Special Chapter: A Chaos Wedding
Langit malam yang gelap terasa tidak begitu buruk kala sekitar dipenuhi dengan lampu-lampu yang berkelip indah. Tapi! Semuanya jadi terasa begitu buruk dan tidak masuk akal saat aku mengenakan baju pengatin yang bukan milikku!
"Biar kuingat, kalau tidak salah aku tadi tengah membawa bucket bunga ke lokasi pernikahan dan berujung tersesat." Aku mengerutkan dahi sembari melipat tangan dada, berpikir.
"Terus kenapa bisa-bisa ada di sini!? Aku enggak paham!" Aku berseru frustasi sembari melihat ruangan putih bersih tempatku berada sekarang. Hanya ada cermin serta beberapa alat serta produk untuk berdandan--yang aku tidak tahu apa namanya-- dan juga gantungan baju yang sepertinya mulanya adalah gantungan untuk gaun putih ini.
"Teleportasi? Sleep walking?" Aku memikirkan segala kemungkinan yang dapat membuatku berpindah dari jalanan taman ke ruang pengantin wanita. Tapi tidak ada satupun penjelasan yang masuk akal, semuanya seolah terjadi sekejap mata. Tunggu, memang semuanya terjadi sekejap mata! Aku hanya berkedip sebentar, lalu diriku tiba-tiba ada di sini!
"Kenapa bisa begitu?" Aku semakin memiringkan kepalaku begitu menyadari hal janggal lainnya.
"Alie" Renunganku pecah saat seseorang mengetuk pintu dan memanggil nama itu. Aku diam, tidak tahu harus menyahut apa. Alie yang seharusnya jadi pengantin wanita tidak ada di sini dan aku malah mengenakan gaunnya.
Selang sepersekian detik dari ketukan tersebut, pintu ganda itu terbuka dan aku berjengit terkejut. Berusaha memasang ekspresi wajah senormal mungkin. "E-ehm, aku tidak tahu Alie kemana. Dan untuk gaunnya, maaf memakainya sembarangan." Aku tersenyum canggung pada wanita yang berdiri di ambang pintu. Aku mengenalnya, dia dari pihak keluarga pengantin wanita.
Tapi bukannya marah atau kesal, wanita disana malah terawa kecil dengan anggun. "Tidak perlu terlalu gugup, pernikahan tidak semenyeramkan itu," ucap wanita itu seraya berjalan mendekat dan merangkulku agar keluar dari ruang tunggu wanita.
"T-tunggu!" Aku menahan laju langkahku, membuat bunyi sepatuku jadi agak canggung.
"Ayolah, Nach sudah menunggu." Wanita itu tidak menyerah, terus membawaku mendekati pintu.
"H-hah?" Aku semakin tidak paham dengan kalimatnya. Sungguh, apa maksudnya deh?
Terlalu kebingungan, aku tidak sanggup berbuat apapun selain mengikuti langkah wanita itu yang semakin memaksa.
Begitu keluar dari ruangan, dan menatap cermin.
...
"HAH!?"
Aku refleks melepaskan rangkulan wanita itu, mengebrak cermin yang menempal di dinding koridor menuju aula.
Demi apa? Apa yang terjadi pada wajahku??
"Kenapa Alie? Make upnya kurang bagus? Malem ini kamu aneh sekali."
Aku bergeming, tidak menjawab wanita itu. Masih menatap garis wajahku yang berubah hingga ke detail-detailnya.
Kenapa wajahku jadi sangat mirip dengan Alie!?
"Alie?" Wanita itu menepuk bahuku, aku langsung menoleh padanya.
"Lita mana?" Aku balik memegang kedua bahunya dengan erat. Mungkin bertanya seperti ini lebih masuk akal dibanding menyatakan diriku kini bukan Alie.
"Ah iya, perempuan itu, huft. Aku tidak tahu dimana dia sekarang. Tapi sudah berapa lama ini? Dan dia belum sampai juga!" Wanita itu, yang kukenal sebagai kakak dari Alie mengenduskan napas kesal. Melihatnya memasang tampang siap menikam, langsung membuatku meneguk ludah, canggung.
"Nach?" Tanyaku lagi.
"Tentu saja di aula. Kenapa bertanya hal yang sudah jelas?" Alis Kara, wanita itu, terangkat sebelah.
"Hanya memastikan." Aku tersenyum canggung. Mungkin ada baiknya jika aku tidak bertingkah mencurigakan sekarang.
Kara hanya menggelengkan kepalanya dan lanjut menemaniku berjalan menuju aula.
Selama perjalanan, aku tidak habis pikir dengan kejadian aneh ini. Kalau 'aku' yang asli masih ada, berarti bukan wajahku yang berubah melainkan jiwaku yang berganti.
"Kayak di film ..." Aku bergumam kecil.
"Hm? apanya?" Kara menyahut.
Aku menggeleng kecil, tersenyum. Untuk saat ini, aku akan ikuti dulu arahnya.
Yah, kupikir demikian ...
Tapi tidak begitu aku sampai di aula. Kerusuhan terjadi. Pengantin pria tidak ada di sana, desas-desus orang-orang mengatakan pria itu telah kabur.
"Bagaimana bisa?" Kara berdesis tajam. Menanggapi seorang WO yang berbisik padanya.
"Tunggu sebentar." Kara menatapku sekilas dan berlari kecil sembari mengangkat gaun sederhananya.
Aku termangu. Mengapa bisa kacau begini?
Tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya memperhatikan suasana aula yang mulai tidak enak.
Sempat kulirik jam yang menggantung di sisi kiri aula. Terlihat jauh memang, tapi aku masih bisa melihat jarum pendek yang masih mengarah ke jam 11 dan jarum panjang yang mengarah ke angka 6.
"Setengah jam lagi. Kalau tidak segera dapat, pasti susah menemukan Nach di tengah keramaian tahun baru." Aku bergumam kecil. Masalahnya taman kota yang luasnya berhektar-hektar ini tengah penuh dengan pengunjung untuk melihat pertunjukan kembang api. Belum lagi dengan parade kecil mengelilingi jalur utama taman. Aku saja sempat tersesat karena keramaian itu.
Lagian, kenapa Nach kabur? Kalau aku yang kabur masih masuk akal.
"Eh?" Kesadaran itu tiba-tiba saja datang. Aku membulatkan mata, tersenyum kecil.
Benar juga. Kalau begitu, seseorang pun juga mengalami perpindahan jiwa ke tubuh Nach.
"Tapi siapa?" Aku bisa merasakan keningku yabg kembali mengkerut.
Seharusnya jika Nach yang palsu itu melarikan diri. Berarti dia mungkin tenfah mencari tubuh aslinya.
Aku langsung menyapu seluruh ruangan dengan cepat. Mengira-ngira kenalanku dan Nach yang belum hadir.
"Edy!" Aku berseru saat tidak menemukan wajah tukang jahil itu di dalam aula.
Jika dia masih berada di tempat terakhir aku menelopnnya untuk menanyakan jalan ...
Seharusnya dia berada dekat di sini!
Tanpa menunggu apapun lagi, aku mengangkat gaun panjang nan berat itu dan membawanya berlari.
"Alie!" Seseorang berseru saat aku membuka pintu ganda raksasa sebagai satu-satunya jalan keluar di aula. Kuabaikan seruan itu dan terus berlari.
Agak canggung dan aneh sejujurnya. Dengan heels pendek—yang sudah cukup sulit bagiku untuk berjalan— dan gaun putih elegan yang mencolok, aku berlari di tengah kerumunan orang-orang yang memakai jaket tebal karena dinginnya malam. Sedangkan gaun ini ... agak sedikit terbuka.
Begitu keluar dari gedung, angin malam yang berhembus langsung membuatku berjengit.
"Dinginnya ..." celutukku lalu berlari menjauh dari gedung dan semakin mendekay ke keramaian.
"Haha, aku merasa beruntung wajahku kini bukan milikku." Aku tersenyum parau. Entah harus kasihan pada Alie atau bersyukur karena rasa malu ini berkurang.
Mengabaikan pandangan orang-orang yang menatap keheranan atau terpana karena kecantikan Alie, aku berusaha mencari Nach jadi-jadian yang (kalau tidak salah) memakai jas warna putih.
"Alie!" Suara berat namun berintonasi lembut itu terdengar bersamaan dengan tepukan lembut di pundak.
Aku refleks menoleh walau sudah tau siapa yang memanggil.
"Na- Edy!" Aku langsung menyrrukan namanya, menghela napas lega karena tidak perlu mencari lebih jauh.
Edy yang tengah berada di tubuh Nach menautkan alisnya. Entah karena terkejut atau kebingungan.
"Bagaimana kau tahu-"
"..."
"Lita?"
Aku mengangguk cepat.
"Bagaimana bisa ..."
Edy terdiam sejenak.
"Yang penting bukan itu sekarang. Kita harus kabur dulu dari sini." Edy berkata sembari membuka jasnya.
"Nih. Nakal banget sih pake baju begitu di udara dingin gini." Edy memakaikan jas putihnya padaku. Dan hal itu membuatku sedikit berjengit kaget.
"Y-Ya, bukan aku yang mau pakai gaun ini kok! Aku yang asli pake baju tebel." Aku berseru tidak terima.
Tapi ... jasnya lumayan hangat juga. Walau tidak berbau Edy.
Edy menaikan bibir atasnya sembari menatapku malas begitu melihat aku merapatkan jasnya. 'Bilang saja memang mau.' Setidaknya seperti itu arti tatapannya
Aku menghenduskan napas dan embun menyusul setelahnya. Yah, mau bagaimana lagi. Memang udaranya dingin.
Edy langsung membawaku pergi menjauh dari gedung. Dan keramaian terasa semakin padat saja. Mungkin karena kami semakin mendekati pusat acara.
"Bisa jalan lebih lambat? Sekarang kamu berada di tubuh yang hampir dua meter dan aku punya kaki yang lebih pendek sekarang " Aku mengeluh kesal sembari mengatur napas. Padahal Edy hanya berjalan santai, tapi aku harus sedikit berlari untuk menyamai langkahnya.
"Oke oke." Edy menjawab pendek dan melambatkan langkahnya.
"Sebenarnya kita mau kemana?"
"Ketempatmu sebelummya berada." Edy menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Menggunakan tubuh besar dan tinggi Nach untuk membuka jalan. Kali ini aku bisa berjalan tanpa terseret lautan manusia berkatnya.
"Kamu yakin akan beryemu dengan 'tubuhku'?"
"Tidak tahu. Tapi jika Alie berada di tubuhmu sekarang. Mungkin dia akan menyusuri jalan ini untuk kembali ke gedung.
"Bagaimana dengan Nach yang kemungkinan berada di tubuhmu? Tidak bertemu dengannya?"
Edy mengangguk, "sepertinya lebih baik mencari Alie. Dimana ada Alie, di sana ada Nacht," sambungnya lagi.
Aku mengangguk-angguk setuju.
Pshuu!
Duar!
Duar!
Tiba-tiba saja, bunyi-bunyi henoh nan berisik itu memenuhi langit malam, menerangi gelap pekatnya.
"Sudah dimulai rupanya." Aku berceletuk, berhenti berjalan dan menatap kembang api itu.
"Sudah pukul dua belas," ujar Edy, ikiut menghentikan langkahnya dan menatap langit itu bersama.
Aku mengeratkan genggaman tanganku padanya selama sesaat kala kembang api itu kembali meledak, terkejut karena suaranya yang menggelegar.
Edy lantas tiba-tiba mengeratkan kembali genggamannya dan menarikku mendekat padanya.
"Mungkin ada baiknya juga hal ini terjadi." Edy semakin menarikku lenih dekat.
Aku berkedip terkejut, "Ha-
"-ah?" Namun begitu aku membuka mata dan menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Dan lokasi ku terlihat berbeda dari sebelumnya. Sepertinya aku berada cukup jauh dari kembang api tadi.
"Edy?" Aku memanggilnya, meliarkan pandangan berusaha mencari sosoknya. Namun lautan manusia ini terlalu banyak sampai pusing aku dibuatnya.
"OH!" Aku berseru senang saat melihat pakianku yang kembali seperti semula. Serta ketinggian ini, dan hangatnya blazer yang kukenakan.
Aku kembali!
"Oh ya, Edy." Setelah kesenangan sesaat itu, aku kembali teringat dengannya. Sepertinya tadi dia ingin mengatakan sesuatu ... tapi apa?
Aku beranjak pergi, berlari kembali ke tempat tadi.
Hentakan sepatuku serta suaraku yang meminta orang-orang untuk minggir teredam karena suara meledaknya kembang api, tapi aku tetap berjalan kembali ke tempat sebelumnya.
Begitu merasa posisiku sudah senakin dekat dengan tempat kami berdiri tadi, aku mulai menyerukan namanya.
"Edy! Edy!"
Tiba-tiba, seorang menepuk pundakku. Aku langsung menoleh cepat, tau siapa yang menepuk.
Di belakangku, Edy berdiri sembari membawa bucket bunga yang seharusnya kupegang. Apa mungkin Nach dan Alie sempat bertemu dengan wujud ini dan Alie memberi bucket bunganya pada Nach?
"Untuk kamu tinggi, jadi gampang ditemukan." Edy terkekeh, dia terlihat kesulitan mengatur napasnya.
"Kau berlari?"
Edy mengangguk. "Aku harus cepat bertemu denganmu." Edy menghentikan kalimatnya, kembali mengatur napasnya.
"Dan memberikanmu ini," ujarnya sembari memberikan bucket bunga.
"Ah iya! Kita harus kembali ke pernikahannya!" Aku buru-buru mengambil bucket bunganya. Edy mengangguk dan kami kembali berlari menuju gedung.
*****
Setengah jam yang lalu
"Aish, ini lah aku tidak suka berada di tempat ramai seperti ini." Aku mendengus kesal sembari mengetik sesuatu di ponsel.
Seharusnya sekarang aku sudah berada di gedung pernikahan dan memberikan bucket bunga ini pada sang pengantin. Tapi di sinilah aku, tersesat karena sempat terbawa arus terjang manusia.
Sekarang aku bahkan tidak tahu ada di taman bagian mana. Taman ini terlalu besar untuk kuhapal denahnya.
"Lama banget Edy dateng?" Aku kembali mengendus kesal. Akhirnya memih berjalan sendiri sesuai instruksi yang tadi Edy kirimkan lewat pesan. Walau sejujurnya aku tidak begitu mengerti dengan instruksinya.
Duar!
Aku berjengit, refleks melihat langit dimana kembang api itu meledak.
"Loh? Kok sudah dimulai?" Aku bergumam sembari memeriksa waktu di jam tangan.
Duar!
Aku berjengit kaget, refleks menutup mata karena bunyi kembang api yang lebih besar dari sebelumnya.
.
.
.
.
.
.
01 Januari 2022
Author's Note
Happy New Year!!!
Chapter ini adalah (sedikit) hadiahku untuk kaliam yang udah mau sempetin baca cerita ini(◡ ω ◡)
/Semoga notif updatenya masih masuk ke kalian ... (• ▽ •;)
Seperti yang kalian lihat, plot ini diambil dari random genereator hahaha.
Yah walau ada banyak yang tidak sesuai :)
Hutannya kuganti jadi taman, cofee shop AU nya kutiadakan, he sat her down sama terrible newsnya pun gak ada haha. Dan ....
Anniversary wedding yang kusalah artikan jadi wedding party ...
:)
Aku gak tau kenapa aku bisa mikir artinya anniversary wedding tuh pernikahan!? Apakah ini tanda bagi Edy dan Lita untuk naik ke pelaminan? (. ❛ ᴗ ❛.)
Oh ya, chapter ini belum kuedit ya. Jadi ku publish mentahan setelah tulis. Aku terlalu ngantuk untuk lanjutin edit :")
Jadi mungkin besok baru kuedit, atau mungkin lusa, atau lusanya lagi atau-
Hehe
/mengingat Nefelibata yang udah lama gak update
OKEH
Bekos saya mengantuk, jadi sampai segini aja curcolannya.
Samai jumpa dan!
Makasih buat kalian yang vote dan komen beberapa hari belakangan ini!
Aku kaget (+seneng minta ampun) tiba-tiba notif dipenuhi pemberitahuan vote dan komen kalian <3
Selamat tahun baru semuaa!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top