Chapter 4: Bermula

Petir menyambar keras, angin kuat terus-menerus menerjang kami. Jubah hujan yang kami kenakan tidak lagi berguna kala setengah baju kami kebahasan. Semuanya menjadi lebih buruk saat setiap kami melangkah, genangan air selalu keluar dari bagian dalam sepatu dan kaos kaki kami, jadi terasa seperti menginjak genangan air saja.

Seakan belum puas dengan kesusahan itu, dingin dan tajamnya air hujan menerpa wajah kami yang mulai terasa kaku, kedinginan. Bibir kami membiru, badan kami bergetar menahan dingin. Namun walau begitu, kami tetap berjalan untuk mencari tempat peristirahatan yang aman dari badai ini.

Seharusnya hari ini menjadi hari berkemah kami. Hari yang menyenangkan dan hangat oleh kebersamaan dan api unggun, lantas malamnya kami menatap bintang bersama, bertukar cerita.

Tapi apa daya, tuhan menurunkan badai ini di waktu yang tidak tepat bagi kami. Seluruh rencana kami hancur, tidak ada yang berjalan mulus, satu-dua jatuh sakit. Sementara kami tersesat di hutan antah berantah tanpa menemukan tempat berteduh dari kejamnya badai.

Senter-senter kami susah payah menembus gelapnya malam dan derasnya hujan. Sudah begitu pun hanya berhasil memperlihatkan sampai jarak lima meter ke depan. Tidak apa, setidaknya kami bisa melihat tanah yang kami pijaki, sehingga tidak ada yang terjatuh maupun terperosok ke dalam jurang.

Tapi kami semua tahu, kematian pasti akan datang jika kami tidak segera keluar dari hutan ini, atau setidaknya memiliki tempat untuk berteduh dan bermalam. Tidak apa jika itu gua sekalipun, setidaknya angin kencang dan derasnya hujan tidak menerjang tubuh kami secara bertubi-tubi, membuat kami lemas.

"Ketua, sepertinya saya melihat cahaya lampu di sana!" Raka berteriak sekencang mungkin, tapi suaranya tetap terdengar samar, kalah oleh suara angin yang bertabrakan dengan tanah, pohon dan bebatuan. Tapi ketua tetap mendekatinya, mendengarkan kembali apa yang dikatannya.

"Di sana!" Raka menunjuk ke arah barat dengan tangannya yang sudah berkeriput dan bergetar itu. Ketua--yang tidak lain adalah Nacht--melihat ke arah yang Raka maksud, menyipitkan pandangannya.

"Apakah ketua melihat cahaya lampu itu? Sepertinya kita bisa ke sana dan bermalam!" Raka mengulangi kalimatnya, tetap berteriak walau kini ketua sudah berada di sampingnya. Tapi tetap saja, suaranya masih teredam oleh badai, walau sudah terdengar lebih baik olehku yang berdiri di samping Nacht.

"Iya! Iya aku melihatnya! Semua! Hentikan perjalanan kalian! Kita bergerak ke sana!" Nacht sumringah. Dia lantas meneriaki teman-teman di belakangnya yang sudah berwajah lesu, menjadi semangat saat menemukan harapan yang diserukan Nacht.

"Kita selamat! Kita tidak mati malam ini!" Edy berteriak kegirangan, wajahnya tersenyum haru. Matanya yang berbinar seolah dapat menteskan air mata kapan pun. Bukan hanya Edy, aku dan yang lain pun bersorak kegirangan, setidaknya, kami masih bisa bermalam!

"Ayo semua! Kita bergegas! Sebelum ada yang membeku di tengah badai ini!" Nacht berjalan lebih dulu. Mencari jalan yang aman untuk dilewati anggota adalah tugasnya.

"Buka mata kalian lebar-lebar! Arahkan senter kalian dengan baik! Jangan sampai ada yang terluka maupun terjatuh!" Nacht kembali berteriak, sesekali kepalanya menoleh ke belakang, melirik kami, memastikan kami baik-baik saja.

Ternyata, jalan yang kami lalui tidak mudah. Sumber cahaya itu berada di bawah, dan kami bersusah payah menuruni jalanan yang licin. Banyak dari kami yang terjatuh, tertimpa, namun kembali bangkit, saling menolong. Setelah badai yang menimpa kami selama hampir seharian, terjatuh bukan apa-apa lagi jika sudah melihat tempat hangat di depan sana.

Susah payah kami melewati hutan dan semak-semak, kadang tergores oleh ranting yang tajam saat melintas. Atau harus menembus, menebas daun-daun yang tumbuh memanjang menghalangi jalan. 

Angin yang kencang pun membuat jubah hujan kami berkelepak kasar, membuat bunyi bising dan terkadang menghalangi pandangan sebab jubah ini tidak mau diam. Jika saja tas yang kami bawa tidak cukup berat, mungkin sudah ada dari kami yang terbang terbawa angin, bahkan beberapa pohon pun ada yang tumbang karenanya.

"Itu sebuah rumah!" Ara berteriak, menunjuk rumah kayu yang besar, dan halamannya yang berkali-kali lipat lebih besar dari rumahnya. Rumah itu memiliki banyak jendela, cahaya lampunya menyeruak ke luar. Oh, dan pagar putih yang berkarat itu mengelilingi halaman rumah, tinggi menjulang hingga dua meter di atas kepala kami. Membuat kami yakin, memanjatnya adalah hal yang mustahil.

"Apa pagarnya terbuka?!" Aku berteriak, rasanya, tenggorokkanku nyaris kering, sudah seharian ini kami minum sedikit untuk berhemat, dan kini kami harus berteriak untuk berkomunikasi. Huft, rasanya tenggorokkanku bisa robek kapan saja.

Viary menggeleng, merespon pertanyaanku, "Tertutup! Tapi Edy sedang mencoba membuka kuncinya! Bersabarlah!" teriak Viary, suaranya pun terdengar sumbang dan serak, pastilah semua dari kami kehausan di sini. Walau, tadi ada beberapa yang memaksa minum air hujan. Tapi lidahnya justru terasa seperti tersayat. Katanya, air yang jatuh terlalu keras dan tajam. Mungkin saja sudah menjadi es karena suhu yang terlalu dingin.

"Terbuka!" Edy berteriak girang, diikuti helaan napas lega oleh kami. Setidaknya hari ini tidak ada yang kehilangan nyawanya karena dinginnya badai.

Kami masuk satu per satu ke dalam pagar itu, melewati halamannya yang kosong dan besar. Besarnya lapangan itu membuat kami merasa berdiri di tengaj lapangan sepal bola. Entah sebanyak apa penghuninya di dalam sana, pastilah banyak.

Tapi, sesuatu yang mengejutkan terjadi, mataku menangkap sosok seorang gadis dengan gaun putih, menatap kami dari jendela pada lantai tiga, bibirnya tersenyum dengan cara yang paling mengerikan, matanya melotot, seolah bisa keluar kapan saja. Aku tersentak kaget, sebelum akhirnya lampu pada ruangan itu mati, gelap.

Takut, aku langsung memalingkan wajahku, melihat reaksi teman-teman yang lain. Tapi mereka semua biasa saja, apa mereka tidak melihat gadis tadi? Aku langsung mempercepat langkahku, merapat dengan yang lain. Penampakan tadi benar-benar menyeramkan, aku tidak ingin melihatnya lagi.

Kami semakin dekat dengan pintu rumah itu, dan entah kenapa petir terasa menyambar lebih kencang dan menggelegar seiring langkah kami mendekat ke pintu kayu yang terlihat antik itu.

Kemudian, satu persatu dari kami melangkah masuk ke teras rumah, saling menghela napas lega, tertawa kecil. Bersyukur masih diberi kesempatan untuk berehat.

Perlahan, aku menurunkan tasku yang berat itu, begitu juga dengan yang lain.

Setelahnya kami membuka jubah hujan ponco kami. Karena memakai model seperti ini lah bagian bawah baju kami kebasahan. Semoga saja penghuni rumah ini tidak keberatan jika celana kami yang basah menginjakkan kaki di rumahnya.

"Kita rapihkan dulu jas hujannya, masukkan ke dalam plastik, baru aku mengetuk pintu," ucap Nacht. Kami serempak mengangguk, segera melipat jas hujan dan memasukkannya ke dalam plastik dan menggantungkannya di tas besar kami.

Setelah kami semua selesai melipat jas hujan, Nacht menatap kami, lantas mengangguk mantap. Badannya berbalik menghadap pintu, tangannya terangkat, bersiap untuk mengetuk pintu.

Kriett...

Pintu itu terbuka sendiri.

Kami semua terperanjat, bahkan aku jadi sedikit melompat ke belakang, terkejut dengan pintu yang tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Aku benar-benar merasa merinding sekarang. Sepertinya yang lain pun merasa begitu kali ini, tubuh kami saling merapat, lantas menatap satu sama lain.

"Ahaha, mungkin memang kenopnya rusak atau semacamnya. Kita masuk saja." Nacht tertawa canggung, benar-benar terdengar seperti tawa yang dipaksakan. Tapi entah kenapa kami ikut tertawa canggung sepertinya, mengiyakan kalimatnya. Lagipun, badai ini terlihat lebih kejam dan menakutkan dari pintu yang terbuka sendiri.

Kami masuk ke rumah itu secara bersamaan. Walau tadi kami memang bersikap seolah tidak masalah dengan pintu yang terbuka sendiri, bukan berarti ketakutan kami telah hilang sepenuhnya.

Seketika, rasa takut kami seolah hilang begitu melangkah melewati pintu masuk, rumah ini benar-benar indah dan terasa hangat. Dingin yang beberapa saat lalu menjalajari tubuh kami seolah lenyap, suara hujan deras di luar yang membuat telinga kami pekak mulai menyamar.

Ruangan ini sangat besar, maksudku benar-benar besar. Aku tidak tahu ini aula atau ruang tamu, sofa di dekat api unggun itu terasa jauh dan kecil dari posisi kami sekarang. Belum lagi dengan seluruh ruangan ini yang menggunakan pencahayaan lampu berwarna kuning, entah kenapa membuatnya semakin terlihat elegan dan antik.

"Permisi!" Nacht berteriak di ambang pintu, tapi tidak ada yang menjawab kecuali suaranya yang menggema.

Kami saling pandang, tidak ada satu pun dari kami yang paham akan situasi ini.

"Permisi! Apakah ada orang?" Nacht kembali berteriak, dan suaranya kembali bergema. Aku melihat sekitar, tapi tidak ada satupun suara yang bereaksi dari panggilan Nacht, tidak suara langkah kaki mendekat ataupun suara pintu yang terbuka.

"Mungkinkah mereka semua sudah tertidur?" ucapku sembari mendekati Nacht. Nacht mengangguk kecil, "mungkin."

"Kalu begitu, kita beristirahat di teras saja." Nacht menghela napas pelan, membuat yang lain pun menghela napas kecewa. Kacau sudah bayangan kami yang akan tidur dengan selimut di dalam rumah yang hangat ini. Yah, tapi setidaknya masih ada atap yang melindungi kami.

Dengan pasrah, kami melangkah menuju pintu, hendak keluar dari rumah ini.

Bruk!

Pintu di depan kami tiba-tiba menutup dengan kasar, bunyinya berdebum, menggema ke seluruh ruangan, membuat kami terkejut, bahkan Viary sampai berteriak.

"Wah, tadi itu mengagetkan," ucap Edy, mengelus-ngelus dadanya sendiri dengan tangannya yang sudah tidak begitu mengeriput seperti sebelumnya.

"Angin di luar pastilah masih besar," gumamku sebelum berjalan menuju pintu, mengenggam kenopnya, hendak membuka pintu itu.

"Eh?"

Apa ini? Pintunya... Tidak mau terbuka?

Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, tanganku yang terus berusaha membuka pintu mulai berkeringat.

"Kenapa?" tanya Nacht, mendekat kepadaku. Aku menggeleng kecil, berusaha tenang, "pintunya, tidak mau terbuka," ucapku dengan suara parau.

"Minggir, aku akan mencoba membukanya." Raka maju, memegang kenop pintu, memutarnya, tapi sama saja! Pintunya tetap tidak mau terbuka!

Apa ini sebenarnya? Kenapa pintunya tiba-tiba terkunci!? Apa ini ada hubungannya dengan gadis di jendela tadi? Ini sebenarnya rumah apa?

"Tenanglah, Luna. Pintunya hanya terkunci, lagipun, kita jadi bisa bermalam di dalam sini." Edy mendekatiku, menepuk pelan punggungku, berusaha menenangkanku.

Tapi tetap saja, entah kenapa aku merasa ada yang salah di sini! Semua yang terjadi... terlalu janggal! Memangnya mungkin, pintu yang dengan mudahnya terbuka tadi, tiba-tiba terkunci sendiri? Ini bukan lagi menutup sendiri, tapi terkunci dengan sendirinya! Belum lagi, dengan gadis di jendela tadi ... 

Semuanya terlalu aneh!

"Kalian ... tadi mungkin tidak melihatnya, tapi ada seorang gadis yang muncul di jendela! Dia ... dia ... tersenyum dengan cara yang mengerikan!" Aku berteriak, memeluk tubuhku sendiri, kembali merasa merinding hanya dengan mengingatnya.

"Hanya seorang gadis, tidak perlu takut seperti itu," ucap Edy sembari menggiringku menjauh dari pintu dan mendekat ke dinding, menurunkan tas punggungku.

"Kita semua akan baik-baik saja, oke?" Ucap Edy lagi, menatapku lembut. Aku mengangguk kecil, memilih mempercayainya.

"Kalau begitu turunkan saja tas kalian, kita akan bermalam di sini, esok biar aku jelaskan pada pemilik rumah ini, syukur jika kita tidak ditendang keluar di tengah tidur kita." Nacht menatap kami semua, berkata demikian sembari menurunkan tasnya.

"Sayangnya kita tidak bisa menggunakan sleeping bag. Aku tidak yakin menggunakannya adalah hal yang sopan. Setidaknya lantai kayu ini lebih hangat dari tanah basah di luar sana." Aku dan yang lain mengangguk mendengar ucapan Nacht, setelahnya kami menurunkan tas, beberapa mengeluarkan kain untuk menjadikan selimut. Lantas kami mencari posisi tidur yang nyaman walau hanya bersender pada dinding. Kami tidur ==berdekatan agar menjaga tubuh tetap hangat setelah kedinginan di luar tadi.

"Satu langkah, dua langkah, sebentar lagi, kita akan bertemu!" Aku bergidik ngeri begitu mendengar suara itu, refleks berdiri. Suara yang cempreng dan tawa yang menyeramkan terdengar di sela-sela senandung lagunya.

Seorang gadis muncul begitu saja dari kegelapan, sepertinya, dia sudah duduk di sofa yang sedari tadi membelakangi kami.

Gadis itu! Gadis yang kulihat di jendela tadi! Bahkan senyumnya yang membuatku merinding itu masih terlihat sama.

"Wah, ada tamu!" Gadis itu tertawa kecil, bibirnya terangkat hingga ke ujung matanya, membuat giginya yang rapih dan sedikit tajam nampak dan matanya menyipit sempurna.

"Apa itu di tangannya?" tanya Viary, menyipitkan matanya, berusaha melihat lebih jelas, karena jarak kami dan gadis itu masih cukup jauh.

Aku melangkah mundur seiring langkah gadis itu yang mendekat, membuat teman-teman menatapku heran.

"K,kepala?!" Viary berteriak histeris begitu melihat apa yang di bawa gadis itu.

Aku pun melihatnya! Gadis itu membawa kepala manusia dengan menjambak rambutnya! Kemana badannya? Apa yang dilakukan gadis ini?

Aku ikut berteriak, melangkah mundur, hingga punggungku terpentok oleh pintu, buntu!

"Ah, maksud kakak kepala ini?" Gadis itu berhenti berjalan, mengangkat kepala itu hingga sejajar dengan kepala kecilnya.

"Aku sedang membuat boneka! Hehe, apa kakak-kakak juga mau ikut membuat boneka bersamaku?" Gadis itu tersenyum lebar hingga memenuhi setengah wajahnya, gigi-gigi putihnya terlihat jelas dan meruncing. Sekejap matanya dipenuhi oleh warna merah darah yang mengalir, menyebar dari pupilnya sebelum darah itu merembes, mengalir ke pipinya.

Aku berteriak histeris, mundur mendekati pintu. Memutar-mutar kenopnya, menggedor layaknya orang gila.

BUKA PINTUNYA!

"A,apa yang akan dia lakukan?" Aku menoleh mendengar suara Viary bergetar, ketakutannya pastilah sama besarnya denganku.

"Lari! Jangan sampai tertangkap olehnya!" Nacht berteriak, membuat kami lari berhamburan, berpencar, tidak ingin kepala kami bernasib sama dengan kepala yang digenggam gadis itu.

"Ehh, tidak mau ya? Tapi, main kejar-kejaran juga asik kok! Kalau begitu... siapa pun yang tertangkap olehku atau paman berjubah ini. Akan menjadi bonekaku!" Gadis itu tertawa, seiring dengan munculnya dua sosok pada samping kiri dan kanannya. Sosok itu mengenakan jubah dan topeng.

"Kalau begitu, aku hitung mundur dari sepuluh, baru aku mulai mencari ya!" Gadis itu berteriak.

Gawat, gawat, gawat!

Aku terus berlari seorang diri, berbelok diantara lorong, aku tidak tahu kemana, aku hanya ingin kabur darinya!

"Sepuluh!"

AAA! kenapa jadi beginiii???

"Sembilan!"

"Delapan!"

Suara gadis itu terus menggema, terasa dekat walau aku telah berlari sejauh mungkin.

"Tujuh!"

"Enam!"

"Lima!"

Akhhh! Kemana? Aku harus sembunyi dimana?!

"Empat!"

"Tiga!"

Aku berbelok, memasuki sembarang ruangan. Lantas menutupnya, mengunci pintu itu.

"Dua!"

Suara gadis itu masih terdengar, seolah dirinya masih berada dekat denganku.

"Satu" Gadis itu terkikik, lantas tawa yang seharusnya terdengar manis itu malah terdengar mengerikan.

"Siap atau tidak... Aku datang~"

.

.

.

.

.

.

.

Edited 14/09/23

17 April 2022



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top