Chapter 18: Lari!

TING!

Bunyi itu mengacaukan fokusku yang tengah berdiskusi dengan Edy. Karena beberapa menit yang lalu, aku dan Edy sampai di tempat Ara memulai permainan ini, sebuah kamar di lantai dua.

Kamar itu memiliki dua kasur tingkat dan empat lemari. Cukup besar untuk kamar asrama yang hanya berisi empat orang.

Besar untuk ukuran asrama maksudku. Karena rata-rata, asrama yang kukenal tidak pernah punya kamar sebesar ini. Walau, menilik dari kelengkapan fasilitas dan besarnya rumah ini, mungkin saja ini asrama mahal, karena itu mereka punya kamar sebesar dan sebagus ini.

Kami menemukan sesuatu di kamar ini, sebuah bros berbentuk kupu-kupu. Terlihat indah dengan kristal-kristal kecil yang menghiasi kedua sayap kupu-kupu itu.

Jika saja tidak ada secarik kertas yang dibingkai di bawah bros yang terpajang di dinding itu, aku mungkin hanya akan menganggapnya sekadar hiasan saja.

'Seperti janji di petang itu, kita akan jadi teman selamanya.'

Kalimat itu tertulis di atas kertas yang telah menguning, ujung-ujungnya terlihat terbakar dan ternodai oleh tanah dengan cantiknya. Huruf-hurufnya meliuk-liuk indah, menyambung satu huruf dengan huruf yang lain.

Tapi, sebuah percikan darah pada bingkai itu membuat semua keindahan hilang. Belum lagi dengan jejak darah yang menempel di bros itu sendiri. Jejak itu seperti menceritakan, sejarah dibalik bros ini tidak seindah penampilannya.

Dan belum sempat kami mendapat petunjuk lain dan mendiskusikan maksud dari kalimat itu, jendela layarku terbuka, menampilkan panggilan masuk dari Ara.

Tanpa ragu-ragu, aku langsung menerimanya.

"LARI! Lari sejauh yang kalian bisa, berpencar! Lokasi kita terlacak oleh lawan!" Seruan panik setengah terengah-engah itu langsung menyambut tepat setelah wajah Ara terlihat di layar.

Aku dan Edy menatap satu sama lain, dan sepersekian detik setelahnya kami berlari keluar ruangan tanpa ragu. Kami memang belum tahu apa yang sebenarnya terjadi atau bagaimana hal itu bisa terjadi, tapi yang pertama, ikuti saja dulu! Karena kami masih harus menjaga nyawa kami.

Tanganku masih mengenggam bros itu dan Edy masih membawa kertas yang sudah dipisahkan dari bingkai tadi. Kami berlari secepat mungkin keluar dari ruangan, namun belum berpencar.

"Apa yang terjadi!?" Aku berseru, tidak ada gunananya lagi untuk menjaga suasana tetap sunyi jika lawan sudah mengetahui lokasi kami.

"Nanti saja Ara jelaskan, yang penting kalian harus berpencar!" Suara Ara terputus begitu dia menutup panggilannya, dia pasti sengaja menjaga napasnya untuk berlari.

"Kita harus berpencar."

"Ya." Aku mengangguk pada Edy. Untuk saat ini, sepertinya kami harus mendengarkan Ara.

Kami terus berlari menyusuri lorong tanpa mengkhawatirkan suara langkah kaki kami yang berisik.

Begitu bertemu dengan lorong bercabang, kami berpisah, aku ke kanan dan Edy ke kiri. Aku tidak tahu jalan ini mengarah ke mana, bagaimana lawan bisa melacak posisi kami atau apa yang terjadi pada tim Ara dan Viary, aku tidak tahu. Tapi aku harus terus berlari!

Aku sadar, akan sangat merepotkan jika kami harus terus berlari seperti ini. Karena itu aku berharap mereka hanya bisa mengetahui lokasi kami selama beberapa menit saja. Karena jika tidak, kami akan kalah dengan mudah. Jangankan memecahkan petunjuk yang telah aku dan Edy dapatkan, untuk terus menerus berlari menghindari tim lawan saja sudah sangat sulit!

Bukan hal yang sulit jika ketentuan permainan masih sama seperti di awal, tapi stamina kami kini terhitung dan aku jelas tidak bisa menandingi lari tim lawan yang seolah tidak kenal lelah.

Aku berbelok, menaiki tangga menuju lantai tiga. Entah kenapa aku berasumsi para Hunter berada di lantai satu dan menjauh dari lantai satu adalah pilihan terbaik.

Lorong kosong di lantai menyambutku. Bagus, tidak ada siapa-siapa.

Aku melanjutkan berlari tanpa arah. Yang penting, jangan berdiam di satu tempat agar Hunter tidak bisa-

"Sial!" Aku berdecih begitu melihat seorang Hunter yang melintasi lorong di depan, dan dia juga melihatku!

Sebelum sempat dia mendekati dan menangkapku, aku berbalik. Lantai kayu yang cukup licin sempat membuatku nyaris terjatuh saat berputar cepat. Tapi setidaknya aku tidak sampai terjatuh dan masih mempunyai waktu untuk melarikan diri.

"Apa dia sengaja ke sini untuk menangkapku!?" Aku memutar bola mata kesal, masih berlari menghindari Hunter di belakang.

Aku kehabisan akal untuk lolos darinya, percuma bersembunyi di salah satu ruangan, Hunter itu bisa mengetahui posisiku dengan mudahnya, tidak ada yang bisa kulakukan selain berlari.

TING!

Jendela muncul, menghalangi pandanganku. 'Terus berlari selama enam menit ke depan! Mereka tidak bisa lagi melacak lebih dari waktu itu.' Pesan itu muncul dan aku langsung menutupnya begitu selesai membaca.

Kalau begitu, aku hanya perlu bertahan selama enam menit. Setelahnya aku akan kembali mengecoh dengan sembunyi di ruangan. Aku harus menghemat tenaga agar tahan berlari selama enam menit.

Bunyi sesuatu yang berselancar mendekat terdengar, lantas setelahnya muncul seorang Hunter di ujung lorong sana!

"SIALAN!" Aku berseru kesal. Padahal aku berada di lantai tiga, apa jarak mereka memang sedekat itu denganku!?

Aku tidak bisa tertangkap, aku tidak boleh tertangkap. Karena jika aku tertangkap saat ini, berakhir sudah untukku, aku tidak punya nyawa bersisa.

Hunter di ujung lorong itu tidak melakukan apapun dan hanya berdiam di sana, aku hanya bisa tertawa miris. "Sialan sekali memang. Kalian suka ya, megintimidasi orang?!" Aku berteriak, menghentikkan lariku. Membuat Hunter yang tadi mengejarku juga terhenti.

"Aish! Kalau mau tangkap, tangkap saja sini!" Mataku terasa panas saat menyerukan hal itu, habis sudah nasibku sekarang. Depan belakangku terkepung, aku bisa saja kabur dari mereka seperti sebelumnya. Tapi aku tidak akan bisa menangani dua hunter sendirian selama enam menit ke depan.

Karena ada dua di sini, setidaknya hanya ada satu yang mengejar salah satu dari Edy, Ara atau Viary. Aku ingin menahan mereka di sini selama yang kubisa selama empat menit ke depan. Setidaknya, itu akan membantu mereka untuk kabur.

Kedua Hunter itu berjalan tenang, tidak, ralat, mereka lebih terlihat seperti sengaja membuat langkah pelan untuk mengintimidasi. Baguslah, aku bisa menahan mereka lebih lama karena hal ini.

"Aku tidak tahu apa kalian bisa mendengarku atau tidak, apa kalian masih berada di sana atau tidak, Arranoa dan ... El." Aku menghela napas sebelum melanjutkan, "bahkan jika aku tertangkap pun, dan selamat dengan cacat otak. Aku akan menghabisi perusahaan ini untuk kalian, Raka dan Nacht. Aku akan membuat mereka tau rasa." Aku berdesis kesal, menatap pintu di depanku yang tertutup rapat.

Aku tidak begitu memperhatikan reaksi kedua Hunter itu, kemungkinan besar bersikap bodoh dan pura-pura tidak mendengar sembari terus mendekati dengan senyum lebar mengerikannya itu.

Tapi aku sungguh-sungguh saat mengatakan hal tadi, apapun yang terjadi padaku nanti, aku pasti akan menghajar orang-orang perusahaan ini. Walau mustahil, walau akan jadi masalah besar menganggu perusahaan besar, aku akan tetap menghajar mereka sampai puas.

Aku melirik ke kanan, pada Hunter yang mencegatku di ujung lorong tadi. Dia sudah cukup dekat denganku, mungkin beberapa belas langkah lagi sampai.

Namun baru saja aku menolehkan sedikit kepalaku, Hunter itu langsung berlari cepat menedekatiku kala mataku bertemu dengannya, membuatku berjengit pelan.

Aku tersenyum miris, saat bangun nanti, hal yang pertama kulakukan adalah menampar siapa pun yang kulihat, bodo amat jika ternyata orang yang kutampar justru malah pemilik perusahaan.

Hunter itu sudah dekat dengan posisiku kini. Tangannya meraih ke depan, menggapaiku.

Plak!

Sebuah tangan dari belakangku menepis lengan Hunter di depan.

Terkejut, aku refleks menoleh ke belakang. Hunter yang tadi mengejarku ... tidak menangkapku.

"La ... ri , Lit ... a ..." Suara itu terdengar gemetar dan serak, mulut yang memancarkan cahaya itu masih ada, masih menyeringai tajam, pun dengan matanya. Tapi suara dibalik topeng yang tersembunyi di dalam tudung itu ... Aku mengenalinya.

"El?" Ada perasaan lega, namun perih di saat yang bersamaan. El masih di sana, entah apa yang terjadi di dalam sana. Tapi dari suaranya yang terdengar kacau, dia seperti sedang mencoba melawan sesuatu yang mempengaruhi pikirannya.

Duk!

Arranoa, dia masih berusaha menggapaiku sehingga El mendorongnya jauh, dia tersungkur. Aku tahu ini kesempatanku untuk kabur, tapi kakiku terasa berat untuk melangkah. Mengetahui mereka berdua masih ada di sana, dan sepertinya juga mengalami hal yang berat seperti kami, membuatku sulit untuk pergi dan menyelesaikan permainan ini.

Lalu tiba-tiba, El mendorongku mendekati pintu yang berada di depanku, menyadarkan lamunanku. Dia membuka pintu itu sebelum akhirnya mendorongku masuk hingga terjatuh.

"TUNGGU, EL!" Aku segera bangkit dan hendak menggapainya, namun ...

BRAK!

El lebih dulu menutup pintunya.

*****

Edy terus berlari meski tidak ada yang mengejarnya, dia tidak bisa berada di posisi yang sama secara terus menerus jika tidak ingin tertangkap oleh Little Girl. Karena jika diam, sama saja seperti menyalonkan diri untuk menjadi mangsa.

Seperti pesan dari Ara, dia harus terus berlari selama enam menit ke depan, walau Edy tidak tahu sudah berapa menit terlewati setelah pesan dari Ara masuk. Tapi sepertinya cukup lama sampai dirinya kini sudah mencapai lantai satu. Setelah beberapa saat yang lalu dia melewati pintu masuk.

TING!

Jendelanya kembali muncul saat Edy masih berlari, mulanya dia pikir ada pesan lagi dari Ara. Tapi ternyata, Viary yang mengiriminya pesan. Dia hanya mengirimkan lokasinya tanpa mengatakan sepatah katapun.

Seketika, Edy mengingat percakapan mereka di kamar pengurus beberapa jam lalu, untuk mengirimkan lokasi saat sedang terkejar lawan.

Edy memutuskan menghentikkan larinya, melihat peta yang mengarah ke lokasi Viary dengan lebih jelas, memperbesarnya. "Tidak jauh dari posisiku sekarang." Edy bergumam pelan sebelum akhirnya memilih pilihan 'arahkan' pada layar.

Tentu saja Edy masih belum lupa bagaimana sikap Ara saat mereka terakhir bertemu. Terlebih, Edy punya dugaan, yang membuat Raka tertangkap adalah Viary, Edy masih mengingat gelagat aneh Viary saat itu. Tapi dia tetap merasa, tidak ada orang yang layak untuk dikorbankan untuk hal ini.

Belum lagi, Viary terlihat masih sangat muda, mungkin SMP atau SMA awal. Sudah berada di dituasi seperti ini di umur segitu, pasti sangat sulit dan berat baginya.

Mungkin dia hanya ingin bertahan hidup pastinya, dan Edy cukup yakin, jika memang benar Viary yang sengaja mengorbankan Raka agar dirinya bertahan hidup, hal itu tidak dilakukan dengan mudah oleh Viary, mungkin dia merasa bersalah setelah melakukannya. Karena saat itu yang dia inginkan hanya bertahan hidup.

Edy pikir, meninggalkan dan menyalahkannya, hanya akan membuat kondisi lebih buruk. Karena itu Edy enggan untuk meninggalkan Viary seorang diri, Viary hanya ketakutan.

Sebelum berjalan, Edy teringat perkataan Lita yang mengatakan Little Girl mempunyai pendengaran yang tajam. Edy tidak yakin siapa yang mengejar Viary, namun lebih baik dia berjaga-jaga dengan melepas sepatunya agar meminimalisir suara langkah kaki. Lagipun, berlari tanpa alas kaki bisa membuatnya lari lebih cepat.

Setelah melepas kedua sepatunya, Edy mulai berlari. Dia harus cepat menghampiri Viary sebelum dia tertangkap tim lawan.

Selepas melewati beberapa kelokan dan jalan bercabang, kini dirinya sudah lebih dekat dengan posisi terakhir Viary, hanya tersisa dua lorong untuk dilewati.

"AAAA!" Teriakan itu berhasil membuat mata Edy membulat dan membuatnya terburu-buru berlari ke arah sumber suara yang terdengar tidak jauh.

Derap langkah kaki Edy yang cepat itu semakin terdengar kencang, mengalahkan suara detak jantungnya yang juga berdetak cepat.

Begitu dia berbelok, Edy bisa melihat sosok Viary yang berlari dari Little Girl dengan wajah panik dan ketakutan. Sambil mendecak, Edy membuka jendelanya dan melihat berapa waktu yang tersisa.

"Dua menit. Sebentar lagi." Dirinya langsung menutup jendela dan menyambar tangan Viary begitu jarak mereka dekat. Untungnya, lari Little Girl tidak secepat Hunter, lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri.

Yang jadi masalah kini, mereka harus tahan untuk berlari lagi selama dua menit yang tersisa, baru setelahnya bisa bersembunyi dan kabur dari Little Girl. "Bertahanlah selama dua menit lagi! Jangan pelankan larimu." Edy berkata tanpa memalingkan pandangannya dari depan.

Dia sudah melewati lorong ini sebelumnya. Dan saat lewat tadi, Edy menemukan tempat yang cukup bagus untuk bersembunyi, mungkin bisa mengecoh Little Girl.

Edy menoleh ke belakang, matanya sempat menangkap ekspresi Viary yang sudah kelelahan dan ketatakutan, di belakangnya Edy melihat Little Girl yang tertinggal cukup jauh. Harapannya untuk kabur selamat bersama meninggi, jika mereka mempertahankan jarak ini, mereka bisa kabur dengan mudahnya.

Edy melepaskan genggamannya pada Viary untuk membuka jendela. "Sudah dua menit! Dengar, di lorong depan, setelah kelokan, ada ruangan yang penuh dengan peralatan menggambar. Di atas lemari yang tinggi, ada ventilasi. Kita bersembunyi di sana." Edy mengecilkan suaranya saat mengatakan hal itu. Viary mengangguk pelan.

Mereka berdua menambah kecepatan lari mereka, begitu berbelok ke lorong satunya, seperti biasa, pintu-pintu ruangan menyambut. Namun ruangan yang Edy dan Viary tuju pintunya terbuka, sehingga mereka masuk dengan mudah pada ruangan tujuan mereka.

Ruang yang terlihat seperti ruang seni itu sangat besar dan memiliki banyak peralatan yang beragam. Barang-barang kecil yang tersimpan di meja tidak dapat terlihat sepenuhnya karena gelapnya ruangan ini. Tapi mereka tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan semua itu, mereka harus segera bersembunyi.

Suara sepatu pentopel gadis kecil itu semakin terdengar mendekat seolah menjadi hitungan mundur bagi mereka.

Tanpa basa-basi lagi, Edy membantu Viary naik ke lemari dengan menggunakan kursi. Lemari itu cukup tinggi untuk Viary panjati seorang diri.

Begitu sudah memastikan Viary naik, Edy mengembalikkan kursi itu agar tidak meninggalkan jejak.

TAP TAP TAP

Suara langkah kaki itu terdengar makin cepat saja. Detak jantung merela berdua berdegup kencang seiring bunyi ketukan pada sepatunya.

"Edy, cepat!" Viary berbisik, Edy masih berusaha memanjati lemari itu.

TAP TAP TAP

Viary bisa mendengar suara ketukan yang semakin dekat.

Matanya membulat begitu melihat ujung gaun berwarna merah gadis itu. Tangannya refleks terulur pada bahu Edy.

"Maaf, Edy."

Viary menundukkan wajahnya saat kedua tangannya mendorong kedua bahu Edy. Tidak berani menatap wajah Edy. Suaranya terdengar gemetar dan penuh rasa bersalah. "Aku tidak punya pilihan lain." Bisikkan Viary terdengar sebelum akhirnya dia mundur dan masuk ke Ventilasi.

Dorongan Viary cukup kencang hingga membuat genggaman tangan Edy pada ujung lemari terlepas. Matanya menyiratkan kebungingan, alisnya tertaut. Mulutnya yang sedikit terbuka seolah terkejut dengan perlakuan Viary padanya.

BRUK!

Edy mengaduh pelan, namun dia tidak begitu yakin mana yang lebih saki: Viary yang mendorongnya atau terjatuh dari lemari setinggi dua meter.

TAP TAP

"Di sini ternyata."

Suara itu terdengar bagai kalimat pengantar maut

Ventilasi itu tertutup sepunuhnya begitu Little Girl, gadis itu melangkah masuk.

Edy bangkit duduk, menahan rasa sakit pada sendi kakinya.

Gaun merah dan jejak tangis darah milik gadis itu terlihat mencolok di dalam ruangan ini. Senyum lebarnya yang menghantui terlihat lebih menyeramkan di dalam kegelapan, perlahan mendekati Edy yang mulai bangkit berdiri.

Gadis di depannya tiba-tiba berlari, membuat Edy berjengit terkejut.

Belum sempat Edy melangkah kabur, sebuah tangan serta senyum dengan gigi-gigi tajam itu menyambutnya di depan wajahnya. Sangat dekat sampai Edy tidak mampu bereaksi.

Tangan mungil itu mendorong Edy hingga jatuh ke belakang, membuat kepalanya berdengung dan nyeri.

Dengan pandangan yang masih sedikit kabur, Edy berguling menjauh.

"Mau kemana?"

Seketika, Edy merasa sesuatu menarik kakinya dengan keras. Namun entah kenapa tubuhnya tidak tertarik ke belakang.

"AAAAAAA!" Jeritan itu terdengar menyakitkan dan menggema di ruangan seni itu. Menggambarkan kesakitan yang teramat yang dirasakan Edy.

Beberapa detik setelahnya, beriringan dengan teriakan Edy yang semakin melengking, bunyi sesuatu terputus terdengar dengan bunyi percikan.

Cairan berwarna merah memuncrat dari paha Edy. Dia merasakan sesuatu terputus dari kakinya.

"aaaa...." Suara Edy bergetar melihat kaki bagian lutut ke bawah mengalirkan darah, terpisah dari pahanya. Matanya membulat sempurna, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, menambah ketakutan yang dirasanya pada gadis bergaun merah itu.

Wajahnya pucat pasi melihat kondisi kakinya, mulutnya terbuka tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Namun rasa sakit yang dirasanya nyata.

"AAAAA!" Edy meringkuk, berusaha mencapai kakinya yang hanya tersisa pahanya itu. Darahnya yang menggenang terlihat bersinar terang diantara gelapnya ruangan.

Racauan Edy yang terdengar gemetar dan kesakitan itu menambah suasana suram dan gelap pada ruangan itu.

Perlahan, dengan suara sepatu yang menggema, gadis bergaun merah itu mendekati Edy dengan jarum jahit dan benang di tangannya, meninggalkan kaki Edy yang terpisah di belakangnya.

"Dengan ini, kau jadi boneka ketiga ku~"

Gadis itu terkikik senang, suara tawanya menjadi satu dengan racauan kesakitan ketakutan Edy.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


05 Juni 2022

Author's Note

Sejujurnya aku juga gak rela Edy mati, dia favoritkuuu T-T

Tapi maaf Edy, kamu harus mati *sob sob*

Jujur, kepalaku pusing dan sakit sekarang. Aku ngerasa chapter ini kurang maksimal :")

Semoga aja sakit kepalanya besok hilang! Sakit banget bener, ini aku maksain duduk depan laptop malem-malem demi update :"

Jadi karena itu aku mau langsung tidur, babay!



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top