15
Tungkai Kenzo melangkah masuk ke dalam rumah berukuran dua kali lebih besar dari rumah yang sebelumnya ia tempati. Otaknya tak berhenti mencari-cari, sosok gadis manis dengan senyum lebar dalam sebuah potret yang sempat ditunjukkan oleh Natasya.
"Airin di mana Ma?" tanya Kenzo, sepasang matanya terus mengedar, menilik interior di dalam rumah ayah tirinya.
Sakura berdiri di samping Natasya, jemarinya terus menggenggam kuat ujung jemari, tak ingin berpisah. "Airin siapa Ma?" tanyanya lugu.
Natasya tersenyum kecil. "Teman baru Sakura."
"Oh ya? Di sini Sakura dapat teman baru?" tanya Sakura antusias. Natasya mengangguk, dirinya semakin yakin pilihan yang ia ambil tepat.
"Kalian sudah datang." Bibir Pram tersenyum tipis melihat kehadiran keluarga barunya.
Sudah hampir sebulan Pram dan Natasya menikah, tetapi Natasya baru memutuskan untuk tinggal serumah, saat dirinya sudah yakin keberadaan Kenzo dan Sakura tidak akan membawa dampak untuk perkembangan Airin.
"Apakah Airin tidak menyambut kehadiran kita, Ma?" Kenzo terlihat murung, sosok yang ia nantikan tak jua datang.
Dirinya sangat menantikan pertemuannya dengan Airin saat pesta pernikahan mamanya berlangsung, tetapi batang hidung Airin tak juga nampak.
Pram menilik tempat Kenzo berpijak, menghampiri anak tirinya itu, lalu mencoba mensetarakan tinggi mereka. "Kamu menantikan Airin?" Kenzo mengangguk mantab, masih berharap bahwa gadis itu akan menyambutnya.
Pram mengangguk pelan, kepalanya menengok ke tangga, tempat Airin berdiri. "Dia ada di tangga. Sepertinya gadis itu masih berharap kehadirannya tak pernah ada," bisik Pram sendu.
Perlahan Kenzo ikut menatap Airin, sepasang matanya menangkap raut wajah Airin yang terkesan menghiraukan atas kehadiran keluarga barunya.
"Airin enggak suka sama kita ya Ma?" tanya Kenzo.
"Dalam hati kecilnya, Mama yakin dia senang. Bantu Airin kembali jadi gadis yang kamu lihat di ponsel Mama ya?" pinta Natasya, tanpa pikir panjang Kenzo langsung mengangguk pasti.
Semenjak saat itu, tanpa Kenzo sadari dirinya berusaha untuk melindungi Airin dan Sakura. Walaupun Airin selalu bersikap acuh tak acuh dan memiliki tabiat pemarah, Kenzo akan selalu melindungi gadis itu. Tak lupa si bontot yang menyebalkan, Kenzo akan tetap melindungi Sakura dengan caranya sendiri.
***
"Rizal, balikin tasku!" teriak Sakura di koridor sekolah.
Gadis dengan rambut sebahu, tak lupa pita berwarna merah muda terpasang manis di poninya.
"Enak aja, setelah kamu nahan jawaban ulangan?" Kelas mereka baru saja melaksanakn ulangan matematika, Sakura yang selalu menduduki peringkat pertama pastinya ditodong untuk memberikan jawaban ulangan.
"Kata bu guru enggak boleh nyontek, usaha sendiri dong!" ketus Sakura masih berusahan untuk menggapai tasnya dari cekalan Rizal.
"Panggil kamu sampai suara serak, emang bukan usaha?" tanya Rizal sewot sendiri.
"Usaha itu belajar! Udah ah males ngomong sama kamu, sini balikin tasnya."
Rizal terus saja menggeleng, membuat murid-murid yang menonton aksinya tertawa melihat kesengsaraan Sakura.
"Lain ka--" Belum sempat Rizal menyelesaikan kalimatnya, pipi sebelah kanannya sudah mendapatkan bogem mentah.
"Lain kali jangan gangguin adikku lagi. Paham?" tanya Kenzo menatap tajam Rizal yang sudah terkapar di atas lantai koridor sekolah.
Sial sekali nasib Kenzo, cowok itu digiring ke ruang guru esok harinya, karena memberikan bogem mentah ke adik kelas. Kenzo menilik Natasya sedikit takut, ia bertanya ragu, "Mama marah?"
Natasya menghela napas, menilik Kenzo yang menatapnya takut. "Menurut kamu, gimana?" Natasya sebisa mungkin untuk tidak meledakkan kemarahannya, tetapi nada sinis tadi terdengar jelas di telinga Kenzo.
"Mama enggak mau dengar penjelasanku?"
Kedua tangan Natasya mengepal kuat. "Jika Mama mendengar penjelasan kamu, apakah sikap berkelahi seperti preman dapat membenarkan opinimu?"
"Sakura dijahilin Ma," bela Kenzo mulai kesal.
Di ruang guru, dirinya habis-habisan dipojokkan, bahkan mama yang Kenzo percaya akan membela dirinya, malah diam menelan bulat-bulat tuduhan wali kelasnya.
"Oh, ya? Jadi wali kelasmu itu membuat tuduhan palsu, begitu? Setelah merundung adik kelas dan dipanggil ke ruang guru, kamu masih tetap tidak mau mengakui kesalahanmu?" tanya Natasya menatap Kenzo tajam.
"Aku enggak akan minta maaf dan mengakui kesalahan itu, karena jelas-jelas cerita itu enggak sesuai fakta. Enggak mungkin, Ma aku mukulin adik kelas tanpa sebab!" cetus Kenzo balas menatap Natasya tanpa rasa takut.
"Kak Kenzo benar Ma. Sakura dijahilin sama Rizal, terus Kak Kenzo datang," jelas Sakura, berdiri diambang pintu--masih mengenakan seragam sekolah lengkap dan tak kuasa melihat Kenzo dipojokkan.
"Tapi cara yang kamu lakukan apa itu benar, Kenzo?"
"Lalu, melihat Sakura yang jahili, apakah itu termasuk pilihan yang lebih baik?"
Kenzo dan Natasya terus saja berdebat, sama-sama keras kepala dan berpikir bahwa opininya adalah yang paling tepat.
"Seharusnya, Mama lebih percaya sama aku dan tidak memintaku untuk meminta maaf kepada mereka," ujar Kenzo pelan, ia lelah berdebat habis-habisan dengan Natasya.
"Mama juga mengajari Sakura, jika kita berbuat salah, hendaknya untuk meminta maaf, tetapi menurut Sakura, Kak Kenzo sama sekali tidak berbuat salah," bela Sakura membuat Natasya semakin kesal.
"Mama minta maaf karena tidak percaya sama kamu Kenzo, tetapi apa yang kamu lakukan ... memukulnya, itu bukan pilihan tepat. Kalau kamu menggunakan emosi, kamu enggak berhak untuk membela diri, karena nyatanya kedudukan korban akan berpindah tempat. Yang awalnya di Sakura, karena gadis itu dijahili menjadi Rizal yang mukanya babak belur. Sampai di sini kamu paham kenapa Mama marah?"
Kenzo menggeram kesal, ia berujar dengan amarah yang masih membara, "Jadi, kalau Sakura terkena perundungan, lebih baik aku diam saja? Begitu?"
Natasya ternganga, bukan itu maksudnya. Kepalanya tambah pusing, Kenzo sangat sulit diatur dan pemikiran bocah itu sangat tidak diduga. "Tidak seperti itu, Kenzo. Kamu harus tetap melindungi adikmu. Melindunginya dengan cara yang berbeda."
"Dengan sama-sama dijahili, begitu?" tanya Kenzo dengan nada sinis. "Aku lebih baik memberikan beberapa hadiah di wajahnya, daripada menjadi korban perundungan," lanjut Kenzo lalu berjalan meninggalkan ruang tamu, menaiki anak tangga.
Ia ingin segera menenangkan pikirannya, perasaan bersalah kembali menelisik ke dalam relung hati. Tungkainya berhenti melangkah, melihat keberadaan Airin yang berdiri di depan kamar, seolah-olah menanti kehadirannya.
"Mau minum?" tawar Airin sembari menyodorkan segelas air putih.
Kenzo menerima gelas yang diberikan Airin. "Aku yakin kamu pasti haus setelah berdebat panjang," sindir Airin lalu berjalan meninggalkan Kenzo yang kebingungan, tetapi tak ayal bibirnya tersenyum kala mendapatkan perhatian lebih dari Airin.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top