Ch. Eight : He Give It to Me
Chapter Eight
Anytime, anywhere, baby boy, I can misbehave.
Breathe me in, breathe me out, fill me up running through your veins.
Semakin lama mengenal Kaivan, semakin Arvi merasa dirinya memang dijauhi oleh teman-teman yang tadinya dekat dengannya di kampus. Tidak tahu apakah dirinya saja yang merasa demikian, atau memang teman-temannya itu menatapnya dengan sinis? Intinya Arvi semakin sendirian di kampus. Tidak memiliki teman bukan berarti dunianya akan menjadi runtuh. Sejatinya Arvi juga masuk ke kampus itu sendirian. Dia tidak memiliki teman dan tinggal sendiri di kos khusus perempuan. Tidak memiliki teman tidak masalah sama sekali.
Arvilebih senang untuk bertingkah cukup tahu saja. Dia tidak akan mempermasalahkanapa pun sikap temannya padanya. Mungkin memang teman-temannya tak suka karenaArvi yang terus pergi bersama Kaivan. Sebesar apa pun Arvi berusaha menutupinya,teman-teman Arvi tetap bisa mengetahuinya. Jadi bagaimana bisa Arvimerahasiakan hubungannya dengan Kaivan jika orang-orang bisa membacanya?
Tiiinnn!
Satu kali klakson dari mobil yang Arvi sudah kenali dengan baik melunturkan lamunan perempuan itu. Dia segera bergerak untuk memasuki kursi penumpang di depan. Seperti biasa, Kaivan menjemput disaat hujan turun. Tapi untungnya kali ini hujan belum begitu deras. Desember dan musim hujannya memang tidak bisa dipisahkan.
"Kamu kenapa?" tanya Kaivan.
Arvi terkejut karena tampaknya Kaivan bisa membaca kegundahan yang dirasakan perempuan itu.
"Hm? Kenapa apanya, Kak?"
"Aku bisa baca ada sesuatu yang mengganggu kamu."
Arvi tidak siap untuk mengatakannya sekarang. Dia ingin menanyakan pada Kaivan mengenai apa hubungan yang mereka jalani ini. Arvi juga ingin tahu bagaimana jika orang lain—di kampus—mengetahui mengenai kedekatan mereka? Apa yang harus Arvi katakan jika ada pertanyaan untuk kedekatan tak bernama mereka?
"Vi?" panggil Kaivan lagi.
"Nggakada, Kak."
Kaivan mendengkus, tapitatapannya tetap ke depan. Pria itu fokus mengemudikan mobilnya. Baguslah.Lebih baik memang Arvi tidak memancing pembahasan mengenai hubungan tidakbernama yang diam-diam perempuan itu harapkan adanya kemajuan. Menggigit bibirbagian dalamnya dengan gugup, Arvi menghitung sendiri sudah berapa lama merekadekat. Sebenarnya mengenal Kaivan sudah bisa dikatakan lebih dari tahunan. Tapimereka hanya kenal sebatas lalu saja. Arvi bisa benar-benar dekat setelah taksengaja tertabrak oleh Kaivan dan dibawa ke klinik terdekat. Akrab dengansendirinya dengan rutinitas antar jemput yang diusulkan pria itu sendiri. Lalu,ya, awal Desember adalah permulaan kedekatan mereka lebih dari sekadar akrabberbincang saja.
"Langsung ke kos?" tanya Kaivan.
"Hm."
Sungguh Arvi tidak sedang ingin membahas apa pun di mobil. Dia tidak ingin mnegacaukan konsentrasi Kaivan dan pria itu juga tidak melanjutkan pertanyaannya. Arvi hanya perlu menenangkan pikirannya sendiri dengan kembali ke kos-nya sendiri. Dia melamun sepanjang perjalanan dan baru tersadar ketika Kaivan membukakan pintu membuat perempuan itu hampir terjungkal ke samping.
"Kak?"
"Mau aku bukain sabuk pengamannya?"
Arvi mengamati ke sekitar sembari meraba sabuk pengamannya. "Ini bukan kos aku."
"Ya, ini rumahku. Kamu pernah ke sini, berulang kali. Kenapa sekarang kamu kebingungan?"
"Tadi ... Kak Ivan nanya aku mau langsung ke kos atau nggak."
"Ya.Tapi aku berubah pikiran. Kita harus bicara. Kamu nggak terlihat baik-baik aja.Ada banyak pemikiran yang mengganggu kamu. Iya, kan?"
Dari sekian banyak kemungkinan Arvi terlalu gugup dengan sikap peka Kaivan ini. Harusnya pria itu tidak perlu bersikap demikian. Bagaimana Arvi harus memulainya setelah ini? Berulang kali Arvi memikirkan ini, dia mungkin akan mendapatkan masalah. Misalnya hubungannya dan Kaivan menjadi renggang karena apa yang diinginkan pria itu tak lagi sama dengan apa yang Arvi inginkan.
Arvi menunda membuka sabuk pengamannya. "Aku mau balik ke kos aja, Kak."
Kaivan terlihat menghela napasnya. Arvi tidak tahu apa yang akan dilakukan pria itu hingga kepala Kaivan masuk dan melepaskan sabuk pengaman Arvi secara paksa. Arvi tidak sempat mengolah apa pun saat tubuhnya dibopong selayaknya karung beras. Kepala Arvi pusing karena tidak dalam posisi yang benar. Namun, dia tahu Kaivan membawanya masuk ke rumah pria itu dan membuka kamarnya serta membuat Arvi berakhir telentang di ranjang pria itu.
"Kak Ivan, aku nggak sedang menginginkan kegiatan apa pun yang mengarah ke hal intim."
Arvi mengalihkan pandangannya dari Kaivan yang terlihat berdiri di pinggir ranjang dan menunjukkan betapa mendominasinya pria itu.
"Siapayang mau melakukannya? Aku ingin bicara sama kamu. Karena kamu nggak mau bicara,maka aku melakukan ini. Sekarang, bilang ... apa yang mengganggu kamu?"
Arvi masih diam. Pergulatan isi pikiran perempuan itu semakin menjadi-jadi. Dia tahu bahwa kebersamaannya dengan Kaivan akan hangus jika Arvi menjadi perempuan rumit dan menyulitkan Kaivan. Kalo udah tahu begitu, kenapa masih masuk ke pesona Kak Ivan?! Arvi mengomeli dirinya sendiri yang sedang begitu gamang ini.
"Jawab, Vi. Apa yang bikin kamu sebegininya? Aku ingin kamu keluar dari beban pikiran apa pun. Udah aku bilang kalo aku nggak suka kamu dalam masalah, kan?"
Benar. Pria itu pernah mengatakannya. Kaivan menginginkan hubungan mereka dirahasiakan karena tak ingin Arvi masuk dalam masalah. Namun, dengan merahasiakan saja Arvi masih merasa tidak nyaman.
"Sebenarnya hubungan apa yang sedang kita rahasiakan ini, Kak?"
Satu pertanyaan membuat ekspresi Kaivan langsung kaku. Arvi tahu dia memang sedang memancing perdebatan dengan Kaivan saat ini. Namun, pria itu yang sedari tadi menuntutnya untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran Arvi.
"Apa?" balas Kaivan kehilangan arah.
"Hubungan kita. Apa namanya hubungan ini? Kenapa aku harus merahasiakan hubungan yang nggak ada namanya ini? Dan masalahnya ... meskipun sejauh ini aku merahasiakannya, teman-temanku sepertinya tetap tahu. Mereka menjauhi aku, dan aku yakin itu karena kedekatan kita yang bisa dilihat mereka."
"Mereka nggak akan tahu kalo kamu nggak menceritakan apa pun, Vi."
Kini Arvi menatap pria itu dengan tak percaya. "Aku bahkan nggak pernah membuka mulut sedikitpun untuk menyebutkan nama Kak Ivan."
Menyadari bahwa Kaivan seakan sedang menyerangnya dengan rasa tak percaya membuat Arvi sakit hati. Bagaimana bisa Kaivan mencurigai Arvi yang mengatakannya sendiri pada teman-teman perempuan itu?
"Aku bahkan nggak pernah nyamperin Kak Ivan ke fakultas hanya untuk ketemu."
"Akuyang melakukannya. Mengunjungi kamu ke fakultas kamu. Jadi, aku yang salah danbikin teman-teman kamu menjauhi kamu?"
Arvi terperangah dengan ucapan Kaivan. Dia segera bangun dari posisinya, berusaha untuk menatap Kaivan dengan lebih dekat dan lurus.
"Kenapa kita malah jadi saling menyalahkan, Kak? Aku nggak sedang membahas itu. Aku nggak masalah kalo memang mereka menjauhi aku. Lagi pula dari awal aku kuliah memang aku selalu sendiri. Yang aku ingin bicarakan, apa hubungan yang perlu aku rahasiakan ini?? Aku akan merahasiakannya kalo hubungan ini punya nama."
"And then what?" balas Kaivan tegas.
"Maksudnya?"
"Lalu apa? Kalo aku nggak memberikan hubungan ini nama, apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan pergi? Kamu bisa melakukannya?"
Tubuh Arvi begitu lemas sekarang. Dia tidak menyangka ucapan itu akan terlontar dari bibir Kaivan. Semakin jauh Arvi mendengarnya, semakin banyak kata-kata yang tidak benar. Kak Ivan lagi gashlighting ke aku kan? Dia melemparkan ucapan seolah aku yang bersalah dan nggak akan bisa keluar dari hubungan ini.
Arvi tahu dia dalam hubungan yang toxic. Kaivan mempengaruhinya dan membuat kekalutan mental Arvi sendiri. Untuk sesaat Arvi tahu dirinya dalam bahaya. Dia sedang berdebat dengan pria yang pandai memutar balik fakta. Pria ini manipulatif. Namun, di satu sisi yang lain Arvi memiliki perasaan yang besar untuk Kaivan.
"Kenapadiem? Kamu sedang menuntut aku untuk memberikan status, kan? Kamu tahu akunggak punya status dengan siapa pun. Aku nggak ingin terikat dengan siapa pun,Vi. Aku pikir kamu sudah mengenalku dengan baik. Tapi apa sekarang? Kamu samaaja seperti perempuan lain yang selalu menuntut status—"
"Bukan itu maksudku, Kak."
"Terus apa? Memang itu yang kamu sedang lakukan sekarang. Kamu menuntut status yang nggak bisa aku kasih. Kamu juga menginginkan orang-orang, khususnya teman-teman kamu untuk tahu soal kita. Padahal kamu mengiyakan sejak awal untuk merahasiakan apa pun supaya kamu nggak masuk dalam masalah karena dekat dengan orang seperti aku."
Kaivan mengusap wajahnya dengan frustrasi. Arvi bisa merasakan bahwa ini adalah pertengkaran pertama mereka sebagai orang yang lebih dari kakak tingkat dan adik tingkat di kampus. Masalah mereka dimulai hari ini.
"Kak Ivan ... menjalani hubungan tanpa status sekaligus merahasiakannya membuat aku terlihat nggak punya harga diri."
"Kamu akan dinilai lebih buruk kalo mereka tahu kamu menjalani hubungan dengan mahasiswa nggak jelas seperti aku, Vi!! Kamu bisa mikir nggak, sih?! Kamu nggak seharusnya jadi perempuan naif! Kamu udah dua puluh tahun! Hanya butuh beberapa langkah lagi buat kamu bisa lulus. Jangan menghancurkan nama baikmu dengan mengatakan pada banyak orang bahwa kamu memiliki hubungan dengan pria seperti aku!"
Arvi tidak tahu. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Dia menjalani kehidupan yang jauh dari kata benar setelah bersama Kaivan. Namun, dia mencintai pria di hadapannya ini. Hah, cinta. Arvi sungguh tak bisa keluar dari magnet cinta Kaivan dengan mudah.
[Chapter 17 dan 18 sudah tayang duluan di Karyakarsa kataromchick, ya. Kalian bisa baca langsung dan bagi yang udah beli paket nggak perlu beli lagi ya. Happy reading.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top