Ch. Five : Looking the Other Way

CHAPTER FIVE

Looking the Other Way

< My love is turning kinda grey

My heart is looking the other way >

Tak perlu menjadi orang pintar untuk bisa membaca seluruh tingkah laku Arvi. Semua hormon kebahagiaan seperti sedang menghujani Arvi hingga setiap perempuan itu melangkah, teman-temannya bisa ikut merasakan. Bagi seorang teman yang pandai dalam membaca kebiasaan Arvi, hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Mungkin memang Arvi tidak terlalu banyak mengenal dan dekat dengan teman kampus, tapi dia tetap memiliki circle yang bisa membuat nyaman. Dan jelas circle yang dimilikinya bukan yang setipe dengan Kaivan.

"Bahagia banget, nih. Auranya beda gitu loh. Ada apaan, sih?"

Arvi yang mendapatkan pertanyaan seperti itu langsung melebarkan matanya. "Bahagia? Siapa yang bahagia banget? Aku?"

"He'em! Siapa lagi? Diantara kita berempat, dari masuk kelas Pak Wiryo yang membosankan itu kamu sendiri yang nggak merasa bosan. Hebat banget."

Pak Wiryo adalah dosen yang mengajar mengenai sejarah bangsa Indonesia, tak seperti mata pelajaran di sekolah, mata kuliah pak Wiryo lebih njelimet dan terlalu banyak teks. Terlalu banyak teori dan ketika UTS tiba maka mahasiswa harus mengumpulkan essay versi masing-masing dengan tiga sampai lima pertanyaan. Dan semua pertanyaan itu ditulis di kertas folio yang bukan hanya satu lembar, tapi berlembar-lembar dan mahasiswa harus selalu memiliki alarm untuk membawa folio cadangan agar tak kehabisan stok. Oh, jangan lupa aturan di kelas pak Wiryo yang tak boleh mengumpulkan kertas dengan correction tape atau tulisan yang dicoret dengan pulpen saja.

Pokoknya, kelas pak Wiryo adalah kelas yang membuat kebanyakan mahasiswa mengeluh karena mati kebosanan tapi tak bisa menghindari pertemuan karena jatah untuk tak masuk kelas hanya tiga kali. Jatah kehadiran untuk mendapatkan nilai akademis yang bagus adalah 75%, jadi mahasiswa yang tak mau menyia-nyiakan biaya kuliah akan memilih masuk 100%. Titip Absen sudah bukan zamannya lagi, karena pak Wiryo akan memanggil satu persatu mahasiswa dan memastikan tanda tangan yang tertera dilakukan oleh pemilik adalah asli, bukan titipan.

"Masa, sih? Perasaan aku biasa aja, kok. Aku cuma nggak mau terlalu bete supaya teorinya masuk ke kepala aja."

Meta adalah orang yang cermat, sekali dia membaca sesuatu maka akan terus digali hingga mendapatkan jawaban yang sesungguhnya. Arvi tak ingin masuk dalam jebakan kata-katanya yang sekilas memang terdengar biasa saja.

"Makan, yuk! Mie ayam kayaknya enak, nih."

Jam baru menunjukkan pukul sebelas siang, tapi Anggi sudah merasakan serangan lapar.

"Gue pengen makan soto malah, Nggi." Itu adalah Vintara, dia lebih suka menggunakan bahasa gaul Jakarta ketimbang aku-kamu. Padahal Vintara adalah mahasiswa yang bukan asli dari sekitaran Jakarta.

Banyak mahasiswa dari luar kota yang memang lebih banyak menggunakan panggilan aku-kamu seperti Arvi dan Meta. Anggi sendiri menggunakan keduanya disaat tertentu, tergantung orangnya bagaimana. Vintara sendiri yang lebih suka menggunakan gue-elo.

"Ih, malah soto. Enak mie ayam, Vin."

Disaat Anggi dan Vintara sibuk mencari keputusan makanan yang ingin mereka makan, Meta masih senantiasa menatap Arvi dengan serius. Arvi sebenarnya panik dengan tatapan temannya itu, tapi berusaha biasa saja.

"Masih temenan sama si perusak cewek itu?" tanya Meta begitu saja.

Arvi tidak tahu harus bicara apa karena dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjadikan hubungannya dan Kaivan sebagai rahasia. Meta juga tipikal orang yang sangat cerdas untuk membaca situasi. Maka Arvi harus menjawab dengan kata-kata yang baik.

"Kayak biasanya aja, Ta. Kenapa emangnya?"

Meta mengangkat kedua bahunya dan berkata, "Aku nggak tahu apa-apa soal cowok itu, tapi aku nggak bosen untuk ingetin kamu supaya nggak lanjutin apa pun dengan kakak tingkat yang males kuliah itu."

Arvi hanya diam mendengarkan ucapan Meta, dia tidak bisa mengatakan apa pun mengenai Kaivan karena tak mau Meta malah semakin curiga.

"Inget, ya, Vi. Dia itu anak orang kaya, kalo dia males-malesan kuliah dan sibuk bikin masalah, itu nggak bikin dia rugi. Beda sama kamu yang orang biasa, kalo kamu masuk ke permainannya, kamu sendiri yang nyesel dan banyak ruginya."

"Permainan apa? Aku nggak ngapa-ngapain, aku cuma kenal aja sama Kak Ivan. Aku nggak akrab-akrab banget sama dia."

Seperti yang Arvi tebak, Meta tidak bisa langsung percaya begitu saja. Untung saja Anggi dan Vintara sudah menemukan jalan tengah ingin makan apa untuk mengisi perut mereka. Jadi, sesegera mungkin mereka berangkat sebelum makin banyak mahasiswa yang mengisi warung makan kesukaan mereka.

***

Arvi tidak pernah tahu kapan atau dimana Kaivan jika masuk kuliah. Lelaki itu tidak pernah banyak bicara mengenai dirinya sendiri. Arvi juga tidak pernah dihubungi atau menghubungi Kaivan melalui chat meski mereka sudah mengetahui nomor masing-masing. Yang bisa Arvi lakukan adalah menunggu dan berharap bahwa Kaivan akan muncul di kampus. Sebab sekarang Arvi mendadak rindu dan ingin melihat wajah Kaivan meski hanya sekilas.

Ini tanda-tanda rindunya orang kasmaran nggak sih? Arvi berusaha meraba perasaannya sendiri pada Kaivan. Namun, keraguan masih membelenggu. Meta tidak ada saat ini, mereka memiliki jadwal kelas yang berbeda. Kebetulan Arvi lebih banyak mendapatkan kelas sore saat mengisi KRS. Memilih jadwal dan mata kuliah saat jadwal input dibuka memang benar-benar lahan perang yang tidak akan pernah berhenti membuat Arvi berdebar gugup. Rasanya sungguh tak enak jika tidak memiliki teman akrab di setiap kelas.

"Mau pulang bareng?"

Arvi dikejutkan dengan tubuh seorang lelaki yang menggunakan outfit serba hitam. Siapa lagi jika bukan Kaivan. Lelaki itu menggunakan celana bahan dan atasan rajut lengan panjang dengan warna hitam. Sebenarnya tidak heran mendapati Kaivan menggunakan pakaian hitam, mengingat tato lelaki itu yang akan menerawang jika menggunakan kemeja berawarna. Lagi pula, Kaivan tidak pernah mematuhi aturan kampus untuk memakai kemeja dan semacamnya setiap hari. Yang membuat aneh adalah pria itu ada di gedung fakultas Arvi saat ini, sudah pasti lelaki itu mengundang tatapan penuh selidik dari mahasiswa yang lain.

"Kak Ivan ngapain di sini?"

"Kuliah." Kaivan menjawab dengan entengnya.

"Maksudku ngapain di gedung fakultas aku?"

"Mau ketemu kamulah. Ngapain lagi?"

Arvi mennatap sekeliling dan langsung merasa tak nyaman. Arvi berdiri dan memilih berjalan lebih dulu di depan Kaivan. Arvi memilih turun menggunakan tangga darurat yang jarang digunakan mahasiswa lainnya.

"Katanya aku harus rahasiain semuanya?" tanya Arvi dengan suara berbisik.

"Ya. Dan kamu nggak buka mulut, kan?"

"Ya, nggaklah! Tapi dengan kak Ivan yang nyemperin ke sini, pasti orang pada curiga."

"Mereka emang curiga dari lama, kan? Mereka tahunya kita deket, kok." Arvi tidak puas dengan jawaban yang lelaki itu berikan. "Udahlah, ayo pulang. Aku anterin."

Arvi menahan langkah pria itu dengan tidak ikut berjalan meski sudah digandeng oleh Kaivan. "Kenapa? Kamu masih ada kelas? Udah selesai, kan?"

Kelas Arvi memang selesai, tadi dia melamun di ruang tunggu karena merasa malas kembali ke kosan dengan cepat. Di kosan tidak menarik dan ujungnya Arvi hanya akan tidur. Harapannya untuk melihat wajah Kaivan sudah terkabul dan sekarang Arvi menginginkan satu keinginannya terkabul lagi.

"Aku udah nggak ada kelas."

"Terus?"

Arvi berdehem lebih dulu sebelum bertanya dengan suara yang sangat pelan. "Kak Ivan cuma mau anter aku pulang ke kosan?"

Arvi malu luar biasa karena kesannya dia mengajak lelaki itu untuk melakukan hal mesum. Namun, Arvi memang ingin bersama Kaivan lebih lama. Perempuan itu ingin berjalan-jalan atau melakukan apa pun dengan Kaivan.

"Hm ... ikut aku aja dulu, Vi."

Arvi tidak tahu apakah keinginannya akan terkabul atau tidak, tapi Arvi dengan ikhlas mengikuti Kaivan kemana pun lelaki itu membawanya. 

[Mereka kemana sih? Yang udah baca bab 6 duluan jangan spoiler, ya. Habis baca bab 6 langsung cusss baca special chapter-nya biar berasa nganunya. Wkwk.] 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top