Chapter 20: Kehidupan Di Tengah Hutan

Suara bel yang berdenting dengan nyaring dan lantang membuat anak-anak dengan pakaian berwarna putih itu berlarian keluar kamar dengan wajah bangun tidur, acak-acakan. Tidak semua berlari, beberapa terlihat baru saja bangun tidur, berjalan dengan gontai sembari mengusap mata.

Pintu-pintu berjajar di lorong yang tertutup kala malam hari itu satu persatu terbuka, lima hingga enam anak terlihat keluar dari masing-masing kamar. 

Beberapa dari mereka yang sudah cukup dewasa masih membangunkan mereka yang masih tertidur, beberapa lainnya membantu di dapur dan menyiapkan makanan. 

Pagi yang sangat indah dan ceria, ditemani dengan angin pagi yang masih asri dan segar, serta kicauan burung dan serangga hutan yang terdengar memanjakan. 

Derap langkah kaki mereka yang menuju ruang makan terdengar sahut menyahut di pagi itu, memenuhi lorong. Mereka yang sudah cukup mengerti berseru mengingatkan untuk berhati-hati saat menuruni tangga. 

Suara ricuh dari perbincangan pagi beberapa anak juga ikut memenuhi lorong. Ada dari mereka yang berteriak dan berlari saat menyapa temannya yang tidak sekamar, diiringi suara berdebum jatuh saat mereka bertabrakan. Tapi pada akhirnya mereka tetap tertawa senang dan lanjut berjalan bersama menuju ruang makan.

Sedikit demi sedikit, ruang makan yang sebesar aula itu dipenuhi dengan anak-anak dan remaja. Mereka masih dengan rambut dan muka baru bangun tidur, terlihat kacau namun manis. 

Sedangkan mereka yang cukup dewasa sudah terlihat lebih rapih. Walau masih dengan piyamanya, wajah mereka terlihat lebih segar, rambut terikat bagi mereka yang perempuan. Gaun tidur putih polos mereka tertutupi apron berwarna coklat tua, pun dengan para lelaki, setelan putih polos piayamanya pun terlapisi apron, serta lengan piyama yang tergulung hingga siku.

Begitu semua hidangan telah disajikan dan semua kursi telah terisi, mereka menyantap hidangan itu setelah berdo'a bersama-sama. 

Bahkan saat makan pun, suasana tidak pernah sunyi. Mereka menyantap makanan itu sembari bercanda dan berbincang dengan teman di dekatnya. Bercerita tentang mimpi semalam, atau pelajaran hari kemarin yang melelahkan.

Perbincangan dan sarapan terus berlanjut hingga satu persatu dari mereka pergi meninggalkan ruang makan setelah perut terasa kenyang. Mereka yang masih kecil berlari ke luar ruangan, bermain di lorong, kamar, perpustakaan sembari menunggu yang lebih besar membersihkan bekas makanan bersama dengan para kakak-kakak pengurus yang mengenakan gamis berwarna hitam. 

Walau terkadang, ada saja anak baik yang menawarkan diri untuk membantu merapihkan bekas makan, membantu para penghuni yang lebih tua darinya dan membuat pekerjaan selesai lebih cepat.

Begitu ruang makan sudah bersih dan alat makan tertata kembali dengan sempurna, mereka memanggil para anak kecil untuk membersihkan kamar  mereka masing-masing dan berisiap untuk rutinitas belajar harian. 

Satu peratu sudah berganti baju dengan seragam sekolah. Seragam mereka sarupa, hanya saja terpisah warna pita atau dasi di dada yang menunjukkan tingkat dimana mereka berada dan gender pakaian yang berbeda.

Perempuan menggunakan dress putih tipis selutut dan dilapisi dengan jumper kotak-kotak bewarna hijau dan jas yang memiliki pola sama dengan jumpernya. Sedangkan yang laki-laki mengenakan setelan celana bermotif kotak-kotak hijau dan kemeja putih dilapisi jaket yang sama dan sebuah dasi, menggantikan pita yang dipakai untuk perempuan.

Pembelajaran dimulai begitu bel kembali berdenting. Mereka melintasi bangunan, memasuki kelas masing-masing dan memulai pembelajaran hingga menjelang sore.

Saat waktu istirahat tiba, mereka berkumpul secara berkelompok. Entah mengisi perut atau tengah mencoba menghilangkan rasa bosan setelah tiga jam pelajaran. Mereka kembali masuk ke kelas begitu bel kembali berbunyi. Kelas yang memiliki jadwal olahraga berganti mengenakan pakaian training, ada juga yang memakai jas untuk jadwal lainnya.

Waktu belajar terus berlanjut hingga pukul tiga kurang lima belas, bel terakhir disambut dengan bahagia oleh mereka. Walau tidak semua, karena ada beberapa dari mereka yang memilih melanjutkan pelajaran secara mandiri di kamar atau perpustakaan sembari yang lain bermain di halaman rumah, hutan atau tempat lainnya. 

Kini mereka semua bebas, bahkan para remaja pun tidak perlu membantu kakak-kakak pengurus di dapur untuk menyiapkan makan malam. Kebanyakan dari mereka lebih memilih bermain di halaman depan yang langsung mengarah ke hutan bersama anak-anak yang lebih kecil dari mereka.

Seperti seorang gadis kecil dengan rambut pirang, dia berencana bermain petak umpet bersama kakak-kakak dan teman-temannya. Secara beriringan mereka memasuki hutan dan mencari tempat jaga untuk sang pencari.

Pohon-pohon besar menyambut begitu gadis kecil bersama teman-temannya itu masuk ke hutan. Dari sudut padang si gadis kecil, pohon-pohon yang mengelilinginya kini terlihat seperti raksasa karena tingginya yang masih pendek.

Begitu menemukan tempat jaga untuk pencari, sekelompok anak itu berpencar setelah menentukan siapa yang menjadi pencari. Semua berlari memasuki hutan, termasuk gadis kecil dengan rambut pirang itu. Kaki-kakinya berlari lincah melintasi hutan, terus berlari menjauh. Dan tanpa dia sadari, dia sudah melewati batas yang kakak pengurus itu berikan. Sebuah batas yang menandakan perbatas tanah kepemilikan milik panti asuhan itu. Batas yang tidak boleh dilewati para penghuni panti, karena tidak ada yang tahu seberbahaya apa hutan di dalam sana.

Namun sepertinya gadis kecil itu tidak begitu peduli, dia masih terus berlari sembari mencari tempat persembunyian yang sulit untuk ditemukan. Hingga, mata gadis kecil itu menangkap sebuah tempat yang bisa menjadi tempat persembunyiannya, sebuah lubang kecil diantara tumpukan batu. Gadis itu melangkah bahagia mendekati tempat itu, menyangka dirinya tidak akan ditemukan jika bersembunyi di sana. 

Namun, sebuah kupu-kupu dengan sayap merah mendekati gadis itu, mengambil perhatian gadis itu dari lubang. 

Terpana, gadis kecil itu berjalan mengikuti kupu-kupu itu yang terbang pergi. Tidak sekalipun matanya berpaling dari sayap merah dengan corak indah milik kupu-kupu, gadis kecil terus berjalan, berjalan, hingga tanpa dia sadari, dia sudah berada jauh dari panti asuhan.

Gadis kecil itu baru berhenti begitu berada di depan sebuah pohon yang teramat besar, sangat besar bahkan untuk orang dewasa peluk. Di bagian terbawah batang pohon itu, terdapat sebuah pintu bulat seukuran manusia dewasa, entah menempel, atau memang pintu itu adalah bagian dari pohon. Namun yang pasti, pintu itu terlihat cantik. Lukisan daun merambat dan kupu-kupu berwarna merah yang beterbangan dalam lukisan itu membuat pintu di depannya terlihat indah.

Lalu, kupu-kupu yang mulanya menuntun si gadis kecil menuju pintu itu tiba-tiba masuk ke dalam gambar, mengisi salah satu posisi kupu-kupu yang hilang. Gadis kecil itu semakin terpana dibuatnya. Penasaran, akhirnya gadis kecil itu meraih gagang pintu yang berbentuk bulat seperti jamur itu, memutar dan menariknya pelan.

Pintu yang ukurannya tiga kali lebih besar dari badannya itu berderit pelan kala dibuka bersamaan dengan debu yang beterbangan keluar. Mungkin debu-debu itu merasa pengap hingga keluar dari ruangan itu.

Namun terlepas dari betapa berdebunya tempat itu, serta suram dan gelap yang terasa begitu pekat, seorang wanita terduduk dengan anggunya di atas dipan yang terlihat seperti bekas tebangan pohon. 

Rambutnya yang bewarna merah kecoklatan terlihat begitu mencolok di kegelapan itu, pun dengan gaun merahnya yang terlihat cantik. Walau begitu, kedua hal itu sangat tidak selaras dengan dedaunan yang terhias pada kepalanya. Tapi kupu-kupu bersayap merah yang beterbangan di atas hiasan daun yang berada di kepalanya itu tidak membuat hiasan kepala itu terlihat buruk.

'Peri rupawan dengan mahkota di kepalanya.'

Itu yang terbesit pada benak gadis kecil saat pertama kali melihatnya, dia terpana dengan rupa wanita dihadapannya. Benar-benar terlihat seperti peri. 

Lantas perlahan, kelopak mata wanita itu terbuka. Sesaat, iris mata merahnya mengejutkan gadis kecil itu, namun di detik berikutnya, gadis itu sudah terpana lagi dengan betapa cantiknya warna mata yang dimiliki wanita di depannya.

'Apa kamu seorang peri?'

Gadis itu bertanya polos. Wanita di depannya terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum simpul, 'ya, aku peri hutan.' Wanita yang mengaku peri hutan itu mengakhiri kalimatnya dengan tawa renyah yang terdengar merdu. 

Setelahnya, wanita itu beranjak bangkit. Lantai ruangan yang berdebu itu tidak membuat gaun merahnya yang menyapu lantai jadi kotor, bahkan saat kaki telanjangnya memijak tanah dan berjongkok di depan gadis kecil itu, ujung gaun peri hutan itu tetap terlihat bersih. 

'Mau bermain denganku?' tanya peri itu sembari menyinggungkan senyum. 

Gadis kecil itu mengangguk semangat dan menyambut tangan peri itu dengan senang hati. Begitu digenggamnya erat tangan gadis itu, peri hutan itu berdiri, membimbing gadis kecil itu berjalan terus ke dalam hutan.

Tanpa adanya kecurigaan dan rasa waspada, gadis kecil dengan santai dan semangat mengikuti kemana wanita asing itu membawanya. Mereka terus berjalan, sesekali mereka berhenti saat bertemu dengan hewan liar, peri itu menghampirinya dengan mudah seolah dia terbiasa berbicara dengan mereka. Sebentar mereka bermain dengan hewan-hewan itu, membuat gadis kecil terkagum-kagum dengan kedekatan sang peri dengan hewan-hewan di hutan ini.

Puas bermain dengan para hewan, mereka lantas kembali berjalan dan berhenti di tepi sungai  jernih dan dangkal, mereka bermain air walau hanya di tepian. Namun tetap saja, dingin dan segarnya air sungai itu tetap terasa walau hanya terciprat beberapa tetes. Mereka bahkan bisa melihat ikan-ikan yang berenang di sana, walau tidak banyak.

Tiba-tiba saja, peri itu menunjukan sihirnya pada gadis kecil, asap tipis berwarna hijau gemerlap keluar dari telapak tangan peri itu, meliuk-liuk indah. Diarahkannya asap itu menuju bunga dengan tangkai yang melengkung ke bawah, layu.

Dan begitu asap itu menyentuhnya, perlahan, tangkai bunga itu kembali tegak. Warnanya kembali segar dan cantik secara perlahan sebelum akhirnya bunga itu mekar kembali dengan sempurna.

Gadis kecil berseru takjub melihatnya, ingin dirinya meminta sang peri menunjukan sihirnya yang lain. Namun gadis kecil itu teringat dia harus pulang atau kakak pengurus panti akan khawatir padanya.

Peri hutan terlihat sedih begitu gadis kecil itu mengatakan dia akan pergi, namun pada akhirnya dia tersenyum dan membiarkan gadis kecil itu pergi, 'menyenangkan bermain denganmu,' pamit peri hutan itu.

Merasa bersalah, akhirnya gadis kecil itu berjanji akan kembali pada esok hari dan bermain lagi dengan peri hutan itu. 

Setelah berpamitan, gadis kecil itu berlari pulang. Sosoknya terlihat bergerak lincah di tengah hutan yang mulai gelap. 

Sejujurnya gadis kecil itu tidak mengingat jalan pulang, namun entah bagaimana, dia bisa kembali ke panti. Seolah langkahnya telah dituntun oleh seusatu atau seseorang agar bisa keluar hutan dan kembali ke panti. 

Halaman panti itu telah kosong begitu gadis itu sampai, lampu-lampu di dalam rumah sudah dinyalakan, tanda sudah waktunya aktifitas malam. Menyadari hal itu, gadis kecil itu buru-buru masuk ke dalam panti, mendorong pagar dengan susah payah dan masuk ke dalam rumah.

Begitu pintu terbuka dan dirinya masuk, ternyata ruang tamu kosong. Mengira teman-temannya sedang berkumpul di kamar, akhirnya gadis kecil itu berlari menaiki tangga hingga lantai tiga. 

Benar saja, lorong lantai tiga dan dua sudah penuh dengan anak-anak yang berlalu-lalang. Beberapa sudah dengan piyamanya, beberapa belum. Gadis kecil itu menerima beberapa sapaan, bertanya dia habis darimana dan gadis kecil itu menjawab, 'hanya dari halaman belakang!' dengan raut wajah yang meragukan. Gadis kecil itu tahu, bahwa dia telah melanggar peraturan yang melarang anak panti asuhan untuk pergi lebih dari perbatasan yang sudah diberi tanda oleh pengurus, dan dia tidak ingin dihukum kan hal itu.

Begitu sampai di kamarnya, gadis kecil itu melihat teman-temannya sudah bersih dan berpiyama. Merasa dirinya telah terlambat, akhirnya dia buru-buru mandi dan berganti baju.

Makan malam berlangsung setelah semua sudah berkumpul di ruang makan. Seperti saat sarapan, bahkan makan malam pun berjalan dengan ramai. 

Setelah makan malam selesai dan memberi jeda dua jam sehabis makan malam, lampu-lampu di panti dipadamkan kecuali lampu lorong. Anak-anak panti sudah terbaring di kasurnya, terselimuti dengan kain hangat berwarna putih.

Beberapa dari mereka tidak langsung tertidur, memilih berbincang dengan teman sekamar sembari menunggu kantuk datang.

Tapi tepat saat jarum jam pada jam yang tersebar di masing-masing kamar menunjukkan pukul sepuluh, rumah itu telah sunyi. Sebagian besar anak-anak panti telah tertidur. 

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


13 Juni 2022

Author's Note

Background story ini makan dua chapter loh, haha. Mungkin tiga malah, masih beum pasti karena chapter 21 belum beres aku tulis. 

Tapi sejauh ini chapter itu udah lumayan, 2000-an kata. Entah bakal kubagi jadi dua chapter atau enggak. Walau pengennya gak dibagi lagi, soalnya chapter itu udah pas. Tapi yah tergantung jumlah kata ;-;

Awalnya bahkan background story ini mau kujadiin satu chapter full, tapi ternyata kebanyakan. Hasilnya 3000 kata lebih sedikit, jadi kubagi dua. Habisnyaa, memang part ini aku suka bangett. Padahal sampai beberapa hari lalu aku masih bingung harus kayak gimana background story si Little Girl ini. OvO;

Tapi ya ampun!! Terhitung chapter ini jumlah katanya udah 45 ribuuuu!!!

Aku gak tau mau seneng atau enggak, di satu sisi aku bangga karena ini ceritaku yang udah sampe sejauh ini, tapi di sisi lain aku takut jumlah katanya kebanyakan ... Padahal klimaksnya belum beres :")

Aku tuh sekarang kayak, mau mendekin biar jumlah katanya gak kebanyakan ... Tapi setiap ngedit bukannya ngurang malah nambah ...

Tapi semoga aja alurnya gak bertele-tele ya buat kalian, kayaknya aku gak masalah jumlah kata banyak asal alurnya enak di kalian. Menurut kalian gimanaa??


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top