Ch. 9 : Is There Someone Else


I know that you're hiding something from me.

That's been close to your heart. And I felt it creeping up every day.

Apa yang harus Arvi lakukan? Dia kehilangan pegangan yang selama beberapa waktu ini memberikannya perhatian dan cinta? Apa dia salah mengartikan cinta? Apa selama beberapa pekan yang sudah dihabiskan, masih tidak ada yang menempel di hati Kaivan mengenai Arvi? 

Hari itu, setelah pertengkaran mereka yang dimulai dari perdebatan akan status, akhirnya Arvi kembali ke kos menggunakan kendaraan online. Dia tidak ingin menghabiskan waktu untuk saling berteriak, atau lebih tepatnya mendengar teriakan Kaivan yang menyesakkan hati. Dia mencintai pria itu, bahkan sebelum hubungan fisik mereka mulai berkembang. Namun, Arvi juga butuh jeda untuk bisa membuat hatinya lebih lega. 

Arvi mengalami waktu yang sepi, karena dia sudah terbiasa dijemput oleh Kaivan. Namun, dia juga merasa lebih baik seperti ini. Karena tanpa ada Kaivan yang mencarinya, nyatanya teman-teman Arvi juga secara perlahan kembali untuk datang dan mengajaknya bicara seperti biasa. Meski ada sedikit perbedaan, tapi setidaknya mereka berusaha menyimpan apa yang ingin mereka ketahui. 

"Mendingan nggak, sih. Kelas basic listening beneran nggak nyaman. Kayaknya dosennya lebih perhatian ke mahasiswa laki-laki!" ucap Vintara. 

"Sok tahu, deh!" keluh Anggi. 

"Gue serius. Tanya aja sama Meta, tuh, Meta aja paham. Dia tahu banyak hal tapi nggak pernah mau bilang blak-blakan. Tanya, deh, Meta. Iya, kan, Met? Dosen basic listening beneran belok?"

Arvi menatap kepada Meta yang memang tidak terlalu banyak bicara, tapi juga tidak tipe yang terlalu diam. Dia hanya bicara jika merasa perlu atau memang sedang dipancing seperti ini. Namun, Meta tidak bersikap menyudutkan. Dia hanya berusaha menghindari apa yang sekiranya tidak baik untuknya. Terkadang Arvi juga ingin tahu, apa yang Meta ketahui atau pikirkan mengenai dirinya yang beberapa waktu lalu terlalu akrab dengan Kaivan. 

"Kalo iya juga nggak usah ngomong kenceng-kenceng juga! Kalo ada anak sekelas yang denger bisa masuk ke telinga, tuh, dosen. Yang ada kita ditandain sampe nggak bakalan dikasih nilai diatas C!" ucap Meta yang memang benar. 

Meta sangat rasionalitas, tidak ada yang dilebih-lebihkan. Semua hal yang disebutkan dari mulutnya memang berdasarkan riset gadis itu sendiri. Lalu, apa pun yang menjadi pengamatannya, Meta tidak akan salah. Untuk itulah terkadang Arvi ingin mengajak Meta bicara berdua dan menghabiskan banyak waktu untuk diberikan masukan yang lebih masuk akal. Arvi tahu, kok, dia sudah sangat kacau karena galau hanya pada lelaki yang tidak berniat memberikannya status apa-apa. 

"Iya juga, ya. Udahlah nggak usah bahas pak Timo."

Mereka sepakat untuk mengalihkan pembicaraan. Mencari topik lain yang lebih aman. Jika ingin menggosip pun, anak sekelas mereka saja dan bukan dosen mereka. Sebab jika ada yang mendengar mereka berempat menggosipkan dosen di kantin yang dekat dengan wilayah para pengajar, besar kemungkinan masuk ke telinga. Lebih baik untuk membicarakan dosen di salah satu kos mereka saja. 

"Met, abis ini lo nggak ada jadwal kelas Pak Timo, kan? Mau balik?" tanya Vintara. 

"Iya, mau balik dulu ke kos. Tapi nanti aku jam 16.20 ada kelas. Nggak masalah, kos deket ini."

Memang kos yang paling dekat dengan kampus adalah tempat Meta, jadi biasanya memang kamar kos gadis itu menjadi markas bagi yang rumahnya jauh tapi ada kelas yang tanggung. 

"Arvi? Lo ada kelas?" tanya Vintara. 

"Kelas aku bareng sama Meta." 

"Hm, berarti lo ikut Meta, ya. Yaudah, deh. Tinggal gue sama Anggi yang ke gedung E."

Kelas Vintara dan Anggi akan dimulai dalam beberapa menit lagi, jadilah mereka berempat berpisah masing-masing sebelum dosen mereka terlihat berjalan menuju gedung yang dituju. Untuk kelas yang dimaksud, dosen mereka yang satu itu tidak mengizinkan ada mahasiswa yang telat atau berjalan di belakangnya. Jika ada, maka tidak diberikan izin untuk mengisi absen, yang berarti mereka tidak bisa menggunakan jatah tiga kali bolos untuk mencapai 75% kehadiran yang dijadikan syarat untuk ujian. 

"Masuk, Vi."

Arvi mengangguk dengan ajakan Meta. Pintu kos Meta dibuka karena memang kamarnya jika diisi lebih dari satu orang pasti terasa gerah. Kecuali jika sudah banyak anak kos lain yang lewat, maka Meta akan menutupnya untuk lebih menjaga privasi. 

"Kamu nggak ada rencana pindah kos, Met?" tanya Arvi. 

"Nggak. Ini kos harganya udah termasuk murah dibanding yang lain." 

"Tapi, kan fasilitasnya nggak lengkap. Kamu juga harus bayar wifi sendiri, beda dari uang pembayaran setiap bulan."

"Nggak masalah. Toh, kayak tingkatnya juga nggak resek. Ya, ada, sih yang resek. Tapi untungnya bukan yang bagian pegang uang wifi."

Meta memang bukan tipe orang yang rumit, apa pun sudah bisa menjadikannya bersyukur. Arvi ingin sekali setegas dan sekuat Meta prinsipnya, tapi sayang semua itu tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi dengan latar belakang keluarga yang berbeda. 

Arvi baru saja akan membuka obrolan yang lain dengan Meta, tapi ponselnya menyala dan menunjukkan foto profil Kaivan yang gayanya tidak bisa dibohongi meski pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan tangan bertatonya. 

"Angkat aja."

Mengangkat panggilan Kaivan disaat ada Meta seperti ini membuat Arvi merasa tidak nyaman. Bukan karena Meta adalah teman yang tidak menyenangkan, tapi Arvi yakin ada banyak perdebatan yang terjadi antara dirinya dan Kaivan meski hanya saling berhubungan melalui telepon seperti ini. 

Memikirkan berbagai pertimbangan membuat panggilan tersebut akhirnya berhenti sendiri. Arvi merasa lega karena waktu yang dimilikinya untuk menerima panggilan itu sudah habis. Tanpa menunggu lagi, Arvi menggunakan mode pesawat hingga tidak akan memungkinan bagi Kaivan untuk mneghubunginya lagi. 

"Kenapa nggak diangkat?" tanya Meta.

"Nggak penting, Met. Mendingan istirahat aja, deh. Nanti biar seger di kelas."

Meta tidak langsung menyuarakan apa yang ada di kepalanya. Namun, Arvi bisa melihat rasa ingin tahu yang terpancar di mata Meta. 

"Kamu pasti bingung kenapa aku bisa sedeket itu sama Kak Ivan, ya, Met?"

Meta menggelengkan kepalanya. "Nggak bingung juga. Kamu menarik, meskipun nggak secantik teman-temannya. Tapi semua cowok selalu kalah sama yang menarik dan nggak mainstream. Mungkin Kak Ivan baru ketemu yang sejenis kamu. Yang aku heran, kenapa kamu bertahan dengan kedekatan kalian yang keliatan nggak berjalan baik ini?"

Meta memang memiliki penilaian yang sangat baik ketimbang kedua teman mereka. Meta adalah yang paling dewasa dan mampu memahami sudut pandang orang lain meski terkadang juga kritiknya yang pedas itu keluar mampu menyakitkan hati untuk didengar. 

"Keliatan jelas banget, ya, Met?"

Meta menaikkan kedua bahunya, seolah-olah tidak peduli. Padahal aslinya Meta ini si paling care dengan perubahan teman-temannya. Hanya saja caranya adalah tidak terlalu ikut campur, karena bagaimana pun semua masalah dalam hidup teman-temannya bukan urusan Meta sepenuhnya. 

"Gimana baiknya, ya, Met? Aku nggak tahu harus bilang sama siapa. Aku takut banget dihakimi, bahkan sama kalian yang temen-temenku sendiri."

"Nggak semua orang suka dengan perubahan yang terjadi sama kamu, Arvi. Termasuk aku, Anggi, dan Vintara. Kamu itu anak yang baik, alangkah baiknya kamu nggak usah ngeladenin Kak Ivan. Tapi aku juga nggak bisa mengatur kamu lebih dari itu. Kak Ivan itu predator, aku yakin kamu nggak ada bedanya dari cewek-cewek yang deket sama dia. Kamu bahkan nggak dikasih status apa pun sama dia, kan?"

Arvi mengiakan dengan anggukannya. Hal itulah yang membuat Arvi berjarak dengan Kaivan beberapa hari belakangan ini. Arvi membiasakan dirinya sendiri untuk tidak mencari-cari Kaivan, meski sejujurnya dia sangat merindukannya. 

"Itu yang bikin aku beberapa hari belakangan ini nggak mau ketemu dia, Met." 

Arvi menarik napasnya dalam-dalam untuk menyiapkan dirinya sendiri guna membaginya dengan Meta. 

"Aku nggak tahu kenapa kedekatan kamu bertambah tapi nggak ada satu pun yang dia katakan soal kedekatan itu. Aku merasa nggak dihargai dengan segala macam pertimbangannya yang bilang kalo aku sendiri yang bakalan malu kalo semua orang tahu kita dekat."

Meta mendengarkan dengan baik apa yang keluar dari mulut Arvi. Dengan membagi semua itu, Arvi juga merasa agak lega. 

"Ada benernya juga dia bilang begitu. Reputasinya sebagai mahasiswa yang semaunya sendiri dan suka untuk main-main sama cewek manapun nggak bisa diragukan. Bahkan ada rumor yang nyebar kalo Kak Ivan dan temen-temennya suka nongkrong di kelab malam. Itu jelas bukan dunia kita, Arvi."

Jika dikategorikan, Arvi dan teman-temannya ini adalah tipe yang naif, yang tak mau masuk ke dunia nakal malam. Memang mereka tidak memiliki niatan seperti itu. Fokus mereka datang ke sini, adalah untuk menyelesaikan kuliah hingga lulus dengan nilai terbaik yang mereka bisa. 

"Tapi balik lagi, Vi. Nggak ada yang bisa larang kamu kalo kamu merasa bahwa kamu udah jatuh cinta. Aku nggak mau untuk terlalu men-judge kamu buruk atau apa. Kita udah cukup dewasa untuk melakukan tindakan apa pun. Jadi, silakan kamu yang tentukan sendiri baiknya gimana kehidupan yang akan kamu jalani. Ada atau nggaknya perempuan lain yang Kak Ivan incar disaat kamu juga dekat sama dia, aku nggak bisa ikut campur terlalu jauh."

Ada atau tidaknya perempuan lain yang Kaivan berikan status, Arvi sepertinya memang harus memastikannya sendiri. Dia harus bersikap tegas untuk kehidupan cintanya, kan? Mungkin saja dengan bersikap tegas, maka Kaivan akan memberikannya status. Atau lebih baik tidak ada cinta lagi yang perlu mereka pertahankan jika memang Arvi bukan yang pria itu inginkan. 


[Untuk chapter 19 & 20 sudah bisa kalian baca duluan di Karyakarsa kataromchick, ya. Pokoknya siapin hati dan pikiran buat baca chapter 19 sama 20 ya. Soalnya ya ekhem gitulah. Aku kasih cuplikan juga di bawah ini buat chapter 19 dan 20.]


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top