Chapter 15: Will We Make It?
Aku yakin Edy juga mendengar ucapan Ara, wajahnya mungkin sama piasnya denganku sekarang. Edy segera membuka jendelanya, aku memang tidak dapat melihatnya, taoi gesturnya menunjukan demikian.
Ara tidak berkata apa-apa lagi setelahnya dan aku pun terdiam, menatap Edy yang sepertinya tengah memeriksa list pemain yang tersisa, menatapnya penuh harap. Kami bahkan belum mendapatkan kunci pertama, tidak mungkin sudah ada yang tertangkap lagi, 'kan?
"Sial!" Edy berdecih. Desahan kesalnya itu menjelaskan semuanya padaku, bahwa kini memang hanya tersisa empat orang dari tim kami. Dengan rumah yang teramat luas, dan jumlah pengejar yang melebihi setengah dari kami, mestinya akan sulit untuk memenangkan permainan ini.
Hatiku terasa kacau, panik, sedih dan perih. Aku tidak yakin apa itu karena Raka yang tertangkap atau karena aku menyadari permainan ini akan menjadi lebih sulit ke depannya, atau mungkin keduanya.
Namun yang pasti, keheningan yang kian mengental diantara kami membuat suasana terasa lebih muram dan suram, bahkan Ara pun tidak mengatakan apa pun dari sebrang sana.
"Ada banyak hal yang perlu kita diskusikan." Sesaat, suara Edy terdengar berbeda, Benar-benar sesaat hingga bahkan aku tidak sempat mengetahui apa yang berubah dari suaranya. Tapi melihat matanya yang masih sedikit menyiratkan kesedihan dan ketakutan membuatku tahu, bahwa Edy sedang berusaha tegar sekarang.
"Aku dan Edy ke sana. Ara tunggu saja di sana. Kalau bisa kunci pintunya, jangan sampai ada yang tertangkap lagi." Sekuat mungkin, aku mengepalkan tanganku, menahan suara agar tetap stabil dan terdengar biasa saja. Walau merasa sangat ketakutan sekarang.
Kerusakan fungsi otak bukan sesuatu yang terdengar sepele bagiku. Entah apa yang akan berpengaruh kepada mental kami, cara berpikir kami atau bahkan ingatan kami jika kami benar-benar kehilangan salah satu fungsi otak itu.
"Ayo." Ajakan Edy membuyarkan lamunanku, tidak sadar panggilan sudah ditutup oleh Ara dan Edy sudah sampai pada anak tangga terakhir. Aku terdiam sesaat, menatap Edy di ujung tangga sana yang sudah terlihat lebih yakin. Lantas aku mengangguk, berlari kecil menghampirinya.
Begitu aku sampai di sampingnya, kami melanjutkan berjalan dalam diam, aku menunduk. Hening yang kali ini menemani kami terasa berbeda, terasa mencekam, mengancam. Seolah diamnya kami hanya pelampiasan atas ketakutan yang masih mendominasi.
Tidak sanggup menatap lantai terus menerus, aku memalingkan pandangan.
"Apa yang-!?" Napasku tercekat, aku bisa merasakannya. Bahkan aku bisa mendengarkan detak jantung yang kian berdegup semakin cepat melihat hal yang tergantung pada dinding di atas perapian itu.
Apa yang terjadi ... Pada mereka berdua?
Mengerikan. Hanya satu kata itu yang mampu mendeskripsikan mayat Raka dan Nacht yang menggantung di atas perapian.
Ruangan tamu yang seharusnya diterangi oleh cahaya lampu dan api dari perapian, kini menjadi semakin gelap dari sebelumnya karena lampu yang menerangi sofa-sofa itu padam, satu-satunya cahaya hanya berasal dari perapian.
Cahaya itu menerangi mayat Raka dan Nacht yang menggantung di sana. Mayat mereka terlihlat mengerikan dalam kondisi yang berbeda.
Bola mata Nacht tergantikan oleh kancing berwarna merah. Pada sisi-sisi matanya terlihat jahitan dari benang berwarna merah yang terhubung pada lubang di tengah kancing itu. Mata kancing itu dijahit menggunakan benang.
Sedangka Raka terlihat lebih mengerikan, matanya tidak diganti menjadi kancing seperti Raka. Namun karena itu, matanya yang membelalak sempurna terlihat sangat mengerikan. Belum lagi bagian leher Raka yang terganti menjadi bagian leher dari boneka, pun terjahit dengan benang merah yang sama dengan Nacht.
Mata yang membulat itu seakan menggambarkan kesakitan yang Raka rasa, namun karena senyuman lebar yang terjahit oleh benang merah itu malah membuat Raka menjadi mayat yang menakutkan. Senyum itu juga tidak terlihat seperti senyum yang menyenangkan, pun dengan senyum yang Nacht miliki.
Namun ada satu hal lagi yang membuat mayat mereka semakin mengerikan kala ditatap, darah yang terus keluar dari mata mereka.
Darah yang seolah tidak berhenti mengalir.
Seolah menjadi tangis akan kesakitan yang mereka rasa.
"Jangan dilihat jika tidak sanggup." Begitu Edy menarikkku, membuat pandanganku teralihkan dari pandangan kedua mayat itu. Akhirnya, aku merasa bisa bernapas kembali walau bayangan akan mayat itu masih tergambar dengan jelas.
Mayat-mayat itu seolah memperingati kami untuk bergegas, segera keluar dari permainan ini sebelum bernasib sama dengan Nacht dan Raka.
Kami terus berjalan menjauhi tempat Nacht dan Raka berada. Namun sepertinya, yang membuatku bisa terus berjalan adalah tangan Edy yang terus menarikku untuk mengikutinya. Padahal aku merasakan kakiku sangat lemas sekali untuk berjalan, aku bahkan tidak sadar sedari tadi jalanku menyeret.
Tapi malangnya, memang aku sepertinya tidak sanggup untuk melakukannya, bahkan hanya untuk sekedar mengangkat kepalaku dan mengatakan terima kasih padanya, atau untuk menangis ketakutan.
Pandanganku kosong, namun pemikiran-pemikiran buruk terus menghampiri, membuat spekulasi tentang ini dan itu yang membuat harapanku untuk selamat mengecil hingga sampai di titik pikiranku menjadi kosong dan tidak mampu mencerna apapun.
"Kita bisa keluar. Dan begitu keluar, ayo hajar mereka yang sudah membuat Nacht dan Raka jadi seperti itu." Kepalaku terangkat, ucapannya menarik kembali kesadaranku.
Dari belakang, aku hanya bisa sedikit melihat wajah dan punggungnya. Mungkin saat berbicara tadi dia tidak menoleh padaku, tapi aku bisa merasakan ketulusan pada kalimatnya, dan menyadari sesuatu yang membuatku tertawa kecil. "Cara bicaramu seperti El saja." Tawaku terhenti begitu aku mengingat El yang berada di permainan ini dan dirinya sedang dalam bahaya.
Apa ... Apa hal yang sama akan terjadi pada tim yang kalah? Apa mereka juga akan seperti Nacht dan Raka?
Sepertinya aku kembali membisu selama beberapa menit, bahkan Edy sampai menghentikkan langkahnya. Genggamannya tidak lepas, tapi aku tidak tahu dia tengah apa. Pandanganku seakan buyar oleh pemikiran negatif.
"Mau itu itu tim lawan atau runner. Kita pastikan mereka kembali sehat, kita pastikan mereka selamat. Tapi pertama ..." Aku menatapnya, mendengarkan seksama kalimat Edy. Dia melepaskan genggamannya pada pergelangan tanganku, berganti mengenggam kedua bahuku erat.
"Kita harus keluar. Tidak ada yang bisa kita lakukan jika kita masih terjebak di sini." Edy menatapku mantap, aku tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas kecil, aku merasa lega setelah Edy mengatakan hal itu.
"Terima kasih." Gumamku pelan sembari menrurunkan kedua tangannya.
Edy mengangguk kecil lantas berjalan dan disusul olehku, berjalan di sampingnya. Kali ini pun kami berjalan dengan hening, tapi berbeda. Aku sudah lebih tenang daripada sebelumnya. Perasaan ragu, takut dan ngeri itu masih ada. Namun aku sudah lebih tenang kini, berkat Edy.
Padahal mungkin saja, dia merasa sama terpuruknya denganku tapi tetap berusaha seoptimis itu. Sungguh bodoh diriku di masa lalu yang meremehkan dan merendahkannya. Dia memang benar-benar pantas untuk sedikit angkuh. Walau hanya sedikit, kareana jika terlalu berlebihan, tetap saja menyebalkan.
Kami melewati beberapa kelokan, ruangan kecil dan besar hingga akhirnya sampai di kamar yang dimaksud. Begitu sampai, aku mematung di depan pintu kamar yang terbuka.
Kenapa ... kamar ini kacau sekali? Apa yang telah terjadi di sini?
Aku melirik Ara dan Viary yang duduk berjauhan, sepertinya masing-masing dari mereka terlalu tenggelam dalam pikirannya sampai tidak menyadari kedatangan kami.
Aku memilih mendatangi Ara lebih dulu, menepuk pundaknya. Begitu sadar, Ara langsung menoleh, memelukku erat.
"Untunglah Lita enggak kenapa-napa." Suara Ara terdengar begitu lirih dan bergetar, membuatku membalas pelukannya erat.
Seandainya saja salah satu dari kami tertangkap, tidak ada yang akan baik-baik saja. Itu pun berlaku untuk Ara. Aku tidak menyadari kalau akan ada orang yang juga memikirkanku.
"Apakah Raka tertangkap saat sedang bersamamu?" Suasana emosional ini langsung hancur dan rusak begitu Edy menginterupsinya.
Sementara Ara melepaskan pelukannya, aku menatap Edy tajam. Tidak bisakah dia membaca situasi? Pertanyaanya kan bisa disimpan nanti saat Ara sudah lebih tenang.
"Tidak. Raka tertangkap saat bersama Viary."
Jawaban pendek Ara cukup membuatku terkejut, maksudku bagaimana bisa mereka berdua berada di tempat yang sama? Terlebih, Edy yang berada disampingku terlihat lebih terkejut dariku, lantas menatap Viary sekilas dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Apa dia juga mengkhawatirkan Viary? Tapi tatapan itu sepertinya bukan tatapan mengasihani. Mungkin lebih tepat, tatapan mencurgai?
"Aku dan Raka terpisah karena aku ingin menyelamatkan Lita. Tapi di tengah jalan, peta yang menunjukkan rute menuju tempat Lita hilang. Jadi kupikir Lita sudah diselamatkan dan aku kembali ke sini." Ara menjeda kalimatnya.
Pada jeda itu, aku menyempatkan melirik Edy, entah kenapa sedari tadi ekor matanya terus saja melirik Viary. Penasaran, aku ikut melihat Viary. Namun tidak ada yang aneh pada dirinya, hanya terlihat sedikit gugup. Yang mungkin hal itu terjadi karena dia masih merasa takut dengan kejadian yang menimpa Raka, karena pasti Viary melihatnya langsung.
Lalu kenapa Edy menatap Ara begitu? Apa ada yang aku lewatkan?
"Tapi saat aku kembali, tidak ada siapa-siapa di ruangan dan Raka tidak bisa dihubungi. Lalu Viary datang, mengatakan dia bertemu dengan Edy di jalan dan Edy tertangkap." Aku mengangguk prihatin. Mesti saat itu Ara sangat kebingungan dengan semua kejadian yang terlalu tiba-tiba.
Saat dirinya berada di situasi yang mengira semuanya tidak akan berubah menjadi lebih buruk, situasi di mana dirinya sudah lebih bisa menerima dan beradaptasi, dan kewaspadaannya berkurang, lalu tiba-tiba sesuatu yang besar dan buruk menghampiri tanpa peringatan.
Karena itu aku masih mengenggam erat lengannya, ingin mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Walau jauh di dalam diriku, aku pun tidak yakin kita akan baik-baik saja.
"Berarti memang, ada sesuatu sistem yang rusak lagi kali ini." Kini aku hanya bisa menghela napas kesal saat Edy mengacaukan situasi. Yah, walau kali ini kami memang harus berdiskusi. Aku pun punya banyak hal yang disampaikan.
"Sepertinya, kita tidak lagi mendapatkan notifikasi kala sesama Runner tertangkap." Edy menjeda kalimatnya, menatap kami bergantian.
"Tentu itu bukan masalah besar jika tertangkap Little Girl karena kita langsung tereliminasi, tapi berbeda jika kita tertangkap Hunter. Karena tidak ada notifikasi, kita tidak tahu siapa yang tertangkap Hunter dan cara untuk mencapai tempatnya dikurung." Edy bersedekap. Aku mengangguk-angguk setuju. Sejujurnya hal ini gawat, karena jika kita tidak menerima informasi siapa yang tertangkap-
"Jadi kita tidak bisa menyelamatkan orang yang tertangkap Hunter?" Viary bertanya dengan wajah yang pias. Maksudku benar-benar pias, dia terlihat sangat panik mendengar penjelasan Edy. Tapi itu hal wajar.
Edy menggeleng kecil, "Kita hanya tidak mendapat notifikasi. Bukan tidak bisa menyelamatkan rekan satu tim lagi. Tapi yang jadi masalah di sini, kita tidak bisa tahu lokasi spesifik di mana rekan yang tertangkap itu. Dengan begitu, kita benar-benar harus mencari ke seluruh rumah ini jika salah satu tertangkap dan itu akan merepotkan."
"Terlebih, sepertinya kita tidak bisa berkomunikasi dengan mereka yang tertangkap Hunter, jadi mereka yang tertangkap tidak bisa mengabari rekan lain untuk diselamatkan." Edy menoleh ke arahku, ya dia benar. Aku tidak bisa membuka jendela selama tertangkap tadi.
"Edy benar, aku bahkan tidak bisa membuka jendela saat tertangkap tadi." Aku menimpali penjelasan Edy, melanjutkannya.
"Masalahnya, kita tidak tahu apa Little Girl tetap mendapatkan lokasi dari Runner yang tertangkap atau tidak. Dan jika dia mendapatkannya, maka semakin mustahil bagi kita untuk menyelamatkan sesama rekan, karena kita sudah pasti didahului Little Girl." Aku mengakhiri penjalasanku.
Ara terlihat tidak begitu terkejut, mungkin sudah memperkirakan hal ini saat mengetahui Raka tertangkap tanpa pemmberitahuan apapun.
Tapi masalahnya adalah Viary, dia bahkan sampai tidak mengatakan apapun karena saking terkejutnya. Wajahnya begitu menggambarkan kepanikan yang dirasakannya, dahinya mengekrut sempurna, bibirnya terus menggumamkan sesuatu, tapi aku tidak mendengar apa pun.
"Ada cara, agar kita bisa menemukan mereka yang tertangkap tanpa perlu mengitari seisi rumah ini." Ruangan yang sempat sunyi akan kekhawatiran itu berubah saat Edy mengatakan hal itu, kalimatnya memberikan kami harapan. Kami semua kini menatapnya, menunggu Edy melanjutkan kalimatnya.
"Kita tetap bisa berkomunikasi selama tidak tertangkap Hunter. Jadi sebisa mungkin, saat kalian melihat Hunter di dekat kalian, sempatkan untuk mengirim lokasi terkini kalian. Setidaknya, hal ini bisa mengurangi kesulitan saat mencari orang yang tertangkap." Viary terlihat menghela napas lega mendengar ide Edy. Aku bahkan tidak terpikir hal itu, mungkin terlalu panik sampai melupakan fakta kecil seperti itu.
Tapi yang lebih membuatku terkejut, adalah Edy yang masih memikirkan cara untuk menyelamatkan sesama tim. Pertama bertemu dengannya, kupikir dia orang yang egois dan apatis, namun aku salah.
Sejujurnya, saat aku terkurung tadi, aku pikir yang akan datang adalah Ara atau Viary. Dipikir-pikir lagi, dia juga menahanku agar tidak menempatkan diriku sendiri dalam bahaya. Sepertinya dia memang peduli pada kita semua, aku lah yang terlalu menghakiminya saat pertama bertemu.
"Bagus juga. Walau kita tidak yakin apa lokasi yang dikirim itu bisa hilang saat kita tertangkap atau tidak, tapi setidaknya layak untuk dicoba." Aku mengangguk-angguk lantas menatap Ara, "sekarang, kita harus mencari kunci di ruangan ini." Melihat ruangan yang sudah cukup acak-acakan saat pertama kali aku masuk tadi, sepertinya sebelumnya Ara dan Raka sudah menemukan sesuatu sebelum kami datang.
"Ah ya," Ara berjalan kecil menuju lemari yang sudah terbaring di lantai. Aku, Edy dan Viary mengikutinya.
"Ara dan Raka menemukan ini sebelum berpisah tadi. Kami yakin kuncinya ada di dalam, tapi kami belum menemukan kode yang pas untuk membukanya." Ara menunjuk bagian bawah lemari yang seharusnya menempel dengan lantai. Tidak begitu jelas, tapi aku bisa melihat corak berbentuk persegi di sana. Sepertinya jika kami memecahkan kodenya, corak persegi itu akan terbuka layaknya pintu brankas.
"Tidak ada petunjuk sama sekali?" Edy berjongkok di samping Ara, memperhatikan layar hologram yang meminta kami untuk mengisi keempat kotak itu dengan angka-angka yang berjajar di depan keempat kotak itu.
Ara menggeleng, aku menghela napas kecil. Bagaimana caranya kami bisa memecahkan kode ini jika tidak ada petunjuk? Lain hal jika petunjuknya tersembunyi di ruangan ini, tapi masalahnya tidak ada barang apapun di ruangan ini selain kasur, lemari dan cermin. Lantas di mana petunjuknya?
Apa kami salah langkah? Bagaimana jika petunjuknya saling berhubungan, dan kini kami harus mencari dari awal agar menemukan petunjuk untuk kode ini?
"Coba matikan lampunya." Perkataan singkat Edy membuatku terhenyak, benar juga! Biasanya di film-film, selalu ada pesan tersembunyi di balik ruangan yang terang!
Aku berlari kecil menghampiri saklar lampu yang berada di dekat pintu, lantas mematikannya. Aku tidak tahu dengan yang lain, tapi begitu lampu dimatikan, pandanganku langsung mengedar. Mencari-cari sesuatu yang bercahaya dalam kegelapan.
Belum sempat aku menemukan apapun, sesuatu terangkat. Sebuah bantal, dan ada empat angka di sana! Salah satu dari kami pasti sudah menemukannya.
"Coba masukan angka ini ke sana, Edy." Suara Ara, karena tidak bisa melihat dalam kegelapan dengan jelas, aku hanya bisa mengdinteifikasikan seseorang melalui suaranya. Sepertinya yang menemukan angka itu adalah Ara.
Dari cahaya hologram yang berpendar itu, samar, wajah Edy bisa terlihat, namun tidak dengan yang lain. Aku juga bisa melihat tangan Edy yang menyentuh angka-angka itu, memasukkan kode brankasnya.
Salah.
Aku menahan napas kesal melihat kata berwarna merah itu muncul lantas menghilang beberapa detik setelahnya. Tidak hanya aku, Edy sepertinya juga berdecak kesal diikuti dengan gerutuan dari Viary, "lalu apa?"
"4381." Dengan masih dalam keadaan lampu padam, aku terus menggumamkan angka-angka itu. Sepertinya familiar, tapi aku lupa apa.
"Coba, 1384." Aku mengingatnya sekarang. Angka itu tertulis pada foto yang kulihat di tempat aku memulai permainan ini. Foto yang menampilkan orang-orang penghuni rumah ini. Atau asrama? Entahlah.
Sebenarnya, apa maksud di balik angka itu pun aku tidak tahu, terlebih susunannya memang berbeda, tapi keempat angka itu ada dan patut dicoba. Lagipun, kami tidak punya batasan untuk mencoba, jadi seharusnya tidak masalah jika salah berkali-kali.
Tangan Edy kembali terlihat pada layar hologram itu, memasukan angka yang kukatakan tadi. Begitu keempat kolomnya sudah terisi semua, bunyi 'klik' terdengar lalu kata 'benar' muncul di layar hologram itu sebelum akhirnya hologram itu menghilang dan corak persegi pada bagian bawah lemari itu bergerak terbuka.
Berhasil!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
28 Mei 2022
-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top