C H A P T E R 4

Lobby utama sudah mulai ramai dengan para pekerja. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul sepuluh. Masih sangat pagi untuk kembali ke apartemen, lagipula Morgan juga sedang bekerja. Omong-omong soal Morgan, aku harus meneleponnya dan memberi tahu bahwa aku diterima. Jadi, kuraba saku untuk mengambil telepon dan memanggil Morgan.

"Jordan, katakan padaku kau mendapatkan pekerjaannya," katanya dengan antusias.

Aku berpikir untuk mengerjainya, kupelankan suaraku dan berusaha untuk terdengar kecewa. "Maafkan aku, Morgan. Mereka mendapatkan orang lain untuk pekerjaan ini."

Morgan diam seketika. "Tidak apa. Mungkin kau akan mendapatkan pekerjaan lain. Hanya saja, kita harus mencari tempat tinggal yang lebih kecil." Suara antusiasnya menghilang.

Saat ini, aku benar-benar tidak percaya bahwa Morgan mempercayai omonganku. Dan aku sangat ingin tertawa dan tidak bisa menahannya lagi. "I'm kidding! Aku mendapatkan pekerjaannya," kataku sambil tertawa.

Lagi-lagi, Morgan terdiam. "Bitch! You gotta fucking kidding me! Aku hampir terkena serangan jantung." Kali ini dia berteriak.

Kujauhkan teleponku saat Morgan sudah mulai mengomel. Omelannya itu benar-benar tidak bisa ditahan dan dia akan berhenti hanya saat kau meminta maaf. "Maaf," kataku.

Dan akhirnya dia berhenti. "Kita harus merayakannya kalau begitu." Sekarang Morgan terdengar lebih lembut. Namun masih terdengar nada kesal yang dibuat-buat. "Nanti malam, bar baru di dekat perempatan jalan tiga blok dari apartemen kita bagaimana?"

Aku sangat ingin mengiyakan ajakannya, sayangnya aku punya jadwal baru sekarang. "Aku harus bekerja malam ini."

"Kau sudah mulai bekerja malam ini?" tanyanya begitu antusias. "Kalau begitu kita bisa merayakannya lain hari."

"Baiklah," kataku.

"Kalau begitu, sampai jumpa di rumah. Aku menyanyangimu, Jordan."

"Aku tahu," godaku dan langsung menutup teleponnya.

Aku jadi penasaran dengan bar yang Morgan katakan. Apa benar ada bar baru di dekat sana. Karena rasanya, aku baru lewat tempat itu pagi tadi dan tidak ada bar baru dekat perempatan itu.

Selagi berjalan menuju apartemen, aku berusaha untuk mengingat-ingat mengenai bar itu untuk memastikannya, kalau-kalau Morgan salah lihat. Tapi ternyata aku yang salah.

Bar itu baru akan buka malam ini untuk pertama kali. Mereka pasti akan memberikan minuman pertama gratis. Tapi aku tidak bisa pergi karena pekerjaan baruku. Lagipula, aku tidak terlalu suka ke bar, terlalu berisik dan terlalu banyak orang mencurigakan.

"Terlalu pagi untuk mabuk dan pergi ke bar?" tanya seorang pria yang berdiri tepat di sampingku. Pria itu berdiri sejajar denganku sambil memandangi depan bar dengan seksama.

Aku menoleh ke arahnya. Menganggapnya aneh dan pergi begitu saja. Namun, pria itu ternyata mengikutiku dan mensejajariku lagi.

"Hey, kenapa kau pergi? Tidak jadi masuk ke dalam bar?" tanyanya lagi.

Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak berbicara dengannya. Jadi kugunakan bahasa isyarat yang kupelajari sedikit agar orang asing tidak berbicara padaku saat aku menginginkannya. Tidak banyak orang yang bisa bahasa isyarat dan pria ini pasti akan langsung pergi saat tahu aku menggunakan bahasa isyarat.

"Aku tidak bisa mendengar," kataku dengan gerakan tangan.

"Oh, kau tidak bisa mendengar? Kalau begitu, kita bisa gunakan bahasa isyarat. Aku bisa bahasa isyarat," kata pria itu dengan gerakan tangan isyarat yang beberapa tidak kumengerti.

Sial, dia bisa bahasa isyarat dan bagaimana aku menjawabnya dengan bahasa isyarat?

"Kenapa kau memandangi bar itu? Kau tidak jadi masuk?" pria itu masih menggerakan tangannya untuk bahasa isyarat.

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Kuberhentikan langkahku tiba-tiba. Menatap pria itu lekat-lekat dan akhirnya aku menyerah.

"Oke, aku bisa berbicara dan mendengar. Sekarag bisakah kau tinggalkan aku?" pintaku.

"Oh, aku kira kau benar-benar tidak bisa berbicara dan mendengar." Aku mendengar nada keterkejutannya yang tidak dibuat-buat. "Kenapa kau melakukan itu?" tanyanya.

Aku melanjutkan jalanku. "Apa?"

"Berpura-pura," jawabnya.

Kuberhentikan jalanku lagi. Sekarang, aku menghadapkan tubuhku pada pria asing itu. "Aku tidak berbicara dengan orang yang tidak dikenal. Terlebih lagi, kau terlihat seperti pria yang suka menggoda gadis-gadis dan bercumbu dengan mereka. Aku tidak tertarik dengan itu."

"Dengan apa? Berbicara denganku?" pria itu seolah memiliki banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan padaku.

"Melakukan kontak langsung denganmu," jawabku kesal.

Dia justru tertawa.

"Sekarang, jangan ikuti aku."

"Kau bahkan tidak mau tahu namaku?" Pria itu mulai berhenti mengikutiku.

"Tidak!" teriakku.

"Luke Pavel Vyacheslav Seriozhenka," teriaknya balik. "Itu namaku."

Aku lebih mendengarnya seperti dia mengucapkan sebuah mantra sihir daripada menyebutkan namanya. Kulirik ke belakang setelah belokan pertama, memastikan pria itu tidak mengikutiku. Untungnya saja tidak.

Setelah sampai di rumah, kucoba untuk menyibukkan diri. Menyalakan televisi dan mendapati berita mengenai bos baruku, Mr. Eldrich. Kali ini mengenai persaingannya dengan pengusaha lain. Banyak yang tidak menyukainya, tapi pada kenyataannya, mereka tetap bekerja sama dengan Eldrich Inc.

"This man really have an issues," gumamku.

Pukul lima terasa begitu cepat saat kuhabiskan waktuku menonton satu season habis yang hanya ada enam episode dari film series baru berjudul bodyguard di netflix. Oke, bukan karena aku akan menjadi seorang bodyguard dan membutku jadi menontonnya. Tapi karena tokoh utamanya yang ternyata memiliki aksen Scottish yang terdengar begitu sexy.

Morgan telah pulang pada pukul empat. Dia bilang akan menghabiskan malam bersama Ryan di rumah selama aku berkerja. Tapi sudah kupesan pada Morgan, tidak boleh bercumbu di sofa. Dan tentu saja Morgan hanya tertawa saat aku mengatakan itu.

Sekarang, aku berdiri di depan sebuah gerbang hitam tinggi. Aku yakin tadi aku memberikan alamat pada supir taksi masih daerah New York. Tapi saat aku turun dari mobil, rasanya aku seperti berada di California dengan rumah-rumah mewah dan halaman luas.

Kutekan tombol di depan gerbang yang seketika terbuka pegitu saja. Hebat, dia punya gerbang ajaib.

Kupandangi air mancur yang menghiasi bagian tengah halaman dan mobil-mobil mewah yang terparkir. Berapa banyak mobil yang dia punya? Kadang aku suka berpikir bahwa orang-orang kaya menghamburkan uang untuk yang tidak perlu. Aku dulu pernah menghamburkan uang ayahku untuk hal seperti itu. Sebelum aku sadar bahwa semua itu adalah hal yang sangat tidak berguna.

"Jordan," sapa Theo yang keluar dari dalam rumah. Pakaiannya sudah berganti menjadi lebih santai dengan jins dan kaus hitamnya. "Ayo, aku akan tunjukkan tempat kerjamu."

Kuikuti Theo yang masuk kembali ke dalam rumah. Ayahku pasti akan berani membayar mahal untuk masuk ke dalam rumah seorang Elijah Eldrich.

Theo kemudian berhenti pada sebuah pintu di pojok ruangan. Dia kemudian membukakan pintunya dan mempersilahkanku masuk terlebih dahulu.

Ruangan yang dipenuhi layar untuk memantau cctv di setiap sudut rumah dan sebuah tempat tidur untuk satu orang dengan meja yang menghiasi sampingnya. Serta lemari besi yang aku yakini untuk meletakkan arsip cctv dan tidak membantu sama sekali untuk menghilangkan kesan kekosongan pada ruangan ini.

"Kau tahu cara kerja alat ini kan?" tanya Theo tiba-tiba.

"Tentu," jawabku. Tentu saja aku pernah menlihatnya di film-film dan rasanya tidak akan sulit.

"Setiap hari, remakanannya akan diganti dan diletakkan di dalam lemari." Theo membuka lemari besi yang berisi rekaman-rekaman lama. "Kasur itu, kau bisa tidur beberapa saat sebelum kau pulang nanti di sana jika kau mau."

Aku melirik kasur itu. Dan berpikir jika Theo yang biasanya berada di sini, berarti dia juga tidur di kasur itu.

Kuangkat tanganku untuk bertanya, seolah ini adalah tur sekolah. "Apa kau pernah tidur di kasur itu?" tanyaku.

Theo terdiam sesaat. "Ya, aku sering tidur di sana."

"Dan kau membolehkanku tidur di kasurmu secara tidak langsung?" tanyaku lagi.

Pria itu mengerutkan keningnya.

"Lupakan saja," ujarku.

Theo akhirnya membawaku berkeliling rumah. Mulai dari dapur dan tempat-tempat yang boleh aku masuki. "Kau boleh mengambil makanan dan minuman apa saja di dalam lemari es. Untuk kamar atas, kau tidak boleh masuk ke dalam ruangan yang dikunci."

Jika kuingat-ingat, ini bukan bagian dari film 50 Shade of Grey yang terdapat salah satu kamar yang dilarang untuk dimasuki. "Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Itu kamar orang tua Elijah yang sudah meninggal. Dia hanya tidak ingin ada orang asing yang masuk kamar itu," jawabnya.

Itu membuatku lega. Jadi aku tidak perlu khawatir tertang apa-apa. Lagipula, semua orang butuh privasi, termasuk Elijah Eldrich yang hampir tidak memiliki privasi karena kepopulerannya.

"Baiklah, aku rasa hanya itu yang perlu dijelaskan." Theo melirik jamnya. "Aku harus pergi. Kuserahkan semuanya padamu."

"Yeah, don't worry. I'll be babysitting him," kataku mengekor Theo yang menghilang dari balik pintu ganda itu.

Setelah Theo pergi, aku kembali pada pos jagaku. Duduk dikursi beroda dan berputar-putar. Sejak tadi jika kuperhatikan, aku tidak melihat ada orang lain selain penjaga kebun dihalaman yang sudah pergi sejak sejam yang lalu dan seorang wanita yang membawa pakaian dari binatu.

Karena bosan, aku pergi ke dapur untuk mengambil beberapa camilan. Theo bilang, aku boleh mengambil makanan dan minuman dari dalam sana.

"Hai, kau pasti penjaga baru itu ya?" tanya wanita yang tadi membawa pakaian.

"Oh, hai. Ya, aku Jordan," sapaku sambil memperkenalkan diri.

"Aku Easter, aku yang membawakan pakaian Mr. Eldrich untuk dicuci dan membersihkan rumahnya," kata Easter.

Easter, terlihat seperti seorang wanita dengan banyak anak yang membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi keluarganya. Lingkaran hitam yang menghiasi matanya yang memberi tahuku bahwa dia adalah pekerja keras.

"Apa kau juga yang memasak untuk makan malam ini?" tanyaku.

"Bukan, bukan aku. Mr. Eldrich punya koki sendiri dan mungkin sebentar lagi dia akan datang untuk menyiapkan makan malam. Aku harus segera pergi, masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan." Easter tersenyum lemah padaku.

"Yeah, it's nice to meet you, Easter." Aku tersenyum balik pada Easter dan membiarkannya meninggalkanku di dapur.

Sekarang, aku mulai penasaran dengan koki yang Easter bicarakan. Dan kebetulan sekali, aku mendengar seorang masuk dari pintu utama. Tapi untuk berjaga-jaga, aku belari untuk melihat siapa yang datang.

Seorang wanita dengan celana hitam kulit yang ketat dan baju senada yang memperlihatkan hampir semua bagain punggungnya. Tidak mungkin dia adalah kokinya.

"Maaf, Nyonya, bisa kau tunjukkan identitasmu?" tanyaku dengan begitu resmi.

Wanita itu memelototiku. "Nyonya? Umurku tidak lebih dari tiga puluh tahun," ketusnya. "Dan siapa kau? Berani-beraninya menanyai identitasku."

Arghh. Aku benci skenario ini. Pasti selalu saja ada wanita menyebalkan di antara para orang-orang kaya ini. Seperti sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.

"Aphrodite, kau sudah datang," kata sebuah suara dari belakangku.

Mr. Eldrich mengenakan jasnya. Namun memadukan kaus dibaliknya dan celana bahan berwarna biru tua. Terlihat lebih santai, tapi terlalu formal untuk di dalam rumah.

Wanita yang dipanggil dengan sebutan Dewi kecantikan dan cinta itu berjalan melewatiku dan memeluk Mr. Eldrich dengan akrabnya.

"Apa menu makan malam hari ini?" tanya Mr. Eldrich.

"Apapun yang kau inginkan, Elijah," jawabnya dengan nada menggoda yang murahan.

Aku berdiri cukup lama seolah tidak ada, sampai si wanita menyebalkan itu bertanya pada Mr. Eldrich. "Dan siapa bocah ini? Dia pembantumu? Ke mana pembantu lamamu?" tanyanya dengan nada yang begitu sombong.

Sebenarnya, ini salah satu yang tidak kusuka saat bekerja dengan orang-orang kaya. Mereka suka merendahkan orang-orang.

"Bocah? You old granny, bitch!" Dan kutinggalkan wanita itu dengan mulut terbukanya dan pergi masuk ke dalam ruangan jagaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top