6. Calon Ipar

"Mas, bagaimana? Mas jadi bertemu Bang Jovan?" tanyaku pada Mas Rendi yang pulang dengan memberikan senyum tipisnya. Pria itu duduk di kursi tamu, lalu membuka kaos kaki. Mungkin Mas Rendi belum ingin bercerita, sehingga aku pun tidak berani bertanya lagi. Harusnya aku tahu waktu kapan harus bertanya. 

Kaki ini melangkah ke dapur untuk membuatkan teh. Tidak lupa sop iga yang aku masak tadi siang, aku panaskan juga. Untunglah bakwan baru saja aku goreng, sehingga semua makanan malam ini masih dalam keadaan hangat.


"Ini, Mas, minum dulu!" Kataku mempersilakan Mas Rendi minum.


"Makasih, Mila." Pria itu segera menyesap teh ya. 


"Mau langsung makan atau mau mandi dulu, Mas?" tanyaku lagi.


"Mandi dulu deh, biar saya seger mau cerita sama kamu. Siapin aja semuanya, nanti saya nyusul ke ruang makan." Mas Rendi tersenyum, ia mengusap pucuk kepalaku sebelum ia masuk ke dalam kamar. 


Kring! Kring!


Muncul nama calon kakak iparku di layar ponsel Mas Rendi. Tentu saja aku tidak berani menggeser layar terima. Biarlah nanti Mas Rendi saja yang angkat atau telepon balik. Aku fokus menata meja makan dan juga menyiapkan air putih di gelas besar untuk Mas Rendi.


Sepuluh menit kemudian, Mas Rendi sudah keluar dari kamar dalam keadaan segar. Wajahnya teduh dan juga tampan. Kulitnya semakin bersih, beda denganku yang semakin keling. Mas Rendi sangat mirip papa kulitnya, sedangkan wajahnya mirip mama. Kenangan wajah kedua orangtua angkatku tiba-tiba saja membuatku rindu.


"Eh, kenapa, Dek?" tanya Mas Rendi sembari menjetikkan jarinya di depan wajahku.


"Kangen mama dan papa, Mas. Udah dua bulan saya gak jiarah. Kalau Mas Rendi senggang, Minggu ini kita ziarah ya, Mas."


"Boleh, Mas juga udah lama gak ziarah. Minggu kayaknya Mas gak ke mana-mana." Aku mengangguk senang. Kuambilkan nasi di dalam piring untuk kakak angkatku itu. Lalu kuambilkan juga sup iga di mangkuk tersendiri, tidak lupa taburan bawang goreng dan perasaan jeruk nipis agar sup ini terasa lebih lezat.


"Makasih, Mila. Kamu gak makan? Udah gak mual kan?" 


"Nggak, Mas. Cuma gak bisa makan banyak, pasti enneg. Jadi makannya sedikit saja, tetapi bolak-balik," jawabku dengan seringai lebar. 


"Oh, gitu, syukurlah. Ayo, kita makan!" Mas Rendi makan dengan lahap. Sesekali aku meliriknya yang sudah semakin dewasa dan memang sudah cocok untuk berumah tangga.


Kami makan tanpa bicara karena mAs Rendi nampak begitu menghayati masakanku. Dua gelas air putih sudah aku berikan untuknya karena ia tambah nasi dan juga tambah sup.


"Sumpah ini enak banget, Mila! Pasti masakan kamu yang bikin Jovan jatuh cinta, ya kan?" aku tersenyum sumbang. 


"Gak tahu, Mas. Saya juga bingung. Gimana kalau saya dicerai Bang Jovan? Ke mana saya harus pergi? Di sini tidak mungkin karena Mas Rendi akan menikah dengan Mbak Kinan."


"Serahkan sama Allah, Mila. Semoga tidak sampai berpisah. Jovan hanya khilaf saja. Coba kamu WA dan ajak Jovan periksa ke dokter yang lain. Siapatahu hasilnya beda." 


"Iya, Mas, nanti coba saya WA Bang Jovan."


"Ibu hamil jangan stres. Nanti bayinya cengeng." Aku mengangguk paham.

"Oh, iya, saya tadi lihat tukang buah potong mangga dengan bumbu rujak dan garam. Inget kamu, jadinya Mas beli. Tunggu, Mas ambilkan di kamar dulu." Mas Rendi tersenyum semringah. H


"Makasih Mas." Aku mengangguk. Merapikan kembali meja makan

. Meletakkan piring kotor di kitchen sink. Ponsel Mas Rendi kembali berdering. Nama Kinan Sayang muncul di layarnya


"Mas, ada telepon dari Mbak Kinan!" Seruku dengan suara keras.


"Angkat saja, Mila! Mas lagi lap tumpahan parfum nih!" Aku pun menggeser layar terima. Lalu menyalakan speaker.


"Halo, Sayang, gimana? Kamu udah bilang sama Mila kalau aku gak suka dia satu rumah sama kamu? Gimana caranya, pokoknya Mila gak boleh di situ, Mas. Kalian bukan mahram dan aku gak suka. Aku pokoknya gak mau nikah sama kamu, kalau Mila masih tinggal di sana, paham!"

Bersambung.

Buat yang suka baca versi e-book. Silakan mampir ke Google Play Store ya. Buat yang mau baca ke aplikasi KBM juga bisa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top