#11. Why? I'm Jealous
Play multimedia
Happy reading 💕
Dahyun membuka pintu kamar Jungkook perlahan. Dengan hati-hati, ia membawa nampan berisi bubur buatan ibu Jungkook dan segelas air hangat lalu meletakannya di atas nakas.
Gadis itu menghela napas, Jungkook masih belum siuman. Dengan ragu, tangannya menyibak rambut Jungkook yang cukup panjang dan menyentuh keningnya untuk memeriksa suhu tubuhnya. Demamnya sudah menurun dan sekarang sudah pukul 9 malam, berapa lama Jungkook akan tertidur?
Dahyun memutuskan untuk melihat-lihat isi kamar Jungkook. Jauh dari ekspektasinya, kamar Jungkook sangat luas dan rapih. Ada berbagai macam lukisan yang memenuhi dinding dan rak buku yang ditata sedemikian rupa. Disudut sebelah kanan, ada ruangan lain yang merupakan ruangan khusus Jungkook mengerjakan proyek melukisnya.
“Wah … Jungkook benar-benar berbakat.” Dahyun menatap kagum jejeran lukisan itu.
Ada satu lukisan yang menarik perhatiannya. Lukisan itu diletakan di atas rak yang cukup tinggi. Karena penasaran, Dahyun mencoba untuk mengambil lukisan itu namun tangannya tidak sampai. Gadis itu berdecak sebal, kakinya berjinjit sementara satu tangannya dijadikan tumpuan.
“Se-sedikit lagi.” Jarinya sudah menyentuh pinggiran lukisan itu namun saat Dahyun mencoba lebih keras, ia kehilangan keseimbangan.
Sebelum Dahyun terjatuh, seseorang sudah menahan tubuhnya dari belakang membuat gadis itu mematung.
Jungkook berdecak, tanpa basa-basi ia langsung mengambil lukisan yang Dahyun incar dengan mudah. “Kau menginginkan ini?”
“I-iya.” Dahyun masih kaget. Jantungnya terasa akan jatuh. “Sejak kapan kau sadar?”
Jungkook kembali berbaring di atas ranjangnya dengan menyenderkan punggungnya pada dinding. Kepalanya masih agak pening. “Sejak kau berbincang dengan eomma. Dia sudah pulang?”
Dahyun mengangguk. “Sudah. Kalau kau sudah sadar, seharusnya kau temui eommonim dulu, dia pasti sangat khawatir.”
Jungkook mengernyit, “Eommonim?”
“Ah … iya. Dia menyuruhku memanggilnya seperti itu. Memangnya kenapa? tidak boleh?”
“Aniya, bukan itu maksudku.” Jungkook melirik ke arah makanan di sampingnya. “Bubur itu buatan eomma?”
“Iya.” Dahyun langsung meletakan lukisannya di lantai. “Mau makan sekarang? Kau pasti sangat lapar.”
Jungkook mengangguk. “Iya.” Lalu menatap Dahyun. “Tapi suapi aku ya,” pintanya seraya menarik senyum tipis membuat kedua pipi Dahyun kontan memerah.
Sepertinya, ada yang tidak beres dengan Dahyun. Setiap berdekatan dengan Jungkook, kedua pipinya akan memanas sementara detak jantungnya berdetak tak normal—begitu cepat hingga perut Dahyun terasa mulas—alhasil, ia jadi tidak fokus dengan pekerjaannya.
“Kau seorang penulis?” tanya Jungkook. Kondisi tubuhnya sudah pulih seperti semula. Kedua tangannya membawa masing-masing secangkir cokelat panas, satu untuknya dan satu untuk Dahyun.
“Ya, hanya sebagai pekerjaan sampingan saja.”
“Lalu pekerjaan utamamu apa?”
“Pengangguran.” Dahyun langsung meneguk cokelat panas buatan Jungkook dengan santai. “Aku dipecat dan belum mendapatkan pekerjaan baru semenjak pindah kemari.”
“Oh begitu,” responnya singkat. Ini aneh, tidak biasanya mereka mengobrol ringan seperti ini. Jungkook menghabiskan banyak waktu di ruang tengah saja sudah kejadian langka karena lelaki itu biasanya akan mengurung diri di kamarnya.
“Oh ya, apa aku boleh meletakan salah satu lukisanmu di kamarku?” tanya Dahyun saat teringat lukisan yang ia lihat tempo lalu.
“Lukisan yang mana?”
“Lukisan di atas rak, yang waktu itu aku ambil. Lukisan dua orang anak kecil dengan pemandangan langit yang indah,” jelas Dahyun seraya membayangkan pemandangan lukisan itu yang entah kenapa mengingatkannya pada seseorang.
Jungkook terdiam. Lelaki itu kemudian meletakan cangkirnya yang telah habis di atas meja. “Kenapa kau menginginkannya?”
“Entahlah. Lukisan itu mengingatkanku pada seseorang … yang sangat kurindukan.” Dahyun tersenyum miris. “Kami hanya bertemu sekali tapi dia … pernah menemaniku di titik terbawah kehidupanku.
“Sayangnya, aku tidak tahu siapa dia. Keesokan harinya, aku datang ke tempat itu lagi tapi dia sudah tidak ada. Aku tidak pernah melihatnya lagi sejak malam itu.” Air mata Dahyun jatuh begitu saja membuat gadis itu meringis malu. “Aisshh, kenapa aku jadi menceritakan itu semua padamu? Lupakan saja, itu tidak penting—“
“Jadi … kau masih mengingatnya ya.”
Dahyun mengernyit bingung. “Mwo?”
Jungkook menoleh ke arahnya. Memandangnya cukup lama sebelum akhirnya berujar, “Sebenarnya … aku ada di sana. Saat kau mengalami trauma itu hingga pergi ke taman dekat rumah untuk menenangkan diri.”
“M-mwo?” Dahyun membeku. Kaget? Tentu saja! “Ja-jadi … kau orangnya?”
Lain dari ekspektasinya, Jungkook menggeleng. “Bukan. Lelaki yang menemanimu itu bernama Jimin. Aku hanya menjadi pengamat karena saat itu … aku tidak berani untuk bergabung dengan kalian.”
“Kalau begitu … berarti kau mengenalnya kan? Tinggal dimana dia sekarang?”
Wajah Jungkook langsung berubah datar. “Kalau kuberi tahu, kau akan melakukan apa? Menemuinya?”
“Tentu saja! aku ingin bertemu dan berterimakasih padanya.”
“Lalu aku?”
Dahyun semakin bingung. “Hah?”
“Lalu aku bagaimana?”
“Ya … kau mungkin bisa mengantarku?” ujar Dahyun ragu. Ia merasa ngeri melihat tatapan tajam Jungkook yang di arahkan padanya. Seolah-olah, lelaki itu tidak menyukai topik pembicaraan mereka saat ini—atau mungkin, tidak menyukai subjek pembicaraannya.
“Shiro.” Jungkook langsung melipat kedua tangannya seraya menyandarkan punggungnya pada sofa. Berlagak tidak peduli.
Dahyun semakin bingung melihat tingkahnya. Ia jadi berpikir, apakah Jungkook saat ini sedang cemburu? tapi mana mungkin?
“Sikap Jungkook memang agak kasar, tapi ia akan melindungi dan tidak segan-segan menghajar siapapun yang berani mengusik miliknya.”
“Ekhm!” Dahyun berdeham untuk menormalkan detak jantungnya. Gadis itu memberanikan diri untuk kembali melirik Jungkook. “Kenapa kau tidak mau? Apa mungkin kau … cemburu?” tanyanya pada akhirnya.
Jungkook menoleh, membuat pandangan keduanya bertemu. Lama Jungkook terdiam dengan maniknya yang tanpa sadar sesekali menatap bibir Dahyun. “Kalau iya bagaimana? Kau mau bertanggung jawab?”
“H-hah? Bertanggung jawab bagaimana?”
“Iya, dengan menjadi pacarku misalnya?”
Translate:
Mwo = apa
Aniya = tidak
Ps. Cerita ini gk jadi aku ikutin ke event novelet, itu sebabnya selama dua hari kemarin aku gk jadi ngebut nge-up semua partnya sekalian mengundurkan diri. Soalnya kalo seandainya lolos, cerita ini bakal digabung sama cerita punya org lain, dan setelah dipikir" aku gk mau :') soalnya aku udh punya rencana buat nyatuin cerita ini sama cerita dahmin (yg ebooknya sampe sekarang blm aku up dimana pun, yg follow ig aku, pasti dah pernah liat fmvnya yg "Make You Mine")
Well, itu semua masih rencana sih, semoga aja bisa terwujud, minta doanya ya ^^
Part cerita ini buat di wp tinggal tersisa 5 lagi ya, gimana? Udh siap liat endingnya? Yg pasti, beda bgt sama yg di ebook
Last, selamat hari raya idul fitri ya 🤗💜 maaf kalo selama ini aku ada salah" kata pas balesin komen dan sering ngephp-in. Semoga kita semua bisa berjumpa di ramadhan tahun depan ya, amiin 💕
Stay safe and healthy~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top