Chapter 11: Not a Game Anymore

TING!

Papan pesan itu kembali muncul, aku dan Edy saling pandang, bertanya-tanya apa isi pesan itu, semoga saja kabar baik. Dan mungkin bisa lebih baik lagi jika perusahaan memberi kami hadiah kecil atas permintaan maaf error sebelumnya. Siapa tahu, barang atau apapun yang mereka berikan bisa berguna di permainan.

Aku menyentuh amplop itu. Seperti sebelumnya, amplop itu terbuka dan mengeluarkan kertas berwarna sedikit kecoklatan. Pada kanan bawah kertas tersebut, terdapat cap kancing berwarna merah, seperti logo permainan ini. Mengabaikan capnya, aku mulai membaca isi pesan itu.

'Kami memohon maaf yang sedalam-dalamnya kepada para pemain. Sampai saat ini, kami belum bisa memperbaiki kerusakan yang ada. Kendali penuh permainan ini sudah diambil alih oleh pihak tidak dikenal, kami tidak bisa berbuat apapun terhadap permainan kecuali memonitor berjalannya permainan. Namun kami masih berusaha sebaik mungkin untuk mencari peretas tersebut dan memulihkan permainan ini.

'Terakhir, kami memohon maaf sebesar-besarnya karena kini, semua peserta yang terelimnasi--baik Occupant maupun Passenger--akan mengalami kerusakan otak karena radiasi. Sampai saat ini, pihak kami sedang mencari cara untuk mencegah hal tersebut, namun diharap para peserta pun berhati-hati untuk tidak tertangkap Hunter sampai kami menemukan cara untuk mencegahnya. 

'Namun kami tidak bisa memastikan hal tersebut, karena itu kami meminta kerja sama dari para peserta untuk menyelesaikan permainan secara manual (memenangkan permainan) karena saat ini hanya itu satu-satunya jalan keluar untuk mengeluarkan para peserta dalam keadaan baik dan sehat. 

'Sayangnya, hanya ada satu pemenang dalam permainan ini. Dan setelah perhitungan panjang, kami memilih untuk mengutamakan keselamatan para Runner terlebih dahulu, namun karena kami tidak bisa mengeluarkan secara paksa para Runner, kami akan memberitahu lokasi kedua kunci dan pintu keluar:

1. Kamar Pengurus Bagian Barat

2. Taman Belakang

3. -

"Apa yang!?" Edy nampak terkejut dengan layar pesan yang tiba-tiba hilang, bahkan aku pun belum selesai membaca pesan itu. Namun kini hanya ada satu yang memenuhui pemikiranku; nasib El. Jika mengatakan secara tidak sopan, pihak perusahaan jelas memilih membuang para peserta yang memiliki peran sebagai pengejar, dan itu artinya El mempunyai kemungkinan sangat besar untuk tidak selamat.

Hanya saja, aku tidak begitu yakin apa ini hanya akal-akalan dari pihak perusahaan agar kami bermain lebih serius atau memang kekacuan ini sedang sungguhan terjadi pada kami. 

Aku menghela napas pelan, menggeleng, berusaha menjernihkan pikiran. "Menurutmu bagaimana?" Kutatap Edy, yang ternyata raut wajahnya pun terlihat sangat bingung, mungkin sama bingungnya denganku. Aku bisa melihat kedua alisnya yang saling menyatu di balik kacamatanya, sangat terlihat dia sedang berpikir keras.

Setelah termenung panjang, Edy menghela napas, terdengar berat dan lelah. Edy sempat berdiam sesaat sebelum akhirnya balik menatapku dengan serius, "jika maksud pertanyaanmu menyakan apa ini sekedar skenario mereka atau bukan, aku tidak tahu. Tapi jika maksud pertanyaanmu apa yang harus kita lakukan, tentu saja menyelamatkan diri sebagai runner." Tatapan Edy terlihat yakin dengan pilihannya, tapi aku tidak bisa setuju begitu saja. Aku tidak mungkin membiarkan El mengalami semua itu! 

"Lalu bagaimana dengan para Occupant?!" Kini, aku sungguhan menatapnya tajam. Keputusan yang diambilnya kini tidak main-main, dia baru saja mengatakan secara tidak langsung untuk mengorbankan tiga orang agar kami bisa selamat. Dan El? Aku tidak bisa membiarkannya, tidak akan pernah bisa.

Edy menghela napas seolah sudah mengetahui aku akan menjawab demikian. "Aku tahu kau ingin menyelamatkan temanmu, tapi bukankah kini Ara berada di tim yang sama denganmu? Apa kamu mau membiarkannya begitu saja?" Pandanganku melunak mendengar penjalasannya. Edy benar, Ara berada di timku dan menyadari hal itu membuat pikiranku terasa semakin sesak dan berat, aku bisa merasakan kesadaran pikiranku yang kian memudar begitu banyak pemikiran negatif yang berderai masuk. 

"Dengar, aku tahu ini pasti sulit bagimu, mungkin mudah bagi kami untuk membiarkan mereka karena kami tidak saling mengenal. Tapi seperti yang mereka bilang, kemungkinan kita untuk selamat-"

"Kita bisa mendiskusikan hal ini dengan tim lawan." Edy menghela napasnya sembari mengalihkan pandangan, menyibak rambutnya, terlihat kesal dengan kalimatku. 

"Ayolah, kau tahu sebenarnya ini bukan error biasa bukan? Kau pasti menyadari, tidak mungkin kesalahan semacam ini tidak mungkin terjadi pada kita, karena pengembang permainan ini pasti sudah menguji coba pada staff mereka. Tidak mungkin mereka membuat orang asing mencoba barang cacat karena itu bisa merugikan mereka." Tatapan Edy terlihat frustasi.

"Terlebih, kau tahu betul artinya kehilangan kendali atas permainan ini. Itu artinya ada seseorang yang sengaja menyabotase permainan ini dan itu membuka kemungkinan besar, bahwa yang terjadi pada tim lawan bukan sekadar kehilangan komunikasi, tapi ..." Edy terlihat kesulitan melanjutkan kalimatnya, mulutnya tetap terbuka seolah berusaha menyusun kata-kata. Aku menggigit bibir, memalingkan wajah. Aku tahu apa yang akan dia katakan.

" ... kehilangan kendali atas pikiran mereka" Edy menyelesaikan kalimatnya dengan susah payah, dan aku mencoba untuk membuang pikran itu jauh-jauh.

Benar, apa yang dikatakannya benar sekali. Aku pun sudah menyadarinya setelah membaca pemberitahuan tadi. Keputusan mereka untuk membiarkan para pengejar bukan hanya karena mereka tidak lagi bisa dihubungi, namun mungkin, mungkin saja memang sudah sangat sulit untuk menyelamatkan mereka.

Aku tahu hal itu, tahu! Hanya saja ... 

Maksudku, dia bisa cacat dan aku... aku...

"Sudahlah." Aku bisa merasakan napasku yang mulai tidak teratur begitu telapak tangan Edy menyentuh kepalaku, dan aku bahkan baru menyadari pipiku yang basah karena air mata yang lolos. Aku berusaha menahan tangis itu dengan menyekanya, tapi begitu tangan Edy mengusap kepalaku pelan, tangisku tumpah tanpa suara. Aku hanya bisa menutup wajahku untuk meredam emosi yang pecah, mengacaukan pikiranku. 

Satu menit. Aku buru-buru menyelsaikan tangisku setelah semenit berlalu, untunglah tidak terlalu lama emosiku hilang kendali. Kalau tidak, bisa malu aku setiap bertemu dengannya. 

Saat aku menyeka air mataku dengan lengan baju, di saat yang bersamaan, Edy sepertinya buru-buru menarik tangannya dari atas kepalaku. Untunglah dia langsung menariknya. Awalnya, jika dia tidak segera mengangkat tangannya dari sana, akan kutepis tangannya.

"Aku akan berbicara dulu dengan mereka." Edy menatapku tidak percaya begitu aku mengucapkan keinginanku. Aku tahu dia pasti berpikir aku keras kepala, namun setidaknya jika berbicara dengannya tidak membuatku bisa menyelamatkannya, setidaknya aku bisa mengetahui dan memastikan sendiri pilihanku untuk menyelamatkan siapa.

Edy lagi-lagi menghela napas panjang, memutar bola matanya kesal. "Kupikir tangismu tadi sudah membuat keras kepalamu luntur!" Edy berteriak dalam bisikannya.

"Jangan membahas kejadian tadi lagi, anggap saja tidak ada!" Aku menekan kalimat terakhirku. Jangan sampai pemain-pemain yang lain tau, apalagi El! Bisa-bisa hal tadi menjadi bahan ejekannya padaku selama sepuluh tahun!

"Jangan bicara dengannya, bisa-bisa kau yang malah cacat otak nanti." Aku terdiam, cukup terkejut dengan tatapan serius Edy. Dia terlihat sungguh-sungguh melarangku pergi, bukan sekedar basa-basi agar dirinya tidak terlihat seperti bajingan. Namun aku tidak akan mengubah keputusanku.

Sembari menegakkan badan, aku balik menatapnya serius, "maka sebaiknya begitu."

Aku keluar ruangan begitu mengucapkan kalimat tersebut, tidak lagi ingin tertahan di tempat itu karena kalimatnya, dia mungkin bisa benar-benar membuat niatku batal jika terus berbicara dan aku tidak ingin hal itu terjadi .

Edy tidak sempat berkata apa pun sebelum aku pergi, aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh dia setelahnya, yang pasti aku bisa mendengar helaan napasnya untuk yang kesekian kali. Tapi helaan napasnya kini terdengar kesal.

"Terserahlah!" Kata itu yang terakhir kudengar darinya sebelum akhirnya pintu gudang ditutup olehnya. Baguslah dia tidak mengikutiku dan bertindak bodoh, setidaknya tidak akan ada yang ikut-ikutan tertangkap Hunter. Karena aku sadar betul rencanaku ini kelewat gila, membawa orang lain pada rencana egoisku ini sangatlah tidak manusiawi. Aku hanya berharap aku bisa kembali tanpa tertangkap.

Langkah kakiku di lorong tidak begitu terdengar menggema, bahkan tidak akan terdengar jika tidak berada cukup dekat denganku. Baguslah mereka membuat suara langkah kaki peserta teredam, akan sangat sulit jika posisi kami bisa diketahui lawan dengan mudah.

Mungkin karena berjalan sendirian di lorong dengan suara hujan deras di luar, aku baru menyadari suasana permainan ini memang cukup menegangkan. 

Dari jendela yang besarnya melebihi badanku ini, aku bisa melihat pemandangan luar yang diterjang badai. Pohon-pohon dalam hutan di luar sana sungguh terguncang keras karena badai, seolah para pohon itu sedang bertahan pada ujung akarnya agar tidak tumbang. Hutan itu sungguh terporak-porandakan karena badai yang kejam.

Aku menghentikan langkahku begitu melewati tangga yang kami lewati sebelumnya dari lantai dua, menimbang-nimbang apa akan turun atau tidak. "Cari di lantai tiga saja deh." Aku melangkah maju melewati tangga itu, berlanjut ke lorong di depan sana. Sepertinya aku pergi menjauh ke arah timur, mengingat gudang tadi berada di barat.

Bertemu dengan jalan bercabang tiga, aku memilih berbelok ke kanan. Berjalan lurus menuju lorong di depan membuatku merasa berjalan terlalu jauh dari gudang di sana.

"Oh." Entah kenapa, aku refleks bersembunyi begitu melihat seorang hunter keluar dari salah satu ruangan di sisi kanan. Sedangkan aku masuk ke ruangan yang sepertinya adalah dapur, yang juga berada di sisi kanan lorong. "Padahal aku mau bertemu dengannya." Aku berdecih pelan menyadari seberapa pengecutnya diriku ini. 

Aku menarik napas panjang, memantapkan diri. Lagipun kalau tertangkap aku masih bisa diselamatkan. Kuambil langkah pertamaku untuk keluar dari dapur, menahan napas saat aku benar-benar keluar dari dapur.

Dia ada di depan!

"Tunggu! Jangan tangkap aku!" Begitu mata kami bertemu, tanpa bisa aku menyelesaikan kalimatku, tangan Hunter itu sudah berusaha menggapai sembari berlai mendekatiku. "Dengakan dul- CIH!" Baru beberapa langkah aku mengambil langkah mundur, Hunter itu lebih dulu maju dan mengulurkan tangannya. Aku merunduk melewati bagian bawah lengannya, berlari.

Seperti yang kuperhitungkan, Hunter itu mengejarku. Tapi memang seharusnya begini, jika tidak bisa bicara baik-baik, bicara sambil kejar-kejar pun tidak masalah. Yang penting mereka harus tahu permainannya error!

"HEI!" Aku sedikit berteriak, memendekkan jarak antara diriku dan Hunter di belakang. Kami masih berlari di lorong. "Dengar, permainannya error! Kita harus berhenti bermain!" Selesai berteriak, aku menoleh, melihat apakah dia berhenti mengejar.

Ya ampun! Dia masih saja mengejar! "Percaya padaku! Permainan ini bisa jadi berbahaya jika kita terus bermain!" Napasku mulai tersengal karena berlari sambil berbicara. Terlebih Hunter yang di belakang terus mengejar seolah mereka tidak pernah kehabisan stamina.

Eh?

Bukankah sebelumnya aku tidak ada masalah saat berlari dengan Ara? Aku bahkan tidak merasa lelah sedikit pun walau sudah berlari bermenit-menit lamanya. Tapi kenapa kini aku bisa merasakan lelah itu?

PRANG!

"Ah, Sial!" Aku mendesis pelan. Terkejut dengan guci yang tiba-tiba melayang. Pikiranku tadi seketika ambyar. Mereka benar-benar sudah tidak bisa diajak berbicara! Sepertinya, kali ini dugaan Edy benar.

"Buntu?" Tadi tanpa sadar, aku berbelok begitu melihat kelokan. Kupikir aku bisa langsung bersembunyi di ruangan terdekat tapi ternyata lorongnya buntu!

Aku mendecih, berbalik. Baiklah, mari coba sekali lagi berbicara dengannya.

"DENGAR!" Aku sedikit berteriak, hunter itu baru saja berbelok, jarakku dengannya cukup jauh sekarang. "Jika kamu terus menangkap runner seperti ini, kami bisa cacat otak! Ayo kita bicarakan dulu!" Hunter di depan sana, dia tidak lagi berlari, melainkan berjalan. Dia berjalan dengan sangat pelan, seolah sengaja membuat keberadaannya mengintimidasiku.

Aku menggigit bibir bawahku, Hunter di depan terlihat semakin menakutkan begitu cahaya menyala-nyala layaknya api berwarna ungu neon pada kedua mata dan mulutnya itu semakin pekat. Belum lagi dengan matanya yang semakin menyipit dan menajam ke atas beriringan dengan senyumnya yang kian melebar.

Mengingat aku bisa sungguhan terluka di dunia nyata jika tertangkap olehnya membuatku tersadar kembali, tidak seharusnya aku menantangnya untuk berbicara. Tapi kini aku tidak bisa kabur lagi, buntu sudah. Aku tidak tahu harus kemana.

DASH!

Suara itu terdengar begitu Hunter di depan tiba-tiba berlari dengan kecepatan tinggi, sampai aku terkejut melihatnya. Aku memijakkan kaki pada lantai dengan lebih mantap, menatap Hunter yang terus mendekat dengan serius. 

Hanya ada satu kesempatan untuk melewatinya, yaitu melalui celah di bawah lengannya yang tengah menggapai. Tapi aku harus bergerak lebih cepat darinya. Berkali-kali lebih cepat agar tangannya tidak lebih dulu menangkapku.

Begitu jarak Hunter itu sudah cukup dekat, aku ikut berlari mendatanginya, berusaha membangun momentum. 

Ujung mataku menajam begitu melihat pergerakan tangan Hunter itu yang seidkit di luar dugaan.

TAP!

Aku melopati lengannya yang sudah lebih dulu bergerak ke bawah hendak menangkapku. Untunglah aku sempat melihatnya tadi! Tapi yang menakutkan, Hunter itu sungguh mempelajari gerakanku sebelumnya. Jika begini terus, aku bisa-bisa tertangkap olehnya.

Begitu lolos, kupercepat lariku, kembali menelusuri lorong sebelumnya. Saat kutolehkkan kepalaku ke belakang, Hunter itu masih mengejar. Bahkan sepertinya dia jadi lebih cepat dari sebelumnya! Sedangkan aku mulai kelelahan, napasku mulai tidak beraturan. Aku harus minta pertolongan!

Sembari terus melihat ke depan, aku mengangkat tangan kiriku lantas membuka jendela untuk mengabari Viary. Semoga saja mereka mau membantuku. 

Tanganku terangkat menyentuh nama Viary di jendela dan meneleponnya. Di bawah username Viary muncul tiga titik, datang dan pergi. Sepertinya masih berdering.

Dua puluh detik.

Tiga puluh detik.

"Kenapa tidak diangkat?" Aku bergumam gelisah disela-sela napasku yang sudah memendek. Kelelahan. Sementara Hunter di belakang masih setia mengejar, bahkan sepertinya senyumannya kian melebar dari terakhir aku melihatnya tadi. Seolah dia tahu aku sudah mulai kelelahan dan menunggu mangsanya ambruk.

Akhirnya kuputuskan untuk menelepon Edy karena Viary tidak kunjung menjawab. Tapi panggilan itu terus berdering, tidak kunjung mendapat jawaban. "Sial!" Aku menghempaskan tangan kiriku kesal. 

Sebenarnya kenapa mereka tidak menjawabnya sih!?

Lagi-lagi aku menoleh ke belakang, Hunter itu masih mengejar dengan kepala yang sedikit condong ke depan dan jubahnya yang berkibar-kibar. Anehnya lagi, cahaya ungu pada mata dan mulutnya itu juga berkibar seperti api yang terkena angin.

Begitu kembali menoleh ke depan, aku melihat kelokan!

Aku bersorak senang dalam hati, semoga saja bukan jalan buntu! Aku mempercepat lariku, menggunakan seluruh sisa tenaga, aku harus membuat jarak cukup besar untuk memberiku waktu bersembunyi di salah satu ruangan di kelokan itu.

Setelah berbelok, aku refleks memasuki ruangan kedua yang paling dekat denganku. Ternyata aku masuk ke kamar seseorang. Pandanganku mengedar dengan tergesa, mencari tempat persembunyian. 

Pandanganku menangkap kardus besar di atas lemari besar dan cukup tinggi. Tapi lemari itu bisa kupanjat! 

Aku berlari kecil mendekati lemari yang sedikit pendek di sisi lemari tersebut, membuatnya sebagai pijakan pertama untuk naik ke lemari itu dan bersembunyi di dalam kadrusnya.

Tepat setelah aku masuk ke dalam kardus itu, suara langkah kaki yang samar itu terdengar. Sedari tadi aku berlari, suara langkah kakiku jauh lebih besar dari Hunter itu. Jika tidak hening seperti sekarang, tidak mungkin menyadari keberadaannya.

Aku mengintip dari robekan kardus yang tipis dan kecil sekali, bahkan bernapas pun sebenarnya cukup sulit. Aku yang baru berlari sangat mersa susah bernapas, napasku belum begitu stabil tapi aku sudah harus meredam suara napasku jika tidak ingin tertangkap olehnya.

Hunter itu membuka lemari, mengintip ke bawah kasur, kamar mandi dan entah sisanya karena aku tidak dapat melihatnya. Tapi untunglah, aku tidak bersembunyi di tempat-tempat itu. Jika iya, aku sudah-

TRING!

Napasku seakan terhenti mendengar bunyi itu. 

Si Edy sialan itu! Kenapa dia menelepon sekarang!?

Dengan segera aku mengintip keluar. 

DEG!

Hunter itu, jelas-jelas dia menatap ke kardus ini! Habis sudah.

***

Edy dan Viary. Mereka sudah tidak lagi berada di gudang, kini mereka berjalan di lorong, entah menuju kemana. 

Viary berjalan di belakang Edy, dia masih canggung dengannya sehingga memilih jalan di belakang daripada bersisian dengan Edy.

Dering panggilan tiba-tiba terdengar oleh Viary, lantas dia menoleh pada jendela yang tiba-tiba muncul di atas pergelangannya. Viary mengangkat tangannya, memandanganya sesaat, seakan tengah berpikir.

Tapi dia terus diam menatap jendela itu. Sampai akhirnya Viary menurunkan tangannya, mengabaikan panggilan itu.

Begitu jendela itu menghilang, Viary menghela napas kecil dan membuat wajah datar seolah tidak terjadi apa-apa. Hingga ekspresi itu kembali hilang begitu dia melihat Edy mengangkat tangan kirinya.

Tatapan Viary semakin menajam dan serius pada tangan kiri Edy. Kala Edy mengangkat sebelah tangannya seakan hendak menyentuh sesuatu, Viary menjulurkan tangannya, mencoba menggapai lengan Edy.

"Jangan diangkat." Viary menggenggam tangan kanan Edy, menahannya.

Edy menatapnya heran, kedua mata di balik kacamatanya seolah meneliti perilaku Viary yang tiba-tiba. "Bagaimana kau tahu ada yang menelponku?" Tanya Edy sembari menurukan tangannya, melepaskan genggaman Viary.

"Karena Lita juga meneleponku. Edy sendiri yang bilang 'kan, Lita ke sana atas kemauan sendiri. Sekarang dia pasti menyesal karena sedang dikejar, memangnya Edy mau jadi tertangkap karena Lita? Otak Edy bisa cacat jika ke sana." Viary menatap Edy dengan yakin, seolah tidak ada penyesalan di wajahnya saat mengucapkan hal tersebut.

"Lagipun, kita tahu dimana pintu keluarnya sekarang. Dan kita harus berkumpul dengan yang lain 'kan? Aku hanya ingin, tidak ada yang mati sia-sia lagi. Jadi, Edy jangan ke sana, ya?" Sekali lagi, Viary menatap Edy tanpa keraguan di wajahnya. Dia bahkan kini sedikit tersenyum, seolah memohon.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

14 Mei 2022

Author's Note

Kalian tahu sekarang hari apa? 

Yak, hari Sabtu! Oke garing.

Sebenarnya, awalnya chapter ini jumlah katanya cuma 2100-an, tapi setelah diedit malah jadi 2500-an... Aku kaget, baru kepikiran beberapa hal yang harus ditambahin dan dikuaringin pas di edit. Karena beberapa part baru kepikiran untuk ditambahin sekarang, jadi yah, bengkak deh jumlah katanya.

Btw kalian masih libur atau udah masuk?

Yang udah masuk semangat yaa, kerja/sekolahnyaa. (Selamat bercapek-capek ria)

Owkey, sampai babay besok!








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top