◌24. Siapa yang Kamu Lukai, Lucidna? (Part 1)◌

"Our wounds often stem not from the hate we face, but from the realization that our actions may unknowingly hurt those we cherish."

-Lucidna Jingga


Pagi hari di hari Jumat, minggu ke-2 Lucidna berada di sekolah ini, ia tidak tertidur.

Setiap minggu ada kegiatan Jumat Bersih, yaitu membersihkan area sekolah. Tentunya, setiap kelas diurus kelas itu sendiri. Mungkin kegiatan ini lebih tepat disebut dengan piket kelas mandiri di waktu yang sama.

"Pemandangan yang baru ya, kamu tidak malas-malasan kali ini, Lucidna," sindir Kayala.

Lucidna yang sedang mengumpulkan sampah dari laci-laci meja tidak berniat membalas perkataan itu dengan sarkas. Kalau yang bilang guru, ia pasti akan berusaha meluruskannya. Guru mereka sedang berada di taman kelas, bersama semua siswa laki-laki.

Dengan kata lain, jika ada masalah terjadi, tidak ada yang akan menengahi. Tidak ada yang memihaknya juga. Lalu, kegiatan ini sudah membuat ia sedikit lelah, karena berkali-kali membungkuk untuk mengecek laci.

Mungkin karena di kelas hanya ada satu keranjang sampah, sedangkan keranjang itu kecil daripada yang ada di luar kelas, pemilik laci-laci kotor itu menyimpan sampah yang niatnya akan dibuang saat keluar tapi terlupakan.

Berbeda dengannya, Kayala bertugas untuk mengepel kelas. Dari proses, itu tahap paling akhir. Dengan kata lain, Kayala bisa seperti ini karena dia sedang tidak melakukan apa-apa, selain mengikuti dan mengganggu Lucidna.

"Ah, apa aku harus melakukannya seperti Novel? Seolah kamu adalah tuan putri? Apa aku harus merendahkan diri ke kamu baru kamu mau bicara dengan benar?" tanya Kayala dengan lantang. Mungkin sengaja untuk menarik perhatian semua siswa perempuan yang ada di kelas padanya.

Lucidna mengendikkan bahu. Ia menemukan bingkisan plastik dengan bercak bumbu merah menempel, lalu memasukkan itu ke plastik sampah yang ia bawa dari tadi.

Ia bukan tidak tahu reaksi orang-orang di kelasnya. Penasaran dan kesenangan bercampur. Ada yang kebingungan dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Ada juga yang cekikikan bersama, Lucidna tebak itu grupnya Kayala.

Kekanakan dan memuakkan, kata Lucidna dalam hati.

Ia tidak melakukan apa pun saja muncul suasana seperti sekarang. Ia menahan tawa sinis, berpikir ini lucu.

Semua sekolah sama saja.

Kayala tetap memancingnya berbicara, sedangkan ia terus menghindar. Hal itu baru berhenti saat Kayala harus melakukan tugasnya.

Kelas yang akan dipel harus ditinggalkan. Itu alasan yang pas bagi Lucidna untuk pergi dari kelas.

Ia mengunjungi taman kelas yang juga hampir bersih seluruhnya. Bola matanya bergerak ke kanan-kiri, mencari sosok ketua kelas. Namun, di antara laki-laki yang menggunakan seragam olahraga, ia tidak menemukannya.

"Lucidna?"

Gadis berkucir dua lurus berbalik dengan cepat. "Novel, kamu muncul dari mana?"

Novel terbahak sesaat sebelum menjawab, "Dari kelasnya Vodo dan Violet. Aku sudah selesai dari tadi jadi aku kabur sebentar."

Lucidna hanya mengangguk mengerti. Ia memperhatikan sikap santai teman satu-satunya itu. Baru kali ini ia melihatnya sesantai itu meski tadi Lucidna diganggu orang lain.

"Lucidna." Novel mengibaskan tangannya di depan wajah gadis itu. "Apa ada yang aneh di wajahku? Ada tanah ya?"

Wajah Novel sangat bersih. Dari bulu mata yang basah, sepertinya ia juga baru saja mencuci wajahnya selama pergi dari taman kelas. Lucidna menggeleng sebagai jawaban.

"Serius nggak ada yang aneh?"

Lucidna menggelengkan kepalanya lagi.

"Coba lihat baik-baik wajahku. Cek lagi."

Lucidna menurut tanpa berpikir apa pun. Ia memperhatikan poni Novel yang sedikit basah dan tersibak ke belakang, jadi keningnya terlihat lebih luas hari ini. Hidungnya mancung, bibirnya ... tersenyum puas.

Lucidna mengernyit. "Apa? Kenapa senyum?"

Kini, Novel yang menggelengkan kepala dengan pelan. "Dari reaksimu sepertinya benar-benar tidak ada yang aneh di wajahku."

"Nggak, kamu senyum tadi itu aneh."

Novel hampir tertawa tapi ia menutupinya dengan tangan. Ia memang bukan mau dicarikan bagian yang aneh. Dia hanya mau melihat Lucidna lebih lama tanpa berdebat hari ini.

"Omong-omong, Lucidna, kamu masih menyimpan nomorku kan?"

Perubahan topik apa ini? batin Lucidna. Namun, dia hanya mengangguk.

"Kamu capek atau lagi menahan sesuatu? Dari tadi bicaranya sedikit."

Lucidna berkedip. Ia tidak terlalu menyadari apa yang ia lakukan. Akan tetapi, Novel menyadarinya?

Ia membuka bibirnya, tetapi tertutup lagi. Jika Novel tidak muncul, bukankah itu sama saja dengan masalah tadi tidak terlalu penting.

"Lucidna hari ini nggak mengantuk ya?"

"Oh ya, tadi juga aku ... merasa heran sendiri," bohongnya, tidak ingin membahas Kayala.

Setelah itu, benar-benar tidak terjadi apa-apa. Mereka belajar seperti biasa. Novel membantunya beli makanan seperti sebelumnya. Lalu karena Jumat waktunya singkat, waktu berpisah datang lebih cepat.

"Duduk siap grak! Beri salam!" perintah Novel selaku ketua kelas pada guru bahasa Indonesia mereka.

"Terima kasih, Bu Cantika! Mohon maaf, Bu Cantika! Semoga sehat selalu, Bu Cantika! Sampai jumpa lagi, Bu Cantika!" ucap Lucidna juga anak-anak lain. Dia berusaha mengatakan itu sama semangatnya seperti mereka.

Setelah guru mereka keluar, anak-anak berlari, berebutan keluar dari kelas. Lucidna melihat mereka dari bangkunya. Mereka terlihat senang, baik laki-laki maupun perempuan.

"Ayo bareng!" ajak Novel. Ia sudah berdiri dan menggendong tas hitam di punggung.

Ia berdiri, hendak mengambil tasnya. Akan tetapi, ia tak sengaja melihat Kayala masih duduk di kursinya, menggenggam handphone.

"Duluan saja, Novel," bisiknya. Ternyata memang tidak bisa. Aku penasaran juga dia mau bilang apa sampai memusuhiku seperti tadi.

Novel ikut melihat ke arah yang diperhatikan Lucidna. Kayala terlihat tersenyum menatap layar handphone dalam genggaman. Tidak ada siswa lain yang berada di kelas, selain mereka bertiga.

"Mau sendiri?" bisik Novel, membuat Lucidna tersenyum tipis.

"Iya. Bagaimanapun kami kan satu kelas, jadi tidak boleh bermusuhan lama-lama," bisik Lucidna.

"Oke." Setelah mengatakan itu, Novel meninggalkannya. Ia sempat menyapa Kayala dengan ramah dan dibalas ramah juga. Tidak lama setelah Novel keluar, handphone Lucidna mendapatkan notifikasi.

(01 Novel Foracle Putra: Ini Novel. Aku akan menemui Vodo dan Violet. Kalau sudah selesai dan mau bareng, kamu ke kelas 2-H saja. Semangat!)

Lucidna mengangguk, tapi menyadari kalau Novel tak ada di sana untuk melihat tanggapan tanpa suaranya, ia segera mengetik balasan.

(Lucidna JK: Ok)

Setelah itu, Lucidna berjalan mendekati Kayala. Tidak ada seorang pun, hanya mereka berdua. Ia berusaha berjalan tanppa suara pun tetap diketahui dengan mudah.

"Ada apa?" tanya Kayala tak suka.

Terang-terangan sekali, kecuali ada Novel, batin Lucidna. Itu juga alasan dia mau menyelesaikan ini sendiri. Dengan begini, Kayala akan menghadapinya tanpa berpura-pura baik.

Kayala meletakkan handphone-nya."Sekarang mau bicara denganku? Oh atau melabrakku?"

Lucidna baru tiba dan ia sudah diberikan pertanyaan dengan nada tak menyenangkan seperti itu. Kayala bahkan menyalakan perekam suara, terang-terangan.

Lucidna duduk di depan bangku Kayala, tempat terdekat dengan handphone itu.

"Tidak mau cek dulu, apakah suaraku terdengar atau tidak?" tanyanya sambil menatap datar Kayala.

Kayala menatapnya garang, berdecih. Ia berharap adanya rekaman itu membuat Lucidna merasa terkekang atau ragu. Tapi gadis tukang tidur malah bersikap seolah yang perlu memperhatikan langkah adalah dirinya sendiri.

"Lucidna, kamu benar-benar sombong."

Lucidna yang mendengarkan perkataan itu berpikir, apa karena aku tidak beradaptasi? Ia hanya mengangguk, memutuskan menyimpan pertanyaan terlebih dahulu.

Apalagi, Kayala terlihat seperti ingin meledak-ledak. Ia ingin membiarkan gadis yang tidak ia mengerti ini mengeluarkan suaranya dulu.

"Sebenarnya untuk apa kamu ke sini kalau kamu diam saja?"

Lucidna menaikkan sedikit alis matanya, sedikit terkejut. "Kamu mau aku bicara apa?"

"Nggak tahu! Pikir saja sendiri!" bentak Kayala.

Benar-benar sulit dimengerti, batin Lucidna.

Baru bertukar kata-kata sebentar saja, Kayala sudah menaikkan oktaf suara. Inilah alasan Lucidna selalu diam saja tadi pagi, meski dia merasa sebal direndahkan tanpa melakukan apa-apa.

"Apa itu sulit?" tanya Lucidna. Ia menyerah menunggu Kayala mengatakan masalah yang membuatnya marah itu apa.

"Apanya? Hah, kamu bikin sulit? Memang iya kan? Ketua kami juga pasti kesulitan karena kamu!"

Lucidna tertegun. Ia menatap dalam Kayala. "Apa iya?"

"Iya! Kamu pasti nggak tahu ya? Parah. Parah!" Tatapan Kayala berubah tajam. Ia memukul meja, lalu berdiri. "Setiap kamu membuat orang nggak nyaman atau semaunya sendiri, kukasih tahu ya, Novel itu harus mengorbankan dirinya!"'

Itu kejadian yang tidak diberitahukan Novel.

"Kamu tahunya cuma dia beliin kamu makan, hah? Dia harus bolak-balik ke BK, guru-guru melaporkan kamu ke BK karena sering tidur bahkan di minggu pertama kamu masuk! Tapi Novel terlalu peduli, selalu membuat alasan agar kamu tidak tahu apa-apa dan baik-baik saja!"

Lucidna tidak tahu arti dari tinggi suaranya. Ia berteriak, entah karena marah atau frustasi.

Lucidna juga tidak tahu arti dari mata tajam yang kini berkaca-kaca di hadapannya. Emosi apa yang ada di dalamnya, seperti menumpuk di sana dan akan keluar sesaat lagi, mendatangi dirinya.

Sebenarnya, Lucidna sudah menebak-nebak. Mungkin, karena dia dekat dengan ketua kelas, ia tidak disukai. Mungkin, karena dia pintar meskipun sering tertidur, ia tidak disukai. Mungkin, alasannya sama seperti dulu. Mungkin, karena Novel spesial bagi Kayala, ia membenci Lucidna.

Lucidna harus mengatakan apa pada alasan tak terduga yang disembunyikan Novel tapi diketahui Kayala?

Ia ingin menata pikirannya yang kacau, tapi ini bukan saat yang tepat. Kayala masih ingin berbicara. Jika ia ingin masalah mereka selesai, ia harus mendengarkannya sampai akhir.

"Kamu kaget kan? Tentu saja, apa sih yang kamu tahu? Orang yang cuma mau diperlakukan manja seperti tuan putri, tahu apa tentang pengorbanan orang-orang di kelas ini selain dirinya sendiri?"

Mual.

"Aku tidak paham kenapa Novel sangat berusaha keras membantumu. Jadi, aku juga ikut membantumu, karena ingin paham, kamu punya apa, sih? Saat tiba-tiba kamu minta duduk di sebelahku, kupikir itu kesempatan. Novel bisa bebas sejenak. Tapi tahu nggak? Di mataku, kamu cuma orang berhati dingin yang nggak peduli orang lain!"

Kayala berbicara semakin panjang dan cepat, seperti Violet. Namun, dia lebih menggebu-gebu, emosinya meluap-luap. Kata-katanya benar-benar ditekankan, agar Lucidna mendengarkan semuanya.

Ia berhasil.

Sesak, batin Lucidna. Ia berusaha keras tidak membuka perasaannya, karena ia tahu, di sini ia salah. Kesalahannya sangat besar.

Ini bukan lagi tentang menyelesaikan masalah dengan Kayala atau mencari tahu alasan gadis itu begitu tidak menyukainya.

"Apa kamu pikir aku orang bodoh ketika aku meminta tolong padamu? Hah, dasar sombong!"

Lucidna mengingatnya. Kayala meminta tolong ia mengajarinya saat pelajaran matematika.

Lucidna mengabaikannya.

"Atau karena kamu bisa pindah-pindah? Karena kamu pintar? Apa spesialnya kamu, sampai orang lain berbicara pun kamu nggak bisa jawab biasa saja, saat orang lain meminta tolong pun kamu menghindar tanpa hati?"

Semua itu masuk ke telinga Lucidna seperti ledakan.

Lucidna mengingatnya, tidak lama setelah bertanya, Kayala tiba-tiba marah lalu menangis. Sekarang pun gadis yang menumpahkan hatinya itu bertanya, berteriak, lalu seperti bersiap menangis.

"Tapi meskipun aku marah, bagaimana bisa Novel tetap sebaik itu padamu?"

Lucidna akhirnya mengalihkan pandangannya ke handphone miliknya. Ia juga tidak mengerti sama sekali.

"Aku benci kamu. Benci! Benci! Benci!" Kayala menghentakkan kakinya ke lantai, lalu menendang mejanya, membuat meja itu mendorong kursi Lucidna dan membuat ia merasa sempit.

Tapi apa itu penting?

Bagi Lucidna, rasa nyeri punggungnya tertabrak tepi meja tidak sebanding dengan kata-kata Kayala.

Kayala keluar dari tempat duduknya, lalu berjalan hingga berhenti tepat di samping kiri Lucidna.

"Puas kamu bikin orang kesusahan? Puas bikin orang sakit hati? Puas dilindungi Novel?"

Tubuh Lucidna gemetaran hebat saat itu juga. Kalau dia jawab "bukan" apa yang menjadi pembenarannya? Ia tidak dapat memikirkannya. Ia tidak dapat menemukan alasan dia tidak bermaksud begitu.

Ucapan Kayala tertancap dalam hatinya, seolah itu benar-benar nyata, bahwa Lucidna gadis terburuk yang tidak pantas mendapatkan kebaikan Novel atau seorang pun.

"Maaf," ucapnya penuh gemetar. Tiba-tiba matanya terasa panas. Air mata datang dan turun dengan deras tanpa bisa dikendalikan. Degup jantung dan napas yang tak beraturan membuatnya sesak. Kepalanya terasa berat untuk tetap dalam posisi mendongak.

Dalam sekejap, wajah Lucidna memerah.

"Maaf."

"Nggak. Nggak!" teriak Kayala. "Jangan menangis! Aku nggak bakal kasihan!"

Lucidna juga merasa tidak pantas dikasihani. Ia tidak berharap itu terjadi.

"Mana Lucidna yang bisanya ngomong sarkas? Ngapain kamu sok lemah?"

"Maaf ..."

Kayala terdiam. Air mata yang tak kunjung berhenti, bahkan lebih deras lagi, membuatnya kebingungan juga merasa tak enak.

"Maaf ..."

Suara lemah Lucidna yang kini menyerupai gumaman di tengah sesenggukan.

"Kamu menyebalkan."

"Iya."

"Kamu nggak pernah menghargai orang! Guru atau temanmu, kamu nggak pernah menghargai mereka ... sial," umpatnya di akhir, lalu berhenti memaki-maki Lucidna.

Lucidna terus menangis tanpa bisa berhenti. Ia membenarkan semua kata-kata Kayala dan menyakiti dirinya sendiri dengan memaki dalam hati.

Semua karena aku lemah dan lengah dalam mengontrol itu.

Aku kurang berusaha.

Aku kurang peka.

Karena aku.

Salahku!

Suara sesenggukannya semakin keras sampai-sampai ia berusaha menahan dengan menutup mulut dan mencekik lehernya.

"Hei!" Kayala maju, menarik kedua tangan Lucidna. "Apa-apaan?" bentaknya seraya berusaha menurunkan tangan itu.

Ternyata sangat mudah karena dari awal anak baru itu tidak punya banyak tenaga. Hal ini membuat Kayala ingat saat melihat Novel menggendong Lucidna yang pingsan di depan kelas seraya meminta izin pergi ke UKS.

"Maaf." Ia mengucapkannya lagi, meski tatapannya sudah tak fokus lagi.

"Sialan nggak tahu. Aku mau pulang! Menangis saja sendiri!"

Kayala mematikan rekaman suaranya, mengambil itu dan tasnya, lalu berjalan cepat ke pintu.

Saat ia keluar dari kelas, ia bertemu dengan orang yang menjemputnya hari ini.

"Kak?"

"Halo, habis ada masalah?"

Kayala gugup. Kakak kelas di hadapannya tersenyum lebar, itu jarang terjadi. "Apa Kakak lama menunggu? Maaf, ya!"

"Nggak apa-apa, omong-omong ada siapa di dalam?"

"Oh, anak baru, Lucidna. Yuk ah!" ajak Kayala, berjalan terburu-buru mendahului kakak kelas laki-laki itu.

Laki-laki itu mengintip dari pintu, mendapati anak perempuan sedang menangis, tak menyadari ada dia di sana.

"Ah, omong-omong Kak Badroy," tanya Kayala, berhenti tepat sebelum anak tangga. "Tumben chat aku duluan buat ngajak keluar bareng?"

Badroy tersenyum ramah. "Tadinya aku mau minta tolong kamu membantuku minggu depan. Tapi sepertinya ada perubahan." Ia berjalan mendekati Kayala, lalu merangkul pundaknya.

"Ada temanmu yang menangis, tidak apa ditinggal?" tanya Badroy, membuat Kayala kembali marah.

"Terserah! Itu kan salahnya, biarkan dia menangis sendiri, itu hukumannya!" hardik Kayala, semakin membuat senyum Badroy melebar.

Laki-laki itu melepaskan rangkulannya. Ia mendorong adik kelasnya itu, membiarkan tubuh itu menabrak satu demi satu anak tangga dari lantai 2 ke lantai 1. Kayala sempat berteriak kencang. Namun, tiba-tiba senyap.

Badroy hanya menatap dari atas, tubuh gadis itu terbaring di tanah, penuh bekas luka di kakinya.

"Hah, pfft, ha ha. Kalau mau kasih hukuman itu seperti ini, Kayala."


05-02-2025 | 2315 kata

Siapa mau memaki Badroy?

Silakan👍

‧༓☾𝙼𝚊𝚢 𝚌𝚕𝚘𝚟𝚎𝚛 𝚋𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚢𝚘𝚞☽༓

Kepak kupu-kupu di atas daun semanggi,
Peluk hangat untuk semuanya dari Yemi
┈˚୨୧⋆。⛧˚ ⋆ 🦋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top