Chapter 21: Unforgettable Nightmare
Pagi kembali menjelang. Matahari bersinar terang. Bersamaan dengan hangatnya, ia menembusi dedaunan pohon, menembus ratusan jendela panti, membangunkan para penghuninya untuk memulai aktivitas pagi.
Bel pagi terdengar kembali bersamaan dengan kicauan burung dan hewan atau serangga hutan yang sudah bersuara memenuhi pagi
Mereka melakukan aktifitas yang sama seperti kemarin, hanya beberapa kegiatan yang berbeda.
Pagi hari dihiasi dengan kericuhan sarapan dan penghuni panti yang bersiap untuk belajar.
Lantas, beberapa jam istirahat disela terlewati dengan menyenangkan, berjam-jam pelajaran pun terlewati dengan melelahkan.
Begitu sore menjelang dan semua pelajaran selesai, mereka semua berlaian keluar kelas, tidak sabar untuk berlarian di alam bebas.
Dan seperti kemarin, pada waktu main di sore hari, gadis kecil itu pergi ke hutan untuk mengunjungi peri hutan. Pintu rumah peri itu ternyata tertutup, padahal gadis itu pikir peri akan membiarkannya terbuka.
Belum sempat tangan mungilnya mengetuk pintu bulat itu, peri hutan itu lebih dulu muncul dari balik pohon yang teramat besar itu, menyapa sang gadis dengan senyuman cerah terukir di bibirnya.
Melihat senyuman peri hutan itu, gadis kecil ikut menyengir dan berlari kecil menghampiri peri hutan itu, lantas menarik-narik tangannya, memintanya menunjukkan lagi sihir yang dikuasai sang peri hutan padanya.
Peri hutan itu menggeleng kecil, 'hari ini, ayo kita bermain hal yang lebih menyenangkan,' ucap peri hutan itu dengan senyuman, membuat senyum gadis kecil yang sempat hilang karena tidak dapat melihat sihirnya tadi kembali.
Dengan mata berbinar, gadis itu mempertanyakan apa yang akan peri hutan tunjukkan padanya. Akhirnya, peri hutan itu membawa gadis kecil sedikit menjauh dari rumah pohonnya dan berhenti di tepi sungai seperti kemarin.
Tapi kali ini ada yang berbeda, sebuah rusa jantan berada di tepi sungai itu. Rusa itu tengah membungkukkan badannya untuk meraih air sungai.
Gadis kecil yang masih mengamati dari balik pohon hendak bersorak senang kala melihat rusa dengan tanduk yang indah itu, namun peri hutan itu terlebih dahulu melarangnya.
'Shhh, rusanya akan lari jika mendengar suaramu.' Peri hutan itu menempelkan jari telunjuk pada bibirnya yang tersenyum tipis, memberi tahu gadis kecil yang langsung membekap mulutnya agar tidak bersuara.
Peri hutan tertawa kecil melihat refleks gadis kecil di depannya. Setelahnya ia pergi mendekati rusa itu setelah meminta gadis kecil untuk menunggunya di balik pohon.
Gadis kecil itu menurut, memperhatikan peri hutan yang berjalan pelan mendekati rusa itu. Bukan mengendap, hanya berjalan dengan langkah pelan dan santai.
Rusa itu tidak berlari pergi walau sudah melihat peri hutan yang berada di sampingnya. Sebaliknya, rusa itu menolehkan kepala yang terhiasi dengan tanduk indah itu pada sang peri.
Beberapa detik setelahnya, kaki rusa itu tertekuk dan kepalanya menunduk pada peri seolah memberi hormat.
'Sepertinya kau mengenalku.' Peri itu menggumam dengan suara yang lembut, tangannya yang meraih kepala rusa itu menyusul setelahnya, lantas menyentuh kepala rusa itu pelan.
Gadis kecil yang masih memperhatikan di balik pohon tanpa sadar menurunkan bekapan tangannya, menatap kejadian itu dengan mata berbinar.
Peri hutan yang menyadari hal itu menoleh pada si gadis kecil, tersenyum dan memberi isyarat padanya untuk mendekatinya. Gadis kecil itu menurut, dia menghampiri rusa dan peri hutan.
Saat gadis kecil itu sampai di samping sang peri, rusa itu mengangkat kepalanya dan jemari-jemari lentik milik peri, mengelus dagu rusa itu dengan lembut.
Setelahnya tangan peri itu meraih tangan kecil milik si gadis, menuntunnya untuk ikut mengusap dagu rusa itu. Gadis kecil itu tertawa senang.
Begitu rusa itu terlihat sudah terbiasa dengan kehadiran gadis kecil, peri itu menawarkannya untuk menunggangi rusa bersamanya.
Gadis kecil mengangguk semangat memyambut tawaran peri. Peri hutan pun menaikkannya pada punggung rusa, menyusul dirinya.
Tanpa perlu instruksi apapun, rusa itu mengambil langkah pertamanya dan berjalan dengan sendirinya, seolah mengerti maksud dari sang peri tanpa perlu mendengar ucapannya.
Dengan pelan, rusa itu membawa mereka mengelilingi hutan. Dibawanya mereka pada bukit terdekat, memandang pemandangan hutan dari atas.
Burung-burung terlihat beterbangan bebas di langit, terkadang memasuki pepohonan, menghilangkan sosoknya. Lautan hijau terlihat begitu indah dari atas sana.
'Ini adalah tempat yang kucintai dan kujaga, tidak akan kubiarkan seorang pun merusaknya.'
Gadis kecil menoleh ke belakang, menatap wajah cantik itu dengan sedikit mendongak. Si Gadis kecil bisa melihat wajah sang peri yang menorehkan luka dan kesedihan.
Namun gadis kecil itu tidak tahu apa yang terjadi padanya di masa lalu, jadi dia hanya memeluk peri itu erat. Memperlihatkan rasa simpatinya.
Sesaat, peri hutan itu terlihat terkejut dengan pelukan tiba-tiba dari si gadis kecil, namun setelahnya peri hutan tersenyum tipis dan membalas pelukan gadis kecil.
Rusa itu membawa mereka turun setelah berdiam di sana selama beberapa menit. Mereka masih melanjutkan berkeliling hutan dengan rusa, bertemu dengan tupai diantara pepohonan, kelinci, bahkan ular.
Namun mereka semua nampak dekat dengan sang peri, walau tidak ada satupun dari mereka yang membungkuk pada peri seperti rusa sebelumnya.
Kali ini, peri itu lebih dulu menyadari bahwa matahari hampir sepenuhnya turun dan menawarkan diri untuk mengantar gadis kecil itu pulang.
Gadis kecil yang masih asik bermain dengan tupai liar itu terlihat sedih, namun dia tetap harus pulang.
Akhirnya dengan berat hati, gadis kecil meninggalkan teman-teman barunya dan pulang dengan sang peri.
Kali ini mereka berjalan, entah karena alasan apa, sang peri lebih memilih untuk mengantarkan gadis kecil dengan berjalan daripada menunggangi rusa.
Tentu saja gadis kecil sangat kecewa dengan hal itu, tapi dia tidak merengek dan tetap pulang dengan berjalan kaki bersama sang Peri.
Dalam perjalanan pulang, gadis kecil banyak bercerita tentang teman-teman yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri di panti. Tanpa terasa, akhirnya mereka semakin dekat dengan panti.
Namun begitu keluar dari hutan dan rumah besar bagai istana itu mulai terlihat dari jauh, peri hutan itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tangannya yang semula mengenggam erat tangan mungil gadis kecil melonggar, bahkan terlepas.
'Peri?'
Gadis kecil itu menoleh tidak mengerti pada sang peri yang berhenti secara tiba-tiba. Sayangnya peri itu sepertinya tidak mendengar panggilan si gadis, dia seolah terpaku pada sesuatu di depan sana hingga mengabaikan sekitarnya.
Penasaran, gadis kecil itu akhirnya menoleh pada apa yang dilihat sang peri.
Gadis kecil itu semakin mengerut tidak mengerti melihat cerobong asap milik panti yang tengah mengeluarkan asap hitam, sepertinya peri melihat hal itu.
Iris mata merah milik sang peri terlihat tidak terlepas dari asap hitam yang keluar dari cerobong besar milik panti.
Semakin lama peri menatap cerobong itu, semakin berubah raut wajahnya. Dahinya mengkerut sempurna bersamaan dengan dadanya yang terasa sakit oleh amarah dan kesedihan.
Asap hitam pekat yang menggumpal di langit berkelabat dalam ingatannya kala melihlat asap dari cerobong itu, nyala api yang membuat malam itu menjadi mengerikan kembali teringat olehnya. Jeritan panik dan derapan langkah kaki terburu para penghuni hutan terdengar meriuhkan hutan pada malam itu kembali terdengar di telinganya.
Mimpi buruk yang tidak ingin diingat olehnya kembali. Membuka luka lama.
Dirinya seketika teringat dengan para hewan-hewan yang kehilangan rumah, terpaksa kabur ke pemukiman manusia. Namun malangnya mereka disambut dengan buruk.
Ah tidak, 'disambut dengan biadab.' Peri itu menggumam marah begitu mengingat bangkai hewan malang itu tergeletak di pemukiman karena ulah warga yang takut padanya. Padahal, mereka jugalah yang membuat hewan-hewan itu kehilangan rumahnya.
Mengingat kembali hal itu, napasnya menderu seolah menahan amarah. Terdengar begitu menakutkan.
Seketika, rambut merahnya menyala, pun dengan mata merahnya yang perlahan memenuhi bagian bola mata putihnya. Tidak menyisakan warna apapun selain merah pada bola mata putihnya.
Sihirnya yang mulanya bewarna hijau berubah menjadi merah, seolah mencerminkan kebenciannya kepada api.
Gadis kecil yang melihat perubahan peri itu terhenyak, tidak bisa memberikan respon apapun selain termangu.
Sosok di sampingnya kini terlihat menyeramkan, seperti nenek sihir yang selalu dilihatnya di buku dongeng dari perpustakaan.
Belum sempat gadis kecil itu berteriak, sang peri lebih dulu berjalan cepat mendekati panti. Sihirnya menggeliat keluar dari telapak tangannya, berputar-putar mengikuti pergerakan jemari lentiknya.
Gadis kecil itu masih terdiam di tempatnya. Kakinya terlalu kaku untuk bergerak, bibirnya kelu walau dia ingin memanggil sang peri.
Dirinya bingung, siapa yang lebih dakam bahaya: teman-temannya atau peri itu.
Kala gadis kecil itu masih terus terdiam dan memperhatikan dari belakang, angin berhembus kencang dari belakangnya, membuat tubuh kecilnya terdorong ke depan dan terjatuh.
Angin itu terus maju ke depan hingga membuka pagar putih tinggi itu dengan mudahnya. Suara berdebum nyaring terdengar kala pintu pagar itu bertabrakan dengan pagar yang lain saat terbuka, membuat gadis kecil berjengit terkejut.
Dan sepertinya, suara itu juga mengundang para penghuni rumah untuk mengintip asal suara. Gadis kecil itu bisa melihat jendela-jendela yang tak terhitung itu perlahan-lahan dipenuhi dengan mata-mata yang penasaran dengan sumber dari bunyi nyaring itu.
Anak-anak yang mengintip memperhatikan sang peri berjalan menuju pintu masuk. Mereka masih tidak mengerti apa yang tengah terjadi, namun bagi mereka, kejadian ini adalah tontonan menarik sehingga mereka tidak bisa melihat bahaya yang mendekat. Beberapa anak bahkan hingga menuruni tangga, ingin melihat sang peri lebih dekat.
Namun sayang, begitu sang peri mendobrak masuk ke dalam panti itu, anak-anak penasaran itu tidak tersambut dengan baik.
Akar-akar yang merambat datang entah darimana, mereka menggeliat dengan cepat mendekati tubuh para anak yang penasaran akan sosoknya itu, menjerat lehernya hingga mereka kehilangan napas.
Beberapa bahkan mati dengan lebih mengenaskan, kedua bola matanya dikeluarkan secara paksa oleh akar-akar itu, atau tertusuk akar dengan ujung tajam itu hingga kehabisan darah.
Hal itu membuat para anak polos itu menjerit ketakutan, mengacir kesana-kemari menghindari jeratan akar tersebut yang semakin lama semakin memenuhi ruang tamu rumah itu.
Para pengurus panti yang datang karena teriakan ketakutan anak-anak itu pun bernasib sama, kehilangan nyawanya dengan tragis.
Namun beberapa dari mereka ada yang tertarik keluar panti lewat jendela oleh akar-akar itu, seolah dipaksa untuk masuk ke dalam hutan lebat yang mengelilingi panti.
Gadis kecil yang masih di perbatasan antara hutan dan halaman panti itu masih terduduk ketakutan. Telinganya seolah pekak dengan jeritan demi jeritan yang terdengar dari dalam sana.
Belum lagi dengan akar-akar pohon yang merambat dari dalam hutan dan masuk ke rumah itu dengan cepat, lantas setelahnya akar itu kembali ke hutan dengan penghuni panti dalam lilitannya.
Mereka yang terseret ke dalam hutan itu berteriak meminta pertolongan pada gadis kecil kala matanya menangkap sosok gadis kecil terduduk di sana. Namun sayang, si gadis hanya bisa menatap mereka terbawa pergi ke dalam hutan dengan wajah pias dan ketakutan yang tergurat jelas pada wajah mungilnya.
Hingga, beberapa menit setelah hal itu terjadi, gadis kecil akhirnya bangkit begitu telinganya menangkap jeritan dari seorang yang teramat dekat dengannya.
Kaki mungilnya berusaha bangkit melawan rasa takut yang masih tersisa, sebelum akhirnya kaki-kaki itu berlari lincah, masuk menuju rumah.
Terlambat, pemilik jeritan itu sudah terkapar lemas di ujung tangga dengan mengenggam sebuah gembok.
'Pengurus Qia.'
Gadis kecil itu menggumamkan nama wanita di hadapannya yang masih terkapar tak berdaya. Namun mungkin karena mendengar suaranya, wanita itu membuka matanya perlahan, seolah mencoba memanggil kembali kesadarannya yang perlahan pergi.
'Flora.'
Wanita itu menggumamkan nama si gadis dengan suara serak dan patah-patah. Suaranya yang pelan itu begitu teredam oleh teriakan yang masih berlanjut di seisi panti.
Gadis kecil yang mendengar namanya terpanggil, mendekat dengan langkah yang gemetar.
Kepolosannya seolah menolak untuk melihat kekacauan yang terjadi pada seluruh tubuh yang tergeletak di sekitarnya.
'Flora, ... dengarkan ...' Pengurus panti itu berbisik, mengeluarkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk berbicara pada Flora.
'kau harus ... mengunci iblis itu di panti ini agar pembataian ini ... tidak tersebar hingga luar.'
Dengan susah payah pengurus itu menyelesaikan kalimatnya dan menyerahkan gembok serta kuncinya pada Flora, gadis kecil itu.
'Harus ... dengan kunci itu.' Tangan wanita itu terasa dingin begitu bersentuhan dengan tangan mungil Flora.
'Dan kau ... bersembunyilah di dalam kamarku.' Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang di dengar Flora dari pengurus kesayangannya. Orang terdekatnya.
Namun malang, Flora yang hanya gadis berumur 9 tahun begitu menolak akan kenyataan yang menghampirinya.
Gadis itu ingin menangis, tapi dia tidak ingin lebih banyak korban berjatuhan.
Dengan berat hati dan membendung perasaan duka itu sekuat tenaga, Flora berlari menuju pagar, dan menguncinya.
Seketika, kubah transparan muncul dari dalam tanah, terus naik hingga menutupi pagar dan rumah di dalamnya dengan sempurna.
Flora menjulurkan tangannya, dia tidak bisa keluar dari sana. Kubah itu menahannya. Wajahnya berubah panik, sepertinya dia salah langkah. Mungkin seharusnya dia keluar dulu baru menguncinya, bukan sebaliknya. Kini, dia malah ikut terjebak bersama peri hutan itu.
'Kamar Pengurus Qia!' Flora berseru kecil begitu teringat dengan perkataan Qia tadi, dia bisa bersembunyi di kamarnya, mungkin hanya tempat itu lah yang aman sekarang.
Akhirnya, dengan sekuat tenaga gadis itu berlari menyusuri rumah. Entah berada di mana peri hutan itu sekarang, tapi jeritan demi jeritan yang masih terdengar itu menandakan keberadaannya yang masih di dalam rumah ini. Gadis itu harus cepat-cepat memasuki kamar pengurus Qia jika tidak ingin bernasib sama.
Rasa bersalah semakin memenuhi dada Flora seiring dia berjalan menyuri lorong. Mayat temannya, kakaknya, pengurus, atau bahkan para adik-adik satu pantinya itu tergeletak mengenaskan sementara dirinya berlari menyelamatkan diri sendiri.
Namun dia terlampau kecil untuk berpikir jernih, mentalnya terlalu rapuh dan pengecut bahkan untuk diminta tetap kuat menghadapi semua ini.
Tidak terbesit pada benaknya untuk mencari temannya yang masih dan mengajaknya bersembunyi bersama. Saat ini, dia hanya bisa fokus pada perimtaan Qia.
'AAAAAAAAAA'
Jeritan itu membuat Flora bergidik ngeri. Bukan jeritan kesakitan atau takut, melainkan kemarahan. Sepertinya peri hutan itu sudah menyadari dirinya terkunci di dalam sini, dan mungkin selanjutnya dia akan mencari kunci itu sembari menumpas penghuni panti ini secara membabi buta.
Dan mungkin, dirinya adalah korban selanjutnya.
Ketakutan akan jeritan kemarahan itu seketika menghilang begitu Flora melihat pintu kamar Qia yang terbuka lebar. Dirinya sebentar lagi akan selamat!
PRANGG!
Jendela yang pecah itu membuat Flora berteriak histeris. Jika dirinya tidak sedang berlari, mungkin tubuhnya akan terluka karena pecahan kaca dari jencela yang pecah itu.
'Kuncinya, kau memegangnya kan?'
Suara itu terdengar dari belakangnya, Flora bisa langsung mengetahui suara siapa itu walau intonasinya sudah berubah. Namun Flora tidak menghentikan larinya, dia bahkan tidak menoleh ke belakang dan fokus mempercepat laju larinya.
Tapi karena itu lah, peri hutan itu semakin marah karena mangsanya kabur begitu saja sembari membawa kunci dari pagar yang mengurungnya di dalam rumah ini.
Alhasil, peri hutan itu ikut berlari mengejar Flora namun-
'Aaa!'
Tentu saja anak kecil bukanlah tandingan dari sang peri dewasa. lawannya terlalu kuat untuk dikalahkan.
Sebuah akar baru saja lewat di hadapan Fora dan membuatnya jatuh.
Kepalanya menoleh, melihat peri di belakangnya yang perlahan mendekatinya. Sihir merahnya pun begitu, perlahan meraih dan menyelemuti tubuh mungil Flora.
Entah apa yang dilakukan sihir itu, namun Flora merasa dirinya semakin lama semakin lemas dan kelelahan, seolah energinya dikuras habis oleh sihir itu.
'AAA!'
Bersamaan dengan jeritan itu, sihir yang mengelilingi tubuh Flora menghilang. Matanya yang nyaris tertutup itu bisa melihat seorang yang dikenalnya menancapkan ujung akar yang tajam pada dada peri itu dari belakang.
Namun ada yang berubah dari peri hutan itu. Penampilannya kini, sedikit mirip dengan Flora. Dan hal itu membuat Flora semakin ketakutan.
'Lari! Cepat lari!'
Gadis remaja itu berteriak nyaring pada Flora yang masih terdiam. Tubuh mungilnya bergetar, semua ini terlalu berat untuknya, terlalu mengerikan untuk seorang anak kecil seperti dirinya.
'Beraninya.' Peri hutan itu menggeram.
'Cepat!'
Teriakan itu seolah menyadarkan Flora dan membuatnya bangkit dan kembali berlari walau dengan langkah yang tidak secepat sebelumnya.
Sepertinya tenaganya terambil cukup banyak oleh peri itu, tapi dia harus terus berlari dan bersembunyi di kamar ini, menjaga kunci ini agar peri itu tidak menyebabkan kekacauan di luar.
Jeritan kesakitan yang sepertinya adalah milik gadis remaja tadi terdengar, gadis kecil itu berusaha mengabaikannya walau matanya sudah berlinang air mata. Sekuat tenaga dia mempercepat larinya.
'Jangan kau-'
Gadis kecil itu berhasil masuk sebelum akar-akar yang mengejarnya itu lebih dulu menghabisi nyawanya. Tanpa memberi waktu bagi peri hutan itu maupun akar-akarnya untuk masuk, Flora lebih dulu menutup pintu kamar Qia dan menguncinya.
BRAK! BRAK! BRAK!
Suara itu membuat Flora semakin ketakutan, dia meringkuk di depan pintu yang perlahan memunculkan berlapis-lapis kayu dan mantra untuk menguncinya dari dalam.
Gadis kecil itu tidak tahu apa akar-akar itu atau justru sang peri lah yang menggedor pintunya seperti orang gila. Tapi apapun itu, sungguh membuatnya ketakutan hingga isak tangisnya semakin menjadi-jadi.
Marah karena sekeras apapun sang Peri berusaha untuk menghancurkan pintunya, dia tetap tidak berhasil, akhirnya dia menjerit. Lantas guntur terdengar bersamaan dengan hujan turun yang kian lama kian menderas, membuat tangis Flora perlahan teredam.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
18 Juni 2022
-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top