Bab 17 Sesak

Kadang kesalahpahaman memang meresahkan
Apalagi jika kaitannya dengan perasaan

****

“Adhara! Lo kenapa, sih, nggak fokus! Itu ekspresi lo kurang! Ini udah H-1, cara bermain dan penghayatan lo malah ancur gini!” amuk Bang Tj yang membuat Adhara tersentak dan menghentikan adegan yang sedang ia lakukan. Adhara merasa dia tidak telalu banyak melakukan kesalahan, dia juga bermain seperti biasa. Kenapa Bang Tj semarah itu? Pikirnya.

“Maaf, Bang. Ya, udah, kita ulang.”

“Ya, udah! Buruan! Yang lain juga pada fokus! Jangan main-main, mikir, dong! Ini hari terakhir kita latihan! Udah satu bulan latihan tapi permainan kalian malah turun hari ini!”

Adhara mulai melakukan adegannya, di mana ini adalah adegan klimaks saat tokoh Derai menari begitu keras di ajang kompetisi nasional dan berharap ia bisa menang agar ayahnya merasa bangga. Adhara terus meningkatkan tenaganya saat menari dan ia berusaha agar tidak sampai lupa gerakan. Namun, entah mengapa tiba-tiba ia lupa gerakan terakhir. Mungkin karena gugup dan melihat Bang Tj marah tadi.

Cut! Adhara! Lo kenapa, sih, hari ini? Kenapa, hah! Fokus, Adhara! Kalau lo salah terus adegan yang lain nggak akan mulai-mulai! Apa harus gue ganti pemain?!”

Tanpa sadar air mata Adhara menetes begitu saja. Ia sudah berusaha menahannya sejak tadi, entah ada apa dengannya hari ini. Mungkin perasaannya terlalu sensitif atau memang ia tidak terima dimarahi seperti itu oleh Bang Tj.

“Adhara bukan waktunya nangis! Sekarang kamu harus latihan! Tanggung jawab tim ini ada di kamu, jadi jangan cengeng!” Adhara terkejut mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Candra. Kini Candra juga terlihat memojokkannya.

“Ra, lo yang serius, dong! Kita-kita juga mau latihan!” Ia menoleh ke arah Tari yang mengatakan hal itu.

“Iya, Ra! Lo ini peran utama, lho!”

“Capek, nih, ngulang mulu!” timpal yang lainnya.

“Adhara bukan cengeng, Bang, Kak! Tapi apa harus ngomong kayak gitu! Bisa, ‘kan, ngarahin pelan-pelan? Dengan marah-marah dan sampe lempar sesuatu itu malah buat Adhara down! Kalau kalian mau cari pengganti, silakan!” Adhara benar-benar tidak bisa menahan emosinya kali ini, ia akui tadi ia melakukan sedikit kesalahan. Namun ia tidak terima jika sampai dipojokkan seperti itu. Adhara membalikkan badannya dan berjalan ke arah pintu bersiap untuk keluar dari ruangan.

Cut! Adegan prank Adhara selesai!” Bang Tj tertawa terbahak-bahak membuat Adhara menoleh ke arahnya. “Gila! Gue udah nggak tahan pengen ketawa! Sorry, Ra! Lo jangan mewek, dong!”

Adhara menatap ke sekelilingnya, kini semua orang tertawa terbahak-bahak. Ia mendengkus kesal, bisa-bisanya mereka berbuat itu padanya. Padahal ia sudah benar-benar kesal dan ingin menangis sekencang-kencangnya.

“Sekali-kali ngeprank yang ulang tahun, ‘kan? Pas banget ada kesempatan, jadi kenapa enggak?” Bang Tj menatap Adhara dan kembali tertawa.

“Selamat ulang tahun, Adhara alias Derai!” teriak mereka bersamaan. Adhara tidak bisa berkata-kata, jujur saja karena terlalu sibuk latihan ia sampai lupa hari ini adalah ulang tahunnya. Pantas saja tadi tiba-tiba mereka semua mendadak bersikap seperti itu dan memojokkan Adhara. Padahal ia rasa hari ini cukup maksimal berakting. Hanya sedikit kesalahan yang tidak terlalu fatal, tadi ia lupa gerakan pun karena gugup mendapat bentakan dari Bang Tj.

“Kalian semua benar-benar aktor sejati! Sukses akting ngeprank gue, ya!” gerutu Adhara masih merasa kesal.

“Maaf tadi sempet marah-marah sama kamu, Adhara. Sebenernya kamu nggak terlalu banyak melakukan kesalahan, tapi untuk melancarkan aksi prank ... ya, jadi terpaksa.” Candra menatap Adhara merasa bersalah setelah apa yang ia lakukan tadi.

“Gue juga, Ra! Maaf, ya, jangan pecat gue jadi temen!” Kini Tari yang menimpali.

“Nah, yang paling berdosa dan solimi banget gue, nih! Asli itu nggak bener, Ra. Lo jangan marah sama gue, gue juga nggak tega sebenernya marahin lo kayak tadi. Lo, ‘kan, peliharaan kesayangan gue! Tapi kalau ada peluang buat jahilin lo abis-abisan, kenapa harus gue lewatin?” Adhara langsung mencubit pinggang Bang Tj dan membuatnya mengaduh.

“Bang Tj keterlaluan! Dan Adhara bukan peliharaan, ya! Enak aja!”

Semuanya lagi-lagi tertawa melihat pertunjukan gratis di hadapan mereka.

“Apa yang gue bilang tadi nggak bener, ya. Lo akting dan penghayatan udah bagus tinggal lo pertahanin atau kalau bisa tingkatin. Intinya resapi setiap adegan yang lo mainin. Awas, tuh, tadi lo lupa gerakan! Masa baru kena marah segitu langsung grogi! Oke!”

“Iya, betul. Ini udah satu bulan kita berlatih, dan Kak Can harap kalian bisa mempertahankan permainan kalian sampai di pertunjukan besok. Hari ini adalah hari terakhir kita latihan, nggak akan ada lagi kata cut lalu kita mengulang permainan. Ketika kalian udah naik panggung, di saat itu permainan dimulai, apa pun yang terjadi di atas panggung kalian akan terus bermain dan berakting sampai akhir. Jadi semangat dan tetap jaga stamina kalian!”

“Sebelum mulai latihan lagi gue mau kita teriak jargon tim kita, oke!” titah Bang Tj. “Tim Teranjana!”

“Teater SMA Renjana, bermain dengan rasa! Bukan hanya ingin juara!” teriak mereka bersamaan.

****

Tidak terasa latihan terakhir mereka akhirnya selesai juga. Saatnya mempersiapkan diri untuk besok dan memaksimalkan permainan mereka.

Semua anak-anak sudah pulang, Bang Tj juga sudah pulang. Hanya tersisa Adhara dan Candra di dalam ruangan.

“Kak Can, nggak pulang?” tanya Adhara sambil merapikan tasnya.

“Bentar lagi. Kamu mau langsung pulang?”

Adhara mengangguk sambil menggendong tasnya dan bersiap-siap untuk meninggalkan ruangan.

“Kamu ada waktu nggak? Kalau aku ajak makan mau? Itung-itung traktiran dari aku,” ucap Candra sedikit ragu-ragu takut Adhara menolaknya.

Adhara terdiam sesaat sampai akhirnya berkata, “Makan doang, ‘kan? Nggak lama?” Entah mengapa Adhara merasa kurang senang, ia justru berharap orang lain yang mengatakan itu.

Candra terkekeh pelan lalu berkata, “Iya ... makan doang, kok.” Lelaki berusia dua puluh tahun itu tersenyum begitu manis. Wajah dan lesung pipinya yang manis membuat Candra terlihat masih berusia tujuh atau delapan belas tahun.

“Oke kalau gitu!”

Mereka lalu berjalan menuju pintu ruangan dan bersiap-siap untuk menuju tempat yang mungkin sudah direncanakan oleh Candra. Namun, semua itu tidak berlangsung lama, kegugupan tiba-tiba melanda Adhara saat ia mendapati seseorang sudah berdiri di samping pintu sambil memasukan sebelah tangannya ke saku celana abu miliknya. Jantung Adhara berdegup makin kencang terlebih saat lelaki itu hanya menatapnya datar, sangat datar.

“A-Adit?”

Lelaki itu hanya tersenyum, tetapi senyumnya terlihat tipis sekali. “Ini buat lo, tadinya mau gue kasih pas di rumah pohon nanti. Tapi kayaknya sekarang aja, lagian lo juga ada acara, ‘kan?” Aditya melempar tatapannya pada Candra lalu kembali menatap Adhara. “Hadiah kecil dari gue, selamat ulang tahun, Ra.”

Adhara menelan ludahnya susah payah. Itu artinya Aditya sudah berada di sini sejak tadi, dan dia mendengarkan percakapan Adhara dan Candra barusan.

Dengan gugup Adhara menerima kado yang dibungkus kertas kado berwarna hitam dengan pita berwarna putih yang menghiasi bagian depannya. “Gue cabut dulu, bye! Permisi, Kak.” Setelah itu Aditya pergi begitu saja.

“Kalau kamu nggak bisa, nggak papa. Kita bisa lain kali—“

“Nggak papa, Kak, sekarang aja.”

Entah mengapa ada perasaan sesak yang begitu amat sakit dan menghantam hatinya saat melihat Aditya pergi.

****

“Adhara, itu makanan kamu keburu dingin, lho.” Candra menyadarkan Adhara dari lamunannya. Sedari tadi gadis itu hanya diam dan tidak menyentuh makanannya sama sekali. “Kamu sakit? Atau nggak suka makanannya?”

“Eh ... enggak, bukan gitu. Kayaknya aku lagi kurang berselera makan aja, ini aku makan, kok.”

Mereka menghabiskan waktu dengan saling diam dan tidak ada percakapan sama sekali. Mungkin lebih tepatnya Adhara yang sedang tidak ingin berbicara apa pun. Sejak tadi Candra selalu mencari topik pembicaraan agar bisa mengobrol degan santai dan menyenangkan, tetapi Adhara hanya menanggapi dengan senyuman, anggukkan, atau hanya sekadar jawaban yang singkat.

“Adit itu pacar kamu?” Adhara tersedak makanannya begitu mendengar apa yang diucapkan Candra. Dengan sigap Candra menyodorkan minuman untuk Adhara.

“Eh ... itu anu ... bukan, kok. Kita temen deket dan temen kelas juga.” Adhara tersenyum canggung. Ia tidak bisa mengatakan hal lain selain itu, bukan? Meskipun ia menginginkan lebih dari itu.

“Oh, temen deket.”

Setelah itu tidak ada percakapan lagi di antara mereka, mendadak suasana canggung menyelimuti kebersamaan mereka. Adhara segera menghabiskan makanannya, setidaknya mungkin ia bisa cepat pulang dan terbebas dari suasan canggung ini.

“Permisi, apa aku boleh bergabung di sini? Meja yang lain penuh.” Adhara dan Candra menoleh ke arah sumber suara, dilihatnya perempuan berambut panjang sebahu dan memakai mini dress berwarna pastel tengah tersenyum ramah pada mereka.

“Nada!”

“Kak Candra!” Mereka berdua nyaris berbicara bersamaan, membiarkan Adhara hanya terdiam ketika mendengar nama itu. Rasanya ia pernah mendengar nama itu ... tetapi tidak ingat di mana ia mendengarnya. Mungkin ia salah dengar, lagipula nama seperti itu tidak hanya satu di dunia ini.

“Nggak nyangka bisa ketemu, Kak Candra di sini! Aku seneng banget!” Gadis itu terlihat antusias.

“Aku juga nggak nyangka bisa ketemu sama kamu, Nada.”

“Adhara kenalin, ini Nada adik sepupuku. Nada ini kenalin Adhara, anak teater dari ekskul yang aku latih beberapa minggu ini.”

Mereka berdua mengulurkan tangannya masing-masing dan saling berkenalan. “Senang bertemu kamu, Adhara.”

“Aku juga. Salam kenal, Nada.”

“Kamu jauh-jauh dari Surabaya ke Bandung mau ngapain?” tanya Candra.

“Cuma mau liburan ... sekaligus nyari sesuatu. Sekalian ikut Papa yang lagi ada kerjaan di sini.” Candra hanya ber-oh ria, sementara Adhara masih belum absen dari pikiranya mengenai Aditya, kado darinya, juga kesalahpahaman yang meresahkan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top