4 🍄 Saling Mengagumi
Kita pernah saling memperdulikan tapi tak pernah saling mengungkapkan____
🍒🍒
Saat engkau berhasil mengejar duniamu, bukan sisihkan waktu longgarmu untuk mengejar akhirat melainkan longgarkan waktumu untuk mengejar akhirat.
Minggu pagi ini, Hanif sengaja menggantikan tugas Ibnu untuk mengantarkan sang bunda ke majlis taklim ibu-ibu dan remaja putri. Bukan tanpa alasan, karena Hanif sendiri juga diundang di acara pengajian itu untuk mengisi bagian kesehatannya.
Pengecekan kesehatan gratis.
Siapa lagi pencentusnya kalau bukan Qiyya. Bukan hanya untuk ibu-ibu tetapi juga para suami yang mengantarkan istrinya ke majlis taklim.
Waktu Ibnu menanyakan alasannya kepada Qiyya dia hanya menjawab singkat. 'Tidak semua orang seperti mas Ibnu, mengantarkan istri tanpa harus diminta. Seringnya ibu-ibu yang curhat iri hati dengan Qiyya, apa salahnya Qiyya bisa membahagiakan mereka. Supaya diantar para suami mereka harus diberikan stimulus. Cek kesehatan gratis buat para suami.'
Ibnu hanya menggelengkan kepalanya, ada saja ide yang muncul di otak istrinya yang smart ini.
"Masmu ini juga dokter loh, dokter spesialis lagi. Mengapa harus Hanif yang masih dokter umum?" tanya Ibnu ketika itu.
"Mas Ibnu kaya nggak ngerti saja. Ini pengajian ibu-ibu dan remaja putri, Mas. Ya kan sekalian biar Hanif bisa memilih remaja putrinya, siapa tahu ada yang klik. Kalau mas Ibnu kan sudah stempel milik Qiyya," jawab Qiyya sambil tersenyum.
Lagi-lagi Ibnu hanya tersenyum mendengar penuturan istrinya. Kadang memang wanita memiliki jutaan cara untuk membuat cerita itu seolah-olah seperti tidak terskenario.
"Mas Hanif sudah siap?" tanya Qiyya yang kini duduk di samping Ibnu.
"Daddy, lengket banget si sama bunda sudah seperti kertas dan lem saja." Hanif yang justru tidak menjawab pertanyaan bundanya.
"Jangan iri. Makanya biar nggak terus jomlo mana itu calonnya. Daddy siap untuk mengkhitbahkan buat kamu," jawab Ibnu.
"Masih juga 23, Dad."
"Menikah itu bukan masalah usia, tapi kesiapan dan kemampuan. Jika dirasa sudah siap dan mampu mengapa nggak disegerakan, toh itu juga sunnah. Melengkapkan separoh agama, jika kini kamu beribadah hanya dapat 10 pahala dengan menikah bisa lengkap 20 pahala. Nggak ingin seperti itu?" jawab Qiyya.
"Ya pengenlah Bun, cuma calonnya belum ada. Lah bunda kan yang bilang mau cari besan. Hanif siap kok," jawab Hanif tiba-tiba.
Qiyya hanya senyum simpul kemudian memandang Ibnu. Berbicara melalui tatapan mata dan akhirnya Ibnu menganggukkan kepala.
"Ayo kita berangkat. Nanti penyaji nasihatnya keluaran Al Azhar loh, Mas. Meski buat ibu-ibu dan remaja putri, nggak ada salahnya kan mendengarkan. Siapa tahu nanti dibutuhkan untuk membimbing istri dan anak-anakmu kelak." Qiyya berkata sebelum mereka melangkahkan kaki menuju ke garasi mobil yang telah disiapkan oleh Ibnu.
Senyuman tipis tersungging di bibir Hanif mendengar perkataan bundanya.
Selama sepuluh menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di masjid tempat diadakannya majlis taklim. Qiyya langsung bergabung dengan ibu-ibu sementara Hanif menuju ke meja yang telah disediakan panitia.
Meski bukan untuk berdinas, namun tetap saja identitas sebagai seorang dokter tidak akan ditinggalkan ketika memeriksa pasien. Memang bukan menggunakan snelli berwarna putih. Kali ini dia mengenakan hem slimfit lengan pendek junkies berwarna putih dan dilengkapi dengan skater blazer abu-abu. Tak pernah terlupakan stetoskop yang selalu nangkring di bahu kanan kirinya dan menggantung di dada.
Rasanya kalau melihat penampilan Hanif seperti itu bukan hanya remaja putri yang melted, tetapi juga ibu-ibu saling berebut untuk menjadikannya sebagai menantu.
"Wah, pak dokter muda kita sudah sampai. Ini pasien sudah pada mengantri, Dok. Sepertinya bapak-bapak lebih semangat untuk mengantarkan para istri menghadiri majlis taklim hari ini." Ucap salah seorang diantara bapak-bapak yang mendekati Hanif.
"Ah, bagus itu Pak. Mari silakan ini sistemnya bagaimana. Saya ngikut saja ya," kata Hanif memulai aktivitasnya.
Sementara di dalam masjid acara telah dimulai. Acara pembukaan yang di pandu oleh seorang pembawa acara kemudian masuk ke kajian inti.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh," suara yang sepertinya tidak asing di telinga Hanif.
Posisi Hanif yang berada di serambi masjid memang tidak bisa melihat siapa penyampai materi kajian tersebut. Namun telinganya cukup jeli untuk mendengarkan, karena sound system yang berada di dalam masjid terdengar sampai di luar.
"Pernah mendengar kisah cinta suci wanita-wanita surga, ibu-ibu?" suara itu seperti ribuan volt yang langsung membuat hati Hanif menghangat dan berdebar.
Teringat kembali beberapa penggal kalimat yang diucapkan oleh sang bunda sebelum mereka berangkat. '____Nanti penyaji nasihatnya keluaran Al Azhar loh Mas.____', apakah itu artinya?
"Azzalea," sangat lirih bibir Hanif bergumam.
"Kisah cinta nabi Yusuf dan juga Siti Zulaikha?" katanya kembali mengingatkan Hanif akan cerita pengantar tidur yang seringkali bundanya bawakan. Kisah teladan nabi.
Belum sempat Hanif mendengarkan lebih lanjut, di hadapannya kini seorang bapak berperawakan sedikit tambun sedang mengeluhkan beberapa keluhan yang akhir-akhir ini dia rasakan. "Dok, mengapa ya setiap kali bangun tidur kaki rasanya kok berat dan sakit sekali untuk dipakai jalan, rasanya seperti ditusuk-tusuk. Padahal saya cek lab semua normal, kolesterol, asam urat, trigliserid bahkan sampai reumathic semuanya normal."
"Seberapa sering Pak?" tanya Hanif.
"Hampir setiap hari."
"Boleh saya lihat pak. Yang mana yang dirasa sakit." Tangan kanan Hanif memegang reflex hammer siap untuk dipukulkan ke beberapa bagian tubuh bapak bertubuh sedikit tambun yang duduk di sampingnya.
"Yang ini sakit, Pak?" tanya Hanif saat dia baru saja memukulkan di kanan dan kiri tempurung lututnya.
"Sedikit, Dok."
"Kalau disini?" kini ganti Hanif memukulkan di daerah tumit dan telapak kaki.
"Aduhh, iya Dok sakit di situ." Jawabannya membuat Hanif sedikit tersenyum.
"Mohon maaf Pak, kalau boleh tahu pekerjaan Bapak apa?" tanya Hanif. Ya wawancara singkat seperti ini memang dibutuhkan seorang dokter untuk menganalisis apa yang sebenarnya di derita oleh pasien.
"Saya seorang guru, Dok. Memangnya kenapa kok sampai dokter Hanif menanyakan itu?" sepertinya pasien kurang nyaman dengan pertanyaan Hanif.
"Bukan untuk apa-apa Pak, hanya untuk analisa penyakit saja. Guru, berarti sering berdiri ya Pak?"
"Iya, sampir setiap harinya saya berdiri 5 jam."
"Pakai sepatu pantofel yang berhak, seperti itu Pak kira-kira?" tanya Hanif lagi.
"Iya Dok, setiap hari. Apa ini karena saya yang mulai menggemuk ya Dok? Entahlah sejak dua bulan ini berat badan saya selalu naik. Sampai sampai saya harus mengganti ukuran pakaian." Cerita sang bapak pasien.
Fix, sepertinya Hanif telah mengambil kesimpulan dari hasil analisanya.
"Menurut cerita dan hasil analisa saya, sepertinya pak Artoyo ini terserang penyakit yang disebut dengan plantar faciitis. Mengingat kaki mulai sakit dipakai jalan semenjak bapak mulai menggemuk, kemudian cek lab hasilnya normal untuk kolesterol dan kawan-kawannya tadi, sedangkan bapak harus bekerja sambil berdiri selama 5 jam setiap harinya," kata Hanif.
"Plantar faciitis? Penyakit apa itu Dok?"
"Plantar faciitis itu ya seperti yang dirasakan oleh bapak ini. Nyeri tumit dan telapak kaki karena adanya tekanan plantar fascia sehingga menyebabkan robeknya selaput tumit yang membuat nyeri di tumit seperti ditusuk-tusuk tadi. Penyebabnya macam-macam, bisa karena obesitas, pekerjaan yang menuntut kita berdiri dalam jangka waktu yang lama, masalah pada kaki karena mungkin kita tidak bisa berjalan normal sehingga menyebabkan jaringan sendi tendon achilles atau pergelangan kaki kita menjadi tegang," jawab Hanif.
"Lantas apa yang harus saya lakukan Dok?"
"Penanganan kasus seperti ini biasanya langsung kepada dokter spesialis syaraf. Kalau secara cepatnya untuk penyembuhan bisa dilakukan dengan diet yaitu mengembalikan ke berat badan semula, karena permukaan kaki kita tidak kuat menopang berat tubuh kita. Kita tidak mungkin memperlebar permukaan telapak kaki yang bisa kita usahakan adalah diet. Nah, kalau ini bisa saya sarankan ke ahli gizi pak. Selain itu tidak kalah pentingnya, sebaiknya bapak mengenakan sepatu yang permukaannya nyaman, empuk dan tidak atos di kaki. Kalau bisa jangan memakai sepatu pantofel yang ber heels. Sesekali bolehlah, tapi jangan untuk dipakai setiap hari. Bagaimana pak penjelasan saya bisa dipahami?"
"Obatnya apa ya Dok kira kira untuk saya?"
Sekali lagi Hanif tersenyum sedikit hanya sedikit. "Untuk penghilang rasa nyerinya bapak bisa mengkonsumsi paracetamol atau ibuprofen, tapi saran saya coba konsul lebih lengkap dengan dokter spesialis saraf." Hanif berkata sebagai penutup dari pemeriksaannya.
Ya begitulah Hanif dengan pasiennya. Meski dia dikatakan seorang dokter cool namun untuk informasi yang harus disampaikan kepada pasien wajib dia beritahukan secara detail.
"___Nikmatnya mengharap cintanya Allah, bunda dan para remaja putri semuanya. Allah bisa merubah segalanya dengan doa-doa kita. Yang kita dengungkan kepada bumi untuk dilangitkan ke genggamanNya. Mashaallah, jadi jangan ada yang menyepelekan kekuatan doa. Allah itu maha pemurah, puji Dia, sanjung Dia, rayulah Dia. Bahkan Allah akan memberikan rezeki kepada kita melalui pintu-pintu yang tidak pernah kita sangka sekalipun." Rangkaian kalimat panjang itu masuk melalui telinga Hanif dan terekam di otaknya. Ya, siapa yang bisa meragukan kekuatan doa.
Bukan memperbanyak meminta, namun perbanyaklah memujaNya, berdzikir atas namaNya. Allah akan memberikan sesuatu melebihi dari apa yang kita pinta sebenarnya. Setelah pekerjaannya selesai. Hanif merapat bersama bapak-bapak. Memberikan beberapa tips sehat ala rasulullah yang bisa diaplikasikan setiap hari.
"Mulailah makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang." Tips pertama yang diberikan Hanif. Menghindari penyakit yang bernama kolesterol, asam urat dan kawan-kawannya.
"Perbanyak minum air putih, bacakanlah surah AlFatihah dan beberapa surah lainnya kemudian tiupkan ke air dan minum segera. Itu cara kita merughyah diri sendiri," jelas Hanif.
"Eh dokter Hanif ini sepertinya sangat paham ya ilmu agama." Celetuk dari salah seorang diantara mereka.
"Ya, sebenarnya apa yang kita kaji itu harus diaplikasikan loh Pak. Bapak-bapak jangan selalu berpikir bahwa setiap dokter itu butuh pasien. Dengan kata lain mereka mendoakan orang untuk sakit. Bukan, kami juga tidak ingin seperti itu. Ingin semuanya sehat. Jika kami memilih profesi itu karena kami ingin menolong sesama," jawab Hanif.
"Mashaallah dokter Hanif, saya semakin respect dengan panjenengan."
Tidak berselang lama dari diskusi para bapak dengan Hanif acara pengajian pun telah selesai. Qiyya berjalan menghampiri Hanif yang sedang berkemas.
"Mas, habis ini kamu nggak ada acara kan?"
"Nggak ada Bunda, ada apa?"
"Ikut bunda dulu ya?"
"Kemana?"
"Itu tante Omai dan putrinya tidak ada yang menjemput. Kita antarkan ke rumahnya, sekaligus silaturahim. Tapi sebelumnya kita makan siang dulu di Warung Mak Nyak bisa?"
"Azza?"
"Aza? Bisa atau enggak? Bukan aza Mas. Eh tunggu maksud kamu___? Bunda tidak menyebutkan namanya loh kok kamu langsung loading cepat?"
"Bunda, ishhhhh. Ayolah, Hanif ke mobil dulu." Bagaimana sih rasanya kepergok bunda itu? Pasti memerah itu yang namanya pipi bukan?
Di dalam mobil Hanif hanya menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan kepadanya tanpa berniat untuk bertanya balik. Selain takut untuk menekan perasaannya, dia juga lagi fokus dengan jalanan yang ada di depannya.
"Iya dik Omai, anakku ini dinginnya sama seperti bapaknya. Beda ya sama dik Ghulam, dari awal sering main ke rumah dulu sama dik Zurra dia sudah sociable," kata Qiyya.
"Mbak Qiyya ini ada aja. Anak sendiri loh ini, malah di bully," kekeh Omai.
"Kalau Azza apa sekarang kegiatannya?" tanya Qiyya kemudian. Ini Azza yang diberikan pertanyaan oleh Qiyya mengapa Hanif yang justru panas dingin dan bergetar.
"Mas Hanif bisa nggak nyetirnya biasa saja, masa jendul-jendul kaya gini. Bisa mabuk nanti bunda sama tante Omai." Sepertinya memang Hanif lupa menginjak pedal kopling saat pedal rem dia injak perlahan sehingga mobil yang mereka kendarai seperti bergelombang.
"Azza?" Qiyya kembali ke pertanyaan awal.
"Eh iya Tante bagaimana?" nah kan ketahuan kalau Azza pun juga tidak fokus dengan pertanyaan Qiyya. Aduh anak muda itu sedang berpikir tentang apa ya kira kira?
"Ya sudah, ini sudah sampai. Kita keluar dulu saja nanti kita lanjut perbincangannya." Qiyya menutup dan bergegas untuk bersiap keluar dari mobil.
Memasuki sebuah bangunan di utara makam proklamator itu seolah membawa mereka ke masa lampau. Konsep resto ndeso yang ditawarkan dengan beberapa saung yang diiringi dengan gemericik air yang mengalir. Sebuah kentongan menggantung di setiap bangunan yang terbuat dari bambu dengan sesek sebagai atapnya.
Memesan beberapa menu makanan menjadi pilihan pertama sebelum mereka melanjutkan perbincangan.
"Mas Hanif, Azza pengen makan apa?" tanya Qiyya.
"Gurame bakar, Bunda."
"Gurame bakar, Tante."
Jawab keduanya kompak. Qiyya menatap keduanya kemudian tersenyum sangat manis. Terkekeh bersama dengan Omaira.
"Biar tambah kompaknya, Azza panggil tante Qiyya bunda saja. Temen-teman anak-anak bunda semua memanggil dengan panggilan itu," pinta Qiyya.
Azza menoleh kepada sang umma kemudian Omaira mengangguk tanda menyetujuinya.
"Iya Bun__da"
"Jadi bagaimana tadi pertanyaan bunda. Sekarang Azza sibuk apa?" Qiyya kembali melakukan sesi introgasinya.
"Ya itu bunda, ngajar di pesantren dan lagi belajar bisnis online sekaligus bantuin baba jaga apoteknya." Azza menjawab dengan lancar meski dengan kepala menunduk.
Terang saja dia selalu menundukkan pandangan karena di samping Qiyya duduk sesosok tegap ikhwan bernama Hanif yang telah mencuri sekeping hatinya.
'Rabb, bisakah Engkau memutar waktuku. Jika akhirnya aku mengetahui akhir jalannya bisa bertemu kembali dengan ikhwan yang telah menawan hatiku sejak 5 tahun yang lalu. Pasti aku akan menolak tawaran ta'aruf itu' rintihan hati Azza menggema ke seluruh rongga di dalam dadanya.
"Itu tadi Azza loh Mas yang memberikan nasihat. Kamu dengerin nggak dari luar?" tanya Qiyya dengan antusias.
"Ougghhh___" lenguhan panjang keluar dari bibir Hanif. "Bagus Bunda, sangat relevan bahasanya masuk ke semua kalangan. Ya iyalah Bun, tidak diragukan lagi. Lulusan Cairo," ucap Hanif seolah mengencerkan suasana hatinya. Dia mulai bisa memuji meski bukan semata dia sendiri yang berinisiatif. Bersyukur memiliki bunda sepengertian Qiyyara.
"Ah, itu hanya kebetulan saja. Hanif juga keren tadi sempat dengar bapak-bapak banyak yang memuji. Dokter Hanif sangat detail menjelaskan sesuatunya. Bahkan tadi memberikan tips sehat ala nabi bukan? Lulusan Harvard, pastilah tidak diragukan lagi." Azza membalas dengan jawaban yang memintanya harus bersuara panjang.
"Kak, dokter Hanif ini meskipun lulus SMAnya bareng denganmu tapi dia 2 tahun lebih tua dari kamu. Jangan jambal seperti itu manggilnya, panggil dia Mas." Perintah Omai menginterupsi perkataan putrinya.
"Oh iya, Mas__Hanif."
Ya, saling bertukar senyum. Senyum yang mungkin hanya untuk dipandang bukan untuk dimiliki. Azza memang telah menambatkan hatinya ke pelabuhan milik Hanif lima tahun yang lalu saat mereka berdua hendak berangkat melanjutkan studynya masing-masing.
Mungkin Allah memiliki jalan berliku yang harus mereka perjuangkan hingga akhirnya bisa sampai di titik ini.
Hati, masihkah engkau bersemayam dengan hanya terukir sebuah nama yang pasti abadi?
🍒🍒
-- to be continued --
Blitar, 11 Mei 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top