Prolog
Petir menyambar di tengah kegelapan malam, hujan turun dengan deras, angin kencang memporak-porandakan daun-daun yang berguguran di sore sebelumnya, terombang-ambing dalam kejam dan dinginnya badai malam ini.
Derasnya hujan membasahi halaman besar yang mengelilingi sebuah rumah besar di tengah hutan. Pagar tinggi dan kokohnya menghalangi halaman tersebut dari wilayah hutan di luar, melindungi orang luar untuk masuk ke dalamnya, membuat batas antara hutan dan rumah itu.
Di tengah halaman yang luas, terdapat jalan yang tersusun dari bebatuan halus besar namun berlumut. Jalan tersebut membentang dari pagar hingga teras rumah--di mana pintu masuk yang besarnya tiga kali orang dewasa berada.
Tidak ada apapun di teras tersebut, walau ada banyak tempat kosong untuk menaruh barang di sana, tapi teras itu dibiarkan kosong begitu saja. Atapnya yang seharusnya terlihat cantik dan kokoh pun berlumut dan ditumbuhi jamur. Tangga kayu menuju teras yang mulanya kuat pun telah lapuk, entah sudah berapa lama rumah itu dibiarkan, bahkan hingga sudut-sudutnya dipenuhi jaring laba-laba.
Di tengah semua kerusakan dan tanaman hijau menggelikan yang merambati dinding-dinding kayu tebal nan kokoh rumah itu, cahaya lampu dari rumah yang nampak usang dan besar itu terlihat mencolok di tengah cuaca badai dan malam yang gelap.
Rumah itu tampak sepi dengan ukuran yang nyaris seperti istana, tidak ada kebisingan yang terdengar, namun semua lampu di dalam rumah itu menyala, berpendar kuning. Tapi tidak terlihat satu orang pun yang berlalu dari jendela yang bahkan jumlahnya puluhan itu.
Lantas, suara tawa memenuhi rumah itu, bergema hingga ke ujung-ujungnya, membuat suaranya memantul-mantul. Tawa anak kecil, diselangi senandungnya yang begitu imut, layak suara anak kecil pada umumnya.
Anehnya, suara anak kecil itu terdengar lebih mendominasi dari suara hujan lebat di luar, terdengar lebih menakutkan dari petir yang menyambar. Membuat siapa pun yang mendengarnya pergi dengan bulu kuduk yang berdiri, dengan tubuh yang bergetar ketakutan.
Suara itu berasal dari jendela ruangan di lantai tiga, dimana seorang gadis kecil duduk di tengah ruangan yang penuh akan boneka. Gadis kecil itu tampak senang bermain dengan boneka yang di pangkuannya, tidak ada yang tahu mengapa gadis seumurannya masih terjaga di tengah malam begini.
Suara petir lagi-lagi menyambar, membuat gadis itu sedikit terperanjat, menatap ke jendela, menghentikkan aktiftiasnya sementara, "mengagetkan saja," Gadis kecil itu lantas terkikik, merasa lucu dirinya terkejut hanya dengan suara petir, seperti bukan dirinya saja.
Gadis kecil itu kembali bermain lagi dengan boneka di tangannya. Ah, salah, dia kembali merias boneka itu, menjahitnya lagi dan lagi, menggabungkan bagian yang satu dengan yang lain, mengkreasikan boneka di depannya sesuai dengan keinginannya. Dia benar-benar terlihat tidak peduli dengan badai di luar, asik sendiri dengan boneka di tangannya.
Tentu saja aneh, disaat seharusnya anak kecil seumurannya memekik ketakutan jika hujan lebat dan petir datang, memanggil dan memeluk ibunya, tapi dia tidak peduli.
Begitu selesai, gadis itu lantas mengangkat bonekanya tinggi-tinggi, dia tersenyum senang, puas dengan hasil karyanya.
Tapi, senandung itu tiba-tiba hilang, pula dengan senyum di wajahnya. Gadis kecil itu tiba-tiba mengkerutkan bibir beserta alisnya, menatap boneka itu marah. Perlahan, geraman terdengar, terus membesar dan membesar hingga teriakan melengking keluar dari mulutnya.
"KESAL!" Gadis kecil itu berteriak, melempar boneka itu ke dinding hingga jahitannya lepas, memisahkan tangan dengan anggota badannya yang lain, tercecer, tergeletak begitu saja. Entah darimana dia mendapat kekuatan sebesar itu.
Napas gadis kecil itu menderu, matanya membulat sempurna, giginya bergemeletuk, wajahnya memerah, dia benar-benar marah.
Gadis kecil itu kembali berteriak, suaranya melengking memenuhi rumah. Seketika gadis kecil itu kembali melempar semua boneka yang berada di kamarnya. Membuat boneka-boneka itu membentur dinding, pintu, lemari, meja hingga seluruh ruangan jadi berantakan hingga tidak ada lagi boneka utuh yang tersisa. Hancur sudah semuanya, terlepas dari jahitannya.
Akhirnya gadis kecil itu berhenti setelah rambutnya yang terkepang dua jadi berantakan, beberapa helainya lolos dari ikatan rambutnya. Setelahnya gadis kecil itu menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, duduk di depan cerminnya, merapihkan kepangannya, tersenyum sembari mengucapkan, "aku harus jadi anak baik."
"Sebentar lagi, teman-teman pasti akan datang, mereka hanya terlambat. Mereka pasti datang" gumamnya terus menerus dengan senyum terukir, menatap bayangan dirinya di cermin, mematut-matut diri, bersiap dengan kedatangan teman-temannya.
Setelahnya, gadis kecil itu bangkit dari kursi di depan cermin, melangkah pelan menuju jendela, menatap lebatnya hujan badai di luar sana. Badai yang membuat tanaman-tanaman di halaman rumahnya terseret-seret angin dengan kasar, membasahi rumput juga pagar putih yang menjulang jauh melebihi tingginya. Pagar yang terkunci dengan rapat dari dalam itu--entah bagaimana cara membukanya-- membuat gadis kecil itu tidak bisa kemana-mana, terperangkap dalam rumah yang besar ini.
Awalnya, gadis kecil itu menatap keluar jendela dengan datar, tanpa takut dengan kilat yang terus menyambar. Hingga sekelompok orang dengan jubah hujan mendekati pagar rumahnya, mereka terlihat basah dan kelelahan. Lantas orang-orang itu mencoba membuka pagar rumahnya dengan susah payah dan gadis kecil itu pun tersenyum senang, matanya membulat sempurna, melotot seakan matanya bisa terlepas kapan saja.
Begitu orang-orang itu membuka pagar rumahnya, gadis kecil itu terkikik pelan, matanya menyipit, bibirnya yang tersenyum terus naik mencapai ujung matanya yang semakin melotot.
Senyum yang seharusnya terlihat gembira, kini terlihat menyeramkan seakan gadis itu menunggu untuk memangsa mereka.
Dan saat orang-orang itu masuk, dia berbalik, menatap boneka-bonekanya yang berhamburan di lantai, "mari bersiap, teman-temanku sudah datang, dan kita akan bermain," ucap gadis kecil itu, masih tertawa, walau tidak seheboh sebelumnya tapi masih sama menyeramkannya. Gadis kecil itu terlihat seperti menahannya, tidak ingin orang-orang di luar sana mendengarnya. Bagaimana pun juga ini adalah kejutan, begitu pikirnya.
Tiba-tiba, lampu kamarnya padam, meninggalkan gadis kecil itu dalam kegelapan. Sbelum akhirnya, lilin yang entah datang darimana itu menyala sendiri dengan cahaya yang redup, mengelilingi setiap sisi kamar.
Seketika, gadis kecil itu tidak lagi memakai gaun putihnya, gaunnya berganti merah dengan pita besar di tengah punggungnya, serupa dengan pita yang mengikat kedua kepangan rambmutnya
Tangan mungilnya meraih gagang pintu kamar, membukanya perlahan hingga mengeluarkan suara berdecit. Gadis itu keluar dengan hati-hati, lantas pintu itu menutup, meninggalkan kamarnya dengan boneka yang terhambur di lantai.
Boneka yang bersimbah darah, dan bagian tubuh mereka yang terpisah.
"Ayo kita bermain."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top