Bab 3 Adhara Itu Payung Untuk Ocis

Payung tidak pernah peduli seberapa basah ia karena hujan
Selama orang yang dilindunginya merasa aman
Tidak masalah baginya, meski harus basah sendirian

****

Adhara memeluk Ocis begitu erat, ia enggan melepaskannya. Tak peduli Ocis terus mencakar, memukul bahkan menjambak rambutnya. Yang ia lakukan tetap memeluk gadis itu, memeluk tubuhnya yang kini sedang rapuh sama seperti dirinya. Namun, Adhara masih bisa menyembunyikan luka yang menusuk hatinya, ia masih bisa tenang meskipun duka merampas kebahagiaannya. Ocis terus menangis dan berteriak, meminta Adhara melepaskan pelukannya.

“Kak, lepasin Ocis! Dokter jangan lepasin alat-alat itu dari Mama! Mama belum mati, Dok! Dokter, Suster! Kalian nggak boleh ambil Mama Ocis! Dokter, Mama belum mati, Dok! Ocis Mohon, kasian Mama, Dok!” Ocis terus merengek dan meronta. “Kak, Mama belum mati, Mama nggak mungkin ninggalin kita! Mama juga nggak mungkin ninggalin Papa, kita harus telepon Papa, Kak. Biar Ocis telepon, Pa—“

“OCIS! Cukup, Ocis! Lo nggak boleh kayak gini, kasian Mama! Biarin Mama pergi dengan tenang. Lo harus tahu, lo terluka atas kepergian Mama? Gue juga sama, Cis! Tapi kita nggak boleh kayak gini, kasian Mama di sana. Seenggaknya Mama udah nggak sakit lagi, dia udah nggak kesusahan lagi, dia udah sembuh, Cis!” kata Adhara setelah melepaskan pelukannya. Gadis itu tidak bisa menahan emosinya, terlebih ketika Ocis menyebut laki-laki itu dan berkata akan meneleponnya. “Gue mohon, biarin mereka melakukan tugasnya, lo masih punya gue, Cis! Gue Kakak lo, gue nggak bisa liat lo kayak gini. Lo nggak perlu telepon Papa, biar gue yang hubungi Papa.” Adhara kembali memeluk Ocis dengan erat, ia menyembunyikan tangisannya dari Ocis. Begitu sakit rasanya, Adhara belum sanggup memberitahu kejadian memuakkan itu pada Ocis, ia tidak ingin makin menghancurkan hati adiknya.

Biar gue yang telen luka ini sendirian, Cis. Lo nggak perlu tahu, kepergian Mama udah cukup buat hidup lo hancur. Jadi buat luka yang ini, biar gue dulu yang telen sendirian, sampai lo siap buat dengernya, batin Adhara sambil terus menepuk-nepuk pundak adiknya.

Adhara melihat dokter itu sudah selesai melakukan tugasnya, alat-alat yang selama dua minggu ini setia menemani mamanya, kini terpaksa harus dilepas karena mamanya memilih untuk berhenti dan pergi. Mungkin Soraya—Mama Adhara—tidak bisa bertahan terlalu lama, ia sudah menyerahkan hidupnya pada Tuhan, ia terpaksa meninggalkan dua gadis cantik yang selama belasan tahun menemani kehidupannya, mengisi hari-harinya. Namun, hari ini Tuhan memintanya untuk pulang dan kembali.

“Dok, boleh kasih kita sedikit waktu? Saya dan adik saya ingin bersama Mama untuk terakhir kali,” ucap Adhara ketika melihat dokter dan beberapa suster itu bersiap membawa mamanya untuk dibersihkan.

“Boleh, silakan.”

Adhara melangkah mendekati brankar yang berjarak beberapa langkah darinya. Dadanya terasa sesak, tangannya begitu dingin dan gemetar. Jika boleh ia berharap, gadis itu ingin hari ini tidak pernah terjadi, atau setidaknya biarkan hari ini hanya menjadi mimpi buruk yang segera membuatnya bangun. Jika ia boleh egois, Adhara akan meminta pada Tuhan, agar mamanya tidak pergi dan tetap di sini. Namun, Tuhan mungkin lebih sayang pada Soraya Afhseen—mamanya.

Adhara membuka kain putih yang menutupi sekujur tubuh Soraya, napasnya tercekat. “Ma ... makasih, ya, udah jadi wanita tangguh buat Adhara dan Ocis. Makasih udah jadi Mama yang luar biasa, maaf Adhara belum bisa bahagiain Mama. Tapi Adhara yakin, di sana pasti Mama bahagia, seenggaknya sekarang Mama udah nggak sakit lagi. Mama nggak usah khawatir, Adhara pasti bakal selalu jagain Ocis. Adhara sayang Mama ....” Adhara mengecup kening Soraya—takada balasan selain tubuh yang dingin dan kaku tak bernyawa. Adhara menangis, gadis itu merasa lega mamanya tidak perlu lagi menahan sakit dan deritanya, apalagi karena kelakuan laki-laki brengsek itu. Namun, di sisi lain Adhara juga terluka. Entah bagaimana kehidupannya tanpa sang mama. Mungkinkah akan baik-baik saja?

“Mama! Ocis nggak mau Mama pergi, jangan tinggalin Ocis, Ma ....” Ocis masih terus menangis dan kini ia memeluk tubuh tak bernyawa itu dan enggan melepaskannya.

“Dik, maaf kami harus segera membawa Ibu Soraya untuk dibersihkan,” ucap laki-laki yang bernama Dokter Evan itu.

“Lepasin Mama, Cis,” pinta Adhara sembari menarik tubuhnya pelan. Namun, dengan cepat Ocis menepisnya.

“Nggak! Mama nggak boleh pergi, Ocis nggak mau Mama pergi!” teriak Ocis histeris dan kembali memeluk mamanya. Adhara menggigit bibirnya kuat-kuat, di dalam hatinya ingin sekali ia meronta dan berteriak seperti Ocis. Namun, lagi-lagi pikirannya menolak untuk melakukan itu, Adhara tidak boleh lemah, setidaknya untuk Ocis.

“Lepas, Cis. LEPAS!” teriak Adhara yang langsung menarik Ocis ke pelukannya. “Dok, silakan bawa Mama saya. Terima kasih, Dok.” Adhara mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan tubuh Ocis yang mungil, setidaknya Ocis masih bisa ia tahan meskipun cakaran dan pukulan terus menimpa tubuhnya.

“Mama, jangan tinggalin Ocis! Kak lepasin! Ocis mau ikut Mama, lepasin!” Adhara merasa sesak yang begitu menyakitkan di dadanya, apa ia mampu menjaga dan selalu membuat Ocis bahagia? Mamanya telah pergi dan tidak akan pernah kembali. Ocis terus memanggil Soraya, terlebih saat dokter dan perawat rumah sakit itu mulai membawa brankar dan Soraya keluar dari ruangan.

“Pukul aja gue, pukul! Jambak gue, Cis! Kalau itu bisa buat lo tenang. Maafin gue, Cis. Gue janji bakal selalu jagain lo, gue janji selama napas gue masih berembus, selama kaki gue masih berpijak di tanah, selama itu juga gue akan bahagiain lo,” lirih Adhara di sela-sela tangis dan pelukannya yang makin erat. Perlahan tangis Ocis mulai mereda, rengekkan itu tidak terdengar, bahkan cakaran dan pukulan itu telah berhenti. Ocis kelelahan dan tak sadarkan diri.

****

“Adhara! Ocis! Jangan lari-larian gitu, kenapa, sih? Ini Mama udah masak, bukannya makan malah lari-larian di dalam rumah, nanti jatoh terus nangis!” teriak wanita paruh baya itu sambil meletakan dan merapikan beberapa sendok dan piring di meja makan.

“Ocis yang ganggu Adhara duluan, Ma! Dia ambil earphone Adhara! Udah tahu Adhara lagi fokus nonton vidio teater, malah diambil sama bocah cengeng itu! Ocis balikin! Gue harus latihan!” teriak Adhara yang terus mengejar Ocis yang kini sedang berlari dan bersembunyi di balik tubuh wanita paruh baya itu.

“Lagian Kak Adhara yang bohong duluan, ingkar janji! Katanya mau beliin aku roti bakar cokelat, malah pura-pura lupa dan fokus nonton!”

“Iya nanti gue beliin abis nonton! Balikin dulu!” pinta Adhara.

“Oke, Ocis balikin! Nih, tangkep!” seru Ocis sambil melempar earphone itu pada pemiliknya. Ocis tertawa puas karena berhasil memenangkan pertarungan antara adik dan kakak itu. Lebih tepatnya Ocis menang dan mendapatkan apa yang ia inginkan, meski dengan cara yang curang.

“Udah beres, ‘kan? Pertunjukan dramanya, anak-anakku?” Kini Soraya yang tersenyum jahil menatap kedua anak gadisnya itu. Adhara yang mendengarnya hanya mendecak kesal, sementara Ocis malah tersenyum lebar dan memeluk manja mamanya. “Ya, udah. Sekarang giliran Mama yang bicara. Jangan lari-larian lagi, apalagi berantem, kalian itu sodara harus saling menjaga, saling menyayangi apa pun yang terjadi. Adhara harus menjaga Ocis sebagaimana seorang Kakak menjaga adiknya, dan Ocis harus menghormati Adhara kakakmu. Karena dia lebih tua darimu, paham?” Soraya menatap Adhara dan Ocis bergantian, seolah menunggu jawaban dari keduanya.

Ocis dengan cepat mengangguk dan tersenyum manis, sementara Adhara sedikit menyela, “Tapi Adhara nggak mau, ah! Males! Ocis selalu ganggu kesenangan Adhara, giliran diganggu balik malah marah! Ngaku lo!” tunjuk Adhara pada Ocis.

“Kak Adhara ‘kan, lebih tua. Jadi harus ngalah, bener, ‘kan, Ma?” Ocis tersenyum penuh kemenangan, sementara Adhara melayangkan tatapan tajam pertanda siap memulai peperangan kembali.

“Pokoknya Mama nggak mau denger kalian berantem apalagi harus saling membenci. Ocis kamu juga jangan selalu mengganggu kakakmu, dan Adhara juga harus selalu jaga Ocis adikmu. Sudah, sekarang ayo kita makan,” ucap Soraya pada kedua anaknya. Adhara mengangguk pelan dan langsung mengambil tempat duduk di samping kanan Soraya, sedangkan Ocis duduk di samping kirinya.

Adhara tersenyum getir mengingat kenangan enam bulan yang lalu, saat Soraya masih berada di sisinya, saat Ocis mengganggunya, suasana itu terasa begitu hangat dan tak akan pernah bisa digantikan oleh apa pun. Kejadian ini begitu membuat Adhara terpukul, sejak Ocis meneleponnya beberapa jam yang lalu, sejak itu juga perasaannya tidak enak. Bahkan ia menjatuhkan roti bakar pesanan Ocis, yang Adhara ingat saat itu hanyalah mamanya. Namun, saat ia tiba di rumah sakit, Ocis sudah menyambutnya dengan teriakkan dan tangisan. Perawat dan dokter di rumah sakit itu tampak bersiap-siap melepas alat-alat medis yang selama ini membantu mamanya, kondisi Soraya yang melemah dan tidak ada respon apa pun, mamanya memutuskan menyerah dan berhenti bertahan.

Sekarang yang tersisa hanyalah ia dan Ocis, entahlah dengan papanya. Adhara masih telanjur kecewa, bahkan tidak menutup kemungkinan sejak kejadian itu ia akan membenci papanya. Sementara Ocis, gadis itu masih terpukul dan memilih untuk berdiam diri di ruangan Soraya. Embusan angin di taman rumah sakit setidaknya sedikit menenangkan dirinya, meskipun Adhara duduk sendirian dengan kehampaan yang begitu menyakitkan.

“Adhara,” panggil seseorang tiba-tiba. Membuat Adhara menoleh ke belakang—di mana arah suara itu berasal. Adhara membelalak, napasnya tercekat melihat orang yang kini berada di depannya. Orang itu tidak sendirian, dia datang bersama orang lain. Membuat emosi gadis itu mendidih dan siap menguap ke permukaan.

“Pergi dari sini!” bentak Adhara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top