C H A P T E R 1
Namaku Jordan Shaterlee. No, I'm not a guy. Aku seorang gadis berumur 24 tahun yang bisa dikatakan sedikit aneh. Aku memiliki cita-cita sejak masih kecil. Siapa yang tidak, kan? Hanya saja, cita-citaku terdengar-katakan saja berbahaya. Aku ingin menjadi seorang mata-mata.
Orang tuaku menginginkanku menjadi seorang pengacara dan mengatakan tidak akan menguliahkanku jika aku tidak mengambil jurusan hukum. Well, screw with that! Aku pergi dari rumah dan tinggal bersama sahabatku.
Ayahku memang seorang pengacara terkenal. Dia sering menangani kasus-kasus dari para brandalan kaya, artis, pengusaha, produser, dan masih banyak lagi. Tapi, bukan berarti ayahku seorang pengacara terkenal aku jadi mau mengikuti jejaknya.
Sahabatku, hampir mirip denganku. Orang tuanya menginginkannya mengambil jurusan bisnis dan meneruskan perusahaan keluarga, sedangkan yang dia inginkan hanyalah menjadi produser film. Orang tua kadang memang suka memaksakan kehendaknya. Terutama pada sesuatu yang tidak kita sukai.
Aku dan sahabatku bertemu di sebuah toko kopi saat aku untuk pertama kalinya mencari pekerjaan setelah lulus sekolah. Kami akhirnya menyewa apartemen bersama dan tinggal bersama.
Well, kami memiliki banyak kesamaan. Sama-sama pergi dari rumah. Sama-sama anak satu-satunya. Sama-sama memiliki nama yang aneh. Satu-satunya hal yang beda di antara kami adalah, aku tidak memiliki pacar. Sangat klise.
"Morgan!" teriakku dari dapur.
Saat aku bilang, sama-sama memiliki nama aneh, ya, kami sama-sama memiliki nama yang terdengar seperti nama seorang pria. Morgan Thomas Killian, itu nama sabahatku, sounds like a bastard.
Suara pintu terbanting, ditambah sebuah erangan kesal, yang sedang menuruni tangga. Pakaian tidurnya bergambar jerapah dengan warna mencolok, kuning. Membuat siapapun berpikir dua kali untuk membeli pakaian tidur semacam itu.
"Ada apa?" tanyanya dengan begitu terkejut.
"Kau terlalu lambat. Bagaimana jika ada pengusup yang ingin membunuh kita? Kau pasti sudah mati," kataku sambil menuang susu yang sudah aku keluarkan dari dalam lemari pendingin.
Sekarang, Morgan terpaku di tempatnya dengan mulut terbuka lebar. Kemudian mulai mengoceh tidak jelas. "Sudah aku katakan berkali-kali, Jordan! Jangan pernah berteriak tengah malam! Semua orang sedang berusaha tidur dan kau membangunkanku hanya karena simulasi bodohmu!"
"Oke, oke, aku berjanji tidak akan melakukannya lagi tengah malam." Aku menyunggingkan senyuman nakalku padanya.
Morgan menghela napas panjang, kemudian berbalik untuk kembali pada ranjang empuknya.
Seharusnya itu yang dilakukanku juga. Tapi belakangan ini aku mengalami insomnia dan aku tidak akan mau minum obat tidur yang bisa membuatku tidak bangun hingga dua hari.
Kunyalakan televisi, kali-kali aku bisa tertidur dengan menonton tayangan membosankan. Pada kebanyakan orang itu akan berhasil, jadi patut kucoba.
Setelah setengah jam duduk sambil menonton siaran tunda berita, aku justru sama sekali tidak mengantuk. Padahal acaranya benar-benar membosankan.
"Elijah Eldrich, pengusaha terkaya ke tiga di dunia, CEO dari Eldrich Inc. yang memiliki puluhan saham di perusahaan lain mengalami teror mengerikan di rumahnya semalam. Seorang saksi mengatakan bahwa dia melihat dua orang pria bersenjata masuk ke dalam rumah dan menembak satu penjaga rumah. Mr. Eldrich dikabarkan dalam keadaan baik setelah bertarung melawan dua penjahat yang meneror rumahnya. Tidak ada korban meninggal. Sampai saat ini masih belum diketahui motif dari tindak kejahatan. Polisi sedang melakukan penyelidikan terhadap kedua orang yang menjadi tersangka."
Aku menggeleng-geleng melihat berita tersebut. "Rich people problem," gumamku.
Aku sangat ingat sekali, pernah bertemu dengan seorang Eldrich. Aku tidak tahu yang mana, saat itu aku masih sangat muda untuk mengingat semua kejadian itu. Terutama saat tahu bahwa keluarga Eldrich adalah keluarga super kaya yang jauh dari jangkauanku. Yang aku ingat, hanyalah kata-kata mengenai sesuatu yang kusukai. Dia adalah orang yang membuatku menggapai apa yang aku inginkan.
Akhirnya, kuganti saluran televisi hingga aku bosan dan tertidur secara tidak sadar.
***
Aroma roti panggang membangunkanku. Sambil menguap, kuseret kakiku menuju dapur. Mendapati Morgan yang sudah siap dengan pakaiannya untuk berangkat kerja.
"Morning," sapaku sambil meraih roti panggang di meja.
Morgan menepuk tanganku. "Mandi sebelum sarapan," protesnya.
"Perutku sudah terlanjur lapar," keluhku dan mengambil potongan roti panggang.
Morgan kemudian menuangkan segelas susu, aku mengambilnya saat Morgan dengan sigap meraih gelas terlebih dahulu. "Ini punyaku, kau bisa ambil punyamu sendiri," katanya.
Aku memanyunkan bibir. Kemudian mengambil gelas dari dalam lemari.
"Kau sudah mencari pekerjaan lain?" tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan ini benar-benar terdengar menyeramkan. Seperti orang tua yang menanyakan anaknya kapan harus menikah. "Ya," jawabku cepat.
"Jordan," gumamnya. "Jangan bilang kau belum mendapatkan pekerjaan lagi?"
"Aku sudah mendapatkannya," jawabku lagi ragu.
"Kau berbohong, aku bisa melihatnya. Kau tahu kalau gajiku tidak akan cukup untuk membayar sewa apartemen dan tagihan lainnya. Kalau kau tidak mendapatkan pekerjaan juga, kita akan tamat. Kita akan tinggal di jalanan. Dan aku tidak akan meminta uang pada orang tuaku."
"Aku juga tidak akan memintanya pada orang tuaku. Tenang saja, aku akan mendapatkan pekerjaan hari ini." Aku berusaha meyakinkan sahabatku.
Morgan mengangguk. "Baiklah, aku harus bekerja," katanya sambil menyambar tas tangan miliknya di sampingku.
Aku menghela napas panjang. Bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan dengan cepat? Pekerjaan terakhirku adalah sebagai pelayan restoran dua minggu yang lalu. Aku dipecat karena menumpahkan minyak mahal di dapur. Apa bedanya dengan minyak-minyak lain yang dijual? Semuanya terlihat sama.
Setelah menghabiskan sarapan pagiku, aku segera bergegas untuk mencari pekerjaan.
Aku dan Morgan tidak memiliki kendaraan pribadi. Itu untuk menghemat biaya. Karena walaupun kedua orang tua kami sama-sama memiliki uang yang banyak, kami tidak mau tergantung dari uang mereka. Menyebalkan jika hidup harus diatur oleh uang.
Sebelum pergi, aku harus mengira-ngira ongkos yang akan aku keluarkan untuk pergi. Kurogoh tas selempangku untuk mencari dompet, saat aku melihat ke dalamnya, yang kupunya hanya tiga puluh dolar.
"Well, tandanya aku harus berjalan kaki."
Ada beberapa toko dan perusahaan yang aku sudah tandai. Aku hanya lulus SMA, jadi tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan bagus di perusahaan ternama. Mungkin lebih baik aku mencari pekerjaan di toko-toko biasanya saja. Atau lebih baik menjadi instruktur bela diri atau boxing saja.
Tentu saja aku memiliki pengalaman bela diri yang cukup bagus. Aku belajar ilmu bela diri krav maga di tempat temanku. Aku belajar secara gratis selama enam bulan dan sebagai gantinya aku membersihkan tempat itu secara cuma-cuma selama enam bulan juga. Aku masih suka pergi ke sana kadang-kadang, tapi aku jadi tidak enak karena dia selalu memberikanku uang saat aku sedang membutuhkannya.
Sebuah toko kue berdiri di depanku dan bertuliskan dicari pekerja part time. Dengan cepat, aku masuk ke dalam toko itu. Aku tidak melihat ada pelanggan sama sekali. Tapi jika dia bisa membayarku setidaknya 50 dollar sejam, aku akan dengan senang hati bekerja di tempat itu.
"Permisi," kataku pada seoang wanita berkaca mata tebal.
"Ya," ujarnya.
"Di depan toko aku melihat sedang dicari pekerja part time, apa benar?" tanyaku.
"Ah, ya. Kau ingin melamar pekerjaan?"
Aku mengangguk cepat.
"Kalau begitu, kapan kau bisa bekerja?" tanyanya lagi.
"Hari ini," jawabku.
Wanita itu tersenyum lebar. "Kalau begitu kau bisa memulainya sekarang. Ikuti aku," pintanya.
Wanita itu kemudian menghilang menuju ruangan di belakangnya. Aku segera mengikutinya dengan cepat. Kemudian, dia berhenti pada sebuah toilet dan memintaku untuk menunggu sebentar. Tidak lama setelah itu, dia kembali dengan membawa sarung tangan berwarna kuning dengan penyedot toilet.
"A... Apa yang harus aku lakukan dengan itu?" tanyaku.
"Kau harus menyedot toiletnya setiap sepuluh menit sekali. Jika tidak, toiletnya tidak akan bisa digunakan."
Awalnya, aku masih tidak masalah dengan pekerjaan ini. Menyedot toilet, tidak akan seburuk yang aku bayangkan.
Namun, saat aku membuka pintu toilet, bau menyengat tercium dari dalam. Hewan-hewan kecil seperti cacing dan kecoa memenuhi toilet. Dan yang lebih parahnya lagi, masih ada poop di dalam toiletnya.
Dengan cepat, kuletakkan penyedot dan sarung tangan di lantai. Kemudian berlari keluar toko. Aku mendegar si wanita berkaca mata tebal memanggilku, tapi aku terus berjalan keluar.
"Aku hampir muntah tadi," kataku sambil menghirup udara bebas yang segar. Dan menjauhi toko itu dengan cepat.
Satu-persatu kudatangi toko lain untuk mendapatkan pekerjaan, sayangnya mereka sudah tidak membutuhkannya lagi. "Sial!" makiku saat toko terakhir yang kudatangi tidak mengizinkanku masuk karena katanya aku terlihat tidak menarik. Well, seharusnya kata menarik itu relatif.
Kulangkahkan kaki dengan putus asa. Tidak tahu harus mengatakan apa pada Morgan. Kami akan menggelandang. "Shit!" teriakku keras-keras sampai orang-orang menoleh ke arahku.
Masa bodoh jika mereka mengiraku gila atau semacamnya. I'm broke and no one even care!
"Tolong, tolong!" sebuah pekikan terdengar begitu jelas dari arah belakangku.
Seorang wanita paruh baya baru saja dicopet. Pencopet itu berlari ke arahku dengan tudung yang menutupi kepalanya. Dengan cepat, kuhalangi jalan dengan tubuhku.
"Seriously, menutupi wajahmu dengan tudung. Kau terlalu banyak melihat film ya. Aku masih bisa melihat wajahmu, dasar bodoh!" ejekku. Tapi itu memang benar, untuk apa mereka menutupi kepalanya dengan tudung jika aku secara jelas melihat wajahnya.
"Minggir dari jalanku!" perintahnya.
"Oh, tidak semudah itu, dude."
"Whatever," katanya dan mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku jaketnya.
"Kau mau bermain kasar, ya, silahkan saja," tantangku.
Pria itu kemudian menerjangku dengan pisau yang menuju ke arah perutku. Tapi kutangkis tangannya dan malah menarik pisau itu yang sekarang berada ditanganku. Kubuang pisau itu ke jalan, karena aku tidak membutuhkan pisau itu untuk menghadapi pria sialan ini.
Setelah tatapan tidak percayanya, dia justru mulai melayangkan tinjunya ke wajahku yang dengan mudahnya kutangis juga dan meninju balik wajahnya kemudian menjatuhkannya hanya dalam hitungan detik. Memiting tangannya di trotoar dan menekankan lututku di atas tubuh pria itu seperti seorang polisi yang sedang melumpuhkan penjahat.
"Berikan tasnya," pintaku.
Dia memberikan tasnya padaku sambil kesakitan. "Sekarang, biarkan aku pergi."
Aku menimbang-nimbang untuk melepaskannya. "Akan aku lepaskan kau, tapi jika sekali lagi aku melihatmu mencopet lagi, tidak akan kubiarkan kau bebas."
"Baiklah, baiklah," katanya.
Kulepaskan lengannya dan pria itu berlari menjauh. "Akan kupanggil teman-temanku untuk mencarimu. Kau akan habis," teriaknya.
"Oh, yeah? Really? Jika teman-temanmu sama payahnya denganmu, kau seharusnya mencari teman lain untuk menghabisiku, Bung."
"Lihat saja nanti, aku akan kembali!" teriaknya lagi.
"Yeah! Pulang dan panggil temanmu dan mengadulah pada mereka, jangan lupa untuk ceritakan bahwa kau baru saja dikalahkan seorang wanita. Lagipula, aku tidak akan disini saat kau kembali, you dumass!" ejekku lagi.
Pria itu kemudian mengeluarkan jari tengahnya dan menunjukkannya padaku.
Kubiarkan pria itu berlari semakin jauh dan kukembalikan tas itu pada wanita yang berdiri mematung. "Ini tasmu," kuularkan tangan untuk mengembalikan tas itu.
Wanita itu mengambilnya dengan tangan yang gemetaran. "Terima kasih," katanya.
"Don't thank me. Sudah seharusnya manusia saling menolong," ujarku. "Kau baik-baik saja, Mam? Apa bisa aku telepon seseorang untuk menjemputmu atau lainnya?"
"Tidak, tidak perlu. Terima kasih."
Aku sudah mengatakan padanya untuk tidak perlu berterima kasih padaku. Tapi wanita itu sepertinya tidak mendengarkanku, mungkin karena dia terlalu terkejut. "Well, aku harus pergi. Be careful, Mam," kataku akhirnya.
"Tunggu!" panggilnya dan membuatku menoleh. "Ini, untukmu." Wanita itu memberikan uang padaku dengan tangannya yang gemetaran.
"Tidak, tidak perlu, Mam. Aku tidak boleh menerima uang tanpa melakukan apa-apa."
"Kau baru saja menyelamatkan nyaku, semua dokumen penting kerjaku ada di dalam tas itu," katanya dengan suara yang hampir terdengar seperti sebuah erangan.
Aku menyodorkan uangnya kembali. "Terima kasih, Mam. Tapi menolong orang adalah hal yang perlu dilakukan tanpa meminta imbalan." Aku tersenyum padanya dan pergi begitu saja.
Sepuluh menit kemudian, saat perutku terasa begitu lapar, kusesali keputusanku untuk tidak mengambil uang wanita tadi. Tapi yang menjadi perhatianku sekarang adalah, pria yang sejak tadi mengikutiku dari sisi jalan yang lain.
Kututupi jalanku dengan berjalan masuk menuju gang kecil di ujung jalan. Yang kuharap pria itu tidak mengikutiku, tapi ternyata dia justru mengikutiku. Jadi, kuputuskan untuk menginstrogasinya dengan bersembunyi terlebih dahulu dan menyergapnya.
Tepat dalam hitunganku, pria itu berbelok dan kutarik tubuhnya ke dinding dan menekan sikuku ke dadanya. "Siapa kau? Kenapa kau mengikutiku. Oh, aku tahu, kau pasti teman si pria pencopet itu. Katakan padanya aku tidak takut pada siapapun yang dia kirimkan, termasuk pria bertubuh besar dan berotot sepertimu," ancamku dengan ganasnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top