C H A P T E R 11
"Kenapa kau tidak memberi tahu nama aslimu?" tanya Mr. Eldrich saat aku akan meninggalkannya.
Tentu saja aku tidak perlu menjawabnya. Tapi, hanya agar dia tidak menganggapku sebagai pembohong aku menjawabnya kali ini. "Aku tidak berbohong padamu. Namaku Jordan Michael ... Shaterlee." Kuucapkan dengan pelan nama keluargaku.
"Kenapa kau menyembunyikan nama belakangmu?" tanyanya lagi. Seolah jawabanku yang dia dapat tidak cukup.
"Doesn't matter, kau tidak akan peduli," sindirku. Aku berbalik lagi untuk meninggalkannya kali ini.
"Aku peduli," ujar Mr. Eldrich. "Kau pikir kenapa aku mempekerjakan Aphrodite? Itu karena aku mengira dia adalah anak dari Robert Shaterlee."
Karena itu dia begitu baik pada Aphrodite sampai-sampai Mr. Eldrich tidak memedulikanku saat dia memakiku. Tapi untuk apa? Untuk apa dia peduli jika aku anak dari Robert Shaterlee? Dia akan mulai berprilaku baik padaku? Seharusnya dia berprilaku baik pada siapa pun.
Jadi, kutanyakan hal itu padanya. "Untuk apa kau peduli? Agar kau bisa memperlakukanku sepantasnya? Karena itu kau peduli? Kau sama seperti ayahku, hanya peduli pada orang-orang dengan jawabatan tinggi, yang memiliki gelar dan uang."
Mr. Eldrich terdiam saja saat aku marah-marah padanya. Ekspresinya tidak menunjukkan apapun padaku.
Lalu sebuah mobil melintas dengan sangat kencang dari arah Mr. Eldrich mengejarku. Mobil van berwarna hitam yang seketika seseorang mengeluarkan senjata dari balik kaca.
Kudorong Mr. Eldrich hingga dia terjatuh dan berlindung di balik mobil yang terparkir, sedangkan aku berada di posisinya. Suara tembakan dua kali terdengar. Dan mobil itu melaju lagi dengan sangat kencang.
Sebuah kaca pecah akibat peluru yang melesat. Untungnya, aku tidak terkena tembakan. Kuperhatikan peluru yang melesat di belakangku. Jaraknya tiga meter dari tempatku berdiri. Tapi sama persis dengan tempatku sebelum aku mendorong Mr. Eldrich. Aku benar-benar beruntung.
Mr. Eldrich menghampiriku dengan khawatir. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan mata yang menunjukkan bahwa dia bersungguh-sungguh.
"Aku rasa," jawabku.
Mr. Eldrich kemudian memelukku. Pelukan hangat yang membuat jantungku semakin berpacu cepat. Tapi tidak mengurangi rasa marahku padanya.
Orang-orang mulai berkurumun untuk mencari sumber keributan. Kami kemudian berdiri saat orang-orang menghampiri.
"Aku harus pergi. Laporkan kejadian ini pada polisi dan Theo." Adrenalinku saat ini benar-benar meningkat puluhan kali lipat.
"Jordan, apa kau masih bekerja untukku?" tanya Mr. Eldrich.
Aku berbalik. Tentu saja aku tahu jawabannya. "Ya, aku butuh uangnya."
Di apartemen, aku terus-menerus mondar-mandir memikirkan kejadian tadi. Saat orang tidak dikenal hampir saja menembak Mr. Eldrich. Tapi jarak antara diriku dan Mr. Eldrich cukup jauh 3 meter. Dan dari bekas tembakan yang kulihat, tidak mungkin dia salah membidik.
Jika dugaanku benar, pria di dalam mobil itu mengincarku bukan Mr. Eldrich. Tapi untuk apa dia melakukan itu? Agar aku tidak bisa menjadi bodyguard Mr. Eldrich dan mereka bisa dengan mudah menyergapnya di dalam rumah?
Yang jelas, aku harus berhati-hati. Semua ini pasti ada hubungannya dengan kejadian teror waktu itu. Aku akan lebih waspada kali ini.
Mengingat tentang pesta tadi, aku jadi lupa memberi tahu Morgan bahwa aku sudah pulang lebih awal. Jadi, kukirim pesan singkat padanya tanpa menunggu balasan. Dia pasti sedang sibuk entah mengurusi hal apa. Karena sejak tadi aku terus-menerus melihat Morgan berbincang dengan orang lain.
Apa mungkin ayah Morgan sudah menerimanya untuk memilih pilihnnya sendiri? Jika itu terjadi, aku akan sangat senang. Tapi aku tidak ingin dia menggunakan uang ayahnya untuk membayar semua kebutuhan kami.
Bunyi dering teleponku berbunyi. Awalnya, aku kira Morgan yang menelepon, sayangnya itu seseorang yang tidak aku harapkan.
Kuangkat telepon itu sambil menarik napas panjang sebelum mendengar ocehan ayahku. "Jika kau meneloponku hanya untuk menceramahiku, akan aku tutup teleponnya."
"Tunggu, ayah tidak akan menceramahimu apa-apa. Ayah hanya ingin mengatakan bahwa aku bangga padamu. Bekerja dengan seorang Eldrich, kenapa kau tidak menceritakannya padaku?" Ayahku terdengar begitu antusias. Belum pernah aku mendegar hal seperti itu darinya.
"Aku bekerja sebagai bodyguard-nya, tidak ada yang bisa dibanggakan. Lagipula, aku melakukan ini hanya karena aku membutuhkan pekerjaan." Well, itu karena CIA memintaku untuk memata-matainya dan bayarannya cukup bagus.
"Aku tidak peduli. Yang jelas, aku sangat bangga padamu. Siapa tahu kau bisa menikahinya, aku akan lebih senang lagi." Kali ini ayahku sudah diluar batas.
"Menikah dengannya? Pria keras kepala dan suka memerintah itu menjadi suamiku? Tidak pernah terpikir sedikit pun olehku," kubantah ayahku dengan mengatakan hal yang tidak kusukai dari Mr. Eldrich.
"Aku dulu keras kepala dan suka memerintah. Tapi saat aku menikahi ibumu, dia meredam semua sifat burukku." Sekarang ayah malah menceritakan pengalamannya yang membuatku tidak mengerti.
"What's the point?" tanyaku.
"Intinya adalah, setiap pria butuh wanita yang menjadi petunjuk jalannya. Dan kau adalah orang yang bisa melakukan hal itu untuk Elijah," jelas ayahku yang memberikan petuah seolah aku benar-benar akan menikah dengan pria itu.
"Oke, cukup sampai di situ. Aku tidak mau mendengar mengenai pernikahan lagi," kataku.
"Baiklah-baiklah, aku hanya ingin kau tahu, ayah dan ibumu sangat bangga padamu." Ayah diam sesaat. Aku tahu dia benar-benar bersungguh-sungguh mengatakannya.
"Sampaikan salamku pada ibu, katakan aku mencintainya." Dan aku menutup teleponnya.
Sudah lama sekali aku tidak pernah berbincang dengan ayah tanpa dimulai dan diakhiri dengan pertengkaran. Aku tahu aku menyayangi mereka dan mereka menyayangiku. Hanya saja, kadang mereka menjadi terlalu memaksa dan membuatku menjadi seorang pemberontak.
Kuhempaskan tubuhku di kasur setelah mengganti pakaian dan membersihkan riasan yang memakan waktu setengah jam. Aku benar-benar lelah sekali. Bukan hanya tubuhku, tapi pikiranku yang banyak memirikan sesuatu membuatku lelah bukan main.
Mulai dari Mr. Eldrich, Luke, pekerjaan di CIA, dan kejadian penembakan tadi. Jika dipikir-pikir, kejadian penembakan itu merupakan pertama kalinya aku benar-benar berhubungan langsung dengan senjata api yang membuat adrenalinku meningkat.
"Aku seharusnya merayakannya," gumamku. "Orang pasti akan berpikir diriku gila karena merayakan sesuatu yang hampir membunuhku."
Kupandangi langit-langit sampai membuatku terhipnotis untuk memejamkan mata dan tertidur.
***
Alarmku berbunyi seperti biasanya. Olahraga rutinku setiap hari minggu yaitu berlari dan aku sudah siap untuk pergi. Morgan belum bangun. Mungkin semalam dia pulang terlalu larut dan lelah, jadi lebih baik aku tidak membangunkannya.
Udara diluar cukup bagus, tapi tidak akan bertahan lama jika sudah memasuki bulan desember. Aku suka musim dingin, hanya saja akan terlalu susah berolahraga jika badai salju melanda. Dan aku akan cukup malas berolahraga di dalam ruangan.
Aku sedang melakukan peregangan setelah berlari sampai taman saat Mr. Eldrich juga berada di sana. "Kenapa aku jadi selalu bertemu dengannya setiap hari, sih," keluhku.
Saat aku akan menghindarinya. Sekumpulan anjing yang dibawa seorang wanita mengerumuniku. Anjing-anjing itu menyukaiku. Sampai-sampai mereka menarik-narik pakaianku. Dan aku terguling di bawah dikerumuni anjing yang menggelitikku.
"Maafkan aku, anjing-anjingku menyukaimu," kata wanita pemilik anjing-anjing itu. "Ayo anak-anak. Kita harus pergi." Wanita itu menarik anjing-anjingnya dan pergi.
Aku berbaring di aspal saat Mr. Eldrich menoleh ke arahku. Dengan cepat, kututupi wajahku, bangkit, dan berlari sekencang mungkin.
"Hey," teriak Mr. Eldrich saat aku berlari dengan cepat.
"Lari, lari, lari," gumamku tidak menghiraukan Mr. Eldrich yang meneriakiku.
Tapi sepertinya, Mr. Eldrich mengikutiku. Jadi aku berlari lebih cepat sampai aku yakin, dia sudah tidak mengikutiku lagi.
Aku akhirnya berhenti untuk mengatur napasku dan menoleh ke belakang untuk memastikan Mr. Eldrich tidak ada. Aku tidak ingin dia tahu tempat tinggalku. Cukup Luke saja dan dia sudah sangat merepotkan.
Seperti biasa, suara dari dapur menjadi kebiasaan Morgan pagi hari. Kusapa dia yang sedang membuat sarapan. Rambutnya kusut seperti belum disisir, tapi aku yakin sekali dia sudah mandi pagi ini.
"Pagi." Aku menarik kursi dan duduk.
Morgan menoleh. "Jordan, ada apa denganmu tadi malam?"
Aku sedikit tidak mengerti dengan pertanyaannya. "Maksudmu?" tanyaku.
"Kau pergi begitu saja dan meninggalkanku." Ada sedikit nada kekesalan dari nada bicara Morgan.
"Aku sudah mengirimkan pesan untukmu," kataku.
"Tidak ada pesan apapun. Kau tahu, aku hampir mengira kau marah padaku." Morgan meletakkan roti panggang di piring.
Aku menghembuskan napas panjang. Aku sangat yakin semalam sudah mengirimkan pesan untuknya. Dan aku yakin Morgan tidak tahu menahu mengenai kejadian penembakan itu.
"Mr. Eldrich hampir dibunuh semalam. Aku mendengar suara tembakan dan untungnya dia baik-baik saja." Morgan memberitahuku.
Kuambil roti panggang dan memakannya. "Ya, aku tahu. Aku berada di sana semalam," kataku seolah itu bukan kejadian besar.
Morgan sekarang memelototkan matanya padaku. "Apa? Kau baik-baik saja? Kenapa kau tidak bilang padaku." Sekarang dia seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya.
"Aku baik-baik saja, Morgan," kataku menenangkannya.
Dia mengembuskan napas lega. "Lalu, kenapa kau pergi?" tanya Morgan.
"Aku bertemu ayahku. Dan kau tahu apa yang mengejutkan? Ayahku justru menginginkanku menikah dengan Elijah Eldrich setelah tahu aku bekerja dengannya." Kuputar bola mata untuk menambah ironinya.
Tapi Morgan justru tertawa saat aku mengatakan itu. "Aku setuju dengan ayahmu," katanya.
Sekarang aku yang terkejut. "Sejak kapan kau setuju dengan ayahku?"
"Kau harus mengakui itu, Jordan. Kau menginginkan itu juga, kan?" Morgan menggodaku.
"Ya, ampun. Dulu sekali, ya. Dan sekarang, setelah aku tahu siapa dia, tidak lagi," kubantah Morgan.
"Jordan, ayahku memang kaya, tapi Elijah Eldrich, dia super kaya." Morgan ikut duduk di sebelahku.
"Itu yang aku maksudkan," kataku mencoba mendapatkan poinnya.
"Maksudmu, kau tidak menyukainya karena dia super kaya?" Ada nada mengejek saat Morgan menanyakan hal itu.
"Ya," jawabku jelas.
"Duh, kau itu benar-benar aneh ya, Jordan," kata Morgan.
Suara bel tiba-tiba mengejutkan kami berdua. Kami tidak sedang menanti seorang tamu.
"Kau saja yang buka," suruhku. "Kalau itu Luke, bilang saja aku tidak ada."
Tentu saja itu bisa jadi Luke. Dan aku sangat tidak ingin diganggu olehnya saat ini. Aku butuh istirahat dari orang itu.
Morgan akhirnya yang membukakan pintu. Aku meliriknya saat dia beridri di depan pintu terperangah.
"Jo, ada tamu untukmu," teriaknya dari depan pintu.
"Aku hanya ingin mengembalikan telepon yang dijatuhkanmu," kata suara pria yang berada di depan apartemen kami.
"Ini bukan punyaku." Morgan kemudian mengambilnya. "Ini punya Jordan."
Pria itu kemudian tidak berbicara untuk sesaat. "Boleh aku masuk?" tanyanya.
Aku tidak yakin apa yang aku dengar, tapi sepertinya aku mengenal suara itu. Saat Morgan mengizinkan pria itu masuk, aku berjalan menuju ruang tamu untuk melihat siapa pria itu. Dan aku tidak percaya siapa yang datang ke rumahku.
Lebih buruk dari ayahku yang datang, bahkan lebih buruk dari Luke jika dia yang datang. Elijah Eldrich yang sedang berdiri di ruang tamuku.
"Hai, Jordan. Aku mengembalikan teleponmu yang kau jatuhkan di taman." Mr. Eldrich mengucapkan hal itu seolah kami baru bertemu.
Aku melirik Morgan, yang dia sama mengganggap hal ini aneh dengan ekspresi yang ditunjukkannya. Morgan kemudian melirikku balik. Dan kami seolah memiliki pemikiran yang sama.
"Mr. Eldrich, kau bisa duduk. Aku akan mengambilkan minum." Morgan memberikan isyarat padaku untuk ke dapur.
"Dia sangat aneh," ujarku kemudian.
"Aku tahu." Morgan mengambil gelas dan menuangkan jus jeruk dari dalam lemari es.
"Kenapa kau mengizinkannya masuk?" tanyaku.
"Lalu apa yang harus aku lakukan? Menyuruhnya pergi?" Morgan sekarang mengomel.
Kami sedang berbisik-bisik di dapur saat Mr. Eldrich muncul dan menatap kami berdua. Seolah dia mendapati kami mencuri sesuatu darinya. "Aku mendengar kalian," katanya.
Mogan kemudian memberikan gelasnya pada Mr. Eldrich. "Aku akan pergi. Kalian bisa menyelesikan urusan kalian." Dan Morgan meninggalkanku.
"Morgan," panggilku, tapi dia sama sekali tidak menghiraukannya dan meninggalkanku berdua dengan Mr. Eldrich.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top