1 🍄 New Star Built in
Tanggung jawab terbesar seseorang itu adalah tentang keluarga dan Tuhannya__________________________
🍒🍒
Percaya atau tidak bahwa lulusan luar negeri masih lebih diperhitungkan di negara yang memiliki jam sekolah terbanyak di dunia ini?
Lulusan Harvard University, lebih tepatnya Harvard Medical School dengan predikat magna cum laude. Tidak sulit bagi seorang Hanif Maliki Asy Syafiq memperkenalkan dirinya. Meski dia irit sekali bicara, pesona otak cemerlang dan aura kelihaiannya bisa tertebak hanya dengan sekali tatap.
Menyesuaikan dengan ketentuan dalam negeri yang mengharuskan seorang dokter ikut ujian kompetensi dan mendaftarkan diri sebagai dokter dengan memperoleh Surat Tanda Registrasi. Beruntunglah sedari awal Ibnu selalu mengingatkan putranya ini untuk mengurus dan mengikuti serangkaian ujian yang diadakan di kedutaan Indonesia untuk Amerika selain juga ujian kompetensi internasional yang memang diperlukan Hanif untuk bisa bekerja di luar negeri. Sehingga setelah tiba di Indonesia ada beberapa penyesuaian yang harus dilalui oleh Hanif, mengingat dia adalah lulusan dari luar negeri.
"Dokter Hanif." Pemuda bersnelli dengan stetoskop menggantung di lehernya menolehkan kepala kepada sumber suara yang memanggil namanya.
Akhir-akhir ini memang Hanif sedikit dibuat kewalahan. Teman seprofesi atau setempat kerjanya sedikit agak berlebihan.
Tepat beberapa hari yang lalu, Hanif memang sengaja tidak membawa kendaraan sendiri menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Hingga ketika pulang dia meminta salah satu adik cantiknya untuk menjemput di rumah sakit.
Ayyana memang sangat mengidolakan kakak pertamanya itu. Dengan tidak merasa canggung sang adik yang masih memakai seragam SMA langsung memeluk dan mencium kedua pipi sang kakak. Setelah mencium tangan kanan kakaknya di depan IGD, ruang administrasi dan pendaftaran pasien.
"Sendirian, Kakak Al nggak ikut?" tanya Hanif seketika itu memeluk pinggang adiknya dan mengajaknya berjalan menuju ke ruangannya. Tanpa mereka sadari banyak paramedis yang berada di sana melihat interaksi makhluk berlainan jenis itu dengan penuh tanda tanya.
Rasanya mulai dari sanalah, yang namanya persaingan berkembang dengan pesat. Identitas Hanif masih single namun dia sudah memiliki kekasih, mana kekasihnya masih SMA pakai jilbab lagi. Banyak paramedis yang menyangka bahwa dokter baru itu sangat liberal mengingat dia mengenyam pendidikan dokternya di Negeri Paman Sam.
Tanpa mereka tahu dan tanya siapa wanita yang tiba-tiba memeluk dan mencium dokter muda yang kini sedang naik daun itu.
"What's up? Hello, are you there? Why you are looking at me like a person who haven't eaten for a long time?" Kini Hanif mulai jengah beberapa kali seperti ini. Memanggil tapi setelah Hanif mendekat mereka justru asyik dengan lamunan dan imajinasi mereka. Apakah perempuan seperti itu semua? Memandang seperti orang kelaparan tidak makan beberapa hari.
Masih juga tidak ada jawaban dari perempuan yang memanggilnya membuat Hanif akhirnya memutuskan untuk menjauhinya. Hingga pergerakan Hanif membuat perempuan itu tersadar dari lamunannya.
"Eh, tunggu sebentar dokter Hanif." Akhirnya Hanif menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap perempuan yang berada di ruang administrasi.
"Maaf ini salinan STR dan asli SIP dokter sudah jadi, tadi dititipkan disini oleh Dinas Kesehatan dan IDI." Sambil menyerahkan amplop besar berwarna coklat perempuan di depan Hanif itu tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya yang bersatu dengan behel.
"Ok, thanks." Singkat jawaban Hanif sambil mengambil amplop coklat dari tangan perempuan di depannya. Tipis sekali tarikan bibir keatasnya.
Selepas Hanif meninggalkan ruangan administrasi. Sontak perempuan itu langsung memegang dada dan mengambil pernapasan dalam.
"Ya Allah, sepertinya pasien dokter Omaira Medina akan semakin banyak. Kehadiran dokter Hanif di sini membuat banyak wanita berlomba-lomba untuk menarik perhatiannya. Sayangnya dokter ganteng itu tetap dingin, sedingin kulkas milik Bu Warno di kantin rumah sakit ini, Brrrrrh." Lirih suara perempuan itu seperti suara nyamuk terbang di dekat telinga.
"Zulfa kamu kenapa bicara sendiri?" tanya wanita separoh baya yang baru saja masuk ke ruang administrasi. "Oh iya jangan lupa, amplop untuk Dokter Hanif segera diserahkan."
Agak tergagap Zulfa memandang Ida atasannya ketika dia bergumam kecil tadi. Memang baru saja menghayalkan Hanif berada di sampingnya. Sepertinya memang dia juga harus bersaing dengan paramedis-paramedis yang lain.
Hanif itu seperti bintang kejora di langit. Paling terang tetapi sangat sulit untuk di raih. Jika ada yang bertanya bagaimana kerjanya, semua pegawai dan paramedis yang ada di rumah sakit pasti akan mengatakan bahwa dia yang terbaik. Meskipun baru dokter umum namun masyarakat sudah mengenalnya dengan baik nama besarnya.
Bahkan poli umum dengan jadwal khususnya, selalu paling panjang antrian pasiennya. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Eitss dan yang paling menyebalkan 70% yang mengantri di poli waktu Dokter Hanif praktek adalah wanita. Wanita guys, remaja ibu-ibu ah semua sama saja. Ingin memandang wajah ganteng Dokter Hanif yang setengah indo itu dari dekat.
"Sudah berapa lama batuknya Dik? Coba buka mulutnya." Hanif mulai bertanya saat mulai memeriksa pasien anak-anak di hospital bednya yang ada di poli umum.
"Sebenarnya masih dua hari yang lalu, Dok, hanya saja karena panas tidak turun-turun jadi ya ini mampir deh ketemu Om Dokter ya, Di?." Sang mama menjawab pertanyaan Hanif.
"Ada riwayat penyakit lain, Bu?" tanya Hanif seusai memeriksa mulut bagian dalam dan denyut jantung pasien kecilnya.
"Hmmmm, sebenarnya Akhsan ini punya amandel dokter__"
"Sudah pernah berobat sebelumnya?"
"Sudah, biasanya dengan Dokter Alfan."
"Dokter Alfan Muhammad?" Alis Hanif terangkat sebelah memperjelas informasi dari orang tua pasien. Ya sungguh dia bingung, biasa ke dokter Alfan yang memang spesialis di bidangnya mengapa justru sekarang malah berobat pada dokter umum seperti dia.
"Iya, yang spesialis THT itu loh, Dok. Tapi ini tadi Akhsannya minta berobat dengan Dokter Hanif katanya." Bibir Hanif terangkat ke atas tipis. Modus emak-emak, anaknya mana tahu seperti itu. Paling bisa membuat alasan.
Ya, Hanif tidak buta dan tuli. Dia punya hati dan bisa merasakan atmosfer apa yang kini sedang melingkupinya. Hanya saja dia enggan untuk menanggapi sesuatu yang menurutnya tiada guna.
"Sepertinya memang adik Akhsan terserang tonsilitis atau lebih famous dengan sebutan amandel. Panas tubuhnya itu memang karena adanya pembengkakan pada amandelnya sehingga menyebabkan radang. Hindari air dingin dalam bentuk apapun dan makanan yang kaya akan vetsin dan juga garam gula berlebih. Resepnya saya tuliskan nanti silakan untuk ditebus di apotek depan. Cepat sembuh ya pintar." Hanif mengacak rambut pasiennya yang terlihat lesu.
Dia memang dokter dingin tapi tidak pelit informasi kepada pasien dan keluarganya. Jika sesuatu itu layak dibagi untuk kebaikan mengapa tidak untuk disampaikan.
Ada beberapa hal yang menjadi fokus utamanya dalam bekerja yaitu mengedepankan kepentingan pasien, amanah dan selalu menomorsatukan campur tangan Tuhan dalam segala hal.
Hari ini Hanif terbebas dari piket dokter jaga IGD namun tidak menutup kemungkinan bahwa tenaganya tidak terpakai. Hanya saja dia bisa pulang lebih awal dari jadwal biasanya. Sore ini Hanif benar-benar merindukan masakan dari tangan wanita yang begitu lembut membelainya sedari dia kecil.
Bunda Qiyya yang kini semakin menua, tetapi tetap romantis dengan daddy Ibnunya. Hmmmm, rasanya pasti akan selalu iri hati jika berada di dekat mereka. Keep and touch di antara keduanya sudah tidak perlu diragukan lagi.
Ibnu yang sampai kini tidak pernah merasa malu untuk menunjukkan betapa dia mencintai wanita yang sedang sukarela dan ikhlas melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Sekedar mencium atau memeluk wanita halalnya di depan orang ketika mereka hendak berpisah atau bertemu. Atau mencium pucuk kepala sang bunda yang tertutup rapat dengan khimar dan atau mengecup singkat bibir merah muda milik Qiyyara.
Allah memang memasangkan sesuatu itu sesuai dengan takarannya sendiri-sendiri. Namanya jodoh dunia akhirat pasti ada kemiripan diantaranya. Bak gayung bersambut, sikap hangat Ibnu diterima dengan begitu baiknya oleh Qiyyara. Tidak pernah merasa risih, justru sang bunda Hanif itu semakin mengimbangi apa-apa yang dilakukan oleh Ibnu.
"Assalamu'alaikum, I'm home."
"Waalaikumsalam. Masih agak siang, Mas?"
"No schedule of IGD Bunda, but still stand by on call," jawab Hanif sambil mencium tangan kanan bundanya.
"Hungry?"
"Of course Bunda. Let's see, Bunda masak apa hari ini?" Qiyya yang tidak tahu Hanif akan pulang secepat ini hanya menyediakan makanan kesukaan suaminya saja.
"Sayur asam tanpa gula pesanan Daddy, Mas. Harap maklumlah karena usia yang membuat kami tidak bisa leluasa seperti dulu."
"Iya benar Bunda, nasi juga jangan terlalu sering. Nggak baik tubuh terlalu banyak karbohidrat. Daddy meski sudah berumur tapi masih menjaga penampilan sekali ya Bund?" kata Hanif.
"Bukan penampilannya yang diutamakan. Apa pun Daddy ya Bunda tetap cinta, hanya saja kesehatan itu lebih penting dari sekedarnya," kata Qiyya.
Hanif hanya tertawa lirih mendengar ocehan bundanya. Qiyya ya tetap seperti dulu, selalu hangat dan begitu perhatian.
"Oh iya, bagaimana kamu di kantormu yang baru. Kerasan?" tanya Qiyya saat dia menemani Hanif menghabiskan makan siangnya yang begitu terlambat.
"Ya begitu, coklat, mawar, atau apalah yang lainya ada saja. Sampai bosen ngasihin ke OB. Ujian Hanif, Bun. Padahal Hanif sudah berusaha untuk tidak menanggapi mereka hanya saja rasa-rasanya kok semakin Hanif diamkan mereka semakin merajalela." Cerita Hanif akhirnya. Menumpahkan uneg-uneg yang ada di hati kepada bunda itu adalah satu hal yang paling disenangi oleh Hanif. Setidaknya dari Qiyya pasti akan memperoleh masukan yang berarti dan bijaksana.
"Asalamualaikum." Suara Ibnu dan juga ketiga adik Hanif kompak terdengar dari luar rumah.
"Waalaikumsalam."
"Loh Mas Hanif sudah pulang?"
"No schedule, Dad. So what for I'm there?"
"But still on call, dont turn off your phone."
"Of course."
Ibnu mendampingi Qiyya dan putra sulungnya duduk di meja makan. Sedangkan ketiga anaknya yang lain berkemas untuk membersihkan diri karena harus segera belajar untuk tambahan pelajaran.
"Daddy juga seperti itu dulu." Qiyya menjawab yang membuat Ibnu bertanya-tanya.
"Bunda cemburu?"
"Jelas diawal pasti cemburu. Siapa yang rela suaminya jadi rebutan wanita-wanita di luar sementara istri sahnya sendiri di rumah ngurus anak-anak dan ini itu. Tapi lama kelamaan setelah bunda kenal daddy sampai dalam-dalamnya ya enggak lagi." Qiyya menjawab sambil tersenyum tipis.
"Itu alasan juga mengapa Bunda tidak keberatan dengan sikap Daddy yang terkadang lebay di luar?" tanya Hanif.
"Cinta itu bukan hanya di mulut Mas, tapi harus dibuktikan dengan tindakan juga. Laki-laki itu harus teguh dengan prinsipnya, melindungi wanita yang kita cintai, keluarga tempat kita kembali. Jadi kalau Daddy bersikap yang katamu alay itu memang dibutuhkan untuk kami. Kamu tahu, bahwa rasa cinta itu harus selalu dipupuk dan diperjuangkan?" jawab Ibnu yang mulai mengerti kemana arah pembicaraan mereka.
"Iya begitu?" tanya Hanif dengan nada setengah tidak percaya.
"Nanti ada kalanya kamu berada di titik jenuh atas hubunganmu dengan pasangan. Daddy dan Bunda juga pasti merasakan fase itu, tapi itulah peran kita harus difungsikan. Ibarat sepasang sepatu, dia tidak bisa melangkah bersama tetapi selalu beriringan, saling melengkapi, jika hilang salah satunya ya nggak ada artinya. Mana ada pake sepatu hanya sesisi saja?" jawab Ibnu.
Qiyya memandang takjub kepada suaminya. Sekali lagi pandangan takjub penuh cinta di matanya. Tidak perlu banyak berkata tapi dia tahu seberapa besar rasa sayang dan cinta suaminya untuk wanita seperti Qiyya.
"Thanks dad, for everything that we have done together. Thanks for choosing me to be your woman and the only one is me." Selalu ada kecupan sayang mendarat di kening sang istri setelahnya.
Makanan sehari-hari untuk mata Hanif. Tapi dia benar-benar bahagia melihat semuanya. Daddy dan bundanya adalah panutan.
"Menurut Bunda, daddy itu seperti apa si?"
"Daddy?"
"Yes"
"Tahu kelapa Mas?" tanya Qiyya yang dijawab anggukan oleh Hanif. Masih bingung dengan pertanyaan Qiyya, sedangkan sang pemberi pertanyaan terkikik geli "__ibarat kelapa semakin tua semakin banyak santannya. Pun demikian dengan daddy, semakin ke sini semakin matang dan semakin bertambah kadar kegantengannya."
Sontak Ibnu tersedak, pujian Qiyya menurutnya sangat berlebihan. Ganteng darimana jika kerutan di wajah sudah mulai ada dimana-mana.
"Bunda__" setelah Ibnu meminum air putih yang diberikan oleh Qiyya.
"Dad, coba sekarang Mas Hanif tanya. Satu kata untuk bunda dari daddy apa?"
"Satu kata? Nggak boleh lebih?"
"Yes, just one word not more."
"Happiness." Ibnu menjawab dengan senyuman penuh.
"Bunda? One word for Daddy?"
"Everything," jawab Qiyya sambil memandang pria yang duduk di samping kirinya.
"Ah kalian benar-benar membuatku menjadi cemburu," kata Hanif terkekeh. Memang tidak ada yang berubah di antara keduanya. Masih dan selalu menghangat. Dan di antara momen yang membahagiakan itu tiba-tiba gawai Hanif berbunyi. Tidak ingin menjauh dari kedua orang tuanya. Hanif justru menekan tombol loud speaker setelah tahu siapa yang menelpon.
"Asalamualaikum, Dokter Hanif."
"Waalaikumsalam, Dokter Irish."
"Hanya mengingatkan untuk besok jangan sampai lupa bahwa kita diminta Papah untuk mewakili rumah sakit menghadiri undangan dari Dokter Burhanudin." Suara wanita di ujung telpon Hanif memang sangatlah merdu. Sayangnya raut muka Hanif tidak mengharapkan semuanya. Qiyya paham sekali, Hanif tidak tertarik dengan undangan yang dimaksud oleh Dokter Irish itu.
"Maaf sebelumnya Dokter Irish, saya besok menjadi dokter jaga IGD," jawab Hanif singkat.
"Tapi, Dok, papah sudah menugaskan kita. Bisa minta reschedule untuk jaga IGD," tolak Irish.
Ini yang tidak disukai oleh Hanif. Mentang-mentang punya kedudukan dengan mudahnya menggeser jadwal yang sudah dipublish. Kalau hanya masalah undangan untuk menghadiri peresmian rumah sakit milik Dokter Burhanudin rasanya Hanif bukan orang yang tepat. Secara dia dokter baru, dan lebih banyak dokter senior yang kenal dekat dengan Dokter Burhanudin. Mengapa tidak mereka? Spekulasi otaknya menggiring Hanif untuk berburuk sangka bahwa itu hanya akal-akalan Irish saja supaya bisa lebih dekat dengannya.
"Sekali lagi maaf, Dokter Irish, tugas saya lebih penting dari itu. Terkait dengan Dokter Burhanudin nanti saya sendiri yang akan minta maaf sekaligus kepada papah Anda." Hanif menolak dengan tegas.
"Tapi, Dok__" Irish masih juga ingin tetap mengajak serta Hanif.
"Maaf, masih ada pasien di depan saya. Kalau sudah tidak ada lagi yang dibicarakan saya tutup dulu. Asalamualaikum."
Panggilan telpon benar-benar terputus. Hanif sangat tegas mengenai masalah ini. Tidak ada pengecualian.
"Dokter Irish? Zia Airish temanmu dulu itu, Mas?" tanya Qiyya yang masih mengingat dengan baik bagaimana dulu putra pertamanya ini berjanji untuk tidak akan pacaran. Ketahuan Hafizh menolak perasaan Irish di koridor sekolah.
"Bunda masih ingat?"
"Dia__?"
"Entahlah hanya perasaan Hanif saja atau memang kenyataannya seperti itu. Irish masih suka mendekati Hanif dengan cara yah, seperti itu. Memang papanya kepala rumah sakit itu sih. Tapi akhirnya nggak nyaman juga kerja kalau terintimidasi seperti itu," ungkap Hanif akhirnya.
"Hatimu?" tanya Ibnu.
"Maksud Daddy hati Hanif? Mengapa?"
"Kamu sudah dewasa, tidak ada tuntunannya pacaran dalam Islam. Tapi kalian bisa ta'aruf kan?"
Hanif menghembuskan napasnya secara kasar. Rasanya Ibnu memang salah paham dengan sikapnya. Bukan karena dia ingin berpacaran ataupun ta'aruf. Tapi memang tidak ingin dekat-dekat dengan Irish.
"Hati Hanif untuk Daddy, Bunda dan adik-adik. Kalau pun ada nama perempuan lain di sana itu pasti bukan nama Zia Airish."
Qiyya mengerutkan keningnya, seolah meminta penjelasan lebih. "Irish itu wanita yang ambisius, Bunda, dia juga tidak mengenakan pakaian sesuai tuntunan dalam Al-Qur'an. Hanif tidak mau seperti itu."
"Dengan kata lain, ada nama wanita lain di hatimu selain Dokter Irish?" tanya Qiyya penuh dengan kehati-hatian.
"Kok Bunda jadi mikir seperti itu?" tanya Hanif balik.
"Loh kata-katamu tadi itu, kalaupun ada nama perempuan lain di sana itu pasti bukan nama Zia Airish. Apakah itu bisa bunda artikan bahwa sudah ada nama perempuan di dalam sana?" tanya Qiyya kembali.
Hanif menatap daddy dan bundanya secara bergantian. Namun tidak berusaha untuk menjawab apa pun. Bibirnya terkatup, harus dijawab apa? Hatinya memang sudah tertambat dengan seorang wanita, tapi janjinya kepada sang bunda harus dia tunaikan mulai sekarang.
"Kamu sudah siap? Menikah itu bukan main-main loh Mas." Ibnu bertanya sambil menepuk pundak putra sulungnya.
"Janji Hanif kepada Bunda juga tidak main-main, Dad." Jawab Hanif tidak kalah serius dari Ibnu.
"Jadi bener, Bunda yang harus mencari besan yang bisa mengikhlaskan putrinya menjadi menantu Bunda untuk istri anak bunda yang super dingin ini?" tanya Qiyya.
Senyum Hanif mengembang sempurna. Sedinginnya Hanif di luar, tidak akan pernah bisa dia dingin dengan keluarganya.
🍒🍒
-- to be continued --
🍃 ___🍃
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Syukraan, jazakhumullah khair
🍃 ___ 🍃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top