Ch. 13 : I Just Get Confused
[Aloha! Bagi yang udah nggak sabar baca duluan bisa langsung ke Karyakarsa kataromchick ya. Sudah ada chapter 27 dan 28 di sana. Happy reading semuanya 💙. Aku kasih cuplikan chapter terbarunya di bawah ini.]
I think I've got my sight for you. I don't mean to let it brew.
I thought it through. You know, I just get confused.
"Masih lama?" tanya Kaivan di seberang panggilan itu.
Arvi bisa mendengar nada tidak sabaran yang dikeluarkan oleh Kaivan. Namun, Arvi juga tidak ingin membuat pria itu merasakan kemenangan begitu saja. She is already falling for him. Tidak perlu diragukan lagi, Arvi memang sudah memberikan dan akan terus memberikan segalanya untuk Kaivan. Jatuh cinta memang sekacau itu. Dia baru merasakan saat ini, bahwa cinta bisa mengubahnya jauh sekali. Tapi bukan berarti Arvi harus selalu memberikan segalanya saat itu juga kepada Kaivan, kan?
"Kak, nanti aku hubungi begitu kelasku selesai. Ada satu kelas lagi ini. Jadi, tunggu aja, ya."
Arvi berbohong. Kelasnya sudah selesai dan dia ingin mendengar reaksi sang kekasih saja. Dia tidak ingin Kaivan senang dengan begitu saja.
"Oke. Aku akan tunggu. Anyway, thanks to you."
"Makasih untuk apa?" tanya Arvi.
"Karena kamu, aku jadi rajin masuk kelas supaya bisa langsung jemput kamu."
Arvi tersenyum meski sekarang ini mereka hanya melakukan panggilan suara. Dia tidak sangka bahwa Kaivan bisa mendapatkan perubahan yang cukup bagus dengan apa yang dilakukannya sekarang. Kebiasaan Kaivan yang biasanya enggan masuk kelas, sekarang bisa ditekan dan pria itu menjadi lebih rajin. Setidaknya hubungan mereka membawa dampak yang bagus untuk Kaivan.
"Sama-sama. Yaudah, aku tutup teleponnya, ya."
Arvi sengaja untuk langsung mematikan panggilan tersebut. Dia meringis senang karena bisa membuat Kaivan menunggu di kampus setelah kelas. Pokoknya Kaivan jangan sampai menjadi mahasiswa abadi lagi. Mereka harus sama-sama menyelesaikan studi. Jika bisa malah Kaivan mengejar skripsinya dengan cepat tanpa harus menunggu Arvi. Sebab pria itu juga harus segera menuntun diri ke kehidupan yang lebih serius kedepannya.
Untuk teman-teman Arvi sendiri, sejujurnya selama beberapa hari menjadi kekasih Kaivan, hampir tidak ada interaksi Arvi dengan temannya seperti sebelumnya. Mungkin itulah yang dinamakan hukum alam akan memilah sendiri teman-teman kita. Tahu-tahu saja Arvi memang lebih menjauh dari ketiga temannya. Meski tidak berniat menjauh, tapi Arvi yang tidak ingin menambah masalah pada hubungannya dan Kaivan memilih untuk mengalah dan menjadikan Kaivan sebagai satu-satunya teman untuknya.
Tidak peduli dirinya dinilai budak cinta yang terlalu dibutakan oleh cinta. Orang lain tidak akan pernah tahu apa itu cinta yang Arvi rasakan kini dengan Kaivan. Jadi, dia tidak akan sibuk mengatakan pada orang lain.
Dari jarak beberapa langkah saja, Arvi mengamati mobil Kaivan yang memang terparkir di parkiran kampus. Pria itu tidak berbohong bahwa sudah menunggu Arvi. Senyuman di wajah perempuan itu terbit dan segera dia melangkah mendekat dan mengetuk jendela mobil Kaivan.
"Astaga. Aku pikir siapa." Kaivan segera membukakan kuncian pintu mobilnya. "Kamu bohong, ya, waktu bilang masih ada satu kelas?"
Arvi tertawa di depan Kaivan, begitu lepas. Tidak seperti awal-awal mereka menjadi pasangan kekasih. Arvi sekarang lebih bisa percaya bahwa mereka memang berpacaran. Kaivan benar-benar menunjukkan perhatiannya sebagai kekasih pada Arvi. Untuk itulah Arvi bisa lebih santai dan lepas, tidak ragu bahwa Kaivan memang menginginkannya sebagai kekasih.
"Aku cuma pengen iseng, Kak."
Kaivan menggelengkan kepalanya dan mengacak rambut sang kekasih. Pria itu melaju untuk pulang ke rumahnya. Tentu saja ke rumah pria itu. Memangnya mau kemana lagi? Gaya pacaran mereka memang hanya diisi dengan melakukan seluruh kegiatan di rumah Kaivan. Menonton film di rumah itu. Makan bersama juga di sana. Tidur berdua, tidak perlu ditanya.
"Kamu ada kepengen kemana selain kita pacaran di rumahku, Vi?"
Arvi menoleh dan mencoba memikirkan kemana tempat yang diinginkannya. Tapi hasilnya nihil. Arvi tidak tahu mau kemana.
"Nggak ada, Kak."
"Nonton bioskop? Dinner berdua?"
Arvi menggelengkan kepalanya. "Aku cuma pengen tidur. Besok aku gak ada kelas sampe hari Senin lagi. Uhhh, aku kangen tidur dan males-malesan."
Arvi merasa seperti sudah lama sekali dia tidak merasakan tidur sampai siang, dan malas-malasan beberapa hari ini. Lebih tepatnya semenjak dia benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Kaivan.
"Kamu tahu kamu nggak akan bisa leluasa tidur seperti yang kamu mau kalo ada aku, kan?"
Arvi mengangguk dan mendesah pura-pura kesal. "Aaaahhh, iya! Kak Ivan emang nggak bisa liat orang tidur lama dikit. Selalu aja gangguin. Ujungnya aku nggak bisa tidur lagi karena ulah Kak Ivan."
Pria itu tertawa dan mengacak rambut Arvi lagi. "Aku suka ditemenin. Habis aku dari studioku, begitu lihat kamu di ranjangku, rasanya nggak ada yang terlintas selain meluka kamu dan, ya ... melakukan semuanya berdua."
"Kenapa harus gangguin? Kan, bisa kalo aku udah bangun sepenuhnya nanti."
"I just can't wait, and you love it though."
Kalau sudah dibalas dengan kata seperti itu, Arvi tidak bisa lagi mengatakan apa pun. Dia sudah kalah dari argumen Kaivan yang memang faktanya begitu. She loves it.
"Eh, tapi makan apa kita hari ini?" ucap Arvi mengalihkan pembicaraan.
"Apa aja. Pesen aja, kamu nggak usah masak. Aku nggak suka kamu selalu lebih lelah kalo masak di rumah."
Sebenarnya Arvi tidak selelah itu. Hanya Kaivan saja yang entah kenapa kuat sekali staminanya untuk bercinta. Yang bisa Arvi gunakan sebagai alasan adalah kegiatan memasaknya sebelumnya, tapi yang benar-benar membuat Arvi lelah adalah pria itu sendiri.
"Oke. Tapi langsung beli, ya. Aku udah laper."
Kaivan mengangguk dan segera mencari restoran yang cocok untuk mereka.
***
"Kayaknya kamu sibuk banget belakangan ini."
Angela Varsha menatap Kaivan yang baru datang ke studionya dan membawakan cake untuk perempuan itu.
"I'm really sorry, Angela. Aku punya banyak inspirasi untuk laguku. Jadi, belakangan sibuk berdiam diri di rumah."
Angela mengamati Kaivan lebih dulu, dari atas hingga bawah. Ketika tatapan mereka kembali beradu, Angela meraih kotak kue yang dibawa pria itu tanpa melepaskan tatapan.
"Dimaafkan." Angela berucap dan menggerakan kepalanya untuk memberikan kode pada Kaivan untuk masuk.
"Jadi, hari ini rencananya kita mau buat apa?" tanya Kaivan.
"Buru-buru banget? Mau ke mana, sih, Kaivan Janitra?"
Angela lebih dulu menyimpan kue pemberian Kaivan di kulkas mini miliknya agar aman. Perempuan itu mendekati Kaivan yang sudah duduk di sofa. Lengan Angela mengalung ke pundak Kaivan hingga pria itu mendongak.
"Aku nggak mengira kalo kamu akan menahan diri sampai sejauh ini, Kai."
Kaivan merasakan jemari Angela memanjakan rahang pria itu. Setiap sentuhan yang Angela sematkan, Kaivan bisa merasakan hal berbeda. Angela lebih paham pada setiap tujuannya membelai. Perempuan itu memang sudah lebih berpengalaman. Tidak perlu dijelaskan bagaimana caranya untuk membuat Kaivan membuka bibirnya dan membalas kecupan dari Angela.
"Aku nggak suka ketika dua teman kamu itu selalu ikut kamu kemana-mana. I want you, alone."
Angela bukan perempuan yang suka basa basi. Dia mengatakan apa yang ada di kepalanya.
"Waktu itu cuma satu kali mereka ikut. Kenapa terus dibahas?" balas Kaivan.
"Supaya kamu ingat dan nggak bawa mereka lagi."
Angela menjelajahi dada Kaivan yang masih terbalut dengan kaus. Secara perlahan Angela duduk di atas pangkuan Kaivan begitu santai. Tahu-tahu saja, hujan juga mulai mengguyur bumi. Musim penghujan ini memang luar biasa, seolah membantu Kaivan untuk bisa mengeluarkan hawa hangat di tubuhnya ditengah sejuknya hujan.
"You like me, right? Dalam waktu yang cukup lama." Angela mengorek mengenai rasa suka Kaivan pada perempuan itu.
"Kamu tahu dari Bagas? Atau Lonardo?"
Bibir Angela tersenyum miring. "Both of them. Mereka nggak sungkan-sungkan untuk mengatakan bahwa kamu memang menyukai aku sejak lama. Ketika aku masih punya pacar. Aku nggak mengira kamu akan terus menyimpan rasa suka untukku sampai sekarang."
Kaivan belum sempat menjawab, karena fokusnya terpecah dengan kecepatan Angela mengecup lehernya dan memberikan sensasi menggelenyar disana.
"Kenapa nggak bilang sejak awal di bar? Katakan sejujurnya, dan kita nggak perlu pakai pendekatan yang terlalu kuno ini."
"Aku takut kamu nggak tertarik denganku, Angela."
Wajah Angela kembali bertatapan dengan Kaivan. Perempuan itu menunjukkan betapa kagetnya dia mendengar ucapan Kaivan.
"Perempuan gila mana yang nggak mau sama kamu? Kalau pun itu one night stand, aku nggak akan buang kesempatan dengan kamu."
"Kamu yakin?" tanya Kaivan.
"Ya!" seru Angela. "Oke, nggak perlu basa basinya. Angkat aku ke ruangan dibalik pintu itu, ada ranjang queen bed di sana. Aku nggak mau badanku sakit-sakit kalo kita di sofa."
Kaivan tidak menunggu apa pun lagi. Dia mengangkat tubuh Angela dan menarik pengaman yang ada di dompetnya untuk dikeluarkan lebih dulu dan diletakkan di nakas terdekat agar tidak perlu merogoh-rogoh nantinya. Kaivan hanya perlu menjadi dirinya sendiri untuk tetap waras. Peduli setan pada perempuan lain yang begitu sibuk dengan dunia perkuliahannya dan selalu menginginkan Kaivan yang memulai inisiatif di hubungan mereka saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top