Don't Fall Asleep : 2

Setelah pesta telah usai. Aku tak sabar ingin segera berbaring di ranjang. Kepalaku masih terasa pusing saat Niall mengantarkanku pulang. Dia menuntunku naik lift dan membantuku masuk ke dalam apartemen.

Tap, tap, tap.

Entah sudah berapa lama aku tertidur, tetapi aku mendengar sayup-sayup suara langkah kaki di luar kamarku.

"Niall, apakah itu kau?" Tak ada jawaban.

Aku merasa sangat lelah, apalagi kepalaku terasa berdenyut. Jadi aku memutuskan untuk kembali tidur. Palingan itu tadi Niall. Mungkin saja dia memutuskan untuk menginap di tempatku. Berhubung ini sudah larut malam.

Ting, Ting, ting.

Terdengar seperti suara gelas yang dipukul dengan sendok.

Merasa terganggu, akhirnya aku bangkit dari tidurku. Berjalan menuju dapur. Namun nihil, tak ada siapa pun.

Aku segera keluar dari dapur. Saat hendak kembali ke kamar, mataku menangkap seseorang sedang duduk di sofa ruang tengah. Hanya punggungnya saja yang terlihat. Tetapi aku merasa lega saat kulihat ternyata itu adalah Niall.

Merasakan kehadiranku, dengan perlahan dia menoleh ke belakang. Dia tersenyum sambil terus memandangku. Kemudian kembali menoleh ke depan.

Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Akan tetapi aku tidak tahu apakah itu.

Entah berapa gelas yang aku minum tadi. Karena tak tahan dengan sakit kepalaku, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan tidur.

Sinar matahari perlahan masuk ke dalam ruangan. Dibarengi dengan suara alarm yang membuat kepalaku pusing sekali. Mau tak mau aku bangkit dari ranjang lantas mematikan alarm. Duduk di pinggir ranjang, kepalaku terasa berdenyut bukan main. Hungover ini terasa membunuhku.

Aku mengumpulkan segenap tenaga lantas berjalan ke arah dapur. Mencari aspirin dan segelas air putih.

Ketika keluar dari kamar, aku tidak melihat Niall di ruang tengah. Di dapur dan meja makan juga tidak. Lalu ke mana dia pergi? Ah, mungkin saja dia sudah pulang sejak tadi dan lupa berpamitan.

Kubawa badanku ke kamar mandi lalu membersihkan diri. Aku masih bisa merasakan badanku yang lengket, bau, dan menjijikkan setelah tadi malam. Setelah mandi, aku merasa lebih segar. Kemudian bergegas menuju kantor mengingat ini bukan akhir pekan.

Inilah kenapa aku benci pesta di hari kerja.

***

Setibanya di kantor, Liam bilang dia ingin membicarakan sebuah rancangan untuk proyek yang akan datang. Jadi aku memutuskan untuk mengajaknya ke apartemenku.

Ada sembilan orang rekan kerjaku yang lain juga. Termasuk Niall, Louis, dan Harry. Akan tetapi satu per satu dari mereka memutuskan untuk pulang.

Sekarang sudah jam dua belas malam, dan aku merasa lelah. Mungkin efek pesta kemarin malam. Jadi aku memutuskan untuk beristirahat.

Di tengah tidurku, setengah sadar aku mendengar suara gaduh di luar kamar. Seperti dari arah ruang tengah. Ada suara anak kecil juga. Layaknya seseorang yang sedang bermain. Kemudian langkah kaki yang kudengar secara berulang-ulang.

Tak lama, ada suara dari pintu kamarku. Seolah seseorang sedang mengetuknya.

Dengan grogi, aku bangun dan melangkah ke pintu. Setelah pintu terbuka, aku tak melihat seorang pun. Kosong.

Tetapi tiba-tiba lampu di seluruh ruangan redup. Aku mencari ponselku. Berniat menyalakan senter ketika kulihat Liam mengirimiku sebuah pesan. Tepatnya dua jam yang lalu.

Aku menaikkan satu alis saat membaca isi pesan yang dia kirim. Di pesannya tertulis, kau harus bangun sebelum jam tiga pagi dengan keadaan seratus persen sadar.

Aku tak membalasnya. Justru aku menyalakan senter kemudian keluar dari kamar menuju jendela. Kulihat hanya apartemenku yang padam. Mungkin besok baru bisa menyala lagi.

Entah kenapa aku merasakan ada sesuatu di belakangku. Aku menoleh dan memperhatikan sekitar. Menyoroti beberapa sisi secara acak. Aku merasa ada bayangan seorang anak kecil yang berada di dekat meja makan.

Ketika kuarahkan cahaya ponselku ke meja, tak ada apa pun. Tetapi saat cahaya tak menyorot meja, aku masih bisa merasakan anak kecil itu di sana.

Benar saja, ketika kuarahkan lagi cahaya ke meja dia masih di sana. Berdiri sambil terus memandangku. Begitu seterusnya.

Aku mencoba menelan ludahku yang terasa seperti batu. Bulu kudukku berdiri dan jantungku berdegup kencang.

Aku akhirnya mengumpulkan keberanian dan bertanya. Walaupun sebenarnya aku ingin lari.

"Siapa kau?"

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Tak ada jawaban. Dia justru menunjuk jendela dengan tirai yang menutupinya. Terletak persis di belakangku.

Aku merinding dan dengan susah payah berpikir apa yang dia maksud. Saat dia dengan tak terduga mulai berjalan ke arahku.

Apa yang ingin dilakukannya? 

Hingga tiba-tiba saja dia berhenti. Belum lama aku merasa lega. Tubuhnya justru menjadi semakin panjang serta semakin tinggi, dan tercium pula bau gosong.

"Ya Tuhan!" Jantungku rasanya akan copot. Aku langsung tersungkur ke lantai.

Badanku gemetar, dan aku pikir aku akan kencing di celana.

Beruntungnya aku, tak lama kemudian lampu menyala. Mahluk itu juga sudah menghilang entah ke mana. Dengan badan yang masih lemas. Aku berusaha berdiri. Berjalan sekuat tenaga ke kamar lalu mengambil kunci mobil dan dompet. Kemudian lari meninggalkan apartemen.

Di dalam mobil, aku memutuskan untuk datang ke tempat Liam. Aku merasa sangat gelisah jika tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Sesampainya di apartemen Liam, ternyata dia belum tidur karena masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai.

Tanpa basa-basi aku menceritakan semua hal yang kualami. Termasuk hal yang mengangguku jauh sebelum kejadian hari ini. Awalnya kupikir itu hanya satu atau dua kali jadi aku mengabaikannya. Namun lihat sekarang.

Liam bilang dia juga melihat seorang sosok di sudut kamarku saat berkunjung kemarin. Tetapi dia tak berkata apa pun karena mengira mahkluk itu tak akan mengangguku.

"Sosok itu adalah parasit yang ingin masuk ke dalam tubuhmu. Karena tidak bisa, dia melakukannya melalui media perantara. Tak hanya ada satu melainkan ada beberapa sosok yang berada di tempatmu. Tetapi yang paling mendominasi adalah anak kecil itu," sambung Liam.

Aku merasa sangat terguncang, dan tak bisa berkata apa pun. Jujur aku merasa kesal mengingat dia mengetahui hal ini tapi tidak memberitahuku secepatnya.

Karena tak ingin sesuatu hal yang buruk menimpaku. Tak lama setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk mengikuti jejak penghuni apartemen sebelumnya. Yaitu pindah dan mencari tempat tinggal baru.

Dengan bantuan Liam dan informasi dari yayasan maupun surat kabar, aku mengetahui beberapa hal.

Kamis, 23 Januari 2014

Ronald Willis adalah anak yang diadopsi saat dia masih berusia sembilan tahun dari sebuah yayasan. Sayangnya, kekurangannya karena mengalami gangguan mental justru dimanfaatkan oleh orang tua angkatnya. Yakni untuk mendapatkan simpati dan bantuan dari orang lain.

Selama dua tahun tinggal bersama orang tua angkatnya, Ronald sering disiksa, dikurung, dan bahkan jarang diberi makan.

Suatu ketika, orang tua angkatnya pergi karena ada urusan. Ronald berhasil keluar dan melarikan diri. Hingga dia sampai di suatu pusat perbelanjaan dengan kondisi memprihatinkan.

Seorang pemilik toko melihat dia, lalu membawanya ke apartemen miliknya. Setelah beberapa hari dirawat, seorang dokter memberi saran agar dia di kembalikan ke yayasan supaya mendapatkan hidup yang lebih baik.

Tetapi belum sempat hal itu terjadi, Ronald telah mengakhiri hidupnya. Dia ditemukan sudah tak bernyawa di dapur. Dengan pisau yang tergeletak di samping tubuhnya.

THE END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top