2 🍄 Kegentingan Jiwa

Ketidakpahaman fungsi hati yaitu bahwa hati bukanlah tempat bersemayamnya perasan kita!! Namun tempat penyaringan darah dan detoksifikasi_______________________

🍒🍒

Jangan pernah menanyakan tentang sebuah rasa kepada seseorang yang telah menutup hatinya dengan begitu rapat. Bukannya kesenangan namun justru kesedihanlah yang akan kau terima.

Kata-kata bijak itu sepertinya sangat cocok diberikan kepada Dokter Zia Airish. Dokter, masih muda, cantik, dan seksi tentu saja. Apalagi yang kurang? Bahkan hampir setiap mata laki-laki normal singgah untuk menatapkan beberapa saat.

Tapi berbeda dengan rekan sesama dokter ini. Mengenal lebih dari tiga tahun. Bersaing untuk mendapatkan prestasi akademik menjadi yang terbaik. Tidak pernah sekali pun dokter Irish menemukan tatapan memuja seperti pria dewasa yang lain ketika menatapnya. Dokter satu ini lebih suka menundukkan pandangannya atau melihat sesuatu yang dia pegang dibandingkan dengan menatap muka cantik milik salah satu dokter paling cantik di rumah sakit tempat mereka bekerja.

Perlakuan yang berbeda jika dia berbicara dengan sesama jenisnya. Sorot matanya yang tajam seolah dia begitu menghargai siapa orang yang sedang mengajaknya bicara.

Tegas dan sedikit bicara. Dari awal pun semua bisa mengetahui, namun dibalik sikap dinginnya itu ternyata dia begitu lihai dengan pekerjaan yang menjadi bebannya. Menyelesaikan dengan tepat dan sangat baik.

"Selamat pagi, Dokter Hanif," sapa Tomo yang biasa membersihkan ruangan Hanif.

"Selamat pagi, Pak Tomo," jawab Hanif. Matanya kini melihat beberapa tumpukan di meja kerjanya. Coklat, bunga dan bungkusan apa lagi entahlah. Ini sudah yang kesekian kalinya Hanif mendapati ruangannya seperti kebun dan toko sembako.

"Pak Tomo tunggu!" Terjeda sebentar kemudian Hanif melanjutkan kalimatnya. "Bapak yang membawa ke sini semua ini?" Jari telunjuk Hanif menunjuk beberapa barang yang sangat tidak dia butuhkan dalam menunjang pekerjaannya.

Jelas terlihat sekali, aura ketakutan di mata Tomo begitu kentara. Beberapa hari yang lalu dia telah diperingatkan oleh Hanif untuk tidak membawa masuk sampah-sampah seperti itu ke dalam ruangannya. Mengapa hari ini masih terulang lagi?

"Maaf, Dok, saya tidak enak dengan yang menitipkan. Padahal sudah saya sampaikan kepada mereka jika Dokter Hanif tidak berkenan seperti ini, tapi ya begitulah, mereka masih ngeyel untuk nitip ke saya supaya di taruh di ruangannya Dokter Hanif. Sekali lagi maaf, Dok," jawab  Tomo.

"Baiklah, saya tidak butuh itu. Pak Tomo silakan ambil kembali semua, berikan kepada yang membutuhkan. Atau bagikan kepada keluarga pasien. Mengenai bunga-bunga itu, taruh saja di bagian administrasi untuk menaruh di ruang rawat pasien. Mereka pasti paham maksud saya. Kedepannya, kalau Pak Tomo tidak enak sama mereka terima saja tetapi tidak perlu di bawa kemari. Sekali lagi saya tidak membutuhkan itu semua." Hanif sepertinya tidak lagi memberikan ruang untuk mereka yang ingin mendekat dan berkompromi dengan situasi yang sengaja mereka buat.

Kalimat terpanjang yang pernah dia keluarkan. Sebenarnya Hanif tidak marah dengan Tomo yang sedari tadi sudah ketakutan melihat muka serius dan tatapan nan tajamnya. Namun, Hanif berpikir jika itu dibiarkan pasti mereka akan berulah lebih daripada ini.

'Maafkan saya Pak Tomo, akhirnya bapak yang jadi tumbal sikap alay mereka' kata Hanif dalam hati sebelum dia memakai sneli dan mulai melakukan pekerjaannya.

Hanif menuju IGD untuk bertugas sebagai dokter jaga. Muka bersihnya selalu menjadi rebutan para paramedis wanita. Seolah menjadi vitamin yang siap menyegarkan mata dan memberikan suntikan semangat mereka dalam bekerja.

Hanya berjalan dan sedikit aroma parfum cytrus pinus musk yang menguar dari tubuh jenjangnya seolah menjadi morphin tersendiri bagi wanita-wanita yang begitu memujanya.

"Emergency, rujukan segera ke spesialis jantung dan pembuluh darah," putus Hanif saat memeriksa sekilas pasien yang sudah sangat tidak memungkinkan untuk diberikan pertolongan di rumah sakit tempat dia bekerja.

Selain karena peralatan di rumah sakit tidak memenuhi standar kebutuhan pasien tetapi juga karena tenaga dokter spesialis jantung dan pembuluh darah tidak praktik definitif di rumah sakit itu.

"Siapkan ambulance. Saya yang akan mengawalnya." Dan di sinilah sisi Hanif yang begitu dipuja oleh banyak wanita. Sikap menolong yang tanpa pamrihnya membuat fans dan followersnya semakin melted.

Map rekam medis pasien telah disiapkan, surat rujukan juga telah Hanif tanda tangani. Pasien segera diberangkatkan menuju RSD yang berada di pusat kota. Hanif bersama satu perawat laki-laki duduk di kursi belakang dekat dengan pasien. Sedangkan keluarga pasien memilih untuk naik kendaraannya sendiri.

Dokter Irish yang melihat Hanif masuk ke ambulance segera mencari informasi. Harusnya pagi ini Hanif menemaninya untuk menghadiri peresmian rumah sakit milik Dokter Burhanudin. Hanya saja Irish tidak menyangka jika ternyata apa yang disampaikan Hanif kemarin lewat telepon benar-benar dia lakukan. Hanif memilih untuk tetap menjadi seorang dokter jaga dan mengabaikan ajakannya. Padahal Irish sudah merengek minta kepada sang papa untuk menugaskan Hanif bersamanya menghadiri acara peresmian itu.

"Dokter Hanif mengantar pasien rujukan ke RSD, Dok." Salah seorang perawat yang berada di IGD menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh Irish.

"Terima kasih infonya," jawab Irish.

Dengan kecepatan maksimal Irish segera melarikan mobil yang dikemudikannya menuju RSD. Apa pun alasannya Hanif harus bersedia menemaninya untuk menghadiri undangan peresmian rumah sakit itu.

Sedikit tindakan yang tergesa karena pasien harus segera tertangani. Hanif segera menuju ruangan spesialis jantung. Tertulis namedesk dr. Radhwah Omaira Medina, Sp.JP

Tangan kanan Hanif masih memegang map biru yang berisikan tentang rekam medis pasien. Saat tangan kirinya hendak terayun untuk mengetuk pintu. Tiba-tiba pintu itu terbuka dan keluar dari dalam sesosok wanita dengan jilbab lebar dan pakaian yang begitu tertutup.

Hanif mundur beberapa langkah untuk memberikan space kepada wanita di depannya agar bisa leluasa berjalan. Fast connecting, hippotalamusnya merespon dengan sangat cepat. Hingga otak dan bibirnya bisa berkompromi dengan irama yang sama.

"Azza___Ukhti Azza," lirih bibir Hanif mengucapkan sesuatu yang membuat wanita di depannya mendongak seketika.

"Akhi___" salah satu tangannya mencoba mengurut keningnya seolah mengingat sesuatu di dalam file otaknya. "Akhi Ha__Hanif." Akhirnya sekelumit memori itu muncul ke permukaan.

"Alhamdulillah, mashaallah masih diingat ternyata," kata Hanif.

Belum sempat wanita yang dipanggil Azza oleh Hanif menjawab. Terdengar suara bariton yang tidak asing di telinga Hanif, siapa lagi?

"Hi Dude, what are you doing here?"

"Hi Dad, biasa rujukan pasien," jawab Hanif.

Ibnu yang sedang berjalan di koridor rumah sakit mengetahui sang putra sedang berbicara dengan seorang akhwat di depan ruangan Dokter Omaira.

"Is that clear?" rasanya tatapan Ibnu mulai menyayat dan siap menguliti Hanif.

"No, it will be starting," jawab Hanif kemudian.

"So, why you stay here in long time. Do your job soon!" Perintah Ibnu yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.

Mengerti maksud sang daddy, Hanif pun segera mengakhiri percakapannya dengan wanita yang masih berdiri di depannya.

"Afwan Ukhti Azza, sepertinya saya memang harus bertemu dengan dokter Omaira segera. Asalamualaikum," pamit Hanif.

Ibnu juga bukan lelaki yang tidak memiliki hati. Dia sangat mengenal siapa laki-laki yang berdiri di depannya kini. Rasanya baru kemarin Ibnu memandikan putra sulungnya itu. Tapi hari ini dia mulai mengerti satu hal bahwa anaknya kini telah dewasa.

"Waalaikumsalam," jawab gadis sekilas menatap Hanif kemudian menundukkan kepala dan berlalu dari hadapan Hanif juga Ibnu. Hanif melangkah masuk ke ruangan dokter spesialis jantung itu dan meninggalkan Ibnu yang akhirnya juga berlalu dari tempatnya berdiri.

Mereka tidak pernah mengetahui bahwa ada sepasang mata yang sedari tadi melihat percakapan ketiganya. Meskipun perbincangan mereka tidak terlalu intens namun dia bisa mengambil benang merah dari sana.

Berbeda sentuhannya. Mata Hanif sangat santun saat menatap sekilas wanita di depannya. Tentu itu jauh berbeda dengan yang dia rasakan saat bersama Hanif. Laki-laki itu dengan tegas menolak body language yang dia berikan.

Apa kelebihannya?

Muka polos tanpa make up, pakaian tidak bermodel sama sekali. Senyum? Senyum Irish jauh lebih manis dari wanita yang baru saja melewatinya.

Tunggu, mengapa wanita itu tersenyum setelah meninggalkan Hanif? Rasa kesal semakin memuncak, hari ini Hanif benar-benar berhasil membuat hati Irish porak poranda. Tawarannya ditolak tegas. Meskipun Hanif sangat menghargainya dengan tidak menolak di depan staff dan paramedis RSD. Namun, akhir cerita tetap sama, sakit!!

'Aku pastikan bahwa suatu saat nanti bukan aku yang mengemis, tapi kau yang akan bertekuk lutut di hadapanku' geram Irish dalam hati.

Sedari SMA Irish telah menyimpan rasa pada laki-laki yang selalu menjadi saingan terberatnya saat bertarung memperoleh prestasi akademik terbaik. Hanif yang selalu sama dari dulu, dingin.

🍄🍄

"Bunda, Mas Hanif bakalan pulang malam lagi?" tanya Hawwaiz kepada Qiyya saat mereka hendak makan malam.

"Sebentar lagi juga pulang. Kenapa kamu dari tadi mencari masmu terus?" Qiyya balik bertanya kepada putra bungsunya itu.

"Mas Hanif janji, kalau nilai UTS matematika Adik sempurna mau dibelikan sepatu baru."

"Memangnya___?"

"Iya, nilai UTS matematika Adik dapat 100. Pengen sepatu kets, Bunda, punya Adik sudah nggak nyaman dipake kekecilan," jawab Hawwaiz.

"Bukannya baru dua bulan lalu Bunda belikan sama Daddy?"

"Iya tapi itu sudah kekecilan."

Qiyya hanya menggelengkan kepalanya. Mengapa anak-anak sekarang lebih cepat besarnya? Padahal kemarin Hawwaiz sendiri yang memilih, agak dilebihkan sedikit supaya bisa dipakai dalam waktu sedikit lama. Ini sudah kekecilan.

"Mana buktinya, Dik kalau dapat 100?" tanya Hanif kepada Hawwaiz saat mereka telah bercengkerama di ruang keluarga.

Secepat kilat Hawwaiz berlari menuju kamarnya. Mengambil lembar jawaban yang telah dinilai oleh gurunya. Yes, perfectly. "Mau sekarang atau besok?"

"Sekarang," jawab Hawwaiz begitu antusias.

Ibnu yang baru keluar dari kamar segera bertanya. Apa gerangan yang membuat anak bungsunya begitu ceria.

"Itu loh, Dad, mau dibelikan sepatu sama mas kesayangan," jawab Qiyya.

"Right?" tanya Ibnu memastikan kepada Hanif.

"Of course, Dad. I got perfection in my midterm exam," jawab Hawwaiz.

"Ouhh really?"

"Do you doubt my ability, Dad?" tanya Hawwaiz sedikit kecewa kepada sang daddy.

"Of course no. Just make sure, Dude. Take it easy," jawab Ibnu akhirnya. "Sudah sana panasi mobilnya dahulu, Daddy mau bicara sebentar dengan masmu dan Bunda."

"Ashiiiiapppp," Hawwaiz segera memberikan hormat dan berlalu dari ketiganya.

Setelah kepergian Hawwaiz, Ibnu menatap putranya dengan tatapan yang sulit diartikan, bahkan Qiyya sendiri hanya terdiam. Menunggu suaminya akan berkata apa.

"Who was the girl with you at hospital?"

Hanif mengingat sesuatu dan menjawab pertanyaan Ibnu dengan datar.

"Azza."

"Who is she?"

"dr. Omaira's daughter"

Ibnu hanya diam mendengar jawaban putranya. Kemudian dia bertanya kembali "Is she the woman--?"

Seperti cenayang yang mengetahui kelanjutan dari pertanyaan sang daddy Hanif dengan penuh percaya diri langsung menjawab, "Yes, she is. Five years ago. Ok Dad, may I accompany my lil brow for buy some shoes, I had been promised him."

"Yes, of course."

Sepeninggal Hanif, kini Qiyya yang meminta penjelasan dari sang suami. "Rasanya baru kemarin masmu ini menggendong dia," kata Ibnu.

"Hanif?"

"Siapa lagi?"

"Tadi tanpa sengaja Mas melihat dia berbicara dengan wanita. Sepertimu, berjilbab lebar, pakaian tertutup."

"Terus masalahnya? Mereka berbicara di tempat terbuka bukan?" tanya Qiyya.

"Iya di tempat terbuka lah, di depan ruang praktek Dokter Omaira. Tadi pagi Hanif mengantarkan pasien rujukan," jawab Ibnu.

"Ya terus masalahnya di mana, Sayang?" tanya Qiyya semakin gemas dengan suaminya. Sedari tadi hanya berputar-putar.

"Tatapan Hanif, ah lelaki dewasa. Ya karena Mas juga sama seperti Hanif," jawab Ibnu.

"Maksudnya lelaki dewasa? Hanif menyukai wanita itu dan Mas Ibnu juga menyukainya sebagai seorang lelaki dewasa?" tanya Qiyya memperjelas pernyataan Ibnu.

"Halah, kok kamu jadi berpikir seperti itu? Kamu saja satu masmu ini nggak ada bosannya. Ini malah dituduh suka lagi sama perempuan yang pantas menjadi anak. Maksud Mas itu, cara menatap Hanif kepada wanita itu sama seperti cara Mas menatap kamu," terang Ibnu.

"Mas__?"

"Mas itu laki-laki dewasa sama seperti Hanif. Jadi tahu kemana arah anak panah itu melesat," jawab Ibnu.

"Ya Allah, anakku ternyata...." kata Qiyya terpotong dan akhirnya senyum sumringah tergambar dari bibirnya.

"Mungkin sebentar lagi kita akan punya menantu dan cucu, Sayang." Ibnu mengatakannya sambil menggelengkan kepalanya.

'Menua bersama Mas Ibnu adalah penggalan kisah terindah dalam hidupku' kata Qiyya dalam hati.

Sementara Ibnu berbincang serius dengan Qiyya. Hawwaiz sedang mencoba beberapa jenis sepatu yang catchy. Hingga tak sadar sebuah suara menyapanya dari samping.

"Hawwaiz...."

"Kak Wafiq!"

"Beli sepatu, sama siapa?" tanya Wafiq kepada Hawwaiz.

"Sama masku, itu dia orangnya," jawab Hawwaiz sambil menunjuk seorang laki-laki yang sedang memilih beberapa sepatu di rak.

"Dik, sepertinya ini cocok deh buat kamu. Suka nggak?" tanya Hanif ketika mendekati adiknya. Model sepatunya simpel tapi enak dilihat. Bahannya juga nyaman untuk dipakai.

"Kenalin ini masku yang pertama, Kak. Mas Hanif, dan Mas Hanif ini kak Wafiq, Ketua OSIS di sekolah Adik."

"Hanif "

"Wafiq."

Keduanya saling berjabat tangan untuk saling mengenal. Sebenarnya tanpa diperkenalkan pun Wafiq sudah dapat menerka jika keduanya bersaudara. Wajahnya benar-benar mirip. Hanya saja satu remaja dan satunya sudah dewasa.

"Kak Wafiq sudah dapat sepatunya?" tanya Hawwaiz.

"Bukan aku yang beli, tuh nganterin kakak tersayang. Kasihan anak gadis keluar malam-malam ntar di'gondol' wewe." Wafiq menunjuk kakaknya dengan dagu.

Wafiq memang dekat dengan Hawwaiz, karena Wafiq ketua OSIS sedangkan Hawwaiz ada ketua seksi yang membidangi tentang iptekkom. Hawwaiz sibuk mencoba sepatu yang baru saja di bawa oleh Hanif. Sementara kakak Wafiq mendekat untuk meminta pertimbangan.

"Dik, ini sama ini bagusan mana? Warnanya Kakak suka tapi sayang sempit tinggal nomer ini aja." Awalnya Hanif mengabaikan suara perempuan yang sedang berbicara kepada Wafiq di sebelahnya. Namun, setelah rentetan panjang kalimat yang keluar rasa rasanya suara itu tidak asing di telinganya, itu yang menjadi alasan dia mendongakkan muka sekejap, ya hanya sekejap. Hingga matanya terkunci mati pada sosok perempuan yang berdiri menjulang di depan Wafiq sementara Hanif berjongkok untuk membantu adiknya memasangkan sepatu.

"Azza," satu kata yang keluar dari bibir Hanif membuat ketiga orang yang berada di dekatnya segera menoleh.

"Hanif,"

"Lho, Kakak sudah kenal sama masnya Hawwaiz?" tanya Wafiq.

Saat tatapan mata itu sama terasa gelenyar asing meraba setiap sudut dalam rongga hati dua insan berlawanan jenis.

2 detik,

5 detik,

Hingga akhirnya Azza berkedip dan mengucapkan istighfar. Gadhul bashar, subhanallah mengapa mereka melupakan itu.

Ada banyak hati yang menawarkan diri untuk dapat diselami. Hanya karena rasa yang terpantik menjadi kobaran api yang sulit dipadamkan. Percaya bahwa semua telah tertulis indah di lauhulmahfuz-Nya.

Getarkan arsy-Nya dengan lantunan doa yang dilangitkan bumi.

Allah mengetahui setiap hati yang tersembunyi.

🍒🍒

-- to be continued --

Tetapkan AlQur'an sebagai bacaan utama

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top