Ch. Two : I'm scaredy cat
Chapter two
I'm a scaredy cat
<I think I'm scared I don't know why
Just leave the lights on and close the blinds>
Arvi tidak bisa menyembunyikan kegugupannya meski sudah berulang kali meyakinkan diri bahwa Kaivan tidak akan melakukan apa pun padanya. Gadis seperti Garvita Yochana memang tidak cocok bersikap sok berani untuk bisa berteman dengan lelaki seperti Kaivan Janitra. Mereka sepertinya memang bukan pasangan yang tepat untuk—
"What were you thinking about?"
Arvi yang sedang ketakutan tiba-tiba saja harus menahan napasnya dengan cepat. Dia tidak mengira bahwa Kaivan akan bertanya di telinganya. Memang tidak keras, tapi embusan napas lelaki itu mengacaukan kewarasan Arvi dalam sekejap. Kaivan sepertinya tidak berniat bicara dengan menghadap Arvi, karena lelaki itu masih senantiasa menopang tubuh dengan kedua tangan dan berdiam diri dengan napas yang bisa dirasakan di tengkuk Arvi.
"Kak ... udah selesai ganti bajunya?" tanya Arvi dengan gugup.
"Udah. Kamu bisa balik badan sekarang."
Sejujurnya Arvi tidak akan sanggup jika harus bertatapan dengan Kaivan. Di kamar lelaki itu, mengamati rambut basahnya, menghirup aroma samponya, dan bahkan melihat bagian atas tubuhnya! Dalam beberapa menit, tampaknya Arvi akan mimisan karena semua aksen mengenai lelaki itu ada di sini!
Memaksakan diri, Arvi membalikkan tubuhnya dan mendapati wajah Kaivan yang tidak mundur sedikit pun dari gadis itu.
"Kak?"
"Ya?"
Arvi tidak tahu harus mengatakan apa. Namun, Kaivan berhasil mengunci tatapan Arvi dalam sekejap. Kalimat yang semula ingin keluar dari mulut gadis itu mendadak hilang.
"Kamu mau bilang apa, Vi?"
Bisa nggak, Kak Ivan mundur? Karena sekarang aku bisa ngerasain napas kita saling berhembus. "Kak Ivan nggak jadi anterin aku pulang?" Arvi tidak bisa menyampaikan pertanyaan yang pertama karena itu sama saja bunuh diri.
"Jadi, kenapa?"
"Tapi Kak Ivan nggak pake baju—eh, maksudnya, Kak Ivan belum siap-siap?"
Kaivan turun dari ranjang dan menuju tirai jendela kamarnya yang besar. "It's still rain," ucap lelaki itu dengan santai dan memang hujan masih begitu deras.
Arvi hanya bisa mengangguk dan Kaivan berjalan menuju gadis itu setelah menutup tirai jendela dengan sempurna. Arvi tahu ranjang lelaki itu sangatlah mahal, karena ketika Kaivan menaikinya, tubuh Arvi tidak terguncang sama sekali. Entah apa yang ada di kepala Arvi, yang jelas dirinya mematung ketika Kaivan terus mendekatkan diri padanya.
Arvi hampir memejamkan mata jika saja dia tidak mendengar bunyi petikan gitar di belakangnya.
"Mau main gitar?" tanya Kaivan.
"Huh?"
Arvi sudah persis seperti kucing yang sedang ketakutan sekarang. Dia bingung dengan pertanyaan yang lelaki itu sampaikan. Main gitar?
"Gitarnya ada di belakang kamu, Vi."
"O-ohhh. Maaf aku nggak tahu, Kak."
Posisi gitar itu memang ada di samping ranjang Kaivan. Entah siapa yang meletakkannya di sana hingga bisa posisinya bisa tepat berada di balik tubuh Arvi saat ini. Dia yakin matanya tak menangkap gitar itu di sana tadi. Apa Arvi berhalusinasi hingga tidak menyadari apa pun?
"Aku nggak bisa main alat musik," ucap Arvi.
"Oh, aku anggap itu sebagai penolakan. Kalo gitu kita bisa dengerin lagu aja."
Arvi belum sempat bertanya apa pun saat seisi kamar diisi dengan suara musik yang terputar. Kepala Arvi mulai mencari-cari di mana suara itu berasal, tapi tidak ada satu pun alat yang terlihat sedang memutar musik.
"Kamu cari apa?" tanya Kaivan.
"Kak Ivan nyalain musiknya dari mana?"
Lelaki itu tidak langsung menjawabnya, justru membuat Arvi terus penasaran dengan berkata, "Coba tebak."
Arvi mencari dimana keberadaan pemutar musik menggunakan bluetooth yang mungkin ada di sekitaran, tapi tidak ada di mana pun.
"Di mana, sih, Kak?" tanya Arvi dengan penasaran yang semakin tinggi.
Kaivan tidak memberitahu dan malah menertawakan tingkah Arvi yang sangat lucu.
"Ih, Kak Ivan malah ngetawain aku."
Kaivan mengacak rambut gadis itu. "Yaudah, nggak usah dicari. Kapan-kapan kamu masih punya kesempatan buat cari tahu."
Arvi terdiam dan merasakan pipinya memanas, hampir terbakar. Gadis itu tidak menyadari bahwa semua reaksinya disaksikan oleh Kaivan.
"Kamu suka lagu ini?" tanya Kaivan.
"Huh? Lagu ini? Yang Kak Ivan puter?"
Kaivan mengangguk dan menunggu jawaban. "Aku nggak tahu lagu ini. Aku nggak update soal musik."
Kaivan kembali tertawa. "Ya, harusnya aku nggak nanya soal itu, ya. Kamu emang anak eksakta banget, ya."
Arvi hanya bisa mendengkus dengan ucapan Kaivan. Dia hanya mencoba menikmati musik yang dinyalakan oleh Kaivan. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama dan dia menyukai lagu yang dimainkan itu.
"Suka sama lagu yang ini?" tanya Kaivan.
"Hm. Aku baru denger ini dan aku suka. Kayak ada vibe-vibe psycho gitu, tapi romantis. Aku nggak bisa jelasin dengan versi benernya, tapi aku nangkepnya gitu."
"So beautiful ..."
Arvi terkejut saat suara Kaivan di sampingnya dan suara yang keluar dari pemutar musik sama persis.
"Itu suara Kak Ivan?"
Kaivan tidak menjawab dan membuat Arvi semakin terhanyut dalam lantunan lirik demi lirik yang keluar dari bibir Kaivan secara langsung. Arvi sangat yakin bahwa ini memang lagu milik pria itu. Bahkan feel yang dibawakan oleh lelaki itu sangat cocok.
Saat lagu selesai, Arvi langsung bertepuk tangan heboh. "Wah! Gila banget, sih. Kak Ivan beneran musisi banget, sih! Itu lagunya udah rilis? Atau bisa aku dapetin dimana?"
Kaivan menggelengkan kepala. "Belum rilis. Dan kayaknya nggak akan pernah rilis."
Arvi mengernyit dalam. "Kenapa gitu?"
"Ada banyak faktor. Aku nggak bisa rilis lagu tanpa agensi, aku harus cari tempat yang suka dengan warna musik yang kupunya. Tapi faktor utamanya bukan itu."
Arvi memang yakin bahwa Kaivan bisa mencari agensi musik melihat betapa kaya lelaki itu. Jadi, faktor utamanya sudah pasti sangat berat.
"Apa faktor utamanya, Kak?"
Kaivan tertawa singkat, menertawakan dirinya sendiri. "Klise. Nggak dikasih izin sama orang tua buat jadi musisi. Masa depan suram kalo jadi musisi. Ya, pemikiran kuno begitulah."
Arvi yang merasakan kekecewaan dalam suara Kaivan tanpa sadar menggenggam tangan lelaki itu. Dia menyalurkan kekuatan yang dipunya pada Kaivan dan berharap lelaki itu akan kembali semangat dan bisa mendapatkan jalan keluar yang tepat untuk impiannya.
"Aku tahu Kak Ivan akan jadi musisi yang hebat. Aku akan jadi orang pertama yang selalu dengerin lagu Kak Ivan, kalo diizinin."
Ketika Arvi menaikkan pandangannya, dia tidak sadar sudah masuk dalam manik Kaivan yang memabukkan. Saat tubuh Arvi ditarik dan bibir mereka bertemu, Arvi tidak yakin apa yang terjadi. Namun, dia bereaksi menutup mata begitu Kaivan tak kunjung melepaskan tautan bibir mereka.
Untuk beberapa saat keduanya tak melepaskan diri. Kaivan memberikan jarak bagi wajah mereka dan membuat Arvi bisa menarik napas setelah menahannya.
Tepat di bibir Arvi lelaki itu berkata, "Kamu akan selalu aku izinkan menjadi pendengar pertama laguku, Arvi."
Dan semuanya terjadi begitu cepat. Arvi agaknya mabuk dengan efek ciuman lelaki itu hingga tak mau melepaskan apa pun yang diberikan oleh Kaivan. Waktu berjalan dan Arvi sudah terlanjur tenggelam.
[Bab bermuatan dewasa secara detail aku upload di Karyakarsa 'kataromchick' ya. Yang di Wattpad steamy-nya nggak mau keterlaluan, deh. Wkwkwk. Yang keterlaluan aku privat di Karyakarsa aja, biar anak sekolahan nggak mampir. Tapi kalo ada anak sekolahan yang masih mampir ... aku nggak tahu harus melarangnya gimana. Btw, have fun!]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top