Prolog

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya ___

🍒🍒

Bukan perkara mudah, memutuskan untuk mengambil jalur dikesamaan dengan orang tua. Dibandingkan tentunya, beban mental pastinya, apalagi jika hasil tidak sesuai dengan target.

Hanif Maliki Asy Syafiq, menjadi putra sulung keluarga dokter yang sangat famous di kotanya membuatnya mau tidak mau mulai berpikir dia harus menjadi seorang seperti sang daddy untuk memberikan contoh yang baik kepada keempat adiknya.

Dari awal memang Hanif sudah tertarik dengan pekerjaan daddynya. Bukan karena legitimasi dari masyarakat atau kegagahan seorang dokter dibalik pakaian dinasnya yang berbalut sneli khas seorang dokter. Lebih karena menurut Hanif, dokter itu seperti manusia yang berhati malaikat.

Mengingat jam terbang daddynya yang selalu siap, bahkan tengah malam pun ketika mendapatkan telepon darurat dari rumah sakit selalu berusaha untuk memenuhi itu.

Diam-diam Hanif selalu memperhatikan super heronya itu. Menjadikan figure Ibnu sebagai contoh dalam penerapan semua ilmu dalam kehidupannya.

'Beruntung sekali daddy, dengan bunda di sampingnya. Menyempurnakan agama bersama, hidup berdampingan dengan bahagianya,' monolog Hanif dalam hati.

Ingatan masa kecilnya itu berkelebatan seperti roll film kehidupannya. Masih teringat olehnya kala itu, waktu dia meminta sang bunda berjanji bersedia menjadi bundanya ketika lomba memasak di sekolahnya, hingga akhirnya daddy Ibnunya mewujudkan dengan menikahi wanita itu hingga sampai sekarang mereka tetap kekal memanggilnya dengan panggilan kesayangan 'Bunda'.

Pagi ini memang Hanif telah bersiap untuk bertolak dari Cambridge, Massachusetts menuju ke New York. Melakukan perjalanan panjang di udara untuk mewujudkan mimpinya. Kembali ke Indonesia dan melanjutkan perjuangan sang daddy.

PR-nya masih panjang, dia masih menjadi dokter umum. Ibnu memang sengaja untuk tidak menyetujui perpanjangan kuliahnya untuk mengambil spesialis langsung setelah gelar dokter diterimanya.

"Tentukan passionmu dengan kamu melakukan pekerjaan sebagai dokter umum terlebih dulu. Belajar general itu lebih menyenangkan sebelum kamu benar-benar menentukan spesialis apa. Tidak harus sama seperti daddy. Nicely, be your self," pesan Ibnu saat Hanif mengutarakan ingin melanjutkan spesialis langsung dari pendidikan dokter umumnya.

Memang benar keseluruhan. Ibnu pernah merasakan berada di posisi Hanif sekarang, itu yang menyebabkan dia banyak sekali memberikan masukan untuk putra mahkotanya itu.

"Tapi Dad, Mas Hanif ingin melanjutkan di sini untuk spesialisnya," sanggah Hanif.

"Boleh, setelah kamu merasakan menjadi dokter umum dan tahu bagaimana rasanya menjadi dokter jaga di UGD," jawab Ibnu pasti.

"Indonesia?"

"Ya, Indonesia butuh orang orang seperti kita. Mengapa? Kamu tidak ingin mendarmakan baktimu untuk negeri yang telah membesarkanmu?" tanya Ibnu kepada putranya.

"Bukan seperti itu Dad, hanya saja akan lebih mudah jika Mas Hanif langsung mengambil spesialis sekarang. Fakultas pasti lebih memprioritaskan, apalagi melihat prestasi akademik dan praktik Mas Hanif selama ini," jawab Hanif.

"Trust me, Daddy pernah menjadi kamu. Daddy juga tahu tentang itu, prestasi akademikmu tidak ada yang meragukan, Mas, dan itu ada buktinya. Lalu apa yang sekarang kamu takutkan? Kembalilah, Bunda dan adik-adikmu pasti akan senang mendengar ini."

"Give me an extend time to think about it," kata Hanif akhirnya.

"Not more 24 hours," jawab Ibnu pasti.

Percakapan itu memang hanya lewat telpon ketika kemarin dia dinyatakan lulus dan berhasil menyelesaikan co ass sebagai dokter. Hingga akhirnya kini, keputusan Hanif telah pasti. Kembali ke tanah air, mendarmakan ilmunya untuk sebuah pengabdian.

Beberapa barang memang sudah dipaketkan terlebih dahulu oleh Hanif. Tidak banyak memang, dari 2 koper besar yang dia bawa itu salah satunya adalah berisikan tentang buku kedokteran yang setia menjadi pacarnya selama menempuh pendidikan dokter. Satu koper yang lain berisi pakaian dan perlengkapannya yang wajib dibawa ke mana mana. Sedangkan pakaian dan barang barang yang tidak begitu penting dia tinggal di apartment.

"Lima tahun hanya 2 koper mas Hanif?" tanya Qiyya ketika mereka sedang berkemas untuk meninggalkan Cambridge.

"Satu dos kemarin sudah mas Hanif paketkan ke Indonesia Bunda. Takutnya over bagage nanti di bandara," jawab Hanif.

"Apa itu?"

"Buku-buku penting. Kalau pakaian di Indo bisa beli lagi, kalau buku susah nanti nyarinya di sana apalagi yang sangat vintage dari sini," jawab Hanif.

Qiyya hanya tersenyum mendengar jawaban dari sang putra. Semua anak-anaknya memang sangat menyukai mengkoleksi buku, apa pun itu. Sepertinya memang hobby Ibnu ini menurun pada semua anaknya.

Perjuangan hidupnya memang baru akan di mulai. Tetapi Hanif sudah menyiapkan beberapa amunisi untuk melengkapkannya. Menjadi seorang dokter yang jujur dan amanah adalah hal yang paling mendasar untuk Hanif lakukan ketika nanti dia sudah mulai melaksanakan tugasnya.

Ya, lima tahun berada di Negeri Paman Sam membuat Hanif merubah penampilannya. Meskipun pakem-pakem tertentu tetap dia perhatikan seperti celana yang selalu di atas mata kaki. Gaya dan potongan rambutnya pun kini sudah berubah. Jika dulu kalem dengan belah pinggir khas anak anak pendiam. Sekarang sudah berani tampil dengan potongan skin fade messy, rahangnya yang tegas seolah menambah aura ketegasan yang sama seperti yang dimiliki oleh sang daddy.

Kini pesawat airbus A380 membawanya kembali bertolak dari John F. Kennedy International Airport menuju Juanda International Airport. Memilih untuk transit di Heathrow dalam jangka waktu yang lumayan lama adalah ingin mengetahui bagaimana kehidupan sang adik yang sekarang sedang mengenyam pendidikan di benua biru itu.

Ibnu dan yang lainnya juga memilih hal yang sama dengan Hanif. Ingin melihat lebih dekat bagaimana lingkungan kampus yang sudah 3 tahun ini menjadi rumah untuk Hafizh.

Dengan mengendarai kereta cepat, mengantarkan ketujuh orang ini dengan 52 menit perjalanan dari London menuju ke Oxford.

"Bang, karena transit kita hanya 4 jam jadi di kotamu kami tidak akan lama. Doakan tahun depan kami semua diberikan nikmat sehat dan waktu yang longgar sehingga bisa mengunjungimu kembali," kata Ibnu saat mereka semua berada di kereta cepat.

"Never mind Dad. Kalau yang itu pasti selalu Abang doakan."

Dan itulah keluarganya yang selalu ada satu untuk lainnya. Memorinya kini kembali meminta untuk berpikir. Lima tahun tidak menginjakkan kakinya di Indonesia, apa kabar dengan negerinya itu sekarang. Masihkah sering terjadi pergolakan seperti yang dulu sering terjadi ketika dia tinggalkan?

Dan saat kakinya kembali menapakkan jejaknya di Juanda Airport. Ingatannya kembali berputar di lima tahun yang lalu saat ia akan bertolak menuju New York.

Seorang gadis yang kehilangan dompet tersenyum begitu cantiknya dibalik balutan jilbab syar'i yang menghijabi kepalanya. Harusnya dia pun kini telah menyelesaikan studinya.

Tidak pernah berkata kepada siapa pun tentang hatinya, kala itu sampai kini. Bahkan dia berharap angin pun tidak akan tahu tentang rahasia yang selalu dia langitkan kepada Tuhan di setiap sujudnya.

'Azzalea Dzahin Mufazzal, izinkan aku buktikan dulu siapa diriku pada dunia. Hingga saatnya tiba semoga engkau masih available untuk bisa didekati. Ah, Bunda !! Bahkan aku telah melupakan janjiku kepadanya. Biarlah tangan Tuhan sebagai penentu kemana hatiku akan berlabuh.'

"Bagaimana Mas, udara Indonesia?" tanya Ibnu mengoyak sedikit lamunan Hanif tentang 'gadisnya'.

Hanya senyuman khasnya ditunjukkan kepada orang yang paling berjasa dalam hidupnya itu. Ibnu memang sudah tidak muda lagi namun semangat untuk melihat anak-anaknya maju sangat kentara.

'Dia bukanlah malaikat, tapi dia selalu ada saat aku butuh sesuatu. Dia bukan super hero yang terkenal, tapi dia selalu melindungiku layaknya super hero-super hero itu. Dia adalah daddyku yang semakin hari semakin menua. Ah, aku pasti akan menyesal jika tidak kembali sekarang. Kapan lagi aku bisa membuktikan kepada daddy bahwa anak kecilnya kini telah mampu berdiri diatas kakinya sendiri.' Lagi-lagi kata hati Hanif membenarkan keputusan yang telah diambilnya kini.

"Jadi, tugas Bunda ya Mas selanjutnya. Mas Hanif silakan berkolaborasi dengan Daddy, ambil ilmu dan pengalaman Daddy sebagai pegangan Mas Hanif ke depan." Qiyya memberikan pesan yang tidak kalah dengan suaminya.

"Maksud Bunda?"

"Lima tahun yang lalu, sekufu?" jawab Qiyya dengan pertanyaan balik supaya Hanif mengingatnya.

Hanya gelengan kepala dengan senyuman kecilnya. "Pasti Bunda sesuai dengan janji Mas dulu kan? Jika menurut Bunda itu baik untuk mas pasti Mas Hanif akan menerimanya. Intinya harus yang sayang Bunda ya?"

"Kalian ini mendiskusikan apa sih? Daddy kok nggak paham sama sekali," tanya Ibnu.

"Rahasia____sudah ayo itu si Arko sudah siap kita segera biar cepat sampai rumahnya." Qiyya menjawab ketika matanya melihat Arko sudah berdiri di samping mobil jemputan mereka

"Arko?"

"Itu Mas, driver yang dipekerjakan daddy di rumah. Daddy sudah nggak diizinkan bunda untuk setir mobil jauh-jauh," jawab Ibnu.

"Owgh."

Semua koper telah masuk ke dalam bagasi. Mobil yang dikemudikan Arko memang hanya berisi koper-koper mereka. Sedangkan mereka memilih untuk satu mobil dengan om kesayangan Hanif.

"Om Zurra, long time no see."

"Eits, Are you my nephew? You look more handsome than before. Welcome to Indonesia again Mas. Five years no see, you look so amazing. Persis bule kamu, Mas." Zurra menyambut Hanif dan memeluk keponakannya yang rasa-rasanya memang sedikit bertambah tingginya.

"Tinggimu berapa sih Mas?"

"181. Kenapa Om?"

"Dulu berangkat nggak segini kok. Masa molor lagi sih kamu?" semua tertawa mendengar kata-kata Zurra.

"Makin irit ngomongnya Om." Qiyya menambahkan sebagai informasi tambahan.

"O ya, gimana ini dapat bule apa lokal?" sambung Zurra kemudian.

"Terserah Bunda."

"Lah kok Bunda? Oh iya Mas, kemarin tuh kalau nggak salah Aunty Devi bilang ada lowongan di rumah sakit baru di daerah Kanigoro. Coba saja siapa tahu rezekinya di situ," kata Zurra pada pemuda yang duduk di sebelahnya.

"Yeah, Om Zurra telat. Hanif sudah deal dengan pengelola RS-nya."

"What?"

"Nggak ada salahnya menggunakan nama besar Daddy untuk Hanif kan?" jawab Hanif dengan bibir yang ditarik ke atas sendiri.

"Eh busyet, ponakan Om kenapa berubah seperti ini sekarang?"

"Ah, Om Zurra. Gitu saja dipercaya sih. Iya beberapa bulan yang lalu Uncle Erland yang memberi info kemudian Hanif langsung apply, alhamdulillah besok diminta langsung menghadap direkturnya," jawab Hanif.

"Jadi nggak tahu kalau kamu anak Dokter Ibnu?"

"Ya enggaklah."

"Good. Gitu dong, ponakan siapa sih?" kata Zurra sambil menepuk bahu kanan Hanif.

Dari awal di keluarga Qiyya memang tidak ada yang namanya nepotism, semua harus berjuang dengan kemampuannya sendiri-sendiri. Ibnu pun juga memiliki prinsip yang sama. Meski dia tahu kemampuan Hanif seperti apa, tapi biar masyarakat tahu dengan sendiri tentang ability seorang Hanif itu seperti apa.

Awal dari sebuah perjalanan panjang Hanif nantinya. Tergambar jelas di depan matanya. Tapi yang paling besar dari semuanya adalah memperbaiki akhlak dan membuat bahagia kedua orang tuanya. Dan tentu saja harapannya bisa bahagia sebahagia daddy Ibnu hidup bersama bunda Qiyya.

🍒🍒

See ...... masih mau lanjut ????

Emak emak yang sering baper berjamaah dengan calm nya dokter Ibnu, atau romantism yang tercipta antara Ibnu dan Qiyya, akankah sang putra mahkota mengikuti jejak mereka????

Beri komentar sepanjang panjangnya, karena jujur mas Hanif yang naik panggung ini karena banyaknya permintaan yang ingin tahu kek mana si mudanya dokter Ibnu???

Kalu cerita flashback kan ga seru ya, makanya diciptainlah ini nihhhh
dr. Hanif Maliki Asy Syafiq
Masih dokter umum kok, lah kok bisa??? Sembari nyari jodoh katanya??? Ada yang mau daftar????

Nah kalo masih haho kok bisa ya, kok bisa ya...tungguin novel KK disitu dijelaskan semuanya 😁😁

Fine !!!! kalau dirasa cukup komentar dan jempol bintangnya nanti dilanjut ke cerita yaaaa...

Blitar, 01 Mei 2019
MarentinNiagara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top