Don't be
Sakata Gintoki, pemilik toko yang bernama Yorozuya dimana keinginan setiap pelanggannya dapat di kabulkan, asalkan keinginan tersebut masih dapat di atasi oleh sang pemilik dan kedua anak buahnya.
Akhir-akhir ini ia sedang menjalin kasih dengan seorang tokoh penting dari kepolisian, Hijikata Toshiro yang dijuluki sebagai wakil komandan iblis yang terkenal garang. Namun hubungan mereka tidak pernah berkembang yang ada selalu mengempis tanpa harapan.
Dan sinilah dia, Sakata Gintoki mengalami salah satu krisis di dalam hidupnya. Orangnya sendiri mengakui kalau dia bukan lah lelaki baik-baik yang taat akan moral yang ada di dunia ini, tapi itu bukanlah alasan untuk mengkhianati kekasihnya saat ini. Terutama kalau kekasihnya itu adalah seorang Hijikata Toshiro.
"Apa dia akan membunuhku?"
Sougo yang tengah membolos saat ini sedang duduk di sebelah Gintoki yang menceritakan keluh kesahnya tadi malam. Wajah remaja itu memerah lantaran baru saja tersedak minumannya sendiri, cerita tentang Gintoki yang selingkuh di belakang Hijikata merupakan cerita yang tak pernah ia bayangkan akan keluar dari mulut seorang Gintoki.
Mereka berdua berbincang cukup lama di depan kedai teh dekat taman Edo. Sougo yang biasanya pintar berbicara kali ini tidak tahu harus bagaimana menanggapi cerita barusan.
Setelah termenung beberapa saat, Sougo menahan tawanya. "Danna..." panggilnya diikuti senyuman jenaka. "Kau tahu banyak yang menginginkan si brengsek Hijikata. Aku yakin kau tidak perlu mengkhawatirkan si brengsek itu, teruslah bermain dengan perempuan mu, tanpa kau harus mencampakannya tidak lama kemudian pasti sudah ada yang mau pacaran dengannya," ocehnya seenak jidat.
"Jadi kau bilang aku harus memutuskan hubungan ku dengannya?"
"Aku tidak tahu bagaimana asal muasal kalian jadian tapi kau terlihat tidak tertarik pada Hijikata-san. Buat apa kau mempertahankan hubungan ini?"
Gintoki menghela nafas panjang, Sougo tidak mengerti perasaaannya. Remaja itu salah, dia bukan tidak tertarik pada Hijikata, sebaliknya sudah lama ia tergila-gila pada pria nikotin itu.
"Asal kau tahu. Aku sudah lama menyukai si brengsek itu," jawab Gintoki sejujurnya. "Kejadian tadi malam....memanglah kesalahanku. Entah bagaimana caranya aku harus meminta maaf padanya," lanjutnya seraya tersenyum miris.
"....Kurasa bakal susah untuk berbicara dengannya saat ini." Sougo memberitahu, reaksinya masih saja datar, tidak menunjukan tanda-tanda ketertarikan.
"Bukannya marah besar. Si brengsek Hijikata malah kelihatannya tidak peduli akan apa yang di saksikannya kemarin."
Gintoki mengacak belakang rambutnya dengan frustasi. Kalau yang dikatakan Sougo benar, Hijikata pasti sudah mengecapnya sebagai pria tukang selingkuh.
"Oi Sougo!"
Orang yang sedari tadi di bicarakan muncul di hadapan mereka berdua. Hijikata memelototi Sougo yang sedari tadi di cari-carinya, lelaki itu berdiri sambil bersedekap dada di depan remaja tersebut, kalau saja tatapan bisa membunuh, sedari tadi Sougo pasti sudah tergeletak tanpa nyawa.
"Mau sampai kapan kau malas-malasan? Kita harus segera kambali ke markas," ucapnya ketus masih dalam posisi yang sama. Entah sengaja atau tidak dari tadi ia mengabaikan keberadaan Gintoki.
"Hijikata-san ini hari minggu. Setidaknya kasihanilah para bawahanmu..."oceh remaja itu yang jelas terdengar tidak seperti sebuah permohonan.
"Kenapa tidak ada satupun dari kalian yang bisa diandalkan?" keluh Hijikata memegangi kepalanya yang pusing tujuh keliling akan kelakuan si kapten devisi pertama. Andai Shinsengumi hanyalah perusahaan bisnis biasa, ingin rasanya ia memecat remaja tersebut.
Setelah beberapa saat berdebat dengan Sougo, Hijikata menoleh ke arah Gintoki yang duduk di tempatnya dengan canggung. Terlihat jelas sekali kalau pria berambut ikal perak itu sedari tadi mau kabur.
"Kau juga, sampai kapan kau mau bermalas-malasan?...." Hijikata giliran menegur Gintoki. "Kalau kau tidak bekerja bagaimana bisa kau membesarkan kedua anakmu?"
Tidak ada yang lain selain Kagura dan Shinpachi yang di maksud sebagai dua anak dari si pemilik toko Yorozuya yang terkenal malas dan nyentrik. Gintoki sudah sering mendengar teguran serupa dan biasanya dia sama sekali tidak mengubrisnya. Memang dasar pria berwajah tebal.
Hanya saja kali ini teguran tersebut datang dari mulut Hijikata, membuat Gintoki tidak bisa mengabaikannya begitu saja, meskipun pura-pura cuek tetap saja teguran tersebut terasa 2 kali lebih menyakitkan daripada biasanya.
"Sayangnya hari ini aku tidak dapat pelanggan," jawab Gintoki semakin mengacak rambut belakangnya. "He-hei Hijikata, apa nanti malam kau ada waktu luang?"tanyanya sambil masih terus menunduk. Kejadian tadi malam masih membuatnya gugup, dia tidak bisa lama-lama menatap wajah Hijikata yang sedang diajaknya berbicara saat ini.
"Pfft..." Sougo menahan tawanya. Baru kali ini ia melihat Gintoki yang benar-benar ketakutan menghadapi Hijikata. Lagipula siapa suruh ia bermain di belakang si wakil komandan yang memiliki banyak rumor menakutkan? Andai semua rumor itu benar bisa jadi Gintoki sudah mati tenggelam di teluk Edo.
Mengetahui dirinya sedang di tertawakan, Gintoki menatap sengit remaja tersebut. Sougo malah menjulurkan lidahnya dan mengejek dalam diam, sama sekali tidak tahu kalau sedari tadi Hijikata mengawasi kelakuan mereka berdua.
Hijikata menghembuskan rokoknya, tidak begitu peduli dengan permainan antara Gintoki dan Sougo yang kekanakan. Sambil diam ia menimang-nimang ajakan makan malam Gintoki yang langka.
"Baiklah. Kutunggu di depan rumahmu jam 7 nanti," jawab Hijikata lalu menggeret Sougo untuk ikut bersamanya melanjutkan patroli.
Di saat yang sama Gintoki membeku di tempatnya sambil memasang wajah bodoh. Ini pertama kalinya Hijikata menerima ajakannya tanpa harus berdebat panjang. Ketimbang senang dan bersyukur, ini seperti bertanda alamat buruk, kini ia depenuhi ketakutan akan teror yang paling di takutinya saat ini.
Bagaimana kalau Hijikata minta putus?
Gintoki pulang kerumahnya dengan wajah lesu. Sesampainya di rumah ia mendapatkan sambutan hangat dari Shinpachi yang menanyainya masalah apa yang ditimpanya sampai terlihat lesu begitu?
Mana mungkin ia bisa memberitahu kejadian yang sebenarnya pada pemuda polos berkacamata tersebut, yang ada Shinpachi nanti bisa mengusirnya dari rumah karena kelakuan tidak senonohnya semalam.
"Seperti biasa kita tidak punya pelanggan," jawab Gintoki menutupi alasan yang sebenarnya, lalu menjatuhkan dirinya di salah satu sofa panjang ruangan tengah.
Shinpachi geleng-geleng kepala. "Tumben Gin-san memikirkan pekerjaan. Kukira kau habis kalah berjudi," balas remaja itu lanjut menyapu ruangan.
Sindiran tersebut malah makin membuat Gintoki semakin down. Andai dia cuma kalah judi, dia tidak akan semurung ini. Sekalipun rumahnya saat ini di obrak-abrik penagih hutang pun, masih jauh lebih baik daripada masalahnya saat ini.
"Gin-chan hari ini aku masih ingin menginap di rumah Shinpachi."
Remaja perempuan yang sedari tadi duduk di sofa yang berlawanan meminta dengan manja. Kelihatannya akhir-akhir ini gadis itu berteman akrab dengan kakak perempuan Shinpachi, dan sepertinya mereka sedang membuat sesuatu yang (mengerikan) apalah itu.
"Lakukan sesukamu tapi jangan merusak barang apapun di rumah Shinpachi," balas Gintoki dengan malas. "Kau tahu betapa mengerikannya Otae waktu marah."
Beberapa jam kemudian, kedua remaja tersebut meninggalkannya sendirian di dalam rumah. Gintoki masih tidur-tiduran di atas sofa sambil menunggu jam yang dijanjikan Hijikata. Di tengah dirinya melamun. Jantungnya terasa mau melompat keluar dari mulutnya ketika mendapati seseorang mengetuk pintu rumahnya.
Gintoki berjalan cepat membukakan pintu. Matanya berbinar setelah bertemu dengan Hijikata yang berdiri di depan pintu rumahnya dengan tidak mengenakan seragamnya, melainkan kimono hitam kasualnya.
Mereka berdua pergi makan di tempat mereka biasa bertemu, tempat dimana pertama kalinya Gintoki dan Hijikata memperdebatkan menu makanan kesukaan mereka adalah yang terbaik.
"Sepertinya sudah lama aku tidak datang kemari," gumam Hijikata seraya mengambil tempat duduk di sebelah Gintoki.
"Mungkin terakhir kali aku datang kemari sebelum kakek pemilik restoran meninggal ya...."
Lelaki itu sibuk mengingat kejadian yang ada jauh di masa lalu, mengabaikan tatapan heran Gintoki. Hijikata tidak memesan makanan berat, hanya meminta beberapa cemilan dan sebotol Sochu, Gintoki yang perhatiannya daritadi fokus ke Hijikata hanya menangguk saja saat di tanyai pelayan, jadinya ia hanya memesan hal yang sama dengan Hijikata.
"Hi-hijikata....."
Merasa waktunya sudah tepat Gintoki memanggil si empunya nama. Entah apakah Hijikata menyadarinya, sedari tadi dia sangat gugup, dia yakin suaranya tadi sedikit bergetar.
"Tentang yang kemarin malam...apa kau tidak ingin membahasnya?"
Hijikata menggosok dagunya, sedang berpikir. "Oh yang kemarin malam huh..." Lelaki itu kembali menghembuskan rokoknya lalu menoleh ke arah seorang pelayan yang lewat dekat meja mereka. Hijikata tidak segera menyelesaikan perkataannya, malah menggantung Gintoki dengan berbicara pada pelayan tersebut, meminta asbak.
"Apa yang ingin kau bahas? Meskipun kau sendiri yang mengajakku jadian tapi aku masih tidak punya hak untuk melarangmu bermain dengan wanita lain," setelah pelayan itu pergi mengambilkan barang yang diminta Hijikata, ia kembali melanjutkan.
"Oh tapi masih ada satu yang ingin kukatakan...."
"Tu-tunggu Hijikata!"
Karena panik Gintoki berdiri dan memukul meja dengan keras. Kini seisi restoran memperhatikan mereka berdua. Hijikata yang masih duduk manis di tempatmya memandang kekasihnya itu dengan heran, sebenarnya apa yang membuat seorang Sakata Gintoki segelisah itu? batinnya bertanya.
"Duduklah Yorozuya. Kau mempermalukan ku," minta Hijikata yang seketika itu juga terdengar seperti sebuah perintah. Biasanya Gintoki pasti akan melawannya, namun kali ini lelaki bersurai perak keriting itu menurut begitu saja.
Hijikata menghela nafas lalu meletakan rokoknya yang masih menyala di asbak yang baru saja diantarkan oleh pelayan sebelumnya.
"kelihatannya kau masih punya sesuatu yang ingin kau katakan," ujar Hijikata memulai kembali pembicaraan.
Gintoki menegak Sochu nya dalam sekali teguk. Dia terlalu stres untuk melanjutkan pembicaraan ini dalam keadaan sadar, pada saat seperti ini yang bisa menyemangatinya hanyalah segelas minuman beralkohol.
"Aku tidak mau putus...."
Hijikata tidak menyangka kalau dia akan mendengar kalimat tersebut dari mulut Gintoki. Sinar mata yang sedingin esnya mulai meleleh, menatap kekasihnya yang baru saja kepergok selinguh dengan tatapan yang lebih ramah.
"Aku tidak pernah bilang mau putus," balas Hijikata dengan senyuman tipis menghiasi wajah tampannya. "Malahan aku yang mau bertanya apakah kau ingin melanjutkan hubungan yang tak berarti ini?"
"Kau tidak berniat minta putus?"
Wajah Gintoki kembali cerah, ia tidak bisa menahan senyuman lebarnya yang terkesan bodoh itu.
Sekali lagi Hijikata menghela nafas lelah, jalan pikiran Gintoki memang susah untuk di tebak tapi siapa sangka lelaki itu bakal sesenang ini hanya karena dirinya yang tidak meminta putus.
"Aku cuma mau bilang. Kalau memuaskan napsu pelangganmu juga termasuk di dalam servis pelayananmu, apa bedanya dirimu dan gigolo?"
"Ma-maafkan aku....apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?"
Gintoki kembali muram. Jujur saja Hijikata masih belum bisa mempercayai lelaki mesum di depannya ini, jadi dia tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut.
"Nah aku tidak akan pernah memaafkanmu," jawab Hijikata cuek. "Tidak ada untungnya bagiku untuk memaafkan laki-laki sepertimu..."
"O-oi Hijikata-kun kenapa kau kejam sekali?"
Gintoki sudah tidak tahu harus bagaimana ia membujuk sang wakil komandan yang mempunyai harga diri setinggi langit tersebut. Kalau malam ini dia tidak berhasil menghibur Hijikata, bisa-bisa pupus harapannya untuk melanjutkan hubungan ini.
Hijikata mengabaikan rengekan Gintoki dan bangkit dari tempat duduknya. Setelah meninggalkan beberapa uang receh untuk membayar makanan dan minumannya dia pergi meninggalkan restoran dengan Gintoki yang mengekor di belakangnya.
Udara dingin malam itu menyegarkan kepalanya. Hijikata tersenyum meremehkan setelah ia menoleh ke belakang dan mengetahui Gintoki yang masih mengekor di belakangnya. Mau bagaimanapun, Gintoki adalah orang yang di sukainya, ia kenal segala keburukan dan kebaikan lelaki payah tersebut.
"Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu bulan lalu. Jujur saja waktu itu aku masih setengah mabuk makanya mengoceh tentang betapa aku menyukai dirimu yang bodoh," tukas Hijikata.
Wajah sang wakil komandan memerah padam, mau sampai kapanpun momen dimana ia mengakui perasaannya kepada seorang laki-laki masihlah sangat memalukan, bagaikan aib yang tak pernah hilang.
Walau berusaha menyembunyikannya, Hijikata adalah lelaki yang canggung dan pemalu. Bagi Gintoki justru kepribadiannya itulah yang membuatnya sangat menggemaskan.
"Bukannya menolakku mentah-mentah tapi malah memintaku menjadi kekasihmu. Terkadang aku tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu...."
Hijikata, atau siapapun itu tidak ada yang tahu, sebenarnya bagaimana dan kapan Gintoki tertarik pada seorang lelaki yang punya banyak rumor menakutkan mengenai dirinya.
Namun hal itu juga sama halnya dengan Gintoki. Da tidak tahu bagaimana dan kapan sang wakil komandan, seseorang dengan jabatan tinggi seperti itu, menyukai gelandangan sepertinya.
"Kau yakin?"
Gintoki bertanya lalu menarik Hijikata untuk lebih mendekat padanya.
"Di saat seperti ini seharusnya kau mengintrogasiku tentang apa yang terjadi kemarin malam," lanjutnya sambil mengosok pipi Hijikata dengan satu tangannya.
Hijikata bersemu merah muda. Sambil mengalihkan pandangannya ia menjawab "Oh tentu saja," jawabnya tersenyum simpul. "kau berhutang banyak penjelasan padaku..."
To be continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top