◌23. Bagaimana Mereka Mengubah Kemalangan? (part 3)◌

"To handle tricky situations, sometimes we must use a lie."

-Lucidna Jingga

"Mama, Papa pulang kapan?" tanya Lucidna di sela-sela sesi belajar mandirinya.

"Lucidna, tidak biasanya kamu cari Papa."

Anak perempuan itu berhenti fokus ke buku pelajarannya. Ia mengalihkan perhatiannya ke televisi yang menunjukkan sosok papanya di saluran berita.

"Papa nggak bisa pulang mendadak ya?" tanyanya lagi. Setelah itu, ia memutar kepala, melihat wajah Mama-nya dengan tatapan dalam. "Apa Papa mengabari Mama?"

"Iya, sebulan yang lalu, katanya sibuk mencari drama kehidupan."

Ia tahu bahwa mamanya berusaha bercanda. Kapan pun topik tentang sosok tulang punggung mereka muncul, suasananya pasti tidak terlalu nyaman.

"Lucidna, ada apa? Kamu jarang mencari Papa."

Lucidna mengangguk. Ia memang jarang mencarinya. Ketika dilihat orang itu saja, ia merasa menjadi manusia terburuk di dunia karena kelemahan tubuhnya. Orang itu yang mengajarkan Lucidna untuk kritis, selalu mencari tahu lebih dalam tentang masalah dan berpikir solusinya secara objektif.

Dengan kata lain, Lucidna yang sering tertidur itu terlihat tidak kritis dan hanya bisa membawa masalah tanpa solusi yang benar.

Lucidna tersenyum getir, sebelum bertanya, "Mama, kalau aku memanipulasi orang jahat, apakah aku jahat?"

"Sini duduk di samping Mama dulu." Tangan mamanya menepuk-nepuk sofa di sebelahnya.

Setelah Lucidna duduk, mamanya baru menjawab. "Orang jahat sekali pun punya kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara yang lurus, Lucidna. Apa temanmu jahat?"

"Bukan teman yang kemarin, tidak," Lucidna mengerutkan alisnya. "Ini bahkan orang yang bukan teman."

Mereka berdua diam sejenak, membiarkan suara sosok yang mereka cari tadi meramaikan ruangan melalui televisi.

"Mama, waktu itu memintaku membatasi jarak dengan temanku yang membatasi informasi."

"Itu berbeda, saat itu Mama yakin temanmu bermaksud baik. Kalau orang jahat, Mama mau dengar dulu. Jadi, ada apa?"

Lucidna meremas jemarinya. Ia ragu untuk mengatakan sejujurnya, terutama tentang kemampuan Novel. Akan tetapi, kalau ia cerita alasan mencari papanya sekarang, dia juga harus memberitahu kalau mungkin dia dalam bahaya yang tidak diketahui apa.

Apa ini yang Novel rasakan saat enggan memberitahuku? Lucidna memejamkan matanya, merasa kesal sendiri.

"Kalau orang itu jahat sekali, mungkin itu karena tidak sengaja. Kalau dua kali, mungkin impulsif karena yang pertama tidak selesai dengan baik." Suara lembut mamanya membuat Lucidna membuka matanya.

Tatapan mamanya terasa teduh, mengurangi ketegangan dirinya. "Semua ada maknanya, orang yang melakukan sesuatu yang jahat itu juga butuh dipahami sebelum ditentukan ia benar-benar jahat atau terpaksa jahat."

Lucidna ingat saat ia kecewa pada Novel, mamanya juga mengatakan hal yang mirip seperti ini. Jika papanya mengajarinya kritis, mamanya mengajari ia untuk melihat dari sisi emosional yang tersembunyi.

"Ada apa, Lucidna?" Ini ketiga kalinya beliau bertanya.

Namun, rahasia tetap rahasia. Ia akan menjaga rahasia Novel serapat mungkin.

Jadi, ia berbohong sedikit.

"Ada kakak kelas yang mengancam Lucidna karena melihatnya merokok." Ia tidak sepenuhnya berbohong. Itulah yang diceritakan Novel. Gerak-gerik Badroy juga seperti mengancam.

"Orang itu tidak percaya aku janji tidak akan memberitahu siapa pun." Lucidna mengalihkan perhatiannya ke televisi. Itu bohong, dia tidak berjanji apa pun, yang mengatakannya adalah Novel, kalau sesuai ceritanya.

"Hari ini pun orang itu melemparkan bola ke kepalaku."

Akan tetapi, aku menghindar dengan baik dan mengempiskan bolanya.

"Orang itu menangkapku di lapangan, aku dibantu temanku."

Jangan berdebar berlebihan dulu, omelnya pada jantungnya yang berdetak kencang lagi.

Mama tersenyum tidak wajar. "Ada lagi?"

Lucidna menggeleng kaku. Barusan, suara mamanya terdengar seperti sarkas, bukan sarkas yang biasanya dilakukan dirinya, tapi lebih dingin dan kejam.

Mamanya menyentuh dahi Lucidna, lalu beralih mengusap pipi dengan kedua tangan. "Tidak terluka, temanmu melindungimu dengan baik. Sulit sekali melindungi Lucidna tahu?"

"Apa?"

"Karena ini." Ibunya menutupi kedua mata Lucidna. "Selalu tiba-tiba."

Gadis itu langsung mengerti maksudnya. Bagi mamanya dan Novel, rasa kantuk yang sering terjadi tiba-tiba bahkan sampai menghapus ingatan singkat sebelum tertidur itu membuatnya sulit dilindungi, seperti dikejar waktu.

Sejak dulu pun itu sering terjadi. Ia terluka karena lengah. Tapi dulu tidak separah di sekolah ini, karena kelasnya dekat dengan kamar mandi, kantin, kantor, dan tidak berada di lantai dua.

"Apa kamu mau pindah sekolah lagi?"

Jantung Lucidna terasa berhenti sesaat. Ia menyentuh tangan mamanya yang masih menutupi mata.

"Pindah? Kenapa, Ma?" tanyanya sedikit gemetaran.

"Mama mau Lucidna belajar di lingkungan yang nyaman dan aman. Bagaimana bisa ini terjadi dan tidak ada guru yang menengahi?"

Lucidna mengigit bibirnya, sebelum mengatakan, "Kenapa jadi salah guru? Mereka tidak tahu ..."

Saat kejadian bola dilempar itu, ada guru olahraga di sana. Akan tetapi, guru itu lalai, ia tidak menegur Badroy atas keisengannya itu. Karena itu, Lucidna tidak berbohong sepenuhnya, tidak saat ini terlalu tiba-tiba.

Akan tetapi, Lucidna tidak mau pindah.

"Tidak ada sekolah lain yang lebih nyaman dan aman daripada yang sekarang, Ma."

"Lucidna jangan menutup mata kamu pada pilihan lain!" tegas Mama dengan cepat.

Hal itu membuat Lucidna ikut terbawa suasana. Ia mengenggam tangan Mamanya. "Mama berusaha membuatku menutup mata pada pilihan lain!" Ia mengucapkannya dengan suara memekik.

Hening, karena dalam waktu cepat, Lucidna merasa bersalah. Ia merasa tercekik padahal lehernya tidak disentuh. Ia merasa berat padahal ia sedang duduk di sofa yang nyaman.

Hanya karena mamanya menawarkan ia untuk pindah.

"Maaf, Ma," pintanya dengan suara lesu. "Tapi di sekolah nggak cuma ada orang jahat. Ada temanku, dia juga ketua kelasku, dia juga orang yang membuatku nyaman belajar, dia juga penjagaku dari kejadian buruk, menjagaku agar aku tidak sakit atau lapar. Jadi ...." Ia mengatur napasnya. "Aku suka sekolah ini. Aku suka temanku. Aku tidak akan pergi!"

Sejenak, sang mama tak berbicara apa pun. Tatapan Lucidna yang biasanya tenang malam ini terlihat berbeda. Ia bisa mengetahuinya dengan cepat, anaknya sedikit berubah.

Anak perempuannya mempunyai teman yang benar-benar ia anggap teman. Ia tidak hanya menurut dengan saran darinya. Tidak, bahkan sejak masuk ke sekolah ini, Lucidna sering bercerita di tengah sesi belajarnya.

Ia bukan lagi anak perempuan yang hanya fokus pada nilai sebagai pembuktian, mengkritik orang yang salah paham pada kelemahannya sekaligus diri sendiri yang memiliki kekurangan itu. Ia tidak lagi memendam semuanya meski wajahnya selalu jujur pada dunia.

Ia menarik pelan anak perempuannya dalam pelukan. Lalu mengelus kepala belakangnya.

"Mama hanya khawatir kamu terluka. Kalau kamu yakin mau di sekolah itu, Mama percaya."

Lucidna mengerjap kebingungan, tak mengerti kenapa tiba-tiba dipeluk. Namun, ini benar-benar membuat kegelisahannya padam. Karena itu, dia hanya diam.

"Mama senang kamu punya teman yang baik. Sebaiknya, kakak kelas itu kamu jauhi, hindari saja, jangan dibalas. Mungkin nanti dia akan membiarkanmu."

Baru saja Lucidna ingin menyela, mamanya melanjutkan lagi.

"Ada tapinya."

Mamanya melepaskan pelukan. Kini mereka berhadapan, kembali ke awal.

"Kalau dia keterlaluan, manipulasi saja tidak apa, hanya jika itu terpaksa."

Lucidna mengangguk. Situasi dia harus jaga diri selama seminggu karena kemungkinan Badroy membuatnya dalam bahaya, itu apa kalau bukan terpaksa?

"Kenapa mencari Papa?"

"Oh ya." Lucidna hampir lupa soal itu. "Aku mau Papa pulang, kalau bisa, saat aku sekolah, Papa ada di sekitar sekolah itu."

Mamanya tampak bingung. Lucidna juga mengerti kalau kata-katanya penuh ketidakjelasan. Jika Mamanya bertanya alasan apa, ia harus berbohong lagi, agar tidak perlu menjelaskan penglihatan Novel.

"Oke."

"Sebenarnya nanti ... eh oke? Oke?" Lucidna memastikan apakah ia salah dengar.

"Iya, nanti Mama paksa Papa pulang," ucap Mama sambil tersenyum miring. "Mama harus bilang apa? Ada anak yang membuat masalah?"

Lucidna mengalihkan perhatiannya ke televisi. Berita-berita di sana selalu tentang kejadian besar atau orang besar yang terbaru. Siswa bermasalah bukan hal baru ataupun besar.

Bagaimana ya? Ia mencoba mencari ide.

"Ada kemungkinan Kak Badroy menenggelamkan kepalamu ke dalam air di bak kamar mandi dengan paksa dan berujung kamu benar-benar pingsan, Lucidna."

Lucidna yang mengingat kata-kata Novel menemukan alasan yang mungkin cukup membawa seorang penulis dan reporter berita ke sekolahnya.

"Mama, tolong bilang ke Papa, ada siswa dengan jiwa senang menyiksa manusia dan tak berhati meski itu bisa membuat korbannya mati."

Saat itu Lucidna tidak tahu, bahwa kebohongannya benar-benar menjadi nyata.


04-02-2025| 1278 kata

Nasib character driven😭Aku juga gatau masalahnya apa sih sampai butuh persiapan sebegininya?

Belum lagi alasan Badroy😭Maaf kalau nanti alasannya ternyata nggak terlalu kuat.

Maybe, Badroy terpaksa jadi antagonis
😭👉👈

‧༓☾𝙼𝚊𝚢 𝚌𝚕𝚘𝚟𝚎𝚛 𝚋𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚢𝚘𝚞☽༓

Kepak kupu-kupu di atas daun semanggi,
Peluk hangat untuk semuanya dari Yemi
┈˚୨୧⋆。⛧˚ ⋆ 🦋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top