C H A P T E R 7
Senin, hari yang sibuk bagi sebagian orang. Begitu juga dengan Morgan yang bekerja di sebuah perusahaan majalah entertainment. Dia sudah berangkat bekerja sejak pukul delapan pagi, sedangkan aku baru bangun pukul sembilan.
Sebuah pesan tertempel di lemari pendingin. Mengatakan bahwa Morgan sudah menyiapkan sarapan untukku dan aku bisa menghangatkannya di microwave.
Setelah sarapan, aku berniat untuk melakukan kebiasaan lari pagiku, walaupun sudah terlalu siang untuk itu. Tapi saat mengingat kalau-kalau aku bertemu dengan Mr. Eldrich lebih baik aku urungkan niatku dan berolahraga dirumah.
Bel pintu berbunyi saat aku baru saja menyelesaikan 30 kali squats. Kuhampiri pintu dan membukanya.
"Wow," gumamnya. Luke menatapku dengan tatapan super mesum dengan melirik dadaku.
Kupelototi dirinya dan mengambil jaket yang kugantungkan di dekat sofa. "Mau apa kau ke sini?" tanyaku sambil menaikkan kancing hingga ke atas.
"Aku hanya ingin menemuimu," jawab Luke.
Aku tidak menanggapinya sama sekali dan kami hanya saling bertatapan di depan pintu.
"Kau tidak menyuruhku masuk?" Luke melirik ke dalam.
"Tidak." Kulipat kedua lenganku di dada.
Luke kemudian mendorongku masuk dan menutup pintu dengan kakinya. Kudorong kembali Luke hingga dia tersudut di pintu. Kutatap wajahnya sesaat dan membuatku jadi lengah karena dia berhasil membalikkan keadaan.
Tubuh Luke berada didepanku yang tersudut dipintu. Satu tangannya berada di bahuku dan satunya lagi berada di samping kepalaku.
"Gerakanmu sungguh bagus, Jordan," katanya dengan sebuah senyuman nakal.
"Aku pandai berkelahi, asal kau tahu saja." Kutendang perutnya seperti terakhir kali kami bertemu. Namun dia berhasil menangkisnya.
"Tidak semudah itu." Tangan kanan Luke menangkis lututku.
Kutinju kembali perutnya dengan tanganku yang bebas. Tentu saja dia tidak memperkirakan itu. Luke mundur beberapa langkah, membuatku mendapatkan sedikit ruang untuk menggapai kenop pintu.
Tapi dengan cepat, Luke menggapainya juga. Sebelah tangannya sudah melingkari pinggangku. Kami seolah seperti seseorang yang akan menari.
Kutarik tubuhku dengan cepat dan menghindarinya. "Kau sebaiknya pergi dari sini sebelum kutinju wajahmu," ancamku.
"Wow, agresif. I like that," gumamnya.
Pria ini benar-benar membuatku frustasi. Kuhembuskan napas panjang karena kelelahan. Kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Luke mengekorku hingga ke dapur.
"Itu menyenangkan," katanya.
Aku tidak menanggapinya. Kemudian berjalan kembali menuju ruang tamu, mengambil sepatu di rak dan berjalan keluar apartemen.
"Hey, kau mau ke mana?" tanyanya.
"Aku menyerah," ujarku sambil mengenakan sepatu. "Kau bisa tinggal di apartemenku. Aku yang akan pergi."
"Oh, ayolah—" sebuah dering telepon milik Luke berbunyi sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya.
Luke menatap layar teleponnya dan mengangkatnya. "Ya, ada apa?" tanyanya pada seseorang dari balik sambungan telepon.
Dia kemudian diam untuk mendengarkan. Anehnya, aku penasaran dengan siapa dia berbicara.
"Ya, akan aku hubungi kau nanti." Dan Luke memutuskan sambungannya. Dia kemudian beralih padaku. "Aku sangat menikmati waktuku denganmu. Tapi aku harus pergi. Aku akan menemuimu nanti."
"Oh, tidak perlu repot-repot. Aku tidak akan menunggumu. Lagipula, aku akan pindah saat kau kembali," balasku.
Luke hanya tersenyum, dia kemudian meninggalkanku. Tapi aku jadi penasaran pada apa yang dia bicarakan. Terutama saat Ryan mengatakan bahwa saudara Mr. Eldrich datang dari Rusia dan mereka merencanakan sesuatu.
Aku tahu, tugasku hanya memata-matai Mr. Eldrich di rumahnya. Mencari informasi dari dalam. Tapi, aku cukup penasaran dengan Luke dan aku akan membuntutinya.
Luke pergi menggunakan mobil pribadinya. Aku tentu tidak akan sanggup mengejarnya jika berlari. Jadi kugunakan taksi untuk membuntutinya. Hingga mobil Luke berhenti pada sebuah toko barang antik. Dan kuminta supir taksiku untuk berhenti di seberangnya.
Aku tidak bisa masuk ke dalam karena Luke bisa melihatku. Tapi kaca transparan di toko memberikanku penglihatan yang cukup. Aku bisa melihat seorang pria dengan jas hitam memberikan sebuah koper pada Luke dan dia memberikan sebuah amplop cokelat pada pria berjas hitam. Mereka melakukan transaksi.
Setelah itu, Luke kembali pada mobilnya. Membuatku harus menunduk agar tidak terlihat olehnya.
"Kau sedang memata-matai pacarmu?" tanya si supir taksi yang menoleh padaku.
Kulirik si supir taksi. "Bukan," jawabku.
"Mantan?" tanyanya lagi.
"Kenapa kau berpikir pria itu pacarku?" tanyaku balik sambil memutar bola mata.
Si supir taksi akhirnya berbalik lagi. Kemudian melirik dari kaca tengah. "Kalau begitu kau terobsesi dengannya dan mengikuti pria itu," katanya.
"Excuse me?" kutatap balik si supir melewati kaca tengah.
Dia tidak mengatakan apa-apa dan mulai menyalakan mesin mobilnya. kupinta dia untuk membawaku kembali ke apartemen.
"Ambil saja kembaliannya," kataku saat sampai di apartemen. Padahal, uang yang aku berikan tidak lebih sama sekali.
"Kembaliannya dari mana, dasar stalker," gerutunya. Aku baru saja akan berbalik saat dia dengan cepat meluncur ke jalan.
Kuhabiskan sisa waktuku sampai pukul lima dengan membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Setelah itu meluncur ke tempat bekerja.
Di halaman aku melihat si tukang kebun yang tidak melirik ke arahku sama sekali. Pak tua itu sedang sibuk dengan mesin pemotong rumput yang sepertinya tidak mau menyala.
"Sir, may I help you?" tanyaku dari kejauhan.
Pria tua itu tidak menoleh ke arahku. Dia masih sibuk dengan mesin pemotong rumputnya.
Kudekati perlahan-lahan hingga akhirnya dia menoleh padaku. "Bisa kubantu, pak?" tanyaku.
Pria tua itu kemudian menggeleng dan mengisyaratkan padaku bahwa dia tidak bisa mendengar.
"Oh," gumamku. Kulirik mesin pemotong rumput itu. Mungkin aku bisa memperbaikinya, aku sering membenarkan barang-barang di rumah. "Bisa aku lihat? Mungkin aku bisa membantumu membenarkan mesin ini." Kugunakan gerakan tangan agar dia mengerti.
Dia mengangguk dan menyerahkan mesinnya padaku.
Aku berlutut, mulai melihat ke dalam mesin itu untuk mencari tahu masalahnya. Pria tua ini sudah mencoba untuk membenarkan sedikit kerusakan pada kabelnya, tapi masih ada sebagian yang aku lihat terbakar.
Kupinta gunting dan lem untuk menyambungkan kembali kabel yang terbakar dan mulai menyalakan mesinnya. Saat suara kasar terdengar dari dalam mesin, aku tersenyum pada si pria tua. "Ini sudah menyala," kataku.
Dia melirik mesinnya dan mulai mencoba memotong rumput. Kemudian berbalik padaku untuk mengucapkan terima kasih dengan bahasa isyarat dan mulai memotong rumput kembali.
Senang rasanya bisa membantu seseorang. Tapi aku bertanya-tanya. Kenapa Mr. Eldrich mempekerjakan pria tua sepertinya? Bukan berarti itu buruk. Maksudku, pria itu seharusnya sudah tidak perlu bekerja lagi dan menikmati masa tuanya.
Kalau dipikir-pikir, Mr. Eldrich hanya memiliki dua pekerja di rumahnya, pria tua itu dan Easter. Keduanya sama-sama terlihat sedikit menyedihkan. Apa mereka mempunyai hutang dengan Mr. Eldrich dan hanya bisa membayarnya dengan bekerja seumur hidup untuknya? Apakah itu tidak terlalu kejam?
Kubuang pikiran mengenai hal itu dan masuk ke dalam. Theo muncul dari balik ruangan jaga dengan jas yang digantung di tangannya.
"Hai, Jordan," sapanya.
Aku hanya tersenyum padanya.
"Apa kau bisa ikut denganku menemani Mr. Eldrich besok pagi bertemu kliennya?" tanya Theo padaku. "Andrew, bodyguard yang biasanya membantuku saat Mr. Eldrich akan pergi tidak bisa masuk besok dan aku butuh backup."
Aku bertolak pinggang, berpikir kalau aku akan bekerja dua kali. "Apa aku akan tetap menjaga besok malam?" tanyaku balik.
"Tidak perlu, aku yang akan berjaga malam besok kalau kau membantuku paginya." Theo melipat kedua lengannya di dada. Membuat otot-otot bisepnya menonjol. Aku jadi penasaran olahraga macam apa yang dia lakukan setiap hari.
Aku mengangguk. "Baiklah," kataku setuju.
"Oh, ya. Aku lupa memberimu ini." Theo meraba saku celananya dan mengeluarkan sebuah kunci dan mengodorkannya padaku.
"Apa ini?" tanyaku.
"Kunci belakang rumah ini. Kau akan memegang ini kalau-kalau Mr. Eldrich belum pulang," jelasnya.
Sebuah kunci dengan gantungan berbentuk seperti lonceng untuk kucing. Kugerak-gerakkan lonceng itu dan membuatku seperti seekor kucing yang tidak boleh hilang dari pemiliknya.
"This is cute, to be honest. Tapi aku bukan seekor kucing," candaku.
Theo tersenyum mendengarnya. "Jangan sampai hilang," pintanya.
"Bagaimana bisa hilang?" kugoyang-goyangkan lonceng itu lagi.
Theo tersenyum lagi hingga akhirnya dia meninggalkanku. Cepat-cepat aku masuk ke dalam ruanganku. Tidak ingin bertemu dengan Mr. Eldrich yang menyebalkan. Aku bahkan sudah berjaga-jaga membawa camilan dan botol minum sendiri. Karena aku berniat untuk tidak bertemunya secara langsung dengan tetap berada di pos jagaku.
Seperti biasa, The Goddess of Bitch datang dengan pakaian yang mencolok. Dia mulai memasak saat Mr. Eldrich datang dan setelahnya mereka makan bersama.
Keesokan harinya, aku merasa beruntung karena harus bekerja pagi hari. Aku jadi bisa beristirahat nanti malam. Theo sudah bersiap saat aku sampai. Dia mengenakan seragam jas hitamnya seperti biasa.
Kutanya Theo apakah aku harus berganti pakaian seperti dirinya. "Apakah aku harus mengenakan jas hitam sepertimu?"
Theo tersenyum. "Tidak perlu," jawabnya.
Bersamaan dengan itu, Mr. Eldrich muncul dan menoleh padaku. "Dia ikut dengan kita?" tanyanya.
"Ya," jawab Theo.
Dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan masuk ke mobil. Theo yang mengendarai mobil. Aku duduk di sebelahnya.
Saat kami sampai, Theo memberikan kunci mobil pada pelayan. Kami kemudian ikut berasama Mr. Eldrich masuk ke dalam sebuah restoran mewah.
Mr. Eldrich disambut oleh seorang pelayan yang menunjukkan meja untuknya. Di mana, sepasang pria dan wanita menunggunya. Mungkin seperti acara sarapan pagi bersama dengan topik bisnis yang menjadi menu utamanya.
Aku dan Theo menunggu di meja lain. Tidak terlalu jauh dan tetap dalam jangkauan kami. Kulirik Theo yang matanya menjelajahi sekitar, dia selalu waspada.
"Sudah berapa lama kau bekerja dengannya?" tanyaku pada Theo.
Mata Theo masih berkeliling, tapi dia menjawab pertanyaanku. "10 tahun."
"Wow, that's crazy number for someone work to somebody." Kuikuti arah mata Theo.
"Aku bekerja dengannya sejak orang tuanya meninggal karena kecelakan. Saat itu aku bertemu dengannya di bar dan dia sangat kacau. Berkelahi dengan orang-orang dan membuat keributan. Aku menolongnya saat itu," jelasnya.
"Kecelakaan? Aku kira itu pembunuhan," kataku.
Mata Theo sekarang berhenti berkeliling dan tertuju padaku. "Kenapa kau beranggapan seperti itu?"
"Mereka menemukan mobilnya di tengah-tengah hutan. Jika itu kecelakaan, seharusnya mobil itu terbalik dan terguling, mengingat mereka terjatuh dari jurang. Alih-alih mobil itu hanya terlihat seperti menabrak pohon." Kujelaskan teoriku mengenai kematian yang janggal dari kedua orang tua Mr. Eldrich.
Aku mencari beberapa informasi mengenai kejadian itu, di mana kasus itu sangat tertutup sekali. Saat itu umurku masih 14 tahun. Tapi mengingat bahwa Eldrich adalah orang yang merubah pikiranku. Kucari informasi siapa saja yang meninggal dalam kecelakaan itu. Setelah itu, aku tidak pernah mendengar nama Eldrich lagi sampai beberapa minggu yang lalu berita mengenai Eldrich muncul.
Awalnya aku kira itu adalah keturunan Eldrich yang lain. Mungkin sepupu dari ayahnya atau paman dari ayahnya. Tapi ternyata, itu Eldrich yang aku temui 14 tahun yang lalu.
"Mungkin kau benar, hanya saja tidak ada bukti yang kuat untuk membuktikannya." Mata Theo mulai menjelajah lagi.
"Belum, bukannya tidak ada. Mereka hanya belum menemukannya. Kasus itu sangat tertutup, pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan." Kulirik Theo kali ini, menunggu reaksinya.
Tapi Theo sama sekali tidak bereaksi. Dia malah jadi lebih diam sejak itu sampai kami menuju ke gedung Eldrich Inc.
"Kau bisa pulang, Mr. Eldrich akan berada di kantor sepanjang sisa hari ini," katanya mempersilahkanku untuk pergi.
Tentu aku masih sangat ingin membicarakan mengenai kecelakaan janggal itu. Tapi Theo terlihat tidak ingin membicarakannya. Aku jadi curiga dia menyembunyikan sesuatu. Namun, harus kubuang jauh-jauh pemikiran itu.
Hari berikutnya, jadwalku kembali sepetlrti biasanya. Aku juga melakukan seperti kemarinnya dengan tidak pernah keluar ruangan saat sedang berjaga. Dan hari-hari setelahnya juga begitu. Tidak ada hal mencurigakan yang dilakukan Mr. Eldrich selama aku berjaga. Aku juga memeriksa setiap rekaman hari itu dan melaporkannya pada Ryan. Aku hanya menatapi Mr. Eldrich dan The Goddess of Bitch makan dan bercengkrama. Atau lebih tepatnya, wanita itu menggoda Mr. Eldrich.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top