3 🍄 Accidental Meeting
Sebab sepanjang kita berjalan, menghindar, berpura-pura tidak mengetahui atau apa pun itu, yang pasti kita akan tetap bertemu dengan apa yang ditakdirkan untuk bertemu______________________________
🍒🍒
Senyum yang bahkan tidak pernah hilang dari bibir tipis Hanif. Tentu, hatinya kini semakin membuncah. Sebagai laki-laki normal hal itu sangat wajar bukan?
Sejak kejadian di toko sepatu malam itu. Rasa rasanya semangat Hanif seperti tercharge full.
"Mas Hanif, itu makanan nggak akan habis kalau cuma disenyumin doang. Ayo adek keburu telat nanti sekolahnya." Hawwaiz yang menjadi saksi pun menjadi geram sendiri karena mas kesayangannya hanya berdiam diri sambil menghitung jumlah nasi yang ada di piringnya.
Tidak menanggapi ledekan sang adik, Hanif segera menandaskan sarapan paginya. Ah, untung hanya Hawwaiz yang menyaksikan. Si kembar memilih berangkat sekolah dengan sang daddy karena harus tiba di sekolah lebih pagi. Sedangkan Hawwaiz yang setia dengan Hanif memilih menemani sang kakak. Sebenarnya bukan karena itu, sekolah Hawwaiz searah dengan rumah sakit tempat kerja Hanif. Sementara Qiyya sedang asyik membongkar tanaman anggreknya di depan rumah bersama bi Marni.
"Ini sudah selesai, ayo berangkat." Suara tegas kembali menggema dari bibir Hanif.
Hawwaiz segera mengekor kakaknya menuju mobil yang akan membawa mereka kepada tujuannya masing-masing.
"Mas Hanif aneh sejak kemarin." Celetuk Hawwaiz ketika mereka sudah ada di mobil.
"Aneh bagaimana?" tanya Hanif penuh selidik.
"Ya aneh, sering melamun. Kadang sedih kadang senyum sendiri. Ih, ntar ketahuan daddy bisa diintrogasi sehari semalam loh," kata Hawwaiz bergidik ngeri.
"Emangnya daddy semenyeramkan itu, ah nggak lah. Daddy itu ingin yang terbaik untuk kita," jawab Hanif meluruskan.
"Au ah. Daddy kalau nanya serius menyeramkan, kita kaya mau ditelen mentah-mentah." Penggambaran Hawwaiz benar-benar hmmmmm.
"Kalau kita nggak salah kenapa mesti takut. Itu namanya sikap tegas laki-laki. Kamu harus juga belajar seperti itu. Tanggung jawab sebagai kepala keluarga, bukan kepada orang tua atau siapa pun tapi langsung kepada Allah. Ngerti?" jelas Hanif sambil mengelus pundak adik kecilnya. Remaja yang masih labil seperti Hawwaiz sangat perlu pendampingan dan pelurusan.
Bersama Hanif, Hawwaiz tentu lebih terbuka. Bukan rasa takut sebenarnya yang dirasa oleh Hawwaiz, tapi karena sikap hormatnya kepada Ibnu. Khawatir membuat orang yang paling dia cintai kecewa.
Percakapan mereka bergulir diantara puluhan kendaraan yang saling ingin mendahului karena mengejar jam kantor atau sekolah supaya tidak terlambat sampai di tempat. Hingga tanpa sadar gawai Hanif bergetar di atas dashboard mobilnya.
"Dik, tolong lihatin siapa yang nelpon tuh." Perintah Hanif.
"Om Zurra yang nelpon."
"Jawab gih, mas lagi nyetir nih." Tangan Hawwaiz segera menggeser panel hijau yang berkedip dan mengatakan salam saat gawai milik kakaknya itu telah menempel di telinga
"Siap om disampaikan ke mas Hanif, ada lagi?_____ok, waalaikumsalam," kata Hawwaiz singkat.
"Kenapa?"
"Nanti ba'da maghrib jangan lupa ke rumah akung. Om Zurra ngadain syukuran," jawab Hawwaiz singkat.
"Syukuran apa?"
"Ya ai dono yu indro. Nanti tanyain komplitnya waktu di rumah akung. Awas nanti kalau mas Hanif nggak ikut, adek juga nggak mau ikut."
"I don't know you in draw?"
"Alah ituloh mas warkop DKI jaman baheula, ih selera humor mas Hanif payah. Assalamu'alaikum," kata Hawwaiz segera turun dari mobil karena sudah sampai di gerbang sekolahnya.
Adik kecilnya itu kadang bisa membuat emosi jiwa tapi kadang juga bisa membuatnya tertawa lepas. Meski sifat mereka sama, Hanif lebih banyak mengalahnya. Tentu saja, masa iya dia harus melawan adik kecilnya. Apa kata dunia?
Seperti biasa pagi ini Hanif menuju ruangannya. Sepertinya pak Tomo telah memahami maksudnya. Tidak ada lagi coklat dan bingkisan di atas mejanya, bunga pun hanya ada sebuah anggrek bulan berwarna putih di ujung mejanya.
"Selamat pagi Dokter Hanif ini air mineralnya."
"Terima kasih Pak Tomo, letakkan di tempat biasanya ya."
"Oh iya Dok, dapat ucapan terima kasih dari para wali pasien. Hadiah-hadiah yang untuk dokter Hanif kemarin terpaksa saya buka satu persatu. Maaf, bukannya lancang tapi supaya saya tidak salah memberikan kepada orang." Pak Tomo menjawab tak lupa dengan senyum khasnya.
"Atur saja Pak Tomo. Para wanita yang selalu bikin susah saja," kata Hanif lirih.
"Nggak semua wanita loh Dok, nanti kalau dokter Hanif sudah bertemu yang pas pasti tidak seperti itu ngomongnya," kata pak Tomo.
Hanif hanya tersenyum mendengar ucapan OB yang lumayan dekat dengannya itu. Tanpa menunggu lama pak Tomo pun akhirnya berlalu. Dia sangat paham bahwa dokter yang ada di depannya sudah mulai tidak nyaman dengan topik pembicaraan mereka.
Seperti biasanya, pagi ini Hanif mulai meminta beberapa rekam medis atau hasil lab dari pasien pasien yang dia tangani. Sebelum melakukan visite dan berbagi informasi dengan wali pasien, hari ini dia bertugas sebagai dokter jaga untuk poli umum.
Tangan kekarnya kini meraih sebuah snelli yang menggantung di lemari pribadinya untuk dipakai membalut tubuh atletisnya. Menggantungkan stetoskop di kedua bahunya serta merapikan dasi yang terikat manis di lehernya.
Sudah bisa dipastikan. Setiap jadwal Hanif yang praktek di poli umum pasti pasiennya membludak. Ini sakit atau menyakitkan diri. Apa iya hanya tergores pisau karena memasak saja seorang ibu-ibu harus minta dilakukan P3K oleh dokter secool Hanif. Atau seorang remaja putri yang datang tergopoh-gopoh karena siklus kewanitaannya tidak teratur. Ini dokter apa seleb?
"Dok, dari semalam sudah terasa meriangnya."
"Masih diambang normal kok Mbak. Pengaruh cuaca saat kondisi badan tidak baik. Wajar jika virus RNA menyerang tubuh dengan kekebalan minimal. Minum air putih yang banyak, istirahat yang cukup dan jangan begadang sampai larut malam," terang Hanif.
"Iya Dok."
"Saya resepkan analgesik sebagai pereda nyeri, antihistamin ini yang sering menyebabkan ngantuk jadi kalau hendak mengemudi sebaiknya jangan diminum dulu, ibuprofen diminum kalau masih demam dan jika ada batuk berdahaknya antihistaminnya diganti dengan bromhexine. Bisa dipahami Mbak?" jelas Hanif. Ini yang kadang membuat risih maksud hati ingin membuat pasiennya mengerti eh mereka justru kebanyakan terlalu asyik memandangi wajahnya daripada mendengar penjelasan yang dia berikan.
"Ekhhhhhmmmmm," deheman Hanif mengoyak lamunan liar remaja yang kini sedang duduk di depannya.
"Ehhh iya, bagaimana Dok?" nah betul kan, mereka seringkali bersikap seperti ini. Seolah Hanif bercerita tentang sebuah masa depan bersamanya.
Lagi-lagi Hanif hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan perlahan. Kemudian menjelaskan dengan kalimat sederhana. Sebenarnya siapa yang harus disalahkan, Hanif? Sebagai seorang dokter kadang dia lupa bahwa penjelasannya terlalu akademis. Atau pasiennya yang seringkali tertangkap matanya lebih banyak melihat bak mata pemuja purnama, dibandingkan dengan memperhatikan penjelasannya.
Harusnya dulu sekolah acting saja untuk menjadi artis.
Sore harinya Hanif melangkah gontai memasuki kediaman dokter bedah paling ngetop sekota patria. Pekerjaan hari ini sangat menguras tenaganya.
Saat adzan maghrib berkumandang pun Hanif hanya mengambil wudhu kemudian langsung melesat ke masjid bersama keluarganya yang sudah siap berangkat menuju ke rumah akung Abdullah untuk menghadiri undangan Zurra.
"Mas___?" kata Qiyya.
"Bunda berangkat dulu saja sama semuanya. Mas Hanif mau mandi dulu setelah sholat maghrib nanti menyusul," Hanif menjawab sebelum akhirnya mereka berpisah di pintu masjid.
Tiga tahun tanpa Hafizh membuat hati sekaligus perasaan Qiyya menjadi hampa, ada yang kurang. Biasanya suami dan ketiga putranya yang selalu ke masjid bersama kini mereka hanya berenam.
Dan akhirnya, Hawwaiz meminta rekomendasi dari sang daddy untuk menunggu mas kesayangan.
"Dad, adek bareng mas Hanif saja ya. Kasihan masa sendirian, kelihatan banget jomlonya," kata Hawwaiz yang langsung dapat pelototan dari Hanif tapi mendapat tawa renyah dari daddy, bunda dan kedua kakak kembarnya.
"Kamu ini bisa saja. Tuh masmu marah, tanggung jawab loh," kata Ibnu.
"Ya kalau nggak mau dikatain jomlo, segera dong dikenalin sama bunda siapa calonnya. Kapan bunda dan daddy harus melamar dia. Ya nggak sih Dad?" tambah Qiyya mendukung gurauan Hawwaiz.
"Bunda jangan mulai deh, mas Hanif mau mandi dulu deh biar cepet berangkat ke rumah akung." Hanif segera berlalu. Mendengar gurauan saudara dan kedua orang tuanya membuat dia mengingat sesuatu. Lebih tepatnya seseorang, ya yang akhir-akhir ini menjadikannya rutin untuk melangitkan doa atas namanya.
Sementara Hawwaiz duduk sambil membuka mushafnya, Ibnu dan yang lainnya telah berangkat menuju kediaman Abdullah Zaffran.
"Dek, lets go. I'm already to go," ajak Hanif.
"Ok." Hanif mengeluarkan sepeda motor kesayangannya all new CBR150. Mengenakan penutup muka dan helm di kepalanya. "Mas, naik motor??"
"Iyalah adek kecil. Di sana pasti banyak yang bawa mobil. Repot nanti parkirnya. Cepetan ambil helm dan bilang sama bi Marni untuk mengunci rumah," perintah Hanif.
"Ashiiiiiaaapppp." Hawwaiz kembali ke dalam rumah kemudian keluar lagi dengan sebuah helm di tangannya diikuti bi Marni di belakang.
"Mas Hanif hati-hati di jalan," pesan bi Marni.
"Iya bi, jangan lupa di kunci pintunya," kata Hanif sebelum dia dan adiknya melesat bersama sepeda motornya.
Sampai di kediaman Abdullah, jelas sudah tampak ramai. Terlihat beberapa mobil terparkir berjajar. Benar sekali dugaan Hanif akan sulit bagi mereka untuk mendapatkan tempat parkir jikalau membawa mobil kemari.
"Bener katamu Mas, ramai memangnya acara apa si om Zurra sampai segini banyaknya undangannya?" tanya Hawwaiz yang tentu saja tidak bisa dijawab oleh Hanif.
"Ye, I don't know you in draw. Kamu kan yang satu sekolah sama Fiza memangnya tadi tidak bertanya?" tanya Hanif.
"Nggak sempat Mas, eh lupa malahan tadi ada rapat OSIS dan ujian harian juga di kelas," jawab Hawwaiz.
"Ya sudah masuk yuk, nanti juga akan tahu acara apa." Sepeda motor Hanif telah terparkir di halaman rumah akung mereka. Zurra memang memilih untuk tidak meninggalkan rumah, alasannya simpel ayah dan ibunya semakin menua jika semua anak-anaknya memilih untuk menempati rumahnya sendiri maka siapa yang akan menemani mereka.
Suara riang dan gemuruh saudara sepupunya menyambut kehadiran Hanif dan Hawwaiz.
"Panda, lets guess who's come?" teriak Elram yang langsung berteriak saat melihat Hanif dan Hawwaiz.
"Who?" jawab Erlando.
"The Prince of Pakdhe Ibnu." Jawaban Elram tentu saja membuat undangan yang mengenal siapa yang dimaksud akan memalingkan muka sejenak. Menunggu yang dimaksud memasuki ruangan.
"Assalamu'alaikum," salam Hanif dan Hawwaiz serempak.
"Waalaikumsalam," Ibnu tersenyum melihat kedua putranya hadir dan langsung menyalami semua tamu laki-laki yang telah duduk terdahulu di ruangan yang telah disiapkan.
"Dokter Ibnu junior benar-benar ya keduanya. Kembar beda dekade dengan ayahnya." Salah seorang diantara mereka menyeletuk hingga membuat tertawa semuanya.
Hanif tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang kini duduk di sebelah bundanya memperhatikan dengan begitu intens setiap gerak dan langkahnya.
"Mas, adik, ini uti, aunty Aira dan aunty Devi ada di sini. Salim dulu," kata Qiyya saat Hanif dan Hawwaiz telah selesai menyalami para laki-laki.
Kepala Hanif mendongak mencari suara bundanya. Sssttttt, tiba-tiba lengan kiri Hawwaiz menyikut tubuhnya. Berdua mereka saling bermain mata hingga akhirnya Hanif mengerti maksud sang adik.
Terkejut, pastinya dan jangan tanyakan itu. Tapi Hanif segera bisa menguasai diri. Dia beranjak dan segera menyalami uti dan kedua auntynya.
"Bagaimana Ib, setelah ini langsung pindah ke rumahmu atau bagaimana?" tanya dokter Erik dengan sedikit keras hingga hampir terdengar oleh semuanya.
"Hah, maksudmu apaan Rik?" tanya Ibnu yang tidak paham dengan maksud pertanyaan sahabatnya itu.
"Itu___" dagu dokter Erik mengarah ke Hanif. "Dokter sudah, umur sudah siap, apalagi?" benar-benar kalimat dokter Erik membuat muka Hanif menjadi merah.
"Coba kamu tanya sendiri sama yang bersangkutan bagaimana?" jawab Ibnu singkat sambil menatap putra sulungnya yang duduk tidak jauh dengannya.
"Hanif gimana? Bulan depan acara pindah ke rumah dokter bedah paling ngetop ini?" tanya dokter Erik.
Hanif hanya tersenyum tersipu malu mendengar semuanya. Ah, gara-gara terlambat dia harus bersabar jadi korban bully teman-teman daddy Ibnunya.
Hanif tidak pernah berkata, tetapi Hawwaiz juga bisa memahami. Sejak pertemuan malam itu di toko sepatu, dia menyadari akan satu hal meski kakak pertamanya ini tidak mungkin melakukan yang lebih daripada ini.
Sambil berbisik Hawwaiz mengucapkan sesuatu, "Tingkah kalian sama, malu dan merona. Padahal kamu mas yang di bully, tapi wajah kak Azza tidak jauh berbeda denganmu."
Zurra pun tak kalah menggoda Hanif. Masih segar dalam ingatannya peristiwa 5 tahun yang lalu. Dengan sengaja dia mengatakan seolah tidak ada orang diantara mereka. "Lam, ponakanku sepertinya sudah siap tuh. Usia juga sudah pas, kalau belum keduluan. Gimana, apakah bisa kita jadi besan?" tanya Zurra kepada sahabat SMAnya.
Belum sempat menjawab, Abdullah melerai semuanya. Melihat muka cucu kesayangannya sudah merah padam menahan malu karena di bully oleh sahabat daddy dan omnya.
"Sebaiknya acara segera di mulai Zur, ayo Devi." Perintah Abdullah menyelamatkan Hanif.
Akhirnya Zurra memulai acaranya dan memberitahukan dalam rangka apa semua diundang untuk acara tasyakuran. Pertama terkait dengan pekerjaan Devi yang akhirnya bisa membuka klinik praktek bersama dengan dokter dokter spesialis yang lain. Juga karena kini Devi telah menyelesaikan studi sebagai seorang dokter sub spesialis.
Jadi sangat wajar jika yang diundang adalah rekanan Devi di kantor dan juga beberapa dokter yang ikut praktek bersama di klinik milik Zurra.
"Mas Hanif kapan ambil spesialis?" tanya Devi saat acara inti telah selesai. Kini mereka sedang beramah-tamah dengan menikmati hidangan yang telah disediakan oleh keluarga Zurra.
"Nunggu izin dari daddy," jawab Hanif singkat. Ya memang Ibnu meminta Hanif untuk menjadi dokter umum paling tidak setahun dulu sebelum dia mengambil spesialis.
"Menikah dulu, baru ambil spesialis. Gimana, Mas, deal ya?" kata Qiyya yang langsung membuat Hanif tersedak.
Sontak sebuah tisu terulur dari tangan seorang gadis di samping Qiyya. Sedangkan Devi memberikan gelas berisi minuman.
Maksud hati Hanif ingin menghindar dari para laki-laki teman teman daddy dan unclenya. Supaya tidak di bully, ini dia justru terjebak dengan ibu-ibu yang diantaranya ada gadis yang membuat hatinya berdegup kencang.
'Hei, haruskah aku harus memeriksakan kesehatan jantungku kepada calon ibu mertua. Calon ibu mertua? Pikiranmu terlalu jauh melenceng Hanif' monolog hati Hanif yang membuat bibirnya sedikit tertarik ke atas.
Qiyya yang mulai menyadari perubahan Hanif, meskipun orang lain tidak mengetahuinya. Ya, seorang ibu yang telah mengasuhnya selama enam belas tahun lebih pasti sangat memahami apa yang kini tengah bersarang di hati sang putra. Selain itu juga teringat cerita Ibnu beberapa hari silam.
"Jangan suka berbicara dengan hati sendiri Mas, Allah mengetahui yang tersimpan didalamnya. Jika udara tidak ingin kau jadikan saksi atas apa yang ada didalamnya. Bicarakanlah pada bumi untuk melangitkan kata hatimu hingga menggetarkan arsy-Nya." Qiyya berkata dengan bijak menatap putra sulungnya.
Mendengar kata-kata yang disampaikan Qiyya untuk sang putra membuat Omaira tersenyum tipis, mengingat kisah cintanya dengan baba Azza membuat hatinya kembali tercubit. Siapa yang akan menolak jika dipasangkan dengan dokter tampan sekaliber dr. Hanif Asy Syafiq. Hanya saja, beberapa hari yang lalu, putrinya telah menerima ajakan ta'aruf seseorang untuk menjadikannya seorang istri.
🍒🍒
-- to be continued --
Tetapkan Al-Quran sebagai bacaan utama
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top