Chapter 32: Some Things You Can't Change

"Aku gak mau dengar alasanmu sialan! Aku hanya ingin, kalian balikin temen-temenku kayak semula! Mereka sekarat! Mereka sama saja sudah mati!"

Aku bisa yakin teriakanku pasti membuatnya kesal, bahkan wajahnya sudah terlihat malas meladeniku yang sedari tadi bersikeras bertemu dengan penanggung jawab percobaan permainan VR yang dilaksanakan beberapa hari lalu.

Yah, mungkin sikapku kini sangat kurang ajar dan kasar, terlebih orang yang berada di hadapanku jauh lebih tua dariku. Tapi apa yang mereka lakulan pada kami sudah melampaui kekasaran itu sendiri. Bagaimana bisa aku duduk tenang tanpa merasa marah pada mereka?

"Iya, kami sedang-"

Brak!

Kalimat sekertaris Tiara itu terpotong begitu pintu dari ruangan kecil tempat kami berbicara didobrak.

"KALIAN APAKAN ANAK SAYA!?" Teriakan itu terdengar beberapa saat setelah pintu didobrak.

Wanita yang kukenal dengan baik itu menyorosok masuk. Tangannya menunjuk-nunjuk sekertaris Tiara yang duduk di depanku, hanya terhalang meja.

Teriakannya yang penuh amarah itu memang terlihat tegar, namun aku bisa melihat matanya yang berlinang serta kepalan tangannya yang bergetar. Membuat teriakannya itu hanya terlihat untuk menutupi rasa khawatir yang mendalam yang dirasa oleh seorang ibu dari El dan Ara.

"Ibu, tolong tenang dulu. Saat ini kami sedang mencari solusinya. Semua ini terjadi semata-mata hanya karena-"

"DIAM! Tutup mulutmu jika hanya akan mengatakan alasan untuk membela perusahaan tidak bertanggung jawab ini. Saya sudah membaca kontraknya dan anda sekalian MENJAMIN keselamtan anak-anak yang ikut percobaan ini. TAPI APA?! Sebagian besar dari mereka sekarat sekarang! Mana jaminan itu, MANA!?"

Tante Farah, ibu dari El dan Ara itu berbicara dengan cepat. Sekertaris Tiara tidak mampu memotong ucapannya, mungkin sedari awal sudah seharusnya aku langsung frontal seperti itu agar mereka mendengar ucapanku dengan baik, bukannya sibuk mencari alasan.

"Kami sudah mengerahkan tenaga medis sebaik mungkin. Tapi hanya itu hasilnya, kami akan berikan uang kompensasi pada korban dan keluarga korban. Jadi ibu tidak perlu khawatir lagi." Si sekertaris sialan itu masih saja menjawab dengan alasan-alasannya yang tidak menjawab kekhawatiran kami, benar-benar menyebalkan.

"Haha, tidak perlu khawatir lagi katamu?" Tante Farah tertawa penuh sarkasme. Jangankan beliau, aku pun kesal dan terkejut dengan ucapan tanpa hatinya itu.

"PUTRAKU KINI KEHILANGAN DIRINYA, HANYA BISA PELANGA-PELONGO TANPA MENGINGAT APAPUN DAN KALIAN BILANG TIDAK ADA YANG PERLU DIKHAWATIRKAN?" Tante Farah memelototi Tiara dengan tajam.

"Jangan bercanda. Uang sebanyak apapun, emas sebanyak apapun, kau pikir bisa menggantikan anak yang kulahirkan, kurawat dan kujaga dengan susah payah dan air mata!? Bahkan jika kau menawarkan seluruh dunia ini sekalipun, hal itu tetap bisa menggantikannya." Tante Farah berbicara dengan memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Air matanya yang ditahannya sedari tadi akhirnya tumpah. Dia terlihat begitu marah dan tidak terima begitu Tiara mengatakan anaknya hanya akan diberi kompensasi. Dan aku tidak heran akan hal itu.

"Aku tidak ingin macam-macan, aku tidak ingin emas, tidak ingin harta atau kekuasaan. Aku hanya ... aku hanya ingin anakku, putraku, El, kembali seperti semula." Kini, air mata tante Farah mengalir deras bersamaan dengan tangannya yang meremas dadanya kuat-kuat. Bahkan kalimatnya yang mulanya terdengar tegar kini menjadi serak dan terpotong karena isak tangisnya.

"Kalian bawa kembali anakku, sembuhkan dia. Atau kami beberkan semua pada media dan pihak berwenang dan permainan bodohmu itu tidak akan pernah bisa muncul di pasaran."

"Jika begitu anda melanggar kontrak dan harus-"

"Kalian yang lebih dulu melanggar kontrak. Tepati janji dalam kontrak kalian yang akan menjaga putra-putri kami, atau kalian kehilangan ladang harta kalian." Tante Farah memotong kalimat Tiara dengan ucapannya yang tajam. Tiara tidak lagi mampu berkata-kata setelahnya. Dia terlihat berusaha menyusun kata-kata namun tidak bisa.

"Silahkan anda lakukan itu." Suara berat yang asing itu terdengar dari belakang. Kami berdua, aku dan tante Farah refleks menoleh pada sumber suara itu.

"Satu permainan gagal bukan berarti kami bangkrut. Dan peminat permainan ini tidak sedikit, banyak yang menantikan perlisannya dan berita itu hanya akan menjadi angin lalu. Lagipun, kegagalan kali ini karena ada pihak lain yang menyabotase permainan. Jika tidak, semuanya akan berjalan lancar." Percaya diri dan arogan yang terdengar dari nadanya berbicara itu sukar dipercaya, dia benar-benar merendahkan kami. Seolah keluhan kami tidak ada apa-apanya dibanding kuasa yang dia punya.

Tapi apa yang dia katakan ada benarnya. Cepat atau lambat, semua yang kami katakan pasti akan jadi hanya angin lalu, apalagi jika hanya satu permainan yang bermasalah, pasti hanya akan dianggap kesalahan sistem dan mereka akan lolos dengan mudah. 

"Soal itu, kita lihat saja nanti hasilnya." Tante Farah berkata lalu sembari menarik tanganku dan mengajaku pergi dari sini, aku menurutinya. Toh, tidak ada lagi yang bisa kulakukan, mereka semua tidak berniat untuk menebus kesalahannya.

"Oh ya sebagai kenang-kenangan, kami memberikan rekaman permainan beberapa hari lalu kepada setiap pemain." Pria itu tersenyum tipis padaku, aku hanya menatapnya kesal sebagai jawaban. Padahal aku meminta mereka untuk menyembuhkan peserta yang lain, bukan rekaman permainan sampah itu. 

Kesal dengan wajah arogan dan senyum merendakannya itu, aku melepaskan genggaman tanganku dari tante Farah dan melayangkan tinjuku pada wajah pria itu. 

Bugh!

Pria itu yang sudah terlanjur mengalihkan pandangannya, dan sekertaris Tiara yang tidak sempat memperingatinya membuat tinjuku tepat mengenai pipinya. Dia oleng, tidak terlempar atau terjatuh, tapi aku yakin tinju itu cukup sakit.

"Aku lupa aku punya janji untuk menghajar kalian. Anggap saja itu kenang-kenangan dariku." Aku tersenyum pada pria itu yang masih menunduk memegangi pipinya, terkejut dengan tinjuku.

Aku buru-buru keluar ruangan itu sebelum Tiara atau pria itu sempat memanggil satpam atau membalasku. Untunglah tante Farah tidak marah atas kelakuanku tadi, mungkin sebenarnya beliau juga menginginkan hal itu terjadi, dia bahkan berbisik 'bagus' padaku.

Setelahnya aku dan tante Farah berjalan dalam diam dan cepat menyusuri koridor kantor ini hingga akhirnya sampai di lobby. Pegawai di sana sempat mengangguk kecil begitu melihat kami lewat, tapi tante Farah mengabaikannya. 

"Lain kali, tidak usah lagi kalian berurusan dengan orang-orang seperti itu. Mengerti?" Aku langsung mengangguk cepat begitu melihat tatapan tajam dari tante Farah. 

Setelahnya, kami segera masuk ke mobil yang dibawa tante Farah. Mobil langsung melaju cepat begitu keluar dari parkiran. Tidak ada yang dibicarakan oleh kami berdua setelahnya. Biasanya, tante Farah tidak akan membiarkan suasana mobil sesunyi ini, bahkan jika aku yang naik sekali pun. Tapi sepertinya beliau masih menyusun emosinya yang berantakan setelah apa yang terjadi kemarin dan percakapan tadi. 

Aku pun masih tidak bisa menerimanya. Bagaimana tidak? Hanya kami bertiga yang berhasil keluar dari sana dengan baik-baik saja sedangkan beberapa lainnya berada di kondisi yang tidak jelas, bahkan kebanyakan masih terlihat shock setelah permainan hari itu. 

Kemarin, saat aku mampir ke ruang rawat El, dia sadar untuk pertama kalilnya setelah permainan berakhir. Namun situasinya buruk sekali, emosinya tidak stabil begitu dia baru bangun. El memberontak, memukul sana-sini, membuat kamar inapnya berantakan dan para perawat kewalahan untuk menenangkannya. Dia terus-menerus meminta sesuatu untuk pergi, "pergi! Pergi dari sini!" Teriakan hebohnya itu masih bisa kuingat, tapi aku tidak yakin kalimat itu ditunjukan untuk orang-orang yang berada di sana waktu itu. Dia seolah berkata kepada makhluk yang tidak nyata.

Dan beberapa saat setelahnya, dokter kembali dan mengatakan tidak ada yang salah dengan kondisinya. Dokter bilang, mungkin perlakuannya itu terjadi karena semacam trauma yang masih menempel lekat pada ingatannya, sehingga dia masih berhalusinasi bahwa El masih berada di situasi yang sama. 

Saat itu, aku langsung menyimpulkan. Berarti, para peserta yang lain memang terbangun, kesadarannya kembali tapi entah mengapa 'jiwa'nya masih saja merasa berada di permainan itu dan dikuasi olehnya. Terakhir yang kuingat, para Hunter seperti 'dirasuki' sesuatu sehingga mereka tidak bisa berbicara dengan peserta lain atau bergerak sesuai keinginannya, seperti saat El mendorongku masuk ke ruangan Flora. Apa mungkin, otaknya masih menyimpan trauma saat kesadaran dan kendali tubuhnya diambil alih oleh 'sesuatu' itu?

Namun yang jadi pertanyaannya, kenapa hanya aku, Viary dan Ara yang benar-benar berhasil keluar dari permainan itu dengan kesadaran yang masih baik-baik saja? Aku akan mengerti jika hanya aku yang baik-baik saja sementara Ara serta Viary mengalami hal yang sama dengan yang lainnya. Tapi mereka berdua tidak apa-apa.  

"Lita. Kita sampai." Aku tersadar dari lamunan begitu tante Farah memanggilku, memintaku turun dari ambang pintu pengemudi.

"Oh iya." Aku mengangguk kikuk, sepertinya secara tidak sadar aku diam mobil cukup lama sampai-sampai tante Farah sudah di luar mobil menatapku dengan wajah khawatir.

"Jangan melamun terlalu sering. Nanti apa yang terjadi pada El, terjadi juga padamu." Tante Farah mengusap kepalaku pelan, aku mengangguk kecil dan tersenyum padanya. Tante Farah benar-benar peduli padaku, jangan sampai aku juga membuatnya khawatir.

Kami langsung menaiki lift dari tempat parkir basement rumah sakit. Aku sebenarnya sudah boleh pulang, tapi yang lain belum, entah mengapa. Aku mengerti jika El, Edy dan peserta lainnya yang tidak kembali dengan selamat belum boleh pulang, tapi aku tidak tahu mengapa Ara dan Viary pun masih harus menginap di sana. 

Tepat saat aku dan tante Farah keluar lift, ponselku berdering. Nama Ara terpampang pada layar, aku mengangkat panggilan itu. 

"Edy! Dia sudah bangun!"

Aku sempat terdiam sesaat mendengar hal itu, sebelum akhirnya aku berbalik pada tante Farah, "tante, aku duluan ya!" Aku berkata cepat dan langsung berlari sebelum sempat mendengar jawabannya. 

Seperti El, kemarin, pemain-pemain lain pun bangun dengan heboh. Hanya saja situasinya sedikit berbeda, Edy dia histeris mengatakan kakinya hilang atau semacamnya. Aku terlambat datang saat itu, dokter dan perawat sudah lebih dulu menahannya, aku hanya sempat melihat wajahnya yang selalu tenang dan menyebalkan itu jadi begitu ketakutan dan panik sebelum akhirnya para perawat itu menyuntikan sesuatu dan membuatnya tidur kembali. Namun setelah dokter memeriksanya kembali, tidak ada yang salah dengan kakinya, sarafnya sebenarnya masih bisa bekerja dengan sempurna tapi entah mengapa tidak mau merespon. Seolah otaknya memberi sugesti bahwa dirinya tidak bisa berjalan.

Nacht, aku tidak tahu siapa nama aslinya, dia juga mengalami hal yang sama dengan Edy. Hanya saja kali ini pengelihatannya. Dia mengira dirinya tidak bisa melihat, matanya pun tidak merespon pada cahaya, padahal sebenarnya matanya baik-baik saja. Raka pun begitu, dia mengira dirinya tidak bisa berbicara, tidak ada satu patah kata atau pun teriakan yang keluar dari mulutnya walau sebenarnya pita suaranya baik-baik saja.

Yang berbeda adalah El, Moonx dan Arranoa. Mereka mengira sesuatu mengendalikan tubuhnya, terus menunjukan rasa takut dan khawatir yang berlebih, mereka bahkan tidak bisa diajak berbicara, hanya diam saat ditanya atau diajak mengobrol, bahkan oleh orang-orang terdekatnya sekalipun. Seolah hanya tubuh dan kesadarannya yang kembali, tapi secara bersamaan, mereka seperti tidak kembali seolah diri mereka yang sebenarnya masih tertinggal di permainan itu. 

Mereka bahkan tidak mengingat apapun selain 'sesuatu' yang menghantui mereka. Mau itu orang tuanya, keluarganya atau kerabatnya, mereka bertiga tidak berbicara atau merespon apapun yang dikatakan atau dilakukan oleh orang sekitarnya. Atau mungkin ... mereka memang tidak mengingat apapun selain permainan itu.

Aku menggeleng pelan, pintu kamar Edy sudah dekat. Lebih baik aku kesampingkan dulu pikiran-pikiran itu dulu dan memeriksa kondisi Edy.

"Edy!" Aku langsung membuka pintu kamarnya begitu sampai.

Bruk!

"Astaga!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

17 Agustus 2022

-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top