Ch. 10: We're Fighting


Chapter Ten: We're fighting

Is there someone else or not? Because I wanna keep you close.

I don't wanna lose my spot. Because I need to know.

If you're hurting him, or you're hurting me.

"Shit! Dia nggak angkat lagi."

Ini sudah kesekian kalinya Kaivan mendapati panggilan teleponnya tidak dijawab oleh Arvi. Rupanya perempuan itu lebih keras kepala dari yang Kaivan kira. Padahal, ini sudah lebih dari satu minggu. Kaivan kira Arvi akan menghubunginya lebih dulu dan meminta maaf. Kaivan kira Arvi akan mengemis dan berharap mereka tidak akan usai begitu saja. Dari yang sudah-sudah, ketika Kaivan memberikan jarak pada seorang perempuan yang meminta status padanya, maka mereka yang akan datang dan mengemis. Tak akan masalah jika pada akhirnya mereka harus menyembunyikan hubungan dengan Kaivan. 

Namun, untuk Arvi jauh berbeda. Kaivan bahkan tidak bisa menemukan perempuan itu di kampus karena sepertinya teman-teman Arvi kompak untuk ikut kabur-kaburan. Tampaknya mereka semua tahu bahwa Arvi dan Kaivan memiliki masalah. Dan jika itu terus menerus terjadi, mungkin saja satu kampus akan tahu mengenai kedekatannya dengan Arvi. 

"Kenapa, sih? Ribut banget dari tadi. Angela nggak bisa dihubungin aja ngamuk-ngamuk nggak jelas lu. Padahal udah pasti Angela lagi sibuk bikin konten. Ngapain malah misuh-misuh? Datengin aja ke studionya."

"Angela nggak susah buat dihubungin. Bukan dia yang nggak angkat telepon gue, Gas."

Bagas menaikkan sebelah alisnya, bertukar pandang dengan Lonardo yang sedari tadi hanya sibuk merokok dan tidak berkomentar pada kelakuan Kaivan yang sedang resah.

"Adek tingkat itu yang bikin lu galau, Kai? Beneran?" 

Kaivan tidak mengiakan. Dia hanya sibuk mengotak-atik nomor yang sama, milik Arvi. Dia berharap bahwa Arvi mengangkat panggilan tersebut. Untuk kesekian kalinya Kaivan tidak mendapatkan respon yang dirinya inginkan. Sedangkan di masing-masing tempat duduk, Bagas dan Lonardo hanya bisa saling bertatap bingung dengan tingkah temannya itu. 

"Kai? Lu yakin masih tertarik sama Angela Varsha? Lu inget, kan, banyak konten yang mau Angela bikin bareng lu? Kalo fokus lu dibagi-bagi gini, besar kemungkinan bakal bikin masalah." 

Kaivan kembali ingat bahwa dirinya memang harus fokus pada rencananya dan Angela. Dia sudah memiliki banyak agenda dengan Angela yang memang bertujuan untuk meluluhkan hati perempuan itu. Namun, entah bagaimana Kaivan bisa terdistraksi dengan keberadaan Arvi. Padahal Arvi bukan apa-apa dibanding dengan perempuan yang sudah Kaivan pernah kenal. Pengalaman Arvi bahkan di awal-awal membuat Kaivan kesal karena dia terlalu naif dan lugu.  

"Ini nggak perasaan gue aja, kan ya? Kayaknya lu beneran jatuh cinta sama adek tingkat itu, Kai."

Lonardo menyeletuk dengan harapan tidak mendapatkan bogem keras dari Kaivan karena bicara sembarangan. Namun, hingga lima menit berjalan, tidak ada yang berubah. Kaivan tetap gelisah di tempatnya, sepertinya fokusnya tidak sepenuhnya pada ucapan Lonardo. 

"Wah, wah, ngaco sih ini!" gerutu Bagas. "Temen lu, Nad! Kacau!"

"Apaan, sih, anjir! Gue nggak kenapa-napa. Berisik lu berdua!" ucap Kaivan yang sudah sepenuhnya kembali duduk dan melemparkan ponselnya di meja dengan asal. 

Dia sudah menjadi begitu kesal, dan memilih masa bodo dengan Arvi yang tidak mengangkat panggilannya. 

"Fix lu suka beneran sama tuh bocah?" tanya Bagas. 

Kaivan sekali lagi tidak menjawab, dia mengambil sebatang rokok dan pemantik yang Lonardo bawa. Isapan rokoknya kuat, dan Kaivan paling tahu cara menikmatinya. Menikmati sebatang rokok guna melepaskan peningnya isi kepala. Juga mungkin kepala bawahnya yang berdenyut membayangkan Arvi yang rupanya mampu menyiksa Kaivan dan jauh berbeda dari perempuan lainnya. 

"Kai, kalo lu beneran terpikat sama adek tingkat itu, gimana sama Angela Varsha? Kalo lu nggak jadian sama Angela, nanti gue sama Onad nggak bisa deketin temen satu genk si Angela."

"Jadi lu mau manfaatin gue doang, Gas? Bajingan emang lu!"

"Lu yang bajingan, Kai. Katanya demen sama Angela, udah deket, malah sekarang nggak bisa nyingkirin adek tingkat yang udah lu tidurin. Brengsek banget lu."

Lonardo mengangguk dan menambahkan. "Lebih brengsek lagi kalo sampe lu tidurin dua-duanya. Gila sih. Sinting beneran." 

Kaivan tahu bahwa segila-gilanya mereka bertiga, tidak ada yang meniduri dua perempuan dalam waktu yang sama. Mereka biasanya mengincar satu, dan menjalani satu hubungan dewasa yang mereka suka. Tidak dengan memanfaatkan dua perempuan dan memanfaatkan vagina mereka begitu saja. Sebab mereka bertiga tahu, jika satu bermasalah, kemungkinan satunya lagi juga akan bermasalah. Jika masalahnya datang disaat bersamaan, bisa gila mereka.

"Gimana, Kai? Lu mau fokus yang mana akhirnya?"

"Diem, anjing. Kepala gue pusing. Kalo lu berdua pada berisik, gue pastiin nggak ada yang bakalan dapet jalan mulus dapetin cewek!"

*** 

Kak Ivan: Kalo ada salah yang aku lakuin, let's talk. 

Kak Ivan: Aku gak berharap hubungan kita ini malah jadi kacau begini.

Kak Ivan: Vi, aku gak mau kita malah jadi musuh.

Kak Ivan: Aku bukan musuh kamu.

Kak Ivan: Please, angkat telepon aku Vi.

Kak Ivan: Aku gak ngerti kenapa kita jadi saling asing. 

Kak Ivan: Kamu melakukan berbagai cara untuk menghindari aku. 

Kak Ivan: Ini belum kita jadian, kamu udah gak siap dengan pemikiran temen2 kamu. Gimana kalo kita beneran jadian? 

Arvi membaca seluruh pesan yang Kaivan kirimkan. Pria itu tidak menyerah untuk mendobrak pertahanan Arvi. Bukan hanya chat-chat tersebut saja yang dikirimkan oleh Kaivan. Masih banyak chat yang menumpuk di atas, tapi Arvi langsung menekan anak panah ke bawah karena hampir semua isi pesannya sama. Intinya Kaivan ingin bertemu dan ingin Arvi mengangkat panggilan telepon pria itu. 

"Arvi, kita balik duluan, ya. Nggak apa-apa, kan kita duluan? Kamu masih ada kelas lagi kan, ya?" tanya Anggi.

"Oh, iya. Nggak apa-apa. Kalian balik aja." 

Meta menatap Arvi dengan cara yang hanya Arvi yang mengerti. "Serius. Kalian balik aja dulu, aku masih nunggu satu kelas lagi. Abis itu aku langsung balik kos." 

Vintara mengangguk dan mengambil kunci mobilnya. "Ya, udah. Hati-hati ya. Kita pulang duluan. Bye!"

Arvi mengangguk dan melambaikan tangan pada ketiga temannya yang kebetulan kelasnya memang berbeda dengan Arvi. Di mata kuliah yang dijalani sendirian oleh Arvi ini mengingatkannya pada hari dimana hujan deras mengguyur kota, lalu Arvi menunggu di lobi gedungnya, dan bayangan Kaivan yang menjemputnya kembali datang. Entah bagaimana dia menjadi cemas sendiri jika kemungkinan besar Kaivan akan menemukannya. 

"Forget it, Arvi. Kamu nggak akan ketemu dia lagi. Block nomornya dan berhenti buat unblock."

Arvi masih memiliki setengah jam lagi menunggu kelasnya dimulai. Untuk menghilangkan suntuk, dia pergi ke kamar mandi yang ada di ujung dekat tangga darurat. Biasanya kamar mandi tersebut memang sepi, Arvi merasa lebih nyaman buang air dengan kamar mandi sepi sebab jika dia sakit perut, kemungkinan tidak ada yang merasa terganggu. 

Setelah menuntaskan keinginannya, Arvi mencuci tangannya dengan sabun dan memastikan penampilannya kembali bagus. Ketika dia membuka pintu kamar mandi perempuan itu, pemandangan di dinding tidaklah menyenangkan untuk Arvi lihat. 

"Kak Ivan ...?" 

Pria itu mengangguk tanpa senyuman. Tidak seperti biasanya, Kaivan yang mengedipkan mata dan suka tersenyum, kali ini pria itu bersedekap dan menatap Arvi dengan cukup tajam. 

"Let's talk. Aku nggak bisa menahan diri lagi. Kamu bahkan barusan block nomorku. Kamu memang sengaja untuk membuatku makin gila, ya, Vi?" 

Untuk apa Arvi melakukan itu? Yang ada, Kaivan-lah yang suka membuat perempuan itu gila karena memikirkan apa yang dimau oleh Kaivan sebenarnya. 

"Aku ada kelas sebentar lagi. Lain kali aja kita bicaranya, Kak." 

Arvi sudah berniat benar-benar pergi, tapi Kaivan menahannya dengan menggenggam erat pergelangan tangan Arvi. 

"Kelas kamu yang ini bakalan kosong. Dosennya harus anter istrinya ke RS." 

Arvi mengerutkan keningnya dengan ucapan Kaivan. "Gimana bisa Kak Ivan tahu?" 

"Aku udah lebih lama di kampus ini, ingat? Meskipun aku beda jurusan dari kamu, I know everything here." 

Arvi mengingat ulang bahwa memang Kaivan kaya dan pasti memiliki orang dalam untuk mengetahui berbagai macam info. Dan dalam menit berikutnya, pesan dari dosen yang dimaksud memang mengirimkan pesan bahwa kelas kosong absen akan dirangkap di kelas berikutnya.

"See? Sekarang, ikut aku dan kita bicara. Nggak ada alasan apa pun lagi untuk kali ini, Arvi."

Arvi kehilangan keseimbangan dan hanya bisa mengikuti pria itu menuju tangga darurat. Mereka berjalan menuju mobil Kaivan yang sudah terparkir dekat gedung Arvi. Tanpa banyak basa basi, Arvi duduk di balik kursi penumpang dengan tegang dan bingung harus bagaimana lagi. Dia tidak bisa menghindari Kaivan, yang bisa dilakukan Arvi adalah diam dan tidak membalas apa pun keinginan Kaivan. Ya, dengan begitu dia berharap tidak akan menyesali keputusannya sendiri. 

[Chapter 21 dan 22 udah tayang duluan di Karyakarsa kataromchick, ya. Kalian bisa langsung baca tanpa nunggu-nunggu. Jangan lupa juga buat komen di sana supaya aku makin semangat lanjutin Kaivan dan Arvi ini. Happy reading semuanya 💙]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top