Chapter 7: Someone Here!

Kuperhatikan langkahku dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara sedikit pun. Untunglah sebelumnya aku sudah melepas sepatuku, sehingga tidak terdengar suara sepatu saat aku melangkah. Hal ini tentunya penting, bisa jadi lawan mengetahui posisiku dengan mudah hanya dari langkah kaki, jadi lebih baik berjaga-jaga.

Ara menyadari kedatanganku yang baru sampai di sangkar yang mengurung Viary, dia menatapku penasaran. Tapi aku lebih dulu menyuruhnya diam sebelum dia bersuara atau menyakan sesuatu. Viary yang sudah keluar dari jerujinya juga ikut menatapku penasaran.

Aku mendekat pada Ara, mempersempit jarak antara telinga Ara dan bibirku. "Ada Little Girl di sini!" Aku berbisik pada telinga Ara. Setelah selesai aku berbicara, Ara menatapku kaget, alisnya bertaut, bibirnya sedikit terbuka. Aku bisa membaca apa yang dipikirkannya, secepat ini?

Melihat Viary yang kebingungan, aku segera memberitahukannya hal yang sama. Dia memberikan reaksi yang sama dengan Ara, terkejut. "Kita harus cepat-cepat keluar dari sini!" Aku berbisik pada mereka berdua dan berjalan lebih dulu.

Aku berlari kecil dibelakang alat-alat musik dan beberapa lemari yang cukup besar untuk menyembunyikan kami.

Aku tidak tahu mengapa, tapi jantungku berdegup dengan sangat cepat, entah karena ketakutan atau bersemangat. Tapi berada di ruangan yang sama dengan seseorang yang bisa langsung membuatku tereliminasi, disaat aku harus pergi tanpa diketahui olehnya tentunya membuatku berdebar. Entah aku yang terlalu berlebihan atau apa, tapi aku merasa seperti sedang berusaha lari dari monster atau penjahat di film-film.

Setiap langkah dari sepatu gadis itu—Little Girl— terdengar begitu menggema di ruangan ini. Semakin lama aku berada di sini, jantungku semakin berdebar. Kali ini aku yakin, aku bersemangat. Walau aku tahu aku bisa langsung tereliminasi, tidak akan begitu menyenangkan jika bermain tanpa mengalami perasaan berdebar ini. Jadi lebih baik aku menikmatinya.

Sesekali aku melihat keadaan sekitar sembari memastikan Little Girl tidak memperhatikan kami. Aku terus menatapnya yang berjalan dengan santai, lurus ke arah jeruji Viary sebelumnya berada.

Melihat gadis itu lengah, aku langsung mengambil langkah cepat menuju belakang piano, alat musik yang sangat dekat dengan pintu masuk sebelumnya, tapi masih tersisa jarak beberapa meter dari pintu masuk. Aku menatap Viary yang juga sudah telanjang kaki bersama Ara, mereka berada di belakangku.

Lalu aku memalingkan wajahku dari Viary dan Ara, mengintip dari balik piano. Gadis dengan gaun merah itu berdiam di tengah ruangan seorang diri. Aku tidak mengerti kenapa, tapi dia hanya berdiri di sana, menatap lurus ke depan.

DEG!

Kepalanya menoleh, aku langsung menarik kepalaku kembali ke belakang piano.

Aku terkekeh dalam hati. Kepalanya menoleh, sepertinya dia sadar ada beberapa orang di ruangan ini. Moonx benar-benar handal menjadi pencari. Instingnya tajam sekali sampai tahu aku tengah mengamatinya, padahal jarak kami sangat jauh.

Aku bisa merasakan jantungku yang berdegup kian cepat, tidak yakin apa dia melihatku tadi. Mata kami memang belum bertemu, tapi bisa saja dia melihat ujung kepalaku atau semacamnya.

Aku harus melihatnya lagi untuk memastikan apakah Little Girl sudah mengetahui posisi kami. Setidaknya, aku bisa yakin akan satu hal: dia belum mendekat ke arah kami. Karena aku belum mendengar langkah kaki dari sepatunya itu, yang terlihat seperti sepatu pentopel.

Perlahan, aku kembali mengintip dari balik piano. Seiring kepalaku yang maju untuk melihat, jantungku berdegup kian cepat. Jika dia melihatku, itu akan ajaib sekali.

SIAL!

Aku langsung menarik kepalaku dengan cepat begitu mata kami bertemu. Yang tadi dia lakukan, seperti berada di film-film horor saja! Maksudku, bagaimana tidak mirip hantu-hantu di film horor, jika dia baru saja menolehkan kepalanya seolah lehernya bisa berputar 360 derajat.

"Lari!" Aku berdesis pada Ara dan Viary, mereka langsung berlari ke arah sebaliknya untuk mencari tempat persembunyian.  Aduh, kenapa mereka tidak lari ke luar!? Tapi aku sedikit tersenyum, perasaan berdebar ini ternyata cukup menyenangkan!

"WOAH!"

Wajah itu tiba-tiba muncul dihadapanku, wajahnya yang kecil serta mata merah darah yang membulat menatapku, bibirnya datar, lantas tersenyum lebar hingga giginya terlihat begitu dia melihatku. Belum lagi dengan bekas tangisan darah yang masih membekas di kedua sisi pipinya.

Wajahnya itu! Tidak bisakah dibuat sedikit tidak menakutkan? Hampir saja aku berhenti bernapas. Tapi kemana larinya bunyi sepatu yang menggema itu? Apa dia melayang sekarang?

Refleks aku berbalik sembari berteriak pada Ara dan Viary yang masih di dekatku, "berpencar!" Mereka harus tahu kini jalan masuknya terhalang oleh Little Girl. Tidak ada pilihan bagi kami selain memancing Little Girl menjauh dari pintu terlebih dahulu.

Aku terus berlari menjauhi Little Girl, mendekat pada Double Bass yang terletak dekat dengan sisi kanan dinding ruangan ini. Begitu merasa cukup aman, aku langsung berbalik, menatap ke arah lokasi kami sebelumnya.

"Viary!" Aku berteriak begitu melihat Little Girl mengejar Viary tanpa ampun, langkahnya memang pendek, tapi dia cukup cepat. Aku menyumpah dalam hati, kenapa musuh dibuat sangat atletis sedangkan kami bahkan kesulitan untuk mendorong sebuah meja berdua?

"AAA!" Viary berteriak terkejut begitu bajunya ditarik oleh Little Girl, membuatnya terjatuh. Aku yang melihat itu refleks berlari ke arahnya. 

Tapi tunggu, ini jelas kesempatan aku dan Ara untuk kabur kan?

Aku berbalik, bagaimana pun pastilah sulit bagi kami bertiga untuk kabur bersama. Aku hanya perlu mengajak Ara pergi selagi Little Girl masih terfokus pada Viary.

"AAAAAA." Viary menjerit, kulihat kakinya ditempeli sesuatu. Entah sesakit apa benda itu hingga Viary menjerit.

Tapi bukan itu yang gawat, melainkan Ara. Aduh, kenapa dia malah menghampiri Viary?

Aku berlari, lantas menarik tangannya untuk mencegah mendekati Little Girl lebih jauh. Permainan baru saja dimulai, aku tidak mungkin membiarkan tim kami kehilangan banyak nyawa di saat belum ada satu pun petunjuk yang ditemukan.

Ara nyaris melepas genggaman tanganku. Sebelum dia mengomel, aku berakata lebih dulu, "Dia sudah tertangkap Ara. Ini kesempatan kita untuk kabur. Ingat, kita masih harus mencari petunjuknya!" Ara diam begitu mendengar perkataanku, tapi raut wajahnya seolah kesal. Yah, aku hanya bisa memalingkan wajah dan fokus berlari. Aku tahu Ara terkadang terlalu berambisi untuk menang bersama sebagai kelompok. Tapi jika terlalu mempertahankan hal itu, bisa-bisa kami kalah.

Aku terus membawa Ara berlari sebelum Little Girl menyusul kami, sejauh ini lorong masih aman dan di depan ada kelokan, entah apa yang menunggu di sana. Aku harus melambatkan lariku dan-

"Akh!" Tanganku tiba-tiba tertarik ke arah kanan, tarikan itu terasa cepat dan keras lenganku terasa nyeri karenanya, membuat badanku juga ikut tertarik. Aku langsung menguatkan genggaman tanganku pada pergelangan tangan Ara, tidak membiarkannya terlepas. Kami tertarik bersama, masuk ke dalam ruangan, yang lagi-lagi tanpa pintu.

"Siapa yang-" Belum selesai aku berbicara, sebuah tangan membekapku, tapi kini aku bisa melihat wajahnya yang terasa cukup dekat, sehingga jidatku nyaris menyentuh dagunya. Edy? Maksudku, si Mata Empat? Astaga! Bisa-bisanya dia menarikku?!

Mata Empat seolah tidak peduli denganku yang kebingungan, matanya sibuk melihat sesuatu yang berada di depan sana. Aku tidak dapat melihatnya karena berhadapan dengan Mata Empat. Dan lagi sesuatu yang dilihatnya terhalang oleh dinding yang menjadi pembatas antara ruangan ini dan lorong di luar. Karena tidak dapat melihatnya, aku mendorongnya, berusaha melepaskan diri dari badannya yang memepetku ke dinding, ingin melihatnya 

"Apa yang kau lakukan?!" Mata Empat berdesis, menatapku tajam.

"Aku yang harusnya bertanya, apa yang kau lakukan? Kenapa tiba-tiba menarik kami?" Aku balas berbisik, ikut menatapnya tajam.

"Kau nyaris tertangkap hunter, bodoh." Mata Empat memutar bola matanya malas. Tunggu, dia panggil aku apa tadi? Bodoh?

"Lalu, kalau kau tahu di sana ada hunter, kenapa tidak lari saja ke arah sebaliknya? Malah menunggu di sini." Aku melipat tanganku di depan dada, entah kenapa di mataku dia masih terlihat menyebalkan setelah apa yang terjadi saat di ruang tunggu peserta sebelumnya.

"Berisik, jika kau ingin sekali pergi, pergi saja sendiri." ucap Edy tidak peduli, dia bahkan tidak melirikku saat berbicara dan membuatku semakin kesal.

"Ya memang tadinya aku ingin pergi, kan kamu yang menarikku?"

"Kalau begitu kau bisa pergi sekarang."

"Sekarang tidak bisa, kamu lupa di sana ada hunter? Lagipun, kenapa tidak lari saja ke arah kami datang, sih? Memangnya kamu ngapain berdiam di sini." Aku semakin menatapnya sinis, sepertinya memang dia mengajakku bertengkar.

"Bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan tadi sampai lari kesetanan begitu?" Edy mengucapkan hal itu dengan santainya, lebih terlihat seperti mengejekku. Membuatku semakin kesal akan ucapannya.

"Kesetanan? Kami tidak lari sampai seperti itu!" Aku mendorongnya menjauh, semakin risih berada di dekatnya terus menerus.

"Apa lagi kalau bukan itu? Kau tidak lihat mukamu tadi, pias seperti melihat hantu." Mata Empat terkekeh. Aku membuka mulut tidak percaya. "Eh, tidak ya! Bahkan kami habis menyelamatkan Viary asal kau tahu!" Nyaris saja aku berteriak padanya jika tidak ingat bahwa Hunter masih menunggu kami di luar.

"Oh ya? Kalau begitu mana Viarynya?" Astaga, lihatlah matanya yang angkuh itu, rasanya ingin sekali kucolok!

"Bukan urusanmu." Aku membuang muka, semakin lama semakin jengkel berbicara dengannya.

"Sekarang, jawab pertanyaanku," ucapku, masih menuntut jawaban dari pertanyaanku. Aku hanya merasa bahwa dia sedang mencari sesuatu yang penting, sampai dia rela berdiri di sini dan hanya memperhatikan hunter itu yang sedari tadi belum pergi juga, entah apa yang dijaganya.

"Sepertinya, aku menemukan petunjuk, tapi aku tidak yakin." Aku refleks menggenggam lengan Mata Empat begitu mendengar jawabannya saking terkejutnya. Tapi hasilnya aku malah merinding setelahnya dan Mata Empat menatapku risih, berdecak kesal.

"Kamu serius, Mata Empat?" tanyaku, menatapnya penuh harap.

"Apa?" Mata Empat, mengerutkan keningnya sembari melepas paksa genggamanku pada lengannya. Aku refleks menutup mulut, sial sekali kelepasan di saat hampir mendapat informasi begini.

"Yah, matamu memang empat kan?" Aku mengangkat bahu, saat aku mengangkat tanganku untuk menghitung jumlahnya, Mata Empat, maksudku, Edy menepis lenganku, Aku terkekeh. Menyenangkan juga melihatnya kesal begini.

Aku memilih tidak meladeni Edy lebih lanjut, lebih memilih untuk menggeser Edy dari ujung dinding dan mengintip, mencari apa yang tengah diperhatikannya sedari tadi. "Jadi apa petunjuknya?" Tanyaku, melirik Edy.

Aku bisa melihat jelas Edy yang menatapku jengkel sebelum akhirnya menghela napas. "Malam ke 34, aku masih sendiri di sini, menatap sepi sang rembulan yang mungkin juga kesepian." Aku terdiam mendengar kalimat Edy, lantas berbalik menatapnya, "kamu serius?" Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang kudengar tadi. Kalimatnya benar-benar aneh dan terlalu dramatis.

"Iya."

"Kamu mengarang? Atau hanya mengambil kalimat itu sembarang?" Aku tersenyum, berusaha untuk tidak tertawa di depannya.

Edy menatapku malas, lantas dia pergi begitu saja, meninggalkan kami. "Hei, tunggu. Maafkan aku, tapi yang kamu katakan itu memang tidak jelas." Aku berlari kecil mengejarnya, untunglah hunter yang sedari tadi berjaga di sana sudah hilang beberapa saat lalu.

"Ya, makanya kau tidak perlu tahu." Edy menjawab lalu. Aku semakin berlari mengikuti langkah kakinya yang besar.

"Jelaskan padaku. Kita satu tim 'kan? Akan lebih baik kalau bisa keluar lebih cepat." Aku mencegat langkahnya, berdiri di depannya.

"Kau sebegitu takutnya berada di sini sampai ingin cepat-cepat keluar?" Edy tersenyum tipis, lihatlah, kini dia melemparkan senyum meremehkan seperti yang dia berikan di ruang tunggu peserta.

"Tidak ya. Tapi kita memang harus bekerjasama. Jujur saja, aku juga enggan-"

Aku menghentikan kalimatku begitu melihat mulut Edy yang terbuka tanpa mengeluarkan suara apapun. Aku mengkerutkan keningku, tidak mengerti apa yang dilakukannya.

"Apaan, deh?" Aku mengambil selangkah mundur, merasa Edy begitu aneh dengan sikapnya yang tiba-tiba ini.

Bibir Edy terus bergerak tanpa mengeluarkan suara bahkan setelah aku mengatakan kalimat tadi. Lantas dia memutar bola mata kesal, dan menunjuk telinganya lalu membuat tanda silang dengan kedua tangannya.

Aku terdiam, mencoba memahami apa yang gerakan yang dia lakukan secara terus menerus. "Kau... tidak bisa mendengarku?"

Apa maksudnya ini? Apa ada kesalahan pada permainannya? Aku pun sekarang tidak bisa mendengarnya berbicara. Aku mengangguk padanya sebagai tanda bahwa aku mengerti, setelahnya aku melirik Ara yang sedari tadi berada di belakangku.

"Apa kau mendengarku?" Aku sedikit berteriak padanya, sengaja membuat gerakan bibirku lebih bisa dibacanya, kalau-kalau dia tidak bisa mendengar ucapanku.

Ara menggeleng kecil, membuat tanda silang dengan kedua tangannya. Aku menghela napas berat, apa lagi ini?

Aku menarik tangan Edy, lantas menulis sesuatu pada telapak tangannya. 'Aku juga tidak bisa mendengarmu.' Edy menatap pergelangan tangannya dengan seksama, sebelum akhirnya dia memutar jari telunjuknya, sembari membuat gerakan bibir dari kata 'ulangi'.

Aku mengangguk kecil, hendak kembali menuliskan kalimat yang sama pada telapak tangannya.

"Apa itu?" Telapak tangan Edy yang kugenggam tiba-tiba bergerak tak karuan, seperti gambar yang mengalami error.

Edy langsung menarik tangannya, terkejut. Aku yakin dia juga melihatnya. Tapi begitu aku menatap Edy, tubuhnya juga mengalami hal yang sama, seolah tubuhnya terpecah-pecah dan bergerak tak karuan, terkadang, ada warna-warna neon yang muncul seiring pergerakan itu.

Aku melihat Ara untuk memastikan keadaannya, dan hal yang sama terjadi juga dengannya dan telapak tanganku. Aku menghela napas kesal, kenapa di saat-saat seperti ini permainannya mengalami error? Padahal nyaris saja aku mendapat petunjuknya!

Kami saling menatap heran, tidak mengerti dengan apa yang terjadi dan apa yang harus kami lakukan.

"APA YANG—"

Tubuh Ara dan Edy tiba-tiba menghilang, membuatku terkejut dan nyaris terungkang ke belakang. Dan sebelum sempat aku mengetahui apa yang terjadi di sini, pandanganku tiba-tiba menghitam, seolah tertidur. Tapi aku yakin, semua indraku masih bekerja.

Jadi apa yang terjadi?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

30 April 2022

Author's Note

Bentar lagi lebaran! Kalian pada mudik gak???

Aku tidak kemana-mana T-T

Kalian yang di perjalanan hati-hati ya! Mana macet lagi kan, moga gak bosen, hwhw. (Tapi nyaris gak mungkin, sih)

Kalau begitu selamat mudik buat kalian yang mudik!

Sampai babay besok!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top