kakek Tua?"

"Jadi, kau tidak akan memberiku sedekah, wahai Ageng?"

"Tentu saja tidak. Pergi sana, aku tidak akan memberikan apa pun kepadamu, bahkan setetes air. Jadi, jangan bermimpi!" Kakek tua itu langsung pergi tanpa mengucapkan apa pun lagi kepada Juragan Ageng. Kendati merasa aneh, Juragan Ageng tidak peduli. Ia justru senang dan berniat melanjutkan tidur siangnya.

Sementara itu, dalam perjalanan meninggalkan rumah Juragan Ageng, si Kakek tersenyum penuh arti.

Kehadiran kakek tua kemarin cukup mengganggu pikiran Juragan Ageng, ditambah ia menemukan sesuatu yang aneh di depan rumahnya.

Tongkat.

Juragan Ageng berusaha mengingat siapa yang datang dan berani menancapkan tongkat itu di depan rumahnya?

Juragan Ageng lalu memerintahkan para pengawalnya untuk mencabut tongkat tersebut, tetapi tidak ada yang berhasil. Setiap ada penduduk yang lewat, ia juga minta untuk mencabut tongkat tersebut, tetapi sama saja. Mereka gagal mencabutnya. Akhirnya, Juragan Ageng turun tangan. Dengan rasa kesal memuncak, Juragan Ageng menarik tongkat tersebut.

Hap.

Dengan sekali tarikan saja, tongkat itu berhasil dicabutnya.

"Begini saja kalian tidak bisa mencabutnya. Payah!" sindir Juragan Ageng kepada para pengawalnya. Selintas ia menyayangkan, kenapa tidak sejak awal ia mencabutnya sendiri?

Juragan Ageng lalu membuang tongkat itu ke sembarang tempat. Dan tiba-tiba saja air muncul dari lubang bekas cabutan tongkat tersebut.

Tak lama, si Kakek tua kembali mendatangi Juragan Ageng. Melihat kehadiran si Kakek, Juragan Ageng kesal lalu memaki-makinya, "Hei, Kakek Tua. Itu tongkat milikmu, kan? Ambil sana. Tongkatmu sudah mengotori halaman rumahku, bahkan ada air keluar dari sana."

"Itu hukuman untukmu, wahai Ageng. Air itu adalah bentuk kemarahan dan kesedihan para penduduk Desa Damai atas sikap kikir dan sombongmu. Maka, nikmatilah apa yang kau perbuat selama ini. Manusia akan menuai hasil dari apa yang mereka tanam di hidupnya. Baik dan buruknya."

Makin hari aliran air makin deras, Juragan Ageng mulai panik dan memerintahkan seluruh pengawalnya menyumbat aliran tersebut dengan apa pun. Mereka menutupnya dengan kain besar, tetapi gagal. Mereka juga menggali lubang besar di suatu tempat agar air hanya mengalir ke sana, tetapi tetap saja gagal.

Air itu makin besar alirannya dan sulit untuk dihentikan. Bahkan kini setengah rumah Juragan Ageng sudah terendam air. Pengawal pun tidak bisa berbuat apa-apa. Melihat situasi seperti itu, para pengawal justru segera berkemas untuk meninggalkan Desa Damai beserta keluarga mereka, tak terkecuali para penduduk. Mereka sudah mulai pindah ke desa seberang demi menyelamatkan diri.

"Hei, mau ke mana kalian?" teriak Juragan Ageng yang masih berada di rumahnya.

"Kami akan pergi ke desa seberang, Juragan. Ayo, Juragan, kita harus menyelamatkan diri. Air sudah makin tinggi."

"Tidak. Aku akan tetap di sini menjaga hartaku dari orang-orang miskin."

"Baiklah kalau itu kemauan Juragan."

Luapan air makin tinggi, tetapi itu tak membuat Juragan Ageng meninggalkan rumahnya. Ia bersikukuh ingin tetap tinggal bersama kekayaannya. Sampai akhirnya, Juragan Ageng ikut tenggelam bersama hartanya.

Catatan Penulis:

Semoga pesan yang aku tulis di dalam cerita ini bisa sampai ke hati pembaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top