DUNIA MIMPI
Ditulis oleh Isarsta
Nadia memeluk tubuh Rara lama. "Selamat, ya, Ra, kamu akhirnya lulus sebagai siswa terbaik dan dapat beasiswa di kampus impian kamu. Aku senang, sih, mimpi kamu tercapai, tapi sedih juga karena kita bakal berpisah," ujar gadis itu dengan ekspresi sedih.
Rara membalas pelukan Nadia lalu menepuk-nepuk punggungnya. "Ih, cengeng, deh, kamu, Nad. Kan, kita bisa tetap berkirim pesan atau melakukan panggilan video. Lagi pula, nanti setiap liburan aku juga pulang."
Nadia mengangkat jari kelingkingnya. "Janji, ya?"
Rara mengangguk lalu menautkan kelingkingnya dengan kelingking Nadia. "Iya, janji Nadnad!" Kemudian mereka tertawa bersama.
Rara dan Nadia kemudian saling bernostalgia tentang masa lalu sambil sesekali tertawa. Dulu mereka hanyalah bocah ingusan yang suka menangis sembari berebut boneka, tapi sekarang mereka sudah dewasa. Sudah lulus sekolah dan Rara akan kuliah di luar negeri.
Nadia mengambil Bubu, si boneka beruang yang pintar mendongeng. Dulu waktu kecil Bubu sudah seperti ibu pengganti bagi Rara karena Mama terlalu sibuk di kantor.
"Eh, Ra, nanti kalau kamu kuliah ke Negeri Panda, Bubu kesepian di sini, dong, ya?" kata Nadia sambil menyalakan tombol on di punggung Bubu dan boneka beruang itu otomatis mendongeng tentang Maling Kundang.
Rara memandang Bubu cukup lama, sebelum mengalihkan pandangannya menatap bonekanya yang lain; Sisy si penyihir cilik yang cerdas, Bibi si boneka cantik yang bisa mengubah bentuk benda, Henry si pangeran pemberani, dan terakhir Toro si boneka monyet yang cerdik. Mereka berlima adalah teman Rara saat Rara kecil kesepian.
Namun, waktu terus berjalan dan Rara semakin sibuk sehingga tak bisa bermain bersama mereka lagi. Rara paling hanya menyapa mainan kesayangannya itu saat debu mulai menempel di tubuh Bubu dan yang lainnya untuk dibersihkan.
Rara menutup matanya. "Ya, gimana lagi, Nad? Kan, aku enggak mungkin bawa mereka semua ke China. Paling nanti jadi pajangan di ruang tamu, terus sesekali dibersihin sama Mbak Lala."
Setelah mengatakan itu Rara seperti tersedot ke dalam kegelapan yang sangat pekat. Tubuhnya seakan masuk ke dalam lubang yang sangat dalam dan tak berujung. Hingga saat ia bangun, kini ia tengah duduk bersama Sisy, Toro, Henry, dan Bibi. Mereka semua tengah mendengarkan Bubu yang sedang berdongeng tentang si Kancil dan Buaya.
Entah bagaimana, Rara kembali ke masa lalu. Saat gadis itu berumur 5 tahun. Waktu itu Mama dan Papa tidak pulang karena ada pekerjaan di luar kota. Rara kecil yang kesepian hanya bisa mendengar Bubu mendongeng hingga larut malam.
Bocah itu mendesah saat Bubu menyebutkan kata tamat di akhir cerita. Ini sudah cerita ketiga Bubu yang ia dengar, tapi mata kecilnya belum mau terpejam. Ia mengangkat Bubu, lalu mendudukkan boneka beruang itu di tengah-tengah Bibi dan Henry.
"Pasti seru, deh, kalau kalian berlima bisa ngomong. Aku pasti enggak kesepian lagi," oceh Rara cemberut.
Toro bangkit dari duduknya. "Kita emang bisa ngomong, kok, Ra," kata Toro yang sontak membuat Rara terlonjak kaget dan turun dari ranjangnya.
Pangeran Henry yang pemberani menghunus pedang plastiknya ke leher Toro. "Tor, kan, kita udah sepakat enggak bikin Rara kaget. Kamu malah ngajakin Rara ngomong tiba-tiba. Dasar monyet ceroboh! Lihat Rara jadi takut, kan!" seru Henry.
"Enak aja kamu panggil aku monyet ceroboh! Ngaca, dong, Hen! Kamu itu bukan pangeran pemberani, tapi pangeran penakut!" ejek Toro lalu boneka monyet itu menatap mata Rara. "Ra, Henry itu enggak sepemberani yang kamu kira tau. Dia takut gelap. Makanya kalau kamu matiin lampu, Henry bakal pucet terus minta dipeluk sama Bubu."
Wajah Henry tampak memerah. "Punya rasa takut itu wajar tau, Tor. Enggak ada makhluk yang sempurna. Iya, kan, Ra?" Kali ini Henry menatap Rara. Sedangkan Rara hanya diam tak bergerak. Bocah lima tahun itu masih sangat terkejut. Semua mainan kesayangannya yang dia kira tak bernyawa, kini dapat berbicara. Apa ia sedang bermimpi?
Bubu bangkit dari duduknya dan menengahi pertengkaran Toro dan Henry. "Eh, kok, kalian malah berantem sih, Tor, Hen? Liat tuh Rara jadi takut. Ra, kamu takut, ya?" tanya Bubu pada Rara.
Rara mengerjapkan matanya. Bibir mungilnya terbuka. Masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Gadis lima tahun itu mengucek matanya dua kali sebelum mulai berbicara, "Aku enggak takut, Bu. Cuma ini mimpi, ya?"
Kali ini Bibi yang bicara, "Kamu enggak mimpi, kok, Ra. Kami beneran ngomong sama kamu sekarang," ujarnya seraya tersenyum anggun.
"Tapi gimana bisa?"
"Ra, kadang sesuatu enggak harus ada jawabannya sekarang. Kalau kamu emang penasaran, mau ikut kami berpetualang?" tanya Bubu.
"Berpetualang ke mana, Bu? Aku mau! Aku mau! Apa bakal seseru petualangan Peterpan sama Alice yang sering kamu ceritain?" tanya Rara antusias. Seolah melupakan fakta jika mainannya baru saja berbicara. Ya, begitulah bocah lima tahun, begitu mudah teralihkan. Bubu tersenyum misterius. "Tentu. Dijamin kamu bakal suka, Ra, tapi Sisy enggak bakal bisa nerbangin kamu kalau kamu segede itu. Kamu harus kecil dulu seukuran kami," jelas boneka beruang pendongeng itu.
Rara memindai tubuhnya sendiri dari atas sampai bawah. "Eh, tapi gimana caranya tubuhku jadi kecil, Bu?"
Bibi menggerakkan jari telunjuknya. "Hoho ... kamu lupa, ya, Ra, kalau aku bisa mengubah bentuk sesuatu?"
Rara kembali antusias. "Oh, iya! Bi, kamu, kan, punya kemampuan mengubah bentuk. Ayo, ubah aku, Bi! Ubah aku!"
Rara naik ke tempat tidur, merentangkan kedua tangannya, dan menutup kedua mata. Bibi lantas menggoyangkan jari telunjuknya, membaca mantra, dan boom! Rara berubah menjadi manusia kerdil.
Tubuh Rara kini seukuran dengan Toro dan yang lainnya.
Rara menatap takjub ke sekeliling. Semua tampak begitu besar dan tinggi. Kipas angin di samping ranjangnya sudah seperti raksasa!
"Wah, semuanya jadi gede banget, Bu! Apa ini yang dirasain Alice pas jadi manusia kerdil?"
"Tentu, Alice juga ngerasa takjub kayak kamu sekarang. Udah siap terbang ke dunia mimpi, Ra?"
"Siap banget, Bu! Eh, tapi gimana caranya aku bisa terbang? Aku, kan, enggak punya sayap," ujar Rara kecewa.
Sisy maju seraya mengacungkan tongkat tinggi-tinggi. "Tenang, Ra ... kan, ada aku. Si penyihir cilik yang cerdas," ujar Sisy sombong.
Sisy mengatur semua teman-temannya termasuk Rara dalam satu baris lalu penyihir cilik itu menggoyangkan tongkatnya. "Abakadabra puspuspuspus! Terbang!" seru Sisy seraya tersenyum sombong.
Rara dan yang lain memang terbang. Namun, baru terbang satu meter tubuh mereka kembali terhempas ke kasur. Mencipta suara debum dan rintihan sakit yang khas.
"Uwah!" teriak mereka bersamaan.
"Sy, kamu pasti salah mantra lagi, kan!" protes Toro. "Ra, gara-gara kamu puji-puji Sisy sebagai penyihir cilik yang cerdas dia jadi sombong banget tau. Padahal suka lupa ngucap mantra dengan benar," adu Toro.
Sisy meringis. "Iya, maaf-maaf. Kali ini aku ngucapinnya bener, deh. Maaf, ya, Ra? Ada yang sakit enggak?"
"Enggak ada, kok, Sy. Inget, ya, kamu itu penyihir cilik yang cerdas. Bukan penyihir cilik yang sombong. Kalau mantra terbang, pus-nya tiga kali. Jangan lupa ngitung. Kan, udah aku kasih tau," nasihat Rara.
Harusnya Sisy ingat karena penyihir itu yang selalu menemani Rara belajar matematika bareng Mbak Lala.
"Iya, Ra, maaf aku lupa. Sekarang aku bakal ngitung pus-nya dengan benar dan enggak bakal sombong lagi."
Sisy berkonsentrasi sebelum menggoyangkan tongkatnya. "Abakadabra puspuspus! Terbang!" Kali ini sihir Sisy berhasil. Rara dan kelima mainannya terbang melewati jendela. Namun, bedanya jendela itu seperti pintu ke mana saja milik Doraemon karena sekarang Rara terbang di atas taman penuh bunga, bukan halaman rumahnya yang ada kolam ikan.
Mata gadis lima tahun itu menatap hamparan bunga dengan kagum. Ia seperti ada di negeri dongeng. Rara terbang sambil tertawa riang. Memutar tubuhnya di udara dan berbaring di bunga-bunga raksasa.
Ia juga berbicara dengan nona kupu-kupu lalu memetik bunga dandelion. Bubu dan yang lain juga memetik bunga dandelion lalu menerbangkannya tinggi-tinggi. Membuat bunga itu terbang dibawa angin. Itu tampak sangat indah.
Rara juga terbang bersama tuan merpati. Lomba balap panjat pohon dengan tuan tupai dan mencicipi madu milik nona lebah. Petualangan di dunia mimpi ini sangat menyenangkan. Toro, Bubu, Bibi, Sisy, dan pangeran Henry juga bersenang-senang.
Hingga akhirnya mereka berenam singgah di sebuah rumah kayu yang hangat. Aroma kue jahe menguar dan musik khas anak-anak diputar. Rara dan kelima mainannya masuk ke dalam sebuah rak kaca. Di sini Rara berubah menjadi mainan. Gadis cilik itu tak lagi terbang dan bersenang-senang. Kini ia hanya duduk kaku di dalam rak tanpa bisa menggerakkan tubuhnya.
Rara berusaha memanggil-manggil Bubu dan yang lain. Namun, semua mainannya juga hanya diam. Semua seolah tak lagi bernyawa. Rara sangat kesepian. Hanya terpajang di rak rasanya sangat membosankan. Gadis itu seperti terpenjara. Ia ingin terus bermain.
Hingga akhirnya sekitar sepuluh anak kecil masuk ke dalam rumah lalu mengambil mainan yang ada di rak. Rumah yang sepi ini kembali terasa hidup. Rara rasanya kembali mendapat kesenangannya.
"Lang, cepetan pencet tombol di punggungnya Bubu! Aku pengin dengerin kisah Keong Mas!" seru anak kecil berkepang dua.
Gilang menuruti perintah Liana. Bocah itu memencet tombol on dan Bubu mulai bercerita dengan semangat. Rara dapat melihat itu.
Sisy juga sedang dimainkan oleh dua orang anak. Penyihir cilik itu tampak antusias saat seorang anak menyuruhnya menghafalkan mantra mengubah suatu benda menjadi kodok. Sisy memang dapat menirukan suara orang. Penyihir cilik cerdas itu tampak belajar dengan sungguh-sungguh.
Toro dan pangeran Henry juga sedang bertarung. Seorang anak memegang Toro dan seorang anak memegang pangeran Henry. Toro begitu semangat melawan Henry dengan ekor saktinya, sedangkan Henry menggunakan pedangnya dengan lihai. Mereka berdua memang musuh bebuyutan sejati.
Sedangkan Rara dan Bibi kini tengah didandani. Rambut Rara dikepang ke samping seperti princess Elsa. Sedangkan Bibi dikepang dua seperti Anna. Lalu kedua anak yang memainkan Rara mengganti baju Rara dengan gaun yang sangat cantik. Mereka menyanyikan lagu Do You Want to Build a Snowman dengan agak cadel. Mereka berdua menuntun Rara dan Bibi menari lalu berputar di udara. Rara sangat senang. Gadis kecil itu tak berhenti tersenyum lebar. Jadi, begini rasanya bahagia saat sebuah mainan dimainkan?
Lonceng berbunyi tiga kali. Menandakan semua anak harus kembali ke kamar masing-masing karena hari sudah pagi. Semua anak pergi meninggalkan rumah dunia mimpi. Namun, sebelum pergi, mereka kembali mengatur semua mainan ke rak. Mengembalikannya ke posisi semula.
Rumah hangat dengan aroma kue jahe ini kembali terasa hening. Rara kembali kesepian. Diam duduk di dalam rak rasanya tidak enak. Sebagai mainan, ia ingin terus dimainkan. Ia ingin terus membuat semua anak tertawa dan bahagia. Ia ingin menemani mereka yang kesepian. Karena hanya anak-anak kesepian yang bisa masuk ke dunia mimpi.
Sisy lompat dari dalam rak. Diikuti oleh Bubu dan yang lainnya. Rara juga ikut turun. "Gimana, Ra, rasanya pergi ke dunia mimpi dan jadi mainan? Seru enggak?" tanya Bubu.
"Seru banget, Bu! Aku suka jadi mainan dan bisa dimainkan anak-anak, tapi aku enggak suka terus-terusan di rak. Enggak enak cuma jadi pajangan," ujar gadis lima tahun itu sedih.
Bubu hanya mengangguk mengerti lalu boneka pendongeng itu melirik ke arah Sisy. Seperti mengerti kode Bubu, Sisy langsung maju ke depan.
Sisy membenarkan topi lancip khas penyihirnya. "Ra, aku tau di sini menyenangkan, tapi sekarang waktunya pulang! Kalian siap-siap, ya. Kali ini aku pake sihir teleportasi. Hoho! Mungkin kalian bakal sedikit mual."
"Sy, kali ini bener-bener, ya, bilang mantranya! Jangan sampe salah lagi!" ujar Toro memperingatkan.
Sisy mengangguk. "Iya, Tor, ini aku konsentrasi, kok! Siap-siap, ya! Abrakadabra puspus! Pulang!"
Rara mengucek matanya dua kali sebelum membuka mata. Wajah gadis cilik itu tampak muram. Saat ini Bubu dan yang lain sudah tidak dapat berbicara. Semua sudah kembali seperti semula. Namun, petualangan Rara rasanya begitu nyata. Entah itu hanya mimpi atau memang keajaiban yang datang sesekali.
Rara masih merasakan senang luar biasa saat bisa terbang dan berbicara dengan berbagai hewan. Gadis itu juga senang saat menjadi mainan dan dimainkan oleh anak-anak. Ia senang bernyanyi, rambutnya dikepang, dan menari di udara.
Namun, Rara juga sangat sedih. Ia begitu sedih saat di dunia mimpi ia hanya dijadikan pajangan. Rasanya hampa saat tidak ada yang memainkan.
Rara kecil memeluk Bubu. "Bu, apa kamu dan yang lainnya juga kesepian kalau cuma dipajang di rak? Aku janji bakal mainin kalian terus. Enggak bakal bikin kalian semua kesepian," janji Rara kecil dengan polosnya.
Lalu bocah cilik itu kembali menutup matanya. Kali ini rasanya ia seperti disedot ke lubang tanpa dasar. Begitu dalam, begitu gelap, seperti tiada akhir.
Hingga akhirnya ia membuka mata, dekorasi kamarnya sudah berbeda. Bukan lagi serba pink seperti saat ia berumur lima tahun. Dekorasinya kamarnya kali ini berwarna putih gading.
"Ra, udah bangun kamu? Diajakin ngobrol, kok, malah ketiduran," protes Nadia. "Makan malam dulu, yuk! Ibu tadi udah manggil-manggil!"
"Nad," panggil Rara sebelum Nadia membuka pintu.
"Apa?" tanya gadis itu.
"Besok temenin aku ke panti asuhan, ya!"
"Eh, ngapain?"
"Nyumbangin mainan," ujar Rara seraya tersenyum pada Bubu dan entah Rara yang gila atau apa, ia juga dapat melihat Bubu balas tersenyum.
Mimpinya tadi sangat nyata. Dunia mimpi itu sangat nyata. Kebahagiaan itu sangat nyata. Rasa kosong itu juga sangat nyata. Mungkin, Rara berumur lima tahun benar-benar pergi ke dunia ajaib seperti Alice. Rara dewasa hanya perlu meyakininya.
Dan besok ia akan menepati janjinya pada Bubu. Ia tidak akan membuat Bubu dan yang lainnya kesepian karena hanya menjadi pajangan di rak. Rara akan menyumbangkan semua mainannya ke panti asuhan.
"Lho, kok, tiba-tiba, Ra? Katanya mau dipajang aja tadi."
Rara tersenyum lagi pada Bubu.
Bu, terima kasih karena udah jadi temanku dari kecil.
"Aku berubah pikiran. Udahlah, Nad. Ayo, kita makan! Lapar, kan?"
Besok Rara bisa pergi dengan tenang karena semua mainannya bakal ada yang merawat, yaitu anak-anak kesepian yang datang ke dunia mimpi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top