◌27. Kenapa Papa Tidak Marah?◌
"When the sleepy person got rest, their mind more relaxe than before, just like a water clear the dust."
-Lucidna Jingga
Lucidna tidak ingat ia bermimpi apa sampai-sampai ia baru terbangun di sore menjelang malam hari pukul 17.50 WIB.
Ketika ia membuka mata, pintu kamarnya tidak tertutup rapat, padahal seingatnya ia menutup itu sebelum tertidur. Lampunya masih dalam keadaan padam, membuat kamar itu lebih gelap karena matahari sudah hampir pergi dari langit. Hanya ada celah cahaya dari ruang tamu sekaligus tempat ia belajar setiap hari.
Aku malas keluar. Ia mengusap kelopak dan bulu mata, menyingkirkan debu lengket yang melekat. Beberapa detik kemudian, rasa kantuknya menghilang.
Ia tersenyum, menyadari perasaan kacaunya lenyap setelah tertidur. Biasanya, ia akan merasa ini kelemahan, memori dalam kepalanya seperti terpotong saat ia tertidur tiba-tiba. Tapi kali ini, ia merasa kelemahannya membantu sekali.
Ia menata bantal, lalu turun dari kasur. Ia membuka lemari, berganti pakaian, lalu menggendong pakaian yang kotor. Ia baru menyadari ia akan keluar ketika pintu sudah ada di depannya. Langkahnya berhenti, ia mengambil napas panjang.
Nggak apa-apa. Ia membuka pintu itu lebar-lebar, seketika cahaya lampu dari ruang tamu menyambutnya. Karena aku nggak salah. Kata dibantai kata, tenaga dibantai mental, kebohongan dibantai kebenaran.
"Sudah bangun, Lucidna?"
Lucidna menoleh, lalu tersenyum kikuk. "Iya, Pa. Maaf, Lucidna ketiduran lagi."
Orang itu mendengus cukup keras hingga Lucidna mendengarnya. "Apa itu seragam? Taruh saja di mesin cuci. Papa mau bicara."
Lucidna mengalihkan matanya ke bawah. "Iya, Pa," jawabnya seadanya dengan suara pelan. Ia segera meletakkan pakaian yang sudah kotor dengan keringat dan air matanya itu ke mesin cuci. Ia ingin berlama-lama di ruang belakang tempat dapur dan mencuci, tapi ia harus kembali ke ruang tamu yang terasa dingin itu.
"Lucidna, jangan lama-lama!"
Sabar, Pa. Ini bukan tempat kerja Papa, sungut Lucidna dalam hati. Ia segera menuju ruang tamu, lalu duduk di atas karpet, tempat ia biasanya duduk sambil belajar ditemani mama-nya.
"Kenapa di situ? Dingin, naik sebelah Papa saja."
"Karena Lucidna terbiasa belajar di sini, tidak apa-apa," jawab Lucidna, dengan hati-hati dan suara pelan. "Papa tetap di sofa saja, biar nggak capek. Papa kan, sudah capek saat datang ke sini."
Orang itu menatap anak gadisnya yang cukup lama tak ia jumpai, mungkin, tiga tahun. Ia berkeliling ke pulau-pulau, mencari uang yang bisa ditukar dengan narasi, persuasi, eksposisi, opini, apa pun baik itu berisi hal nyata atau hiburan. Sementara anaknya ia serahkan sepenuhnya pada sang istri.
Ia tidak tahu kebiasaan belajar Lucidna, ia kira gadis itu bahkan takkan belajar dengan benar karena kelemahannya.
"Ada buku yang punya nilai dari guru?"
Lucidna melihat ke meja yang ada di dekat mereka. Meja itu memiliki laci. "Tidak, tapi lembaran masih ada di sini, sepertinya." Ia juga ragu masih ada di sana karena itu lembaran ujian yang ia simpan dari sekolah lamanya.
Ia membuka laci itu, lalu menemukan sebuah map biru dari kertas karton, dengan judul "Lucidna Pintar" dari spidol dengan ketebalan yang sangat menyolok.
Mama, pikirnya, refleks.
Padahal, cukup dengan nama, ia pasti tahu isi dari map itu miliknya.
Ia membuka map itu dan benar itu berisi lembaran ujian seperti ulangan harian yang memiliki nilai. Ia berniat memilih yang nilainya di atas angka 90, tapi papa-nya meminta itu langsung.
"Biar Papa lihat sendiri."
"Iya, Pa," jawabnya lagi, menyerahkan map itu.
Selama papa-nya melihat nilai-nilai di atas lembaran kertas putih, Lucidna hanya menunggu, tak mengatakan apa pun meski penasaran dengan reaksi orang itu.
Apa kali ini aku akan dibilang bodoh karena nilaiku? Kalau nggak salah ingat nilaiku aman. Ia berusaha mengingat nilai berapa saja yang ia masukkan ke dalam laci.
"Nilai individu kamu bagus, Lucidna. Banyak jawaban kamu benar. Tapi ada apa dengan hari ini? Kenapa kamu sampai dapat skors karena tidak bisa menjawab dengan benar?"
Oh? Papa menanyakan itu?
"Karena tadi saya masih takut," jawab Lucidna. Ia langsung mengubah cara bicaranya menjadi formal.
"Sekarang bagaimana?"
"Sudah tidak takut, Pa, karena saya beristirahat dengan cukup."
Orang itu menjadi diam cukup lama setelah mendengarkan jawaban anaknya. Itu jeda yang membuat Lucidna merasa aneh, bertanya-tanya apakah dia salah menangkap maksud pertanyaan itu. Sejak pertanyaan sebelumnya saja baginya sudah janggal.
Dapat skors karena tidak dapat menjawab dengan benar? Aku dapat skors karena dikira aku melukai Kayala. Itu seperti ....
Lucidna memperhatikan sorot mata papa-nya yang sedang memperhatikan atap, kebiasaan saat ia berpikir. Gadis itu tersentak saat tertangkap basah sedang menatap beliau.
"Begitu. Istirahat yang cukup juga penting untuk kondisi mentalmu."
"Ah, iya," jawab Lucidna, sejujurnya dia tidak tahu harus menjawab apalagi. Dia menunggu momen papa-nya memarahinya dengan tegas, tapi entah mengapa arah pembicaraannya jadi seperti ini.
"Tidak ada masalah selain ini di sekolah?"
"Tidak ada."
"Kalau di sekolah lama?"
Lucidna sedikit menunduk. "Ada sedikit perbedaan pendapat dengan teman, jadi saya tidak bisa berbaur orang-orang di sana. Akan tetapi, di sekolah ini ... ada yang membantu saya."
Novel, panggilnya dalam hati. Ketika mengingat keramahan, kepanikan, protektif, hingga tangan dingin karena rasa takut itu, Lucidna jadi ingin bertemu dan bertanya, apa dia benar-benar tidak percaya lagi pada Lucidna?
"Begitu? Tidak terlihat membuat masalah besar karena emosi juga." Irram seperti berbicara sendiri tapi Lucidna tetap mendengarkan penuh hati-hati. "Lalu kenapa Lucidna takut bercerita? Sudah tahu?"
Mata Lucidna membulat. Oh, benar, Papa sekarang ...
"Lucidna?"
"Ketika saya bilang itu bukan salah saya, saya diminta jujur lagi."
Wajah Irram terlihat sangat jelas tidak suka. Karena itu, Lucidna tidak tahan untuk melanjutkannya.
"Karena ada bukti rekaman berisi suara saya dan teman saya sedang berselisih dengan jelas, juga ketika teman saya terluka, hanya ada saya di kelas, tempat terdekat dari teman saya." Lucidna mengangkat wajahnya. "Menurut Papa, kalau saya bilang itu bukan salah saya, apa itu masuk akal?"
Karena Papa bertanya tentang jawaban benar dan bukan tentang aku melukai temanku, apa Papa tidak percaya bahwa aku pelakunya?
"Apa di sana ada CCTV?"
"Ada, tapi bukan di kelasku." Lucidna menjawabnya dengan ragu. "Selain di ruang guru dan pos satpam dekat gerbang, saya tidak tahu ada di mana lagi."
"Kalau pun ada sepertinya tidak membantumu ya, karena kamu justru diminta jujur saat sudah mengatakan jawaban yang jujur."
"Kenapa itu aneh?" Kenapa Papa aneh? lanjut Lucidna dalam hati. Saat akan keluar kamar tadi, ia sudah bertekad akan menjelaskan dengan baik jika ia juga tidak dipercaya papa-nya. Ia terus menunggu itu terjadi, tetapi hal yang datang adalah sebaliknya.
"Bukankah memang aneh? Kenapa mereka percaya ke rekaman itu? Itu kan menunjukmu jelas sebagai pelaku. Seperti ini."
Irram menyalakan handphone, membuka aplikasi rekaman suara, lalu memulai merekam. Ia menggenggam itu ke tengah antara ia dan Lucidna.
"Coba bilang apa pun."
"Apa pun," jawab Lucidna. Bola matanya membulat, takjub pada papa-nya. Ia sudah lupa karena lama tak berjumpa, tapi inilah yang diajarkan beliau dulu.
Kritis, fakta diikuti bukti.
"Apa pun." Suara Lucidna terdengar jelas dan jernih dari alat itu, persis seperti rekaman Kayala.
"Nah, kalau Papa letakkan ini di bawah meja, bayangkan pura-pura merekam agar kamu tidak tahu." Irram memulai rekaman, lalu meletakkannya sesuai yang ia katakan. Ia menatap anaknya. Seolah mengerti, Lucidna langsung berbicara.
"Kemungkinan suara saya tidak ada, kalau pun ada itu tidak terlalu jelas."
Irram mengambil kembali handphone itu, menghentikan rekaman, lalu menyetelkan hasil rekaman. Suaranya bahkan sulit diubah menjadi kata-kata karena sangat tidak stabil, seperti bercampur dengan angin meskipun ini di dalam rumah.
"Paham?"
Lucidna mengangguk.
"Jadi, kamu sebenarnya tahu sedang direkam kan, Lucidna?"
Lucidna dengan kaku menganggukkan kepalanya. Sebenarnya, itu ia biarkan agar Kayala lebih leluasa mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya, itu seperti alat yang memberikan gadis pemarah tersebut keberanian atau dominasi.
Apa aku akan dimarahi karena aku lengah? Lucidna kembali menunggu reaksi yang sedari tadi ia perkirakan.
"Itulah yang aneh, kalau kamu pelakunya dan kamu tahu ada rekaman itu, logikanya sesaat kejadian itu, handphone atau rekamannya kamu buang. Kalau itu ditemukan kamu jelas yang akan disalahkan. Lagi pula untuk apa menunggu di kelas? Ada yang sengaja framing. Bodohnya orang yang percaya, mereka ke manakan logika?"
Lucidna tidak tahan untuk tersenyum lega. Entah lega karena tidak dimarahi, lega karena ada yang menyadari kalau dia tidak salah, atau lega karena papa-nya mengejek yang bodoh itu yang percaya.
Walaupun, kemungkinan yang terakhir itu benar-benar menghiburnya.
Suara pintu terbuka menginterupsi pembicaraan mereka. Ruma datang membawa dua plastik. Ketika ia bersitatap dengan Lucidna, ia tersenyum hangat.
"Lucidna lapar tidak?"
Lucidna hampir menggeleng, tapi papa-nya lebih dulu menjawab. "Dia belum makan siang dan malam, pasti lapar. Ayo makan. Papa sudah selesai bicara dengan Lucidna."
Seolah ledakan emosi tadi siang tidak ada, orangtua Lucidna saling berbicara tanpa ada jejak kemarahan atau kekecewaan di raut wajah mereka.
Lucidna mengikuti arus itu tanpa kesulitan, karena sejak bangun tidur dan keluar dari kamar itu, masalah perasaannya sudah selesai.
Tapi bagaimana dengan Mama? Diam-diam ia melirik Ruma. Ia selalu tersenyum saat berbicara dengan Irram. Tidak terlihat seperti senyuman yang dipaksakan.
"Sudah tidak apa-apa, Lucidna? Tadi Mama masuk kamar, kamu tidur dalam keadaan duduk. Jadi, Mama bantu biar berbaring. Posisi tidur sambil duduk itu membuat Lucidna terlihat lucu tapi bikin pegal," oceh mama-nya yang ia balas dengan senyum kikuk.
Malam yang ia kira ada badai, ternyata berlalu dengan lembut. Mereka makan bersama tanpa berdebat. Sesekali menanyakan hidup Lucidna di sekolah. Ia hanya menceritakan tentang Novel dan guru bahasa Indonesia di kelasnya, selain itu kejadian yang bisa dikatakan masalah tidak diceritakan.
"Papa kapan pergi kerja lagi?" tanya Ruma.
Irram menjawab setelah selesai mengunyah bakso hangat di mulutnya. "Seminggu lagi."
Seminggu. Lucidna mengulang itu dalam hatinya. Setelah itu, ia refleks teringat pada Novel dan peringatannya.
"Lucidna juga akan masuk sekolah seminggu lagi, saat hari Jumat," ucap Mama bersemangat.
Sementara Lucidna tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Waktu seperti terbawa angin.
Hari penentuan peringatan yang diberikan Novel sekaligus hari Lucidna kembali ke sekolah setelah diskors dan hari papanya terakhir cuti, datang.
08-02-2025 | 1616 kata
‧༓☾𝙼𝚊𝚢 𝚌𝚕𝚘𝚟𝚎𝚛 𝚋𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚢𝚘𝚞☽༓
Kepak kupu-kupu di atas daun semanggi,
Peluk hangat untuk semuanya dari Yemi
┈˚୨୧⋆。⛧˚ ⋆ 🦋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top