Bab 6 Hanya Iba atau Ada Rasa?

Jika kita tidak bisa menghapus air mata seseorang
Setidaknya berusahalah untuk tidak menjadi
Penyebab kesedihannya

****

Adhara tidak henti-hentinya tersenyum, bahkan saat ia sudah memasuki rumahnya. Ia benar-benar tidak menyangka akan mengalami kejadian yang sejujurnya menyenangkan baginya. Terlebih perlakuan Aditya yang ternyata cukup manis bagi Adhara. Ia tidak akan menyangka Aditya menolongnya dan membuat jantungnya berdetak makin kencang saat ini. Sepertinya ia akan tidur nyenyak malam ini.

“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang!” teriak seseorang yang berhasil mengejutkannya. Namun, Adhara segera mengontrol dirinya dan bersikap senormal mungkin.

“Sejak kapan kamu suka keluyuran? Sejak kapan kamu menjadi anak tidak tahu aturan dan lupa jam pulang? Jawab! Dari mana kamu?!” bentaknya sembari melempar buku yang semula ada di genggamannya.

“Main.” Singkat, benar-benar jawaban singkat yang gadis itu berikan. Hal itu tentu makin membuat laki-laki paruh baya di depannya melebarkan mata, rahangnya mengeras dan wajahnya memerah.

“Mau jadi apa kamu? Kamu ini anak perempuan! Harusnya kamu belajar seperti Ocis, belajar untuk ujian dan nilai di sekolah! Mau jadi apa kamu, hah?!”

“Yang pasti bukan kaya, Papa. Mengkhianati pasangannya dan menghancurkan hidup anaknya—“

Plak!

Untuk kedua kali, nyeri itu kini terasa menjalar di wajahnya. Lebih panas dari sebelumnya, telapak tangan itu lebih bertenaga dan lebih keras melukis sebuah ruam di pipinya. Gadis itu hanya menunduk, bukan karena takut akan amukkan papanya, bukan karena merasa bersalah atas apa yang telah ia katakan barusan. Tidak sama sekali. Papanya berhak mendapatkan itu. Ia menunduk berusaha agar emosinya reda, ia takut melakukan hal yang lebih jauh dari ini.

"Papa membesarkan kamu bukan untuk menjadi anak pembangkang! Sejak kapan kamu berani melawan Papa!" Emosi yang begitu besar masih tergambar jelas dari sorot matanya yang memerah dan melotot.

"Yang ngegedein Adhara itu Mama! Kerjaan Papa cuma selingkuh sama perempuan kotor itu!"

"ADHARA!" bentaknya sembari menarik kerah baju Adhara.

“Kenapa, Pa? Papa marah sama Adhara? Kenapa nggak sekalian bunuh aja Adhara? Biar sakitnya nggak setengah-setengah! Biar Adhara langsung mati!” Rahang Adhara mengeras mengimbangi emosi papanya.

“Kamu mau mati? Kamu mau lebih sakit dari ini? Oke! Sini, ikut saya!” Adhara tersentak saat papanya mencengkram tangannya lalu melempar Adhara begitu saja, hingga  kepalanya membentur ujung sofa.

Laki-laki itu tiba-tiba melepas sabuk yang semula melekat manis di pinggangnya. Rahangnya mengeras, urat-urat di wajahnya begitu menegang, ditambah warna kemerahan yang menghiasi wajah paruh baya-nya itu. Tangannya sudah siap melayangkan sabuk itu untuk mencambuk Adhara. Namun, Adhara justru tidak terlihat takut sedikit pun.

“Mau nyiksa Adhara, Pa? Silakan, Pa.” Adhara malah memutar posisinya dan membelakangi papanya. “Ayo pukul!"

Tanpa ragu, tangan itu melayangkan sabuk hitam tepat di punggung Adhara. Satu kali ... dua kali ... tiga kali ... Adhara hanya terduduk di lantai dan mencengkram ujung sofa. Berulang kali tubuhnya terangkat, dan bibirnya digigit kuat-kuat agar ia tidak menangis. Keringat mulai bercucuran dari mulai dahi hingga sekujur tubuhnya. Sabuk hitam legam itu seakan menari-nari di kulitnya, meninggalkan bekas merah di sekujur tubuhnya. Rasanya untuk merangkak pun ia tidak mampu, tetapi Adhara sama sekali tidak meminta ayahnya untuk berhenti. Mereka tidak tahu, ada satu pasang mata yang sedari tadi menyaksikkan dan hanya bisa membekap mulutnya tanpa berani melerai keduanya. Matanya tidak berhenti menurunkan hujan.

“Ini akan buat kamu kapok—“

“Papa!” Ia sudah tidak tahan dengan adegan yang membuat sekujur tubuhnya menegang, membuat kaki-kakinya gemetar. Gadis berambut pirang itu berlari dari arah tangga dan memeluk Adhara yang terduduk lemas di lantai. “Berhenti, Pa. Ocis mohon ....”

“Jangan ikut campur kamu, Ocis! Kakak kamu pantas diberi hukuman, biar dia nggak jadi anak yang liar!”

“Kenapa Papa berubah? Kenapa Papa selingkuh? Apa benar yang dibilang Kak Adhara, Pa? Papa nggak pernah sejahat ini, Papa nggak pernah sekasar ini!” Ocis makin terisak dan terus memeluk Adhara yang hanya menunduk pasrah. Kelihatannya ia menahan nyeri akibat dari cambukkan papanya tadi.

“Bagus kalau kamu sudah dengar semuanya, jadi Papa nggak perlu kasih tahu kamu lagi. Itu akan mempermudah Papa memperkenalkan kalian berdua dengan calon Mama kalian.” Tanpa rasa bersalah sedikitpun, laki-laki paruh baya dengan kemeja biru dan celana hitam itu pergi meninggalkan keduanya.

Dengan mata yang memerah dan tangis yang makin pecah, Ocis membantu Adhara untuk berdiri. Rasanya hatinya benar-benar patah, dibuat rapuh berkali-kali. “Kenapa, Kak? Kenapa rahasiain ini dari aku? Kenapa!” Ocis mengguncang-guncangkan tubuh Adhara, yang sedari tadi hanya bergeming dan tak bersuara. “Jawab, Kak!”

“Maaf ....” Hanya itu kata-kata yang terlontar dari mulut Adhara. Adhara hanya menunduk lemas, sesekali ia meringis karena pegangan Ocis yang membuat nyeri itu makin terasa.

“Ocis kecewa, Kak.” Ucapannya mampu membuat dada Adhara merasa sesak luar biasa, Ocis mulai berjalan menjauh dan meninggalkannya. Tak kuasa melihat kekecewaan Ocis Adhara berusaha berjalan mengejar Ocis---meskipun dengan langkah tertatih.

“Gue cuma nggak mau lo hancur ...,” lirinya pelan, tetapi masih bisa didengar Ocis. Namun, itu tidak membuat Ocis menoleh sedikitpun. Gadis berambut pirang itu hanya berhenti sejenak dengan tangis yang tak mampu ia bendung.

“Tapi pada akhirnya Ocis juga hancur, ‘kan? Satu-satunya orang yang Ocis percaya justru menutupinya,” ucapnya sembari terus berjalan tanpa mau melihat wajah Adhara. Meninggalkan Adhara yang bergeming menahan perih di hati sekaligus tubuhnya. Luka cambukkan itu tidak sebanding dengan luka di hatinya.

“Maaf ... maafin gue, Ocis.”

Adhara perlahan berjalan dengan tangis yang mulai berjatuhan. Langkahnya yang tertatih, dan sekujur tubuhnya yang gemetar ia paksa untuk terus menaiki anak tangga. Perih, sakit, nyeri, sesak, lagi dan lagi itu yang ia terima dan ia rasakan.

Adhara menghela napasnya lega saat sudah sampai di depan kamarnya. Perlahan tangannya menyentuh knop pintu, kakinya mulai gemetar, tubuhnya terasa lemas. Adhara ambruk di lantai.

"Adhara kangen, Mama," lirinya pelan.

****

Dua orang laki-laki berbeda usia itu sedang duduk sembari menikmati secangkir kopi dan gorengan di teras rumahnya. Bangunan sederhana bercat putih pudar dan sedikit kuno dengan bebatuan di setiap dinding di bagian bawahnya, justru menjadi tempat paling nyaman bagi mereka. Meskipun tidak mewah. Masa lalu sudah mengajarkan mereka, tidak ada yang paling berharga selain kebersamaan bersama keluarga. Saat ini, mereka ingin memperbaiki semuanya. Meskipun semua itu tidak akan menghilangkan bekas luka di masa lalu, dan penyesalan yang masih membuat mereka terbelenggu sampai rasa bersalah yang selalu datang bertamu.

“Pak, gimana tarikkannya hari ini? Banyak penumpang?” ucap remaja laki-laki itu memulai pembicaraan.

“Ya, gitu, Dit. Namanya juga narik angkot, pasti ada sepinya. Tapi nggak papa, yang namanya usaha pasti ada pasang surutnya. Yang penting Bapak bisa bayar setoran, biaya sekolah kamu dan ngasih kamu makan.” Laki-laki dengan tahi lalat di pipinya itu tersenyum sembari menyesap kopi hitam-nya. “Kamu sendiri gimana tadi? Jadi ke cafe?” ucapnya balik bertanya.

“Jadi, Pak. Alhamdulilah Adit bisa manggung di sana mulai minggu depan,” ucapnya sembari tersenyum dan mengambil satu buah bakwan lalu melahapnya.

Sementara itu bapaknya hanya tersenyum lalu menepuk pundaknya. “Makannya pelan-pelan. Semangat kalau gitu, maaf kamu jadi harus ikut-ikutan kerja gara-gara Bapak.” Ada penyesalan dan rasa bersalah di sela-sela ucapannya, hal itu membuat Aditya menatap dalam mata sayu dengan keriput yang sudah memenuhi wajahnya.

“Pak, Aditya nggak keberatan. Lagipula Adit seneng, kok.” Mereka berdua saling melempar pandang disertai senyuman yang saling menguatkan, hingga tiba-tiba Aditya teringat sesuatu. “Oh, iya, Pak! Adit mau tanya sesuatu.”

“Boleh.”

“Kalau kita lihat orang lain nangis di depan kita apa yang harus kita lakukan? Apalagi kalau itu cewe,” tanya Aditya yang langsung membuat bapaknya mengangkat kedua alisnya pertanda sedikit bingung dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.

“Hm ... gimana, ya. Mungkin perkataan ini ditujukkan sekaligus untuk Bapak, dulu Ibu kamu sering menangis karena perlakuan Bapak, karena masa lalu Bapak, tidak akan terhitung berapa banyak air mata yang keluar dari matanya ... sampai dia meninggal ....” Aditya mengusap punggung bapaknya, tidak tega melihat laki-laki paruh baya itu yang sudah tampak berkaca-kaca mengingat dosa-nya di masa lalu. “Tapi Bapak ngerti sekarang, jika kita tidak bisa menghapus air mata seseorang, setidaknya berusahalah untuk tidak menjadi penyebab kesedihannya.”

Kalimat itu mampu membuat Aditya terdiam cukup lama, entah mengapa ada detakan yang muncul secara tiba-tiba. Seketika bayangan wajah Adhara muncul di pikirannya, saat-saat di rumah pohon tadi, dan percakapan singkat di antara mereka. Adhara memang tidak menangis di depannya, tetapi perkataan bapaknya membuat Aditya sedikit berpikir. Kenapa tiba-tiba muncul keinginan untuk menghilangkan luka gadis itu? Ini karena ia iba atau justru ada rasa?

“Kenapa, Dit?” Suara itu membuat Aditya tersadar dari lamunannya.

“Nggak papa. Makasih jawabannya, Pak.”

Laki-laki itu hanya menepuk pelan punggung Aditya dan berkata, “Udah malem, ayo masuk!” ujarnya sambil berdiri dan berjalan memasuki rumahnya.

Aditya masih bergeming di tempatnya, pikirannya masih terjebak dengan kata-kata bapaknya.

Sebenernya gue ini cuma iba atau ada rasa, sih? batinnya dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top