2 - Athan bukan Arion

"Pertama-tama, jangan panik!" gumam Athan. Dia berjalan pelan-pelan ke arah cermin yang menunjukkan rupa seseorang yang berbeda jauh dari rupa asli Athan. Saat sudah dekat, Athan mulai menggerakkan tangannya ke kanan kiri.

"Bayangannya ngikut!" seru Athan yang kembali syok. Saat memukul-mukul wajah juga, bayangan itu mengikuti gerakan Athan.

Jadi fiks, Athan masuk isekai!

Tak ingin membuang-buang waktu, Athan langsung melepasi semua pakaian yang terpasang. Dia melihat penampilannya yang telanjang sambil mengamatinya satu per satu. Kalau dilihat dari otot, tidak diragukan lagi kalau pria yang dia masuki adalah seorang pekerja keras.

"Siapa, ya? Kalau beneran gue lagi ke isekai, novel apa dan siapa yang gue masuki sekarang?" Athan menunduk untuk memperhatikan pakaiannya yang berada di lantai. "Bajunya mirip rakyat biasa di jaman kerajaan. Yah, bagus juga kalau gue nggak menonjol. Jadi gue nggak perlu repot-repot juga."

Athan berjongkok untuk menggeledah pakaian itu. Dia berusaha mencari sesuatu yang mirip kartu identitas untuk mengetahui siapa pria ini. Kalau memang ada suatu misi yang harus dia jalankan sebagai alasan dia masuk ke dunia ini, maka demi bertahan hidup dia harus memahami baik-baik keadaan.

Yah, bukannya tidak syok. Athan hanya berusaha untuk tidak buang-buang waktu. Bisa saja di sini dia adalah orang jahat. Jadi dia bisa mencegah situasi yang tidak diinginkan lebih cepat.

"Umurnya berapa, ya? Kalau diamati lagi ...." Athan menatap lekat wajahnya yang ada di cermin. "... dia seumuran sama gue. Mungkin lebih tua atau lebih muda setahun."

Brak!

"Arion!"

Mata Athan melotot kala seorang wanita dengan spatula di tangannya langsung membuka pintu kamar dan menatap tajam dirinya. "E--eh?!" Athan yang masih berjongkok dengan tubuh telanjang hanya mampu membeku di tempat.

"Haah ... Arion," gumam wanita itu sembari berjalan mendekat. "Buku mana lagi yang sedang kau baca sampai kau telanjang begini, ha?"

Kalau dia nggak kaget lihat tubuh gue, berarti dia saudaranya cowok ini, pikir Athan yang mulai paham.

"I--itu ... hehe, aku hanya ingin mencoba hal baru," ucap Athan yang berhasil menemukan alasan.

"Gila sekali. Otakmu benar-benar sudah tidak waras. Walau begitu, kau harus tetap bertanggung jawab dengan ucapanmu! Di bawah, kedai sedang ramai! Jangan tidur terus dan bantu aku!" serunya. Sebelum Athan berhasil buka mulut, wanita itu mengayunkan spatulanya ke depan wajah Athan. "Kalau kau menggunakan latihanmu sebagai alasan, maka aku tidak akan segan-segan mengurangi uang jajanmu! Mengerti?"

Athan mulai paham. Sepertinya hubungannya dengan wanita ini cukup dekat. Apakah mereka suami istri?

"Kakak?" ucap Athan yang mencoba untuk mengetesnya.

"Hm, tumben sekali kau memanggilku dengan benar," kata wanita itu.

Ternyata dia adalah kakak Arion.

"Apa kau tidak malu terus berada di sini? Aku kan belum pakai baju!" kata Athan yang ingin wanita ini segera pergi. Dia jadi tidak bisa bergerak di posisi ini karena masih telanjang.

"Memangnya apa yang bisa kulihat dari tubuhmu yang tidak ada apa-apanya itu? Lagipula, aku ini yang sudah merawatmu dari kecil sampai besar dan sudah membersihkan semua kotoranmu. Jadi berhenti sok dewasa."

"Baiklah-baiklah," kata Athan. Tak ingin berdebat lebih jauh. "Emm, namamu siapa? Aku sedikit lupa."

"Sepertinya kau benar-benar bodoh." Wanita itu berjalan kembali ke pintu. "Aku Ariana, Bodoh! Cepat turun ke bawah dan bantu aku!"

"Baiklah!"

Tak ingin menimbulkan kecurigaan, Athan menurut saja. Dia segera memakai kembali pakaiannya lalu memperbaiki tatanan rambutnya. "Arion ... namanya Arion. Dia seorang adik dari kakak bernama Ariana. Kalau Ariana yang merawat Arion dari kecil, berarti mereka sudah tinggal berdua dari lama."

Setelah ke luar kamar, Athan memperhatikan suasana rumah ini. Keseluruhan memang terbuat dari kayu. Saat mengedarkan pandangan, Athan menemukan beberapa kamar yang dia yakini tidak ditinggali keluarga. Apa tempat ini adalah penginapan? Tapi tadi Ariana bilang kalau di bawah ada kedai.

Athan pun mulai menuruni anak tangga. Dia melihat orang-orang yang ramai duduk di meja seperti tempat ini adalah sebuah restoran. Ada juga yang berbincang sambil makan-makan. Dari sini Athan juga bisa melihat Ariana yang sedang melayani pembeli dan seorang pria lagi yang sedang memasak.

"Dia siapa, ya? Apa dia kakak Arion lagi?" gumam Athan.

"Arion! Sini!" seru pria itu setelah menyadari keberadaan Athan. Athan pun mengangguk dan segera berlari mendekat. Saat sudah berdiri di hadapannya, pria itu langsung mengunci leher Athan dengan akrab. "Hahah, akhirnya kau bangun juga, Adik Iparku! Kupikir kau akan mati di kamarmu karena giat sekali belajar."

"Belajar?" Athan mencerna baik-baik hal ini. Apa Arion yang dia masuki adalah seorang pelajar? Tadi Ariana juga sempat menyinggung soal latihan. Ah, yang terpenting ... ternyata pria perkasa ini adalah suami Ariana.

"Hentikan itu, Rey! Biarkan Rion bekerja! Dia sudah cukup bermalas-malasan dari pagi," ucap Ariana yang berjalan menuju meja kasir.

"Hahaha, baiklah, Riana." Larey menatap Athan yang memasang muka cengo karena pernah dengar nama ini di suatu tempat.

"Larey?" ucap Athan untuk memastikannya.

"Ya? Kenapa?" Larey menekan kedua pipi Athan. "Kenapa wajahmu semakin jelek begini?"

"Apa kau benar-benar Larey?" tanya Athan lagi.

"Lalu menurutmu, aku Larey palsu?" tanya balik Larey yang jadi bingung dengan sikap Athan.

Walau begitu Athan masih belum menyerah. "Kau adalah mantan petarung yang berhasil mengalahkan panglima istana lima tahun lalu, bukan? Kau juga dulunya adalah guru dari Yang Mulia Raja sekarang! Katakan kalau aku salah."

Kalau Athan benar, maka dunia yang dimasuki Athan adalah novel mengerikan itu. Ah, tapi bisa saja dia salah. Hanya karena pernah baca nama Larey, bukan berarti mereka adalah orang yang sama, kan? Toh, adegan Larey tidak banyak. Dia hanya dimintai putri mahkota untuk menjadi tangan kanannya dan berakhir mati tragis.

"Hei!" Larey langsung menutup mulut Athan dengan tangannya. "Bisakah kau memelankan lagi mulutmu itu? Kenapa kau mengatakannya dengan sangat lantang? Sudah kubilang kan kalau semua itu rahasia?"

A--apa?

Athan tidak salah dengar, kan?

"Si--siapa raja kita sekarang?" tanya Athan yang berusaha untuk memastikannya lagi.

"Apa kau tidak mempelajari pelajaranmu dengan benar? Sebagai calon ksatria, hal-hal mengenai negara dan istana adalah ilmu paling dasar. Kau harus tau itu! Kenapa kau malah tidak ingat nama raja benua ini sendiri?" Larey menggeleng heran. "Yang Mulia Calderer Bjarte de Hamamond. Nama raja saat ini."

Athan menutup mulutnya tak percaya. "D--De ... Hamamond?"

Sial ... beneran masuk novel itu.

Athan kini mengusap-usap kasar wajahnya. Entah bagaimana nasibnya setelah ini. Yang jelas, dia benar-benar harus kabur. Jangan sampai dirinya terlihat atau terlibat sedikit saja dengan putri mahkota.

***

"Jadi, setelah itu baru lahirlah seorang bayi, Yang Mulia," ucap perempuan bergelar duchess itu. Tugasnya sebagai guru perempuan dari adik putri mahkota adalah mengajarinya ilmu atau etiket yang diperlukan sebagai seorang wanita bangsawan. Kata ratu maupun putri mahkota, anak ini tak perlu mendapat ilmu yang terlalu berat seperti politik. Cukup tau kalau dia hidup saja, keluarga kerajaan juga tak memberikan perhatian penuh padanya.

"Hmm ... menurutku tidak seperti itu," ucapnya sembari menyangga dagu di atas meja. Dia memainkan grip di tangannya. "Apa kau yakin bayi terlahir dengan cara seperti itu? Apa kau berniat membohongi seorang putri raja?"

Duchess mulai ketakutan dengan ekspresi tuan putri. Dia mengepalkan kedua tangan sambil berpikir matang bahwa anak kecil ini tidak mungkin tau apa-apa. Tidak bisa juga duchess menjelaskan yang sebenarnya. Dia bisa saja dihukum penggal kalau menceritakan hal kotor dan tak beradab kepada putri raja. "I--itu ... maksud, Yang Mulia?"

"Maksudku, apakah itu yang kau lakukan dengan tuan duke di atas ranjang, Duchess Maya? Aku yakin yang sebenarnya terjadi lebih dari itu," ucapnya.

"Pu--Putri ... itu tidak seharusnya--"

"Aku sudah tau segalanya, Duchess."

Bellanca Fayre de Hamamond, keturunan langsung dari Raja Calder tentu memiliki kecerdasan yang tak biasa. Duchess Maya jadi tak bisa menganggap Bellanca sebagai anak kecil lagi sebab anak ini seolah tau segalanya.

"Apa menyenangkan?"

Duchess kembali terkejut. "A--apa ... maksudnya, Yang Mulia?"

"Maksudku, apa menyenangkan melakukannya bersama duke? Dengan wajahnya yang tampan, kau pasti puas sekali."

"Ya--Yang Mulia!"

Bellanca terkekeh. Dia turun dari kursinya lalu meregangkan tubuh. "Haah ... melelahkan sekali menjadi anak kecil. Aku ingin segera menikah dengan pria tampan." Kemudian Bellanca melirik Maya lagi.

"Apa anakmu laki-laki?"

Duchess Maya hampir kehabisan kata-kata saat mendengar gaya bicara Bellanca yang seperti anak yang sedang dirasuki nyawa berusia ratusan tahun. "Anak saya ... anak saya ... mereka perempuan, Putri."

"Yah, kalau laki-laki, aku ingin memintamu menyerahkan mereka padaku."

"Untuk apa, Putri?"

Putri terkekeh. "Untuk bersenang-senang!"

Krieeet ....

Pintu perpustakaan dibuka oleh seseorang. Muncul wanita anggun dengan raut datar dari sana. Pakaiannya yang mencolok dari Bellanca menunjukkan bahwa dia adalah putri yang lebih diakui. Khususnya sebagai seorang putri mahkota.

"Apa pelajaranmu sudah selesai, Putri Bellanca?" tanya putri mahkota.

Bellanca tersenyum lebar. "Sudah, Kakak! Pembelajaran dengan Duchess Maya menyenangkan sekali! Aku sangat berterima kasih pada Kakak karena telah memilihkannya."

Mendengar itu, Duchess Maya hampir jantungan. Kalau saja Bellanca bicara sedikit saja pada putri mahkota soal keluhannya, dia bisa kehilangan nyawa detik itu juga.

"Oh, ya! Tumben sekali Kakak menjemputku. Memang ada apa?" tanya Bellanca. Memang hal ini cukup mengejutkan. Mengingat keberadaan Bellanca yang seperti lalat tak dianggap di istana ini.

"Ada yang ingin kukatakan padamu. Apa kau sibuk?" tanya putri mahkota.

"Meluangkan waktu untuk Putri Davira Grizelle de Hamamond yang merupakan putri mahkota kerajaan ini adalah sebuah kehormatan bagiku. Mana bisa aku mengabaikannya?" Lagi-lagi Bellanca mengatakan omong kosong itu dengan senyuman palsu. Davira jadi bertanya-tanya bagaimana anak kecil ini melakukannya?

"Ikut aku." Bellanca pun mengikuti Davira. Mereka berjalan cukup jauh sampai berhenti di ruang pribadi Davira.

"Putri Bellanca," panggil Davira dengan tubuh yang membelakangi Bellanca.

"Ya, Putri Mahkota."

"Aku sudah dengar bagaimana kau memperlakukan guru pribadimu selama ini. Kau membuat cukup banyak keributan. Kalau sekali dua kali itu tidak masalah, tapi ini sudah cukup banyak. Nama baikmu bisa tercoreng. Sebentar lagi kau akan melewati perayaan kedewasaan. Bukankah sebaiknya kau mempersiapkan diri?" ucap Davira.

"Apa Kakak takut aku mengalahkanmu?" ucap Bellanca yang disertai senyum meremehkan.

Sontak Davira berbalik. "Apa maksudmu?"

"Kak Davira pasti takut kalau aku lebih hebat darimu dan merebut posisimu. Iya, kan?" Bellanca bersedekap dada dengan angkuh.

Davira jadi menghela napas berat. "Putri Bellanca, ingat hal ini. Aku tidak ingin menciptakan permusuhan denganmu. Mau bagaimana pun, kau adalah adikku. Saat aku menjadi ratu, aku tidak akan membunuhmu. Jadi hidup lah seperti yang kau inginkan dan jangan menggangguku."

"Tapi bagaimana kalau aku berambisi untuk merebut gelarmu?" tanya Bellanca.

"Tanyakan saja pada ayah. Hal itu lebih pasti," kata Davira kemudian mengambil setumpuk kertas yang ada di atas meja. Dia serahkan kertas-kertas itu pada Bellanca. "Sebelum itu, selesaikan hal ini lebih dulu. Dalam waktu dekat, kau harus sudah menemukan ksatria pribadimu. Pengumuman pengawal kerajaan baru akan diumumkan minggu ini. Yang menjadi ksatriamu akan dipilih dari mereka."


















Don't Love Me, Princess!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top