Chapter 33: Bertemu Kembali
"Edy!" Aku langsung membuka pintu kamarnya.
Bruk!
"Astaga!"
"Aduh ..."
"Lita! Hati-hati dong!"
Aku terdiam di depan pintu, bingung harus mengatakan apa. Edy terjatuh, sepertinya karena aku terlalu keras membuka pintu dan kebetulan Edy berada di dekat pintu. Sementara itu Ara yang berada di ujung sana berseru kecil sembari menghampiri Edy.
"Eh ... Maaf." Aku berjongkok dan mengambil tongkat Edy dan setelahnya Ara membantunya berdiri, namun berkali-kali dia jatuh walau Ara sudah membopongnya, sepertinya dia sungguhan tidak bisa berjalan.
"Sepertinya memang tidak bisa." Edy menghela napas kecil sembari menghempaskan dirinya pada kasur rumah sakit, aku masih diam di samping kasur tanpa mengucapkan apa-apa, entah kenapa aku merasa canggung dan aneh.
"Kalau begitu, memang harus pakai kursi roda dulu." Edy mengangguk, mengiyakan ucapan Ara. Lantas setelahnya Ara mendorong kursi roda mendekat pada Edy, sedangkan aku masih di saping kasur tanpa berbuat apa-apa. Tapi sungguh! Kenapa aku jadi canggung begini? Aku seperti ... merasa aneh bertemu dengan Edy lagi.
"Lita, tolong dorongin Edy ya? Ara mau ke Mama dulu."
"Hah? Memangnya Edy mau kemana?" Aku langsung bertanya padanya, panik. Dia seriusan ninggalin aku sama Edy? Ngebayanginnya aja udah canggung. Enggak mau!
"Yah, gak tau. Tanya aja Edy, kenapa tanya Ara? Udah ya, Ara pergi dulu." Setelanya Ara langsung pergi begitu saja setelah menyerahkan kursi rodanya padaku.
"Eh, Ara!"
"Dadah!" Ara mengabaikanku dan keluar dari kamar tanpa memedulikanku, sekarang aku benar-benar bingung harus bagaimana.
"Ehm, jadi Edy, mau kemana?" Aku menguatkan peganganku pada kursi roda yang sedikit berjalan, karena Edy si mata empat itu tiba-tiba naik tanpa bilang-bilang. Coba kalau tidak kupegang, jatuh baru tau rasa!
"Enggak tau, keliling aja. Kamu udah lama 'kan di sini?"
"Enggak, baru dua hari yang lalu."
"Iya itu udah lama." Edy mengenduskan napas, aku mungkin tidak bisa melihat wajahnya, tapi bisa kubayangkan Edy yang memutar bola matanya. Kebiasaannya yang menyebalkan itu masih saja belum hilang.
"Terserah deh." Menyebalkan memang, tapi entah mengapa aku sedikit lega karena permainan itu tidak merubahnya seperti permainan itu merubah El. Orang di depanku ini setidaknya masih Edy yang kukenal.
Kami berjalan santai melewati koridor menuju lift. Yah, Edy tidak jalan sih, hanya aku yang berjalan, dia hanya enak-enakan di kursi roda.
"Jadi, bagaimana permainannya?" Edy memulai percakapan begitu kami sampai di lift. Lift itu kosong, hanya ada kami berdua, mungkin karena itu dia baru membawa topiknya sekarang.
"Yah, buruk. Aku enggak mau main itu lagi." Aku menghela napas, mau berapa kali diingat pun, kesenangan yang kurasakan di awal-awal permainan tidak dapat teringat, mungkin tertutup kenangan buruk lainnya yang terjadi setelahnya.
"Bukan itu maksudku, kamu ini bodohnya tidak menghilang ya?"
"Hah?" Aku mengangkat sebelah alisku, menatap Edy yang sedikit menoleh, walau sedikit tapi aku masih bisa melihat wajah merendahkannya yang sangat sangat sangat menyebalkan itu. Dia ini, benar-benar deh!
"Kau ini masih aja ya! Ujung-ujungnya hanya aku tuh yang bertahan!" Aku berseru tidak terima. Enak saja dia bilang aku bodoh, padahal aku juga ikut andil memecahkan petunjuk-petunjuknya! Dasar sok kepinteran!
"Eh! Kalau aku-" Edy menghentikan kalimatnya, dia menatapku beberapa saat sebelum akhirnya memalingkan wajah, kembali menatap ke depan.
"Kamu bakal bertahan sampai akhir kalau bukan karena Viary?" Aku menghela napas kecil, melanjutkan kalimatnya.
Dan sepertinya dugaanku benar, Edy langsung menolehkan kepalanya, menatapku terkejut. "Bagaimana kamu bisa tahu?" Aku mengendikan bahu sembari tersenyum kecil, "Feeling?"
Setelahnya pintu lift terbuka, aku mendorong kursi dorong itu keluar bersamaku. Di lantai satu, ada lebih banyak orang berkumpul. Akan tidak nyaman jika membicarakan hal ini di ruangan seramai ini, tapi aku punya tujuan yang lebih baik.
"Ha, telat tapi. Aku yakin Ara lebih dulu nyadar Viary mencurigakan." Edy balas mengangkat bahu, tertawa kecil, tawa yang lebih terdengar mengejek. "Enggak begitu ya!" Aku menjitak kepalanya dari belakang. Dia ini! Tidak ada habis-habisnya!
"Sakit! Kamu ini kasar ya? Masa mukulin orang lagi sakit?" Dia menoleh ke belakang, memelototiku tidak terima.
"Yang sakit itu kakimu, bukan kepala! Enggak usah berlebihan." Aku menjawab tidak peduli, lagian siapa yang minta dia untuk cari masalah?
Tidak lama, akhirnya kami keluar dari gedung rumah sakit, berpindah ke taman yang juga masih satu komplek dengan rumah sakit. Di sini lingkungannya lebih segar dan besar, juga tidak begitu banyak orang-orang yang berkurumun, paling-paling hanya para anak kecil yang sedang bermain.
Aku memilih tempat yang agak sepi dan jauh dari anak-anak itu agar kami bisa bicara dengan leluasa, sebuah kursi dengan pohon rindang di sampingnya. Terletak cukup jauh dari air mancur yang berada di tengah taman, menjadi pusat sekaligus tempat paling ramai di taman ini.
"Benar hanya kamu yang berhasil keluar?" Edy kembali bertanya begitu aku sudah duduk di kursi taman, sedangkan dia tetap di kursi rodanya yang berada di sampingku. Aku sempat terdiam sebentar sebelum mengangguk kecil, bahkan aku memalingkan wajah dari matanya yang menatap lurus wajahku.
"Ara? Apa Viary juga-"
"Tolong jangan, aku belum mau membahasnya." Aku langsung memotong ucapannya, mengalihkan pandangan menjadi menatap lampu taman yang tidak menyala di sisi kananku.
Walau sekarang Ara sudah baik-baik saja, tapi aku masih belum bisa memaafkan Viary yang mengorbankan Ara begitu saja. Memang Viary bilang bukan dirinya yang menyebabkan Ara tereliminasi, tapi aku tidak bisa mempercayainya.
Suasana menjadi sunyi diantara kami setelahnya. Kalau saja Edy tidak membawa topik itu, mungkin tidak akan secanggung ini sekarang. Aku tahu dia penasaran, tapi ... entahlah, aku kurang suka membahas Viary untuk saat ini, setidaknya sampai aku memaafkannya.
"Tapi syukurlah kau selamat." Aku nyaris berjengit saat Edy tiba-tiba menepuk pundakku. Dia menatapku begitu lagi, seperti saat melarangku untuk pergi mencari para Hunter, hanya saja sekarang dia terlihat begitu lega.
"Yah, bukan masalah besar sih. Pada akhirnya Ara dan Viary juga selamat." Aku mengedikkan bahu, berusaha menghilangkan suasana yang tiba-tiba terasa aneh.
"Yah itu aneh sih. Secara cuma kamu yang berhasil keluar. Karena itu tadi aku terkejut saat kamu bilang cuma kamu yang berhasil keluar." Edy melipat tangannya, bahkan disaat kondisinya masih begitu, dia masih saja memikirkan hal-hal rumit begitu. Huft, dasar.
"Iya itu aneh. Gimana kalau kita nonton aja rekamannya? Mungkin kita bisa tau dari sana." Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana. Pria tadi bilang rekamannya akan dikasih, mungkin saja dia sudah mengirimnya padaku.
"Rekaman? Kamu punya rekamannya?" Edy memajukan kepalanya untuk melihat layar ponselku, aku mengangguk sembari mendorong kepalanya untuk menjauh, dia menghalangiku untuk melihat layarnya.
"Tapi bukannya pasti lama? Kita berapa jam di sana?" Aku mengabaikan pertanyaan Edy dan memeriksa emailku, ada.
"Tidak kok. Cuma dua jam lebih." Aku menunjukkan durasi videonya pada Edy, lantas setelahnya matanya membelalak kaget, "cuma dua jam!?"
"Yah, aku juga kaget. Aku pikir kita berada di sana setidaknya lima jam paling sebentar." Aku menarik kembali ponselku darinya dan menekan tombol play. Lantas tidak lama setelanya, video itu mulai.
Seperti saat itu, permainan ini dimulai dengan prolog sekelompok pendaki yang tersesat dan terjebak badai, dan pendaki itu adalah kami, para Runner. Sampai akhirnya orang-orang itu menemukan rumah untuk berteduh.
"Padahal jelas banget udah mencurigakan rumahnya, masih juga masuk." Aku menggerutu. Memang tipikal horor, sudah tahu mencurigakan, masuk juga.
"Yah, pada dasarnya yang nyadar cuma karakter kamu doang. Aku bahkan di prolog enggak ngeliat apa-apa." Edy menimpali.
"Oh iya? Berarti memang aku yang cuma lihat Little Girl di awal?" Sebenarnya benar juga, aku baru menyadari kalau sudut pandang di rekaman ini agak beda, jadi seperti menonton film.
"Iya, makanya cumakamu yang ketakutan 'kan?" Edy tersenyum mengejek, aku refleks langsung memukulnya, "memang naskahnya begitu ya! Aku enggak tahu kenapa di prolog aku dapet karakter yang penakut begitu." Aku mengenduskan napas kesal, mengingat hal itu aku jadi malu sendiri.
Edy hanya mengaduh pelan sebagai respon, kami kembali fokus pada layar ponsel yang menampilkan ke-enam orang itu masuk ke rumah itu. Aku mulai mengekerutkan bibir, malu. Ingin rasanya mempercepat adegan ini. Tapi kalau aku melakukan itu, Edy pasti semakin mengejekku.
Eh tunggu, di prolog kan-
"Hanya seorang gadis, tidak perlu setakut itu."
Aku refleks berseru kecil sembari menutup mulutku dengan sebelah tangan begitu mendengar dialog itu dan Edy di dalam layar sana yang menggiringku menjauh dari pintu dengan mengenggam kedua lenganku. Edy juga sepertinya sama paniknya, di buru-buru mempercepat adegan itu hingga adegan dimana Little Girl datang. Kami sempat bertatapan selama beberapa detik setelahnya, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan kembali ke layar ponsel. Akh! Semakin aneh saja 'kan suasananya?!
Setelahnya kami menonton rekaman itu dalam diam. Kami bisa tahu semua yang terjadi oleh seluruh pemain karena pria itu mengirim rekaman seluruh pemain, bukan hanya rekamanku. Sepertinya memang ada semacam kamera tidak terlihat yang selalu mengikuti masing-masing dari kami sehingga penonton bisa melihat keberlangsungan permainan dari sudut pandang kamera.
Aku dan Edy tidak menonton semuanya dalam durasi dua jam, kami percepat rekaman itu dan lebih sering melewati bagian-bagian yang tidak penting. Kami hanya melihat rekaman saat para pemain tertangkap dan mencari bagian disaat para pemain yang mendapat peran Hunter jadi kehilangan kendali atas kesadarannya.
Edy mulanya tidak ingin memperlihatkan rekaman saat dirinya tertangkap, tapi aku memaksanya. Kita tidak bisa tahu alasannya jika tidak melihat semuanya 'kan?
Dan ternyata dugaanku benar, Edy tertangkap oleh Little Girl karena Viary mendorongnya. Lebih parah lagi Raka, dia tertangkap karena Viary menjebaknya. Anak itu benar-benar tidak punya hati! Bagaimana bisa dia sebegitu teganya melakukan itu? Terlebih, ternyata tertangkap oleh Little Girl tidak sesederhana itu. Little Girl benar-benar menyiksa mereka yang tertangkap, tidak seperti saat aku melihat Viary yang tertangkap Little Girl saat itu.
"Apa kamu enggak marah sama Viary?" Aku menghentikan rekaman itu, menatap Edy. Maksudku, yang dia lakukan itu benar-benar keterlaluan. Padahal Edy sudah berusaha menutupi apa yang Viary lakukan, tapi itu balasan Viary.
"Sudahlah, jangan membahasnya. Tidak akan ada yang berubah walau kita memarahinya juga." Edy menghela napas dan kembali memutar rekaman itu. Sepertinya dia memang benar-benar tidak ingin membahasnya. Tapi sungguhan dia tidak merasa apapun? Padahal kupikir dia tiepa yang akan marah besar jika diperlakukan seperti itu.
Begitu selesai melihat rekaman Edy, kami beralih ke rekaman Viary, Ara dan seterusnya, kemudian dilanjutkan dengan para pengejar. Setelah mengetahui apa yang terjadi dalam berbagai sisi, aku bisa menyimpulkan beberapa hal, tapi pikiran dan perasaanku jadi campur aduk. Terutama karena Viary, setelah melakukan semua itu pada rekannya, dia tiba-tiba saja mengalihkan perhatian pengejar saat kami berdua berusaha keluar dari permainan itu, padahal bisa saja dia kabur dan membiarkan dua pengejar itu tetap mengejar kami.
"Aku bisa menyimpulkan beberapa hal, tapi belum pasti." Aku mengangguk, mendengarkan.
"Yang pasti, kelumpuhan yang terjadi sekarang itu tergantung dengan apa yang dilakukan Little Girl saat kita tertangkap. Seperti aku, kakiku diambil olehnya, sekarang otakku jadi memiliki sugesti bahwa aku tidak bisa berjalan, juga seperti Raka yang kamu katakan tidak bisa bersuara walau sebenarnya kondisi kami berdua baik-baik saja secara fisik. Dan hal itu menjelaskan kenapa Viary dan Ara masih baik-baik saja, karena mereka tidak pernah tertangkap atau dieliminasi oleh Little Girl. Untuk Hunter dan Little Girl ... aku masih bingung." Edy berdiam setelah menjelaskan hal itu.
"Kalau mereka, sepertinya karena kendali tubuh mereka diambil alih? Aku tidak tahu bagaimana penjelasan sainsnya, saat Hunter itu mendorongku ke ruangan dimana Flora berada, El bisa berbicara padaku walau hanya sebentar. Dan kini, dia benar-benar tidak bisa diajak berbicara dan sangat mudah panik, ketakutan."
"Saat terbangun pertama kali pun, dia ribut menyuruh kita semua pergi. Awalnya aku mengira itu karena dia masih shock atau semacanya, tapi saat melihat Moonx mengatakan kepada seseorang untuk 'pergi dari pikiranku', atau 'aku tidak mau mendengarmu' aku jadi yakin sesuatu terjadi di dalam 'pikiran' mereka? Akh, ini agak susah dijelaskan, seperti ..." Aku mendesis, mencoba mencari kata yang tepat.
"Seseorang mengendalikan pikiran mereka?"
"Ya! Itu! Aneh memang, tapi itu menjelaskan kenapa sekarang kesadaran tiga orang itu terkadang tiba-tiba 'hilang' seperti melamun atau tidak bisa diajak bicara." Aku menjelaskan dengan semangat, untunglah Edy bisa mengerti walau aku merasa ucapanku cukup berbelit.
"Yah, memang agak tidak masuk akal. Tapi itu satu-satunya yang bisa menjelaskan situasi mereka." Edy mengangguk-angguk.
"Hanya ... aku tidak yakin kondisi El bisa pulih sepenuhnya. Maksudku ... keadannya benar-benar buruk sekarang. Walau dia ada di sini, entah mengapa aku tidak bisa merasakan keberadaannya." Aku menghela napas kecil. Sebenarnya memang kondisi mereka yang paling buruk. Menurut dokter, Edy, Raka dan Nacht masih sembuh dengan terapi. Karena kasus mereka hanya sugesti kecil yang tercipta karena trauma. Memang El pun tercipta karena trauma, tapi ... lebih rumit. Mungkin bisa saja sembuh, tapi tidak ada kepastian.
"Kamu ... mau kupeluk?"
"Hah?" Pikiranku tiba-tiba buyar saat mendengar Edy berkata seperti itu.
"ASTAGA!" Aku berjengit mendengar seruan itu dari samping Edy. Ara! Dia mendengarnya juga?
"Astaga Edy, Lita ... Ara tidak tahu kalian-"
"ENGGAK! Jangan ngarang sembarangan, oke?" Aku langsung memotong ucapannya, lantas setelahnya menatap tajam Edy. Kenapa dia berbicara hal seperti itu sih?
"Oh, dia sudah boleh keluar kamar?" Aku baru menyadari keberadaan El, padahal dia ada di samping Ara. "Udah, tapi harus didampingi sih. Dokter bilang, bisa saja dia tiba-tiba panik lagi." Ara tersenyum tipis, senyum yang lebih terlihat menutupi kesedihannya menurutku. Benar juga, daripada aku, Ara pasti lebih merasa kehilangan.
"A ... ra." Mataku membulat begitu mendengar El memanggil nama Ara, aku langsung tersenyum sumringah. "Iya, Ara di sini." Ara mengeratkan genggamannya pada tangan El tersenyum walau mata El masih terlihat kosong dan tidak menatap balik mata Ara.
"El sudah...?" Aku bertanya pada Ara, apa itu berarti kemungkinan El untuk bisa sembuh semakin besar? "Iya! Makanya Ara bawa El ke sini sekalian jalan-jalan, dia udah mengenali Mama juga!" Ara menjawab dengan semangat, aku ikut tersenyum mendengarnya.
"El, El tau siapa aku?" Aku mendekat padanya, sedikit menunduk agar kepala El yang juga menunduk bisa melihat wajahku.
"..."
"El?"
El tidak menjawab apa pun, aku menghela napas kecil, mengangkat kepalaku dan berusaha tersenyum kecil pada Ara. "Memang perlu waktu kayaknya." Ara menatapku prihatin dan menunduk sedih, "maaf ya Lita."
"Enggak apa-apa! Memang bajingan ini yang enggak inget kok, lihat aja nanti pas dia benar-benar sadar, aku akan membalasnya!" Aku tersenyum lebar, Ara tertawa.
"Ara mau ke kamar Nacht, Raka juga lagi ada di sana." Ara menunjuk lift di ujung koridor yang terletak tidak jauh dari kami.
"Oh? Mereka sudah tidak apa-apa?" tanyaku. Seingatku kemarin mereka masih heboh dan panik.
"Sudah lebih tenang, hanya masih pendiam sedikit dan ... yah." Aku langsung mengangguk mengerti, mungkin kondisinya masih sama seperti Edy. Sudah tidak begitu panik, tapi masih mengalami kelumpuhan.
"Ayo, Edy ikut 'kan? Kalau tidak, kutinggal di sini." Aku menoleh, menatap Edy yang sedari tadi hanya diam mendengarkan aku dan Ara berbicara.
"Kamu tinggal pun aku masih bisa ngurus sendiri." Edy mengenduskan napas arogannya itu, ck, masih ada saja. "Ya sudah aku tinggal." Aku berbalik, lama-lama aku bisa kesal kembali dengannya.
"Aku 'kan enggak ada bilang enggak mau ikut?" Edy berseru.
"Tadi kamu bilang bisa urus diri sendiri 'kan?" Aku mengendikan bahu tidak peduli, siapa suruh sok jagoan tadi?
"Lita." Ara menatapku, memintaku untuk membantu mendorong Edy dengan tatapannya.
"Hahh, oke." Aku berbalik dan menghampiri Edy, mendorongnya.
"Kalau misalnya ada kamu, kenapa gak kamu aja yang dorongin? Haha, lumyan hemat- AKH!" Aku menghentakkan kursi roda itu ke depan dan membuatnya nyarsis terjatuh, aku tertawa kecil penuh kemenangan.
"Sialan, aku bisa jatuh!" Edy mendesis, menatapku tajam.
"Siapa peduli?" Aku tersenyum puas, mengendikan bahu.
"Lita! Edy!" Ara yang sudah berjalan cukup jauh berseru, menatap tajam aku dan Edy. "Ya!" Aku menjawab malas, Ara ini kenapa selalu memihak Edy sih?
Aku buru-buru mengejar Ara yang sudah berada di depan lift, Edy sempat menggerutu karena aku mendorongnya terlalu cepat tapi aku abaikan.
"Gila, kamu pikir ini mobil-mobilan bisa dibawa ngebut-ngebut heuh?" Edy mendesis kecil begitu kami sampai di depan lift, aku hanya menujulurkan lidah sebagai balasan.
Ting!
Lift itu berbunyi begitu berhenti di lantai satu, tempat kami berada. Setelahnya pintu itu bergeser perlahan membuka.
Kami semua terkejut begitu melihat siapa yang ada di dalam. Viary. Iya juga, dia masih ada di rumah sakit ini, jadi tidak mungkin kami tidak berpas-pasan dengannya.
"Aku lewat tangga aja." Aku langsung memalingkan wajah dan hendak berbalik, mengambil jalan lain.
"Jangan ngaco, gimana kamu bawa aku naik tangga? Mau gendong aku?" Aku refleks menempeleng kepalanya, dia ini kalau bercanda enggak memperhatikan tempat ya?
"Udah ayo Lita, nanti liftnya nutup." Ara berucap pendek, nadanya yang lembut itu sedikit berubah dingin, membuatku langsung menurutinya dan memasuki lift itu.
Hening menyelimuti sampai pintu lift itu benar-benar tertutup, bahkan senyum Ara pun sedikit memudar. Memang Viary membawa suasana buruk.
"Ehm ... aku minta maaf." Viary langsung mengatakan itu begitu pintu lift tertutup sempurna, menyisakan kami berlima di dalam lift.
"Terutama Edy, aku salah waktu itu." Edy tidak langsung membalas ucapan Viary, dia bahkan tidak menatap balik Viary. Ara juga tidak mengatakan apapun, mungkin karena menunggu Edy membalas ucapan Viary lebih dulu. Bagaimana pun Edy lah korbannya di sini.
"Aku kesal melihatmu baik-baik saja sedangkan aku harus seperti ini selama beberapa waktu ke depan atau mungkin selamanya." Edy bersuara setelah meninggalkan lift ini hening selama beberapa detik.
"Tap-"
Ting!
Lift itu lebih dulu sampai sebelum Edy sempat menyelesaikan kalimatnya. "Kita keluar dulu." Edy menggerakan kursi rodanya seorang diri, aku yang mulanya memegang gagangnya terkejut sebelum akhirnya berlari kecil mengikutinya.
"Kau sudah merasa bersalah, aku juga tidak ingin membebanimu dengan perasaan bersalah itu selamanya. Aku memaafkanmu, tapi tidak akan mudah bagiku untuk melupakan apa yang kauperbuat. Tapi aku memaafkanmu." Aku terdiam mendengar perkataan Edy yang bisa memaafkannya secepat itu. Maksudku, sungguh? Setelah apa yang Viary lakukan? Dia benar-benar aneh!
"Ma, makasih Edy." Viary tersenyum senang. Suaranya terdengar aneh karena dia berusaha menahan tangis.
"Kami mau ke kamar Nacht, di sana juga ada Raka, Via mau ikut?" Ara tersenyum tipis pada Viary. Aku membelalak terkejut mendengar ajakannya, serius? Ara mengajak Viary?
"Ah tidak usah. Raka sepertinya masih menghindariku, tapi aku bisa paham. Jadi lebih baik aku tidak ke sana." Viary balas tersenyum. Ara mengangguk kecil dan pamit, barulah setelahnya kami meninggakannya dan pergi menuju kamar Nacht.
"Kenapa kamu mengajaknya!?" Aku berbisik begitu kami sudah cukup jauh dari Viary.
"Udahalah Lita, dia udah minta maaf." Bukannya Ara yang menjawab, malah Edy yang membalas ucapanku.
"Enggak maksudku, dia sudah ... masa kalian biasa saja?" Aku mengeluh tidak terima, aku masih kesal padanya, dan aku semakin kesal karena Ara dan Edy juga tidak sepimikiran denganku.
"Kamu tahu enggak Viary cuma anak SMP? Untuk anak seumuran dia, bisa ngelewatin itu semua aja udah berat. Dia panik, dia takut, Lita. Enggak mudah untuk anak seumurannya tetap pada logikanya saat berada di situasi seperti itu." Edy mendengus kecil, dia terlihat jengkel dengan ucapanku barusan. Aku terdiam, terkejut tapi masih tidak bisa menerima.
"Lita kalau masih belum mau memaafkan ya tidak apa. Tapi jangan sampai Via jadi rugi juga karena perbuatan Lita. Ara tahu bukan hal yang mudah memaafkan seseorang, Ara bahkan masih sedikit kesal dengan perusahaan itu, tapi kemarahan Ara tidak akan berpengaruh apapun, jadi lebih baik Ara berusaha untuk memaafkannya dan fokus pada apa yang terjadi di depan." Ara tersenyum kecil padaku, menepuk pundakku pelan. Aku hanya mendengus, tidak menjawab apapun.
Yah, Ara ada benarnya. Mungkin aku akan mencobanya, tapi perasaanku masih janggal. Apa karena egoku terlalu tinggi? Tapi yang Viary lakukan memang menyebalkan! Kterlaluan malah!
"Udah, dorong aja yang bener!" Edy berdecih, aku yang mendengarnya malah jadi semakin kesal. "Enak banget ya, ongkang-ongkang aja?" Aku tersenyum penuh sarkasme, dan sialnya dia malah mengangguk, balas tersenyum. Jadilah aku hanya bisa mendengus dan mendorongnya, karena Ara masih melihat.
"Permisi." Ara membuka pintu dengan pelan dan sopan, khasnya sekali. Dan begitu pintu itu terbuka sepenuhnya. Aku bisa melihat Raka dan Nacht di dalam kamar itu.
"Siapa?" Nacht bertanya, aku sempat kebingungan mendengar pertanyaan Nacht pada awalnya, padahal kami berada di ambang pintu, bisa terlihat dengan jelas. Tapi rasa bingung itu hilang begitu aku mengingat bahwa dia tidak bisa melihat.
"Ara, Lita, El dan Edy." Ara menjawab pendek sembari melangkah masuk, aku dan Edy mengikutinya di belakang.
"Kalian tidak apa-apa?" Nacht tersenyum sumringah. Raka pun sepertinya terkejut begitu melihat kami, dia sampai berdiri dari kursinya.
"Kami tidak apa-apa." Ara tersenyum dan mendekati salah satu sofa dan membantu El untuk duduk di sana.
"Kamu kenapa ngekorin Ara?" Aku bertanya ketus pada Raka yang bahkan tidak menyapa kami atau menghampiri kami, dia malah langsung mengekori Ara begitu.
Raka menatapku sesaat sebelum akhirnya dia melihat ponselnya dan mengetik sesuatu di sana. "Bukan urusanmu." Aku terkejut begitu mendengar suara google keluar dari ponselnya, mendengar nada dan suara yang aneh dari google mengucapkan kalimat ketus seperti itu, membuatku tertawa lepas.
"Aduh, kamu kreatif banget! Hahaha. Kenapa enggak diketik aja coba?" Aku masih tertawa, sungguh deh, bahkan Edy pun tertawa. Tapi memang caranya itu aneh!
"Edy, Lita." Ara langsung menatap kami tajam, aku langsung bungkam, begitupun dengan Edy. Sepertinya Edy juga sudah tahu semenyeramkan apa Viary saat marah setelah menonton pertandingan babak bonus di rekaman tadi.
"Haha, aku tidak tahu Ara bisa segalak itu?" Nacht tertawa, pria dengan penampilan macho itu sifatnya masih saja ceria. Aku ikut tertawa kecil, dia benar, orang-orang pasti kaget saat pertama kali melihat Ara marah.
Yah, mungkin Ara dan Edy ada benarnya. Setidaknya mereka masih orang yang kukenal, setidaknya mereka masih selamat dan berada di sini. Walau masih kesal dengan Viary dan perusahaan itu, tapi setidaknya aku masih bisa berkumpul dengan mereka.
-END-
.
.
.
.
.
.
.
.
18 Agustus 2022
Author's Note
Oke becanda, masih ada epilog, hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top