Chapter 2: Para Peserta
"Bisa enggak dipercepat dikit gerakanmu?!" El berdecak kesal, menatapku jengkel dari ambang pintu bersama dengan Ara.
"Memangnya apa yang dipercepat? Aku kan lagi nyari barang. Sumpah deh!" Aku balas berteriak kesal. Memang sih aku pelupa dan lamban, tapi bahkan lima belas menit aja belum lewat dan acara uji cobanya masih dua jam lagi! Kenapa bocil menyebalkan itu terburu-buru sih!?
"Hah, lelet." El mendengus kesal. Aku hanya melotot padanya sekilas sebelum kembali mencari. Lagian kenapa dia mengomel aja? Padahal kalau dia ikut bantu, aku bisa menemukan kaos kakiku lebih cepat. Menyebalkan sekali. Kalau hanya mengomel sih enak.
"Ketemu!" Aku bergumam senang begitu menemukannya. Lantas cepat-cepat mengenakannya pada kaki kiri, yang setelah bermenit-menit tadi hanya sebelah kaki saja yang mengenakan kaos kaki.
"Sudah?" tanya El dengan nada yang sama menyebalkannya dengan bola matanya yang berputar malas. Aku hanya mendengus kesal sembari berjalan melewatinya, sengaja menabrakkan bahuku keras-keras padanya, membuatnya menggerutu tidak jelas.
"Minggir." Aku mendelik padanya sebelum mengunci pintu rumah dan berjalan mendahului Ara dan El. Sebelum benar-benar keluar dari pagar, aku sempat mendengar gerutuan El yang kesal akan tingkahku. Tapi kuabaikan, buat apa juga dibalas? Buang-buang waktu saja mengurusi anak itu.
Setelah keluar dari pagar, aku berdiri di tepinya, menunggu Ara dan El keluar dari gerbang dan membiarkan mereka jalan lebih dulu meninggalkanku. Walau sebenarnya hanya El yang ingin meningalkanku, Ara terpaksa mengikuti El karena bocah itu merengek agar temanku yang baik hati itu juga ikut meninggalkanku sendirian.
"Dasar pengadu." Aku mengendus kesal sembari mengunci pagar, membiarkan El berlaku sesukanya. Toh bukannya aku masalah jika harus jalan seorang diri.
Setelah berjalan selama mungkin sekitar setengah jam di belakang sedirian, akhirnya kami sampai juga di halte bus. Kami memutuskan menaiki bus daripada diantar oleh orang tuanya Ara dan El. Aneh saja jika kami diantar oleh orang tua untuk bermian game.
Aku tidak begitu banyak berbicara selama menunggu bus datang. Hanya si Kembar yang banyak bicara sedangkan aku diam mendengarkan sembari memalingkan wajah. Jujur saja, aku masih kesal dengan El yang cerewet tadi. Bahkan sebenarnya mendengar El bicara saja sudah membuatku muak. Ingin sekali kusumpal mulutnya. Tapi mau bagaimana lagi, kami sedang dalam perjalanan bersama, jadi mau tidak mau aku harus memperbaiki mood ku sedikit demi sedikit. Atau jika tidak, aku tidak akan bisa menikmati permainan nanti dengan sepenuh hati.
Disaat aku sudah mempunyai niat untuk kembali berinteraksi dengan mereka saat di dalam bus nanti, ternyata kursi di dalam sudah terlalu penuh untuk kami duduk bersama. Jadilah kami terpisah cukup jauh satu sama lain dan menghabiskan sejam perjalanan dengan cara masing-masing. Ara membaca novel, aku mendengarkan musik dan El dengan sosial medianya.
Untunglah letak perusahaan LnG masih satu kota dengan tempat tinggal kami, sehingga perjalanan tidak begitu menghabiskan waktu lama. Dan kami turun di halte yang tidak jauh dari letak perusahaan itu dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan.
Langkah kami berhenti begitu sampai di tujuan. Dari trotoar di sebrang gedung perusahaan LnG, kami dapat melihat gedung besar nan tinggi. Gedung itu nyaris dipenuhi dengan kaca, terutama gedung yang memanjang ke atas. Sedangkan sisanya yang memanjang ke samping terlihat seperti bangunan-bangunan pada umunya.
"Woah." Hanya itu yang keluar dari mulut El saat kami berdiri di pinggir jalan, menatap gedung perusahaan yang terlihat besar dan mengkilat berkat sinar matahari yang memantul.
Walau kaku dan sedikit canggung, akhirnya kami berjalan melewati pos satpam setelah memperlihatkan undangan yang diberi pihak pengembang game dan dapat izin masuk setelah diberi arahan untuk langsung ke lobi.
Tepat sebelum tangga menuju pintu masuk, terdapat monumen logo LnG yang terbuat dari batu marmer bewarna hitam pekat. Monumen yang kiranya setinggi dua meter itu mengilat begitu sinar matahari menyinarinya.
Di depan monumen, tangga pualam berwarna hitam yang tanpa noda itu menyambut kami bersama dengan wanita berjas dan rok yang di bawah lutut, rambutnya terikat rapih ke belakang. Mengejutkannya lagi, perempuan itu langsung mengetahui identitas kami dan meminta kami menunjukkan kartu undangan. Barulah perempuan itu menuntun jalan, yang katanya tempat para peserta lain menunggu.
Ternyata bukan hanya penampilan luarnya saja yang cantik, gedung ini dalamya pun terlihat sangat elegan. Meja resepsionis yang memajang di depan pintu masuk memiliki warna yang sama dengan keramik pada tangga dan lantai yang juga memiliki warna dan jenis yang serupa. Beberapa tanaman hijau di dalam pot menghiasi lobi, membuat ruangan itu terlihat lebih segar terlepas dari betapa gelapnya tema ruangan mereka.
"Gimana caranya lantainya tetep glowing walau udah kita injek?" El bergumam kecil, entah mengapa malah terpesona dengan keramik yang dipijakinya. Aku hanya mengerutkan dahi tanpa mengalihkan pandangan, mengapa pula aku harus bersama dengan orang yang norak.
Dan sepertinya, perempuan yang tadi menyambut kami--sekertaris Tiara, seorang yang merangkap sebagai pengwas serta salah satu penanggung jawab proyek Red House-- juga mengabaikan gumaman El dan memilih membawa kami masuk ke dalam lift.
Begitu memastikan kami semua sudah berada di dalam lift, Tiara menekan tombol angka 16 dan lift pun bergerak naik setelah pintunya tertutup rapat.
Saat pintu lift terbuka, cahaya matahari yang menembus dari jendela kaca langsung membuatku menyipitkan mata, terkejut dengan cahaya terang yang tiba-tiba datang. Kala mataku mulai terbiasa dengan cahanya, barulah aku bisa melihat pemandangan di sekitar dengan lebih jelas.
Seluruh gedung ini nyaris terselimuti kaca, aku bahkan dapat melihat dengan jelas pemandangan luar, bahkan sampai puluhan meter ke depan aku masih bisa melihatnya. Jalanan yang cukup penuh dengan kendaraan. Rumah yang berhimpitan, gedung dan banyak hal lainnya.
"Mari, lewat sini."Tiara mempersilahkan kami untuk mengikutinya. Dengan senang hati kami menurut. Lantas berjalan di sepanjang lorong dengan pemandangan menakjubkan itu hingga sampai pada sebuah pintu baja yang lagi-lagi berwarna hitam mengkilat.
Aneh saja, sebenarnya ada hubungan apa antara arsitek gedung ini dengan warna hitam? Rasa-rasanya sedari tadi aku selalu melihat warna hitam pada gedung ini.
"Silahkan masuk, uji oba akan dimulai jika semua peserta sudah hadir." Sekertaris Tiara menundukan kepala, membukakan pintu untuk kami dan menyilahkan kami masuk. Ara terlihat agak canggung dengan perilaku Tiara, sehingga dirinya juga ikut-ikutan menundukan kepala saat melangkah masuk.
Walau sudah menduganya, ruangan ini mengejutkannya juga bewarna hitam. Tapi sungguh, kali ini semua yang berada di dalamnya berwarna hitam. Lantainya, dinding, bahkan perabotannya pun berwarna hitam.
Namun yang menakjubkannya, ruangan ini sama sekali tidak terasa gelap walau ruangannya benar-benar tertutup. Bahkan tidak ada jendela seperti di luar tadi, hanya ada lubang ventilasi di langit-langit yang bahkan besarnya tidak sampai setengah badanku. Hanya ada satu jalan keluar dan masuk di ruangan ini, pintu itu.
"Hai." Ara menyapa mereka yang sudah datang begitu kami sudah duduk nyaman di sofa hitam (lagi).
Empat orang lain yang berada di ruangan itu membalas sapaan Ara, satu diantaranya hanya menunduk. Masing-masing dari mereka terlihat tidak tertarik untuk berbicara satu sama lain. Baiklah, situasi ini sangat canggung sekarang. Ara bahkan sudah terlihat tidak nyaman dengan situasi ini, jari-jarinya sibuk memainkan rambut panjangnya yang hari ini diikat ekor kuda.
"Kalian dari mana?" Akhirnya aku mencoba mengambil topik apapun. Pokoknya aku hanya ingin mencairkan suasana, tidak enak rasanya jika atmosfir ruangan sunyi begini. Terlebih, bagaimana mereka bisa berekspresi sesantai itu padahal kami sebentar lagi akan bermain permainan yang sedang hangat dibicarakan itu?
"Kamu bertanya apa sih, Ta? Jelas mereka dari rumah, kamu berharap mereka datang darimana? Dari langit?" El menepuk pundakku, tertawa, Sepertinya dia ingin mencoba mencarikan suasana dengan membuat mereka tertawa.
"Enggak lucu, loh." Aku menjawab pendek, berbisik padanya. Tapi jujur, candaannya tidak lucu sama sekali. Aku bahkan jadi ikut malu mendengar candaannya.
Dan sepertinya memang bukan hanya aku yang berpikir demikian, karena tidak ada satu pun yag merespon candaan El. Bingung harus bagaimana, akhirnya El hanya berdeham kaku.
"Katakan sesuatu dong!" El berbisik padaku dan Ara sebagai pengalihan, wajahnya memerah malu. Aku tertawa kecil melihatnya, hanya mengangkat bahu tidak peduli.
"Kenapa mengundang anak kecil, sih." Ucapan itu tiba-tiba terdengar olehku. Entah diperutukkan untuk siapa. Bahkan yang berbicara pun sepertinya hanya bergumam. Tapi matanya yang tiba-tiba mendelik ke arah kami bertiga, membuatku yakin kalimat tadi diperuntukkan untuk kami.
"Maksudmu anak kecil?" Aku menatapnya, dengan seksama dan dalam. Padahal dia tidak ada masalah dengan kami, kenapa tiba-tiba cari masalah?
"Hoo? Kau mendengarnya, kenapa? Kau merasa dirimu seperti anak kecil?" Wajahnya terangkat, membuatku makin jengkel akan sikapnya.
Aku memutar bola mata, mendengus. "Masalah jika anak kecil diundang?" Aku meluruskan dan menajamkan tatapanku padanya. Laki-laki, ah tidak, mata empat adalah panggilan yang cocok untuknya. Dia tersenyum puas, aku tau dia memancingku, dan dia berhasil. Aku nyaris maju dan hendak beradu mulut dan tinju dengannya jika Ara tidak terlebih dahulu memintaku duduk.
Aku menatap Ara dan El yang berada di belakangku, berdecih kesal, "dia duluan yang mulai." Aku menghempaskan diri ke sofa, melipat tangan.
"Biarkan aja. Kalau kita jadi ditendang dari sini itu salahmu." El berbisik, menekankan kalimatnya. Aku terdiam, benar juga. Bagaimana pun juga, jangan sampai kami jadi kehilangan satu-satunya kesempatan untuk mencoba permainan ini. Sebrengsek apapun orang yang kutemui, aku tidak boleh terpancing.
Untunglah, setelahnya mata empat itu tidak lagi berceloteh apapun. Tapi jadinya, bukan hanya dia yang tidak berbicara, semua yang ada di ruangan ini membisu. Sepertinya kejadian tadi membuat yang lain jadi canggung. Ya sudahlah, bukan salahku kok, mata empat itu yang memulai.
Di tengah kesunyian itu, Ara mendadak maju dari posisi duduknya, membuatnya duduk di pinggiran sofa lantas menjulurkan tangannya melewatiku, berhenti di perempuan di sebelahku, satu-satunya perempuan di sini selain aku dan Ara.
"Hai, saya Ara. Namamu siapa?" Tanyanya dengan lembut.
Perempuan itu terlihat kebingungan melihat juluran tangan Ara. Ara tetap berusaha tersenyum sehangat mungkin. Kulihat-lihat, perempuan itu agak mungil hingga aku hampir mengiranya anak SD jika tidak melihat wajahnya. Mungkin dia sekitar empat belas atau lima belas tahun. Dan kali ini aku benar-benar terheran, bagaimana bisa mereka membawa anak kecil ke sini?
Akhirnya perempuan itu menyambut uluran tangan Ara, "username-ku di game, Viary. Ah, ehm, mamaku bilang, aku tidak boleh memberikan identitasku ke sembarang orang, jadi maaf." Perempuan itu, Viary, berkata canggung. Pasti karena pertengkaran kami dengan si mata empat itu sebelumnya.
"Enggak masalah. Kalau gitu, Ara panggil Via saja, ya? Biar gampang, hehe." Ara balas tersenyum. Setelahnya Ara mengenalkan aku dan El pada Viary. Aku langsung menyambut Viary, memperkenalkan diriku.
Tepat setelah El memperkenalkan dirinya pada Viary, pintu hitam itu terbuka. Sekertaris Tiara datang dengan tiga laki-laki di belakangnya. Kali ini Sekertaris Tiara tidak meninggalkan ruangan, dia duduk setelah menyilahkan tiga laki-laki di belakangnya untuk duduk terlebih dahulu.
"Sebelum saya menjelaskan, saya persilahkan kalian berkenalan untuk di data ulang, nama asli maupun username." ucap Tiara, menatap kami semua bergantian.
Hening, tidak ada yang inisiatif untuk memperkenalkan diri lebih dulu. Semuanya hanya saling pandang, menunggu ada yang memulai perkenalan.
"Username, Player#3047. Kalau tidak salah." Si mata empat tiba-tiba berbicara dan memulai perkenalan. Aku yang mendengar itu tersenyum menahan tawa. Username si mata empat eksentrik sekali. Dan sepertinya, bukan aku saja yang beranggapan seperti itu, tapi nyaris semua menunjukkan reaksi yang sama begitu mendengar username nya. Lagian, kenapa dia tidak beri nama.
"Kalau terlalu rumit, panggil saja Edy." si Mata Empat membuang muka. Aku tertawa dalam hati melihat reaksinya, dia pasti menyesal datang ke sini tanpa mengganti username.
"Terima kasih Edy, selanjutnya?" ucap Sekertaris Tiara, memecah suasana yang mulai mencair diantara kami.
"Username, Aranoa." Seorang laki-laki dengan jaket denim itu bersuara, memperkenalkan dirinya. Sekertaris Tiara mengangguk, meminta orang berikutnya memperkenalkan diri.
"Username ku, ehm, Viary." Viary berucap malu-malu. Kalau Ara datang kemari sendiri seperti Viary kini, mungkin dia akan bersikap seperti itu juga.
"Username, Raka 097. Panggil saja Raka." Laki-laki berambut agak keriting itu mengangguk sopan, menatap setiap peserta yang hadir. Aku balas mengangguk, begitupun yang lain.
"Username, Berry, panggil Ara saja." Ara tersenyum manis, seperti yang diduga dari seorang Ara, selalu ramah pada setiap orang. Bagiku, dia terlihat seperti karakter utama dari film atau cerita yang memiliki sifat baik, ramah, manis dan perhatian.
"Username, Moonx." ucap seorang lelaki.
"Username, Nacht." Seorang pria dengan tubuh kekar, rambut ikal dan gondrong itu tersenyum ramah, menatap setiap peserta. Aku balik tersenyum ramah, sempat sedikit teralihkan oleh janggut dan rambut ikal berwarna coklat mudanya yang terkuncir ke belakang, membuatnya terlihat gagah. Sepertinya dia orang barat atau setidaknya memiliki darah orang sana. Tambahan, dia terlihat jauh lebih tua dariku, mungkin sekitar tiga puluh awal atau pertengahan.
"Username, Luna, tapi panggil saja Lita. " Aku memperkenalkan diri, dan Tiara langsung mencatat sesuatu pada kertas yang dibawanya, seperti saat para peserta lain memperkenalkan dirinya.
"Username, Azura. Panggil El saja." El mengakhiri sesi perkenalan ini. Tiara lantas membalik kertasnya, menyimpan di depan dadanya dan menatap kami semua.
"Terima kasih untuk kalian yang sudah bersedia mengikuti pengujian permainan video terbaru kami. Selanjutnya, saya akan menjelaskan beberapa hal tentang game ini yang perlu kalian ketahui," ucap Tiara, menatap kami serius. Kini, aku mendadak merasa gugup dan bersemangat.
Aku sangat menanti permainan seperti apa yang menunggu.
.
.
.
.
.
.
.
.
Edited 15/12/2022
12 April 2022
Author's Note
Oke, jadi ini harusnya diupload kemarin...
Tapi aku lupa ;-;
Maafkan(• ▽ •;)
Jadilah hari ini baru ku upload.
Kalau gitu gimana chapter hari ini?
Sampai ketemu hati sabtu nanti karena janjiku update tiga kali di hari pertama udah beres~ Hwhw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top