C H A P T E R 9

"Buat pilihan di antara kami berdua." Luke memegang bahuku dan mendorongku berada di tengah-tengah antara dirinya dan Mr. Eldrich.

Aku menggeleng-geleng. "Kenapa aku harus memilih? Aku tidak akan memilih kalian berdua," kataku.

"Kau harus memilih atau kau akan kehilangan pekerjaanmu," ancam Mr. Eldrich.

Kupenjamkan mata untuk berpikir. "Baiklah, aku memilih Luke," ujarku.

Saat itu juga, kutatap Mr. Eldrich dengan ekspresi yang tidak bisa aku nilai. Tatapan yang sama pada saat Luke memelukku secara sengaja. Dia tidak mengatakan apa-apa, tidak kesal, tidak memberikan selamat pada Luke. Mr. Eldrich seolah sedang menilaiku.

Suara Morgan mengetuk pintu kamarku dengan sangat keras membangunkanku dari mimpi yang aneh. Kuseret kakiku menuju pintu. "Ada apa?" tanyaku.

"Ayahku ingin aku datang ke acara pesta dansa amal malam ini, kalau tidak dia akan membeli apartemen ini. Dia sudah tahu apartemen kita, Jordan." Morgan mulai mengomel tidak jelas dan mundar-mandir di depan pintu kamarku.

Kuhentikan dirinya dengan memegang kedua pundak Morgan. "Hey, tenanglah. Kalau begitu, kita pergi saja ke pesta itu. Lagipula, seberapa buruk yang bisa terjadi?"

"Kau akan datang bersamaku?" tanyanya.

"Tentu saja. Kau sahabatku, apapun yang kau lalui, kita lalui bersama." Kupeluk Morgan untuk menghilangkan rasa bersalah karena tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai Ryan.

"Aku tidak punya gaun untuk dipakai," keluh Morgan.

Aku tertawa. "Terakhir kali aku pergi ke pesta, itu acara terburuk yang pernah ada. Seseorang muntah di wajahku."

Morgan tertawa. "Kalau begitu, kita harus berbelanja."

Sepuluh menit kemudian, aku dan Morgan sudah siap untuk pergi ke mall terdekat. Morgan tentu sangat antusias karena dulunya, dia memang sangat menyukai berbelanja.

Saat awal-awal kami tinggal bersama, Morgan hampir setiap hari membawa sekantung pakian bermerek. Sampai kami kehabisan uang dan dia sadar untuk tidak membelanjakan hal yang tidak dibutuhkan.

Morgan langsung masuk ke dalam sebuah toko bermerek terkenal saat kami sampai. Kutarik lengannya untuk mengingatkan. "Hey, kita disini hanya untuk berbelanja satu gaun. Dan aku rasa, tidak perlu yang mahal-mahal," kataku.

"Jordan, kita datang untuk menunjukkan pada ayahku bahwa aku bisa membeli apa yang aku suka dengan uangku sendiri. Ayahku akan meremehkan kita jika melihat kita mengenakan gaun biasa." Morgan menarik lenganku untuk masuk ke toko.

"Bagaimana dengan uangnya?" tanyaku.

"Kau mendapatkan gaji 30 ribu dolar perbulan. Aku rasa, kita bisa membayar kartu kredit." Dan begitulah Morgan yang mulai menjejeliku dengan gaun-gaun mahal.

Aku bilang padanya, aku akan mencari gaun yang cocok, sedangkan kubiarkan Morgan mencoba satu-persatu gaun pilihannya.

"Bagaimana dengan yang ini?" tanya Morgan saat dia mencoba gaun ke limanya.

Aku menggeleng. "Terlalu mencolok, kau tidak ingin disamakan dengan gadis-gadis kaya, kan?"

"Kau benar." Dan dia mencari pakaian yang lain.

Aku baru saja akan mengambil sebuah gaun polos berwarna abu-abu saat Morgan menyodorkanku sebuah gaun malam dengan banyak bagian yang terbuka. "Don't ever think to wear that dress! Kau harus mengenakan pakaian lebih elegan dan sedikit terbuka."

"Sedikit, gaun ini memperlihatkan bagian belakangku dan dadaku." Kuletakkan kembali gaun itu.

Aku berkeliling untuk mencari sebuah gaun yang cocok. Hingga sebuah gaun hitam selutut dengan tangan panjang. Aku rasa itu sati-satunya gaun yang tidak memperlihatkan banyak bagian tubuh.

Kuambil gaun itu dari gantungan yang bersamaan dengan itu seseorang menariknya juga. Mr. Eldrich menatapku dengan mata birunya yang seperti magnet bumi.

"Aku rasa, aku yang mendapatkan gaun ini lebih dulu." Kutarik gaun itu darinya.

Tapi Mr. Eldrich tidak mau mengalah. "Maaf, tapi adikku lebih membutuhkannya daripada dirimu."

Entah mengapa perkataan itu menyinggungku. Dan aku tidak akan kalah darinya kali ini. Di rumahnya, aku adalah pekerjanya, tapi di luar sini aku punya hak yang sama.

"Maaf, kau tidak pernah mendengar ucapan ladies first?" Kupegangi tangannya untuk menjauh dari gaunku.

"Tidak, yang aku tahu gaun ini milikku." Dia begitu keras kepala.

Seharusnya, aku mengalah saja saat Mr. Eldrich memegang gaun itu. Sayangnya, rasa egoku dan tidak ingin dikalahkan olehnya begitu besar. Dengan emosi yang begitu besar, kulepaskan satu-satunya gaun yang menarik perhatianku. Tentu saja kuhadiahi sebuah pukulan diperut sebelum itu.

Morgan yang melihat kejadian itu, sama sekali tidak menyangka dengan mulutnya yang terbuka lebar. Entah karena aku memukul Mr. Eldrich atau karena dia bertemu secara langsung dengan pria itu.

Dua orang petugas toko membantunya berdiri dan mengatakan akan mengusirku. Tapi Mr. Eldrich mengatakan tidak perlu. Dia langsung membayar gaun itu dan pergi.

"Jordan! What the hell!" Morgan melototkan matanya padaku.

"Dia pantas mendapatkan itu," gerutuku.

"I know. Tapi bagaimana kau bisa seberani itu? Oh dan kau lihat, dia bahkan tidak mengusirmu dari sini saat para petugas ingin melakukannya." Morgan justru terdengar antusias.

Aku mengerutkan kening. "Apa sih maksudmu?" tanyaku sambil melihat-lihat gaun lain.

Morgan mengekorku. "Pasti ada sesuatu yang belum kau ceritakan padaku," katanya.

Kutarik sebuah gaun sederhana berwarna hijau. Morgan dengan cepat meraihnya dan meletakkannya kembali. "Kau butuh gaun yang lebih bagus dari itu," katanya seolah dia memiliki sebuah rencana yang tidak aku ketahui.

Morgan mulai berkeliling hingga akhirnya dia menyodorkanku sebuah maxi dress berwarna biru tua berdada rendah dengan belahan dari paha. Dia kemudian mendorongku masuk untuk mencobanya.

"Aku tidak mau mengenakan ini," tuntutku.

"Pakai saja dulu," paksanya.

Kuturuti permintaannya dan keluar dengan gaun itu. Kupandangi diriku di kaca. Gaun ini terlalu memperlihatkan bagian punggungku. "I don't like it," gumamku.

Morgan justru tersenyum. "Kau akan mengenakan gaun ini."

Setelah selesai berbelanja pakaian sekaligus sepatu. Tujuan kami berikutnya adalah salon kecantikan. Butuh waktu berjam-jam untuk merapikan rambut dan mendandani wajah kami.

Mereka mengikat rambutku ke belakang dan membuatnya seperti buntalan. Sedangkan Morgan lebih memilih rambutnya dikuncir kuda saja.

Sekarang, kami pulang ke rumah dan bersiap-siap untuk mengenakan gaun dan sepatu yang kami beli.

"Pukul berapa acaranya dimulai?" tanyaku pada Morgan.

"Pukul delapan untuk para tamu hadir. Mungkin acara intinya baru mulai pukul sembilan." Morgan menata rambutnya lagi di depan cermin. Dia kemudian menoleh padaku. "Kau berhutang cerita padaku."

Aku tahu aku belum menceritakan kejadian kemarin malam. Aku bahkan tidak mengerti maksudnya, begitu juga dengan tatapan Mr. Eldrich.

"Oke, kemarin malam saat kau menyediakan makan malam untukku, aku membawanya untuk bekal. Lalu adik Mr. Eldrich yang ternyata seumuran dengan kita meminta bekalku. Akhirnya kuberikan karena dia lapar dan berjanji akan membelikanku pizza, lalu secara tiba-tiba Mr. Eldrich datang dan membuang makanan yang dimakan adiknya," kataku panjang lebar.

"Pertama, kau menukar makananku dengan pizza. Kedua seorang Eldrich membuang makanan yang kubuat. Aku sudah cukup patah hati." Morgan meletakkan kedua tangannya di dada.

"Kau putus dengan Ryan? Does Ryan did this to you?" tanyaku.

Morgan justru tidak mengerti pertanyaanku. Dia mengerutkan keningnya dan membalikkan badannya ke arahku. "Apa? Kenapa kau mengatakan itu?" tanyanya balik.

"You said you broken," jawabku.

"I mean the food. We talking about the food." Morgan sekarang menatapku dengan penuh pertanyaan. Tapi dia ingin mendengarkan ceritaku, jadi dia memintaku untuk melanjutkan.

"Lalu, seperti biasa Goddess of Bitch datang untuk memasak dan membuat empat porsi untuk Mr. Eldrich, Luke sepupunya, Tori adiknya, dan si koki sendiri. Tapi ternyata, porsi yang aku kira untuk Tori adalah untukku—"

Morgan memutus ceritaku tiba-tiba. "Luke sepupunya Mr. Eldrich? Bagaimana kau bisa tahu namanya?"

"Itu cerita lain. Oke, jadi porsi Tori sebenarnya untukku. Mr. Eldrich yang mengatakannya padaku saat aku makan sereal di dapurnya. Dia bilang, aku meminta Aphrodite untuk membuatkan makanan untukmu juga," lanjutku, berusaha meniru perkataan Mr. Eldrich.

Setelah aku selesai bercerita, Morgan diam sesaat. Seolah dia mencerna semua kalimatku dan memahaminya. Dia kemudian tersenyum kegirangan. "He likes you," serunya.

"Morgan, kau tidak mendengar semua ceritaku, ya?" Kupasang wajah datarku.

"Oh, aku justru sangat mengerti ceritamu. Elijah Eldrich menyukaimu, Jordan. Kalau begitu, rencanaku pasti akan berhasil." Dia terdengar antusias.

Aku yang justru khawatir. Terutama pada rencana apa yang dia pikirkan. "Rencana apa?" tanyaku.

"Pesta dansa untuk amal ini. Semua orang terkenal dan para pebisnis pasti datang. Dan aku sangat yakin, Mr. Eldrich akan datang. Kau akan membuatnya terpesona." Morgan berdiri dari kursi dan menarikku untuk pergi.

"Hey, kenapa kau tidak katakan padaku sebelumnya tentang ini. Aku tidak mau datang." Kutarik lenganku yang dipegangi Morgan.

"Kau sudah berdandan, jadi kau tidak ingin ini sia-sia, kan?"

"Lebih baik sia-sia daripada harus bertemu pria itu lagi."

Morgan menarik lenganku terus menerus dan memanggil taksi untuk kami menuju tempat pesta.

Bahkan saat sampai di depan gedung, aku tidak mau keluar dari taksi. Tapi Morgan mendorongku turun dan berdiri di atas red carpet yang berisi puluhan wartawan dan fotografer.

Morgan mengenakan gaun berwarna abu-abu dengan pernak-pernik menghiasi bagian dadanya. Dan dia mulai berpose setiap kami berjalan.

Saat di depan pintu gedung, seorang petugas meminta undangan untuk bisa masuk. Kutarik Morgan untuk berbisik padanya. "Kau punya undangannya, kan?" tanyaku.

"Tenang saja. Mereka pasti tahu aku anak dari keluarga Killian," bisiknya balik.

"Tolong undangannya," pinta si petugas.

Morgan tersenyum pada petugas itu. "Aku Morgan Killian, anak satu-satunya dari Frank Killian."

"Undangannya?" tanya petugas itu, seolah dia tidak mendengar perkataan Morgan.

Morgan bertolak pinggang. "Kau tidak dengar? Aku anak dari Frank Killian yang mengadakan pesta di tempat ini," cetusnya.

"Tidak ada undangan, tidak bisa masuk. Lagipula jika kau anak Mr. Killian, kau seharusnya sudah berada di dalam sejak awal." Petugas itu kemudian beralih dari kami.

Morgan sudah sangat kesal karena secara tidak langsung kami diusir. Aku justru merasa lega karena artinya kita akan pulang. Akan tetapi, semua kelegaan itu hilang seketika saat seseorang merangkul pinggangku.

"This lady with me," ujar Luke yang merangkul pinggang Morgan juga. Dia kemudian memberikan kartu undangannya pada petugas.

"Thank you, Mr. Seriozhenka." Petugas itu terlihat kesulitan mengucapkan nama belakang Luke.

Morgan menatapnya dengan senyuman yang lebar. "Thanks, but who are you?" tanyanya.

Aku belum menceritakan mengenai Luke. Dan Morgan pasti akan memaksaku menceritakan semuanya setelah ini.

"Dia, Luke. Sepupu Mr. Eldrich." Kujawab pertanyaan Morgan sebelum Luke yang menjawabnya.

"Oh, kau berhutang banyak cerita padaku, Jordan." Morgan memberikan senyuman menggodanya padaku. "Dan aku Morgan, sahabatnya Jordan."

Luke memberikan jabat tangan pada Morgan. "Nice to meet you, Morgan," katanya.

Kami berjalan menuju ruang utama. Di mana semua orang sedang berbincang satu sama lain. Aku berani bertaruh, mereka pasti membicarakan mengenai bisnis. Satu topik yang sangat tidak aku sukai, selain politik.

"Well, ladies, jika kalian tidak keberatan aku harus pergi menemui seseorang." Luke memberikan senyuman pada Morgan, kemudian matanya tertuju padaku. "Gaun yang indah. Aku jadi bisa melihat betapa indahnya punggungmu yang sehalus sutra."

Aku melototkan mata dengan mulut yang terbuka. Sedangkan Morgan hanya tertawa saat mendengar Luke mengatakan hal itu.

"Sudah kubilang, aku tidak suka gaun ini," protesku.

"Gaun itu cocok untukmu yang selalu berada di zona aman," kata Morgan. Matanya kemudian menoleh ke arah lain. "Nah, sekarang aku harus mencari ayahku. Nikmati pestanya."

Aku memutar bola mata. "Seperti aku bisa pergi saja," gumamku.

Sekarang, hanya ada diriku sendirian di depan meja hidangan. Kuambil sebuah kue untuk dimakan. Kebanyakan orang berbincang di tengah-tengah ruangan dengan tangan memegang segelas sampanye. Sedangkan aku lebih memilih berdiri di pinggir ruangan berama meja peduh makanan.

Mataku kemudian tertuju pada seseorang yang baru saja datang. Jas merahnnya begitu kontras dengan mata birunya. Sedangkan wanita dengan gaun hitam yang seharunya menjadi milikku berada disampingnya, berjalan dengan anggun.

Mr. Eldrich datang bersama adiknya, Tori. Jika aku tidak mengenal Tori, mungkin aku akan mengatakan bahwa dia datang bersama pacarnya.

Kualihkan pandangan saat dia berjalan menembus kerumunan. Aku tidak akan terpesona olehnya. Sayangnya, aku sudah terlena. Padahal dia hanya mengatakan hal baik padaku sekali. Bahkan dengan nada yang masih menyebalkan.

Kuambil kue di meja dan memakannya tanpa henti. Saat dilain sisi orang-orang menikmati minuman mereka, aku justru menikmati hidangan di meja. Lagipula tidak banyak yang mengambil makanan, jadi kalau bukan aku yang memakannya, makanan ini akan terbuang sia-sia. Mungkin nanti aku akan membutuhkan tas untuk membungkusnya dan di bawa pulang jika tidak habis.

Sudah potongan kue ke lima belas sejak Morgan pergi meninggalkanku untuk mencari ayahnya. Sekarang aku sedang berpikir untuk mengambil potongan ke enam belas sebelum pergi ke toilet untuk menghindari lantai dansa. Aku dengar saat alunan musik dansa berirama, semua orang diwajibkan berdansa. Dan aku sangat payah akan hal itu.

Jadi, kuputuskan untuk mengambil sepotong kue keju berlapis saus strawberry di atasnya. Tanganku sudah menggapainya saat seseorang secara bersamaan meraih kue itu.

Kulirik orang itu. "Oh, tidak! Jangan dia lagi," batinku dalam hati saat melihat Mr. Eldrich.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top