◌3. Kenapa Ada Asap Rokok?◌

"Hating someone for your mistakes only harms you."
-Novel Foracle


Lucidna tidak tahu sudah berapa menit berlalu sejak ia menutup mata dalam posisi menenggelamkan kepalanya dengan tangannya sebagai pembatas antara dahi dan meja sekolah berbahan kayu.

Kelasnya masih seperti pasar malam, meriah dengan suara sesuatu dipukul, orang-orang yang berbicara dengan semangat entah membicarakan tentang apa, derap kaki berlari, beberapa kali suara meja atau kursi bersinggungan dengan lantai yang cukup tak nyaman didengar, semua itu menandakan belum ada guru yang masuk atau mengawasi kelas.

Tidur sedikit lagi.

Namun, tiba-tiba handphone-nya bergetar. Seingatnya, sebelum tidur, dia tidak menyetel timer. Hal itu membuatnya terbangun sebentar. Tangan kanannya membuka handphone, sedangkan tangan kirinya menopang kepalanya. Ia membaca pesan dengan kepala dimiringkan, membuatnya sedikit pusing.

(Mama: Jangan lupa makan)

Lucidna memang sering lupa makan. Dia bukan diet, itu terjadi sendiri karena dia sering mengantuk. Pelan-pelan dia mengetik jawaban hanya menggunakan jari jempol.

(Lucidna JK: Ketiduran. Mau abis waktuistirahatnya [] )

"Ah typo."

Belum sempat dia selesai menggantinya, pesan baru datang.

(Mama: Jangan ditunda ya! Foto kalau kamu sudah beli makan.)

Lucidna mengerang tidak suka. Jika sudah menggunakan tanda baca selengkap itu, sudah pasti tidak ada nego. Walaupun masih mengantuk, dia benar-benar harus bangun sekarang.

(Lucidna JK: Iya ini mau beli. Gausah difoto. Aku malu.)

(Mama: Hahahaha)

Ia tersenyum. Itu bahkan bukan voice note, tapi ia seperti mendengar suara tawa mamanya yang bisa menular ke siapa pun yang mendengar.

Setelah tidak ada lagi pesan yang masuk, ia mengecek waktu, masih tersisa 10 menit. Setelah itu, ia mematikan handphone dan menggenggamnya.

Satu, dua, tiga. Ia menghitung dalam hati agar segera terbangun. Walaupun sudah duduk tegak, kepalanya masih terasa berat, matanya seperti akan tertutup jika dia tidak ingat.

Ia mencoba berdiri dan berjalan keluar kelas. Karena tidak terjadi apa-apa pada tubuhnya, dia berusaha berjalan cepat dan hati-hati menuruni tangga.

Untuk ke kantin, dia perlu berjalan cukup jauh. Di sisi lain, meski tidak terlalu dekat juga, koperasi masih lebih mudah dijangkau daripada kantin.

Hanya saja itu butuh melewati toilet laki-laki kelas 3.

"Yah, tinggal tahan napas saja," gumamnya.

Sembari terus berjalan, ia berusaha menarik napas supaya sesaat dia melewati toilet laki-laki, dia tidak risih. Tapi alih-alih mendapatkan oksigen, dia menghirup udara lain.

Asap? Rokok?

Ia terbatuk berkali-kali hingga memutuskan untuk berhenti.

Bukannya nggak ... boleh ...?

Tangannya meraba dinding pembatas sekolah dengan warung-warung dan bangunan di luar sekolah. Pertama hanya batuk. Kedua kepalanya menunduk, tidak kuat lagi untuk melihat ke depan. Pandangannya seperti kabur dan terguncang.

"Ngantuk."

Setelah mengatakan itu ia jatuh, tidak merasakan apa pun selain kepalanya yang bersandar ke tembok. Ia tertidur di tempat yang cukup tersembunyi, di belakang toilet itu.

Asap rokok yang cukup kuat, mulai menghilang setelah semenit berlalu. Samar-samar ada bayangan orang-orang mendekati Lucidna. Langkah yang tadinya santai, berhenti mendadak menyadari tubuh gadis itu duduk di atas jalan. Seketika, para siswa itu berhenti karena penasaran.

Salah satu dari mereka yang paling pendek berbisik, "Itu manusia?"

Seseorang lainnya yang paling tinggi melangkah maju. "Sial, apa dia tahu kita merokok?"

Sementara seorang yang tadinya berhenti duluan hanya memperhatikan dari jauh sosok temannya mengecek perempuan itu.

"Hei." Temannya berusaha memanggil tapi tidak mendapat respons. "Halooo? Piuit cewek?" Hasilnya masih sama.

Ia menyikut laki-laki paling pendek di sampingnya. "Cek kalau ada yang lihat dari jauh di depan. Aku jaga di sini," titahnya yang segera dilakukan si pendek. "Coba jangan cuma dipanggil, jambak juga. Harusnya cewek langsung bangun."

"Hah?" Temannya yang ada di depan perempuan tak dikenalnya itu kebingungan. "Kalau gitu nanti dikira kekerasan."

"Hah? Kalau tidak bisa bilang saja tidak bisa, sialan. Sini gantian jaga. Aku saja yang cek!"

Mereka bertukar posisi. Kini ia berjongkok di depan Lucidna, menatapnya tak suka. Ia lepas dasi di kerahnya, lalu menutup mulut gadis itu dan mengikatnya di belakang kepala.

Anehnya, gadis itu tetap tidak terbangun, membuat ia tersenyum karena terbersit ide untuk menyadarkannya.

"Kecil dan cantik. Kelas berapa ya?" Ia berbicara sendiri sembari memegang kedua pundak gadis itu, mendekatkan wajahnya untuk melihat bet kelas. "Oh, kelas 2?" Ia menarik napas dari baju, menangkap aroma asap rokok.

Lelaki itu tertawa sinis. Adanya aroma rokok padahal asapnya sudah tidak terlihat menunjukkan kalau orang yang terlihat lemah ini memang ada di sini saat mereka merokok.

Masalahya, mereka tidak boleh ketahuan.

Ia berusaha mengangkatnya, barangkali gadis berambut panjang itu bisa bangun. Namun, tidak ada respons sama sekali.

"Ada yang mendekat ke sini," kata orang yang menjaga dari depan. "Satu cowok."

"Sapa saja. Aku masih mau coba sesuatu."

"Hah? Ngapain? Mungkin aja cewek itu sakit!"

"Dia tahu ada yang merokok di sini, kalian mau ketahuan kalau dia laporin ke guru?" katanya sambil mengambil handphone yang tergeletak di sebelah tangan Lucidna. Tentu saja tidak ada yang berani menjawab, karena tidak mau itu terjadi.

"Eh, ada satu lagi. Dia lari, dia jelas ke arah sini! Bentar, stop, heh-"

Mereka semua menoleh ke belakang, arah mereka keluar dari toilet. Teman mereka sudah dalam posisi terjatuh, sedangkan seorang lelaki yang kelihatan lebih muda dari mereka berdiri di depannya, menatap mereka penuh kebencian.

"Hah? Apa-apaan sih? Tiba-tiba mukul, kamu nggak tahu siapa kami?" Si paling tinggi berusaha memprovokasi.

Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan itu, hanya terus melangkah maju.

Laki-laki yang berada di depan Lucidna berdecih. "Hah ternyata kau, Vel? Mana temanmu yang berlagak jadi tamengmu?"

Novel hanya terus mendekat. Ia berhenti saat orang yang tadi dia pukul menahan tangannya. Ia menoleh, mendapati kepalan tangan siap meninjunya.

"Lakukan saja," ucap Novel, justru membuat tangan itu berhenti. "Preman pengecut di tahun terakhir SMP memukul adik kelas mereka yang berusaha melindungi temannya. Masa depan kalian akan berubah seperti apa ya?"

"Hah, masih saja sok baik?"

Tanpa ekspresi Novel menjawab pertanyaan orang di depannya, "Seenggaknya orang sok baik ini dilindungi banyak orang, bukan sepertimu."

"Hah? Si pencuri ini?"

Tiba-tiba suara pukulan terdengar dari belakang. Belum sempat menoleh dengan benar, laki-laki yang tadinya hanya memerintah harus mengangkat tangannya untuk menahan pukulan seseorang.

"Halo? Haha. Mencariku, Kak Roy?" ucap Vodo.

"Tamengnya Novel datang juga? Heh, banci kamu Vel."

Novel mengedikkan bahu, lalu menepis tangan yang menahannya. "Cari temanmu sana. Aku ke sini cuma untuk temanku."

"Tapi kamu memukulku!"

"Ya sudah nih pukul dua kali. Mana?"

"Eh, boleh?"

Novel mendekati kakak kelas itu, ia bisa melihat jelas raut wajah kebingungan yang terpampang di sana. Selanjutnya ia merentangkan tangan. "Boleh. Aku nggak bakal nyerang balik kok. Tapi jangan di tangan. Mengerti kan?"

"Vel, tenang!" seru Vodo dari belakang. Walaupun tidak ada yang menyadarinya, Vodo tahu sekali bahwa Novel sedang menahan banyak hal sekarang.

Sesuai kata Novel, dia dipukul dua kali di dada. Itu pukulan yang keras. Akan tetapi, Novel tidak tumbang sama sekali, hanya tetap memandangi kakak kelasnya seperti predator menunggu mangsa.

"Udah dua kali, aku, aku pergi!"

Novel berbalik bersamaan saat kakak kelas itu pergi terburu-buru. Ia mendekati Lucidna, melepaskan dasi yang menutup bibirnya.

"Lu-" Ia ingin memanggil namanya, tapi ia khawatir kakak kelas buruknya itu akan mengingat dan mengganggu lagi. "Lu, ini dasi lu, Kak Badroy?"

"Bocah, aku masih berusaha sopan dan kamu panggil orang yang lebih tua pakai 'lu'?"

"Oh benar ya dasimu. Nih." Novel mengambil dasi itu lalu melemparkannya ke kakak kelas yang tersisa di sana. Badroy menepis tangan Vodo dan menangkap dasi itu dengan cepat.

"Terus pergi sana. Temanku nggak tahu apa-apa."

"Dia pura-pura tidur saat tertangkap olehku."

"Kalau pun benar, aku bisa menyelesaikannya. Kamu merokok kan?"

Badroy tidak menjawab.

"Aku, si anak baik di keluarga kita dan sekolah ini, bakal menyelesaikannya."

Badroy mengepalkan tangannya.

"Kalau mau berantem, kalahin dulu Vodo."

Badroy mengerutkan mata sampai kelopak mata bisa bersentuhan dengan alis matanya.

Novel tidak peduli dengan tatapan menyayat yang diarahkan padanya. Dia berbalik untuk membawa Lucidna. Tanpa kesulitan sedikit pun, dia menggendong gadis itu ala bridal style.

"Aku mau pergi. Kamu mau bilang apa? Kok diam?"

"Vodo dulu punyaku."

"Dia bukan mainan. Lalu, anggaplah aku merebutnya, lampiaskan ke aku saja tapi jangan di sekolah." Novel mendekatinya, lalu berhenti di samping Badroy.

"Semua itu demi Kak Badroy."

15-01-2025 | 1321 kata

MAAF! MAAF JELEK. BAGIKU JELEK BANGET JUGA😭

YANG PENTING KONSISTEN AKH😭 godaan ingin bolong karena jelek, tapi masih ingat goalnya konsisten

BADROY, 2 tokoh lain tanpa nama, belum kupikir namanya😭 cuma bawahan yang sebenarnya nggak bandel tapi stress dengan tekanan 😭👉👈

Badroy dari kata badboy (sudah stuck)

AAAAA GA SUKA
GA ENIOY
AAAAA /TANTRUM

MAAAAAF YA AMPUN MAAF 😭

ANYWAY

TERIMA KASIH ATAS DUKUNGAN KALIAN SEMUA🌷💗

‧༓☾𝙼𝚊𝚢 𝚌𝚕𝚘𝚟𝚎𝚛 𝚋𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚢𝚘𝚞☽༓

Kepak kupu-kupu di atas daun semanggi,
Peluk hangat untuk semuanya dari Yemi
┈˚୨୧⋆。⛧˚ ⋆ 🦋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top