12. Dokter Bilang, Suamiku...

"Mohon maaf, ini rumah sakit untuk mengobati orang sakit, bukan mengobati rumah tangga yang sakit. Pasien yang benar-benar sakit di luar banyak yang sudah menunggu. Silakan Ibu pulang saja. Selesaikan masalah Ibu di rumah. Saya tidak punya pasien bernama Jovan." Aku pun hanya bisa pasrah saat dokter tidak merespon pertolonganku dengan baik. Mungkin Tuhan memang menginginkanku untuk bisa mengiklaskan Bang Jovan. Selagi surat cerai belum ada di tanganku, maka Bang Jovan hanya bisa menikahi istri muda secara siri. 


Sebelum pulang ke rumah, kuputuskan mampir di sebuah mall. Melihat-lihat isi mall membuatku sedikit terhibur. Tidak banyak barang yang aku beli. Hanya sebuah celana panjang dengan pinggang karet dan juga tiga potong celana dalam khusus ibu hamil. Mumpung aku berada di mall, aku pun membelanjakan untuk kebutuhanku, tidak dengan kebutuhan bayi dalam perutku, karena kata orang, pamali membeli perlengkapan bayi, jika bayinya masih belum usia enam bulan dalam kandungan. 


Semua aku bayar dengan uang cash simpananku. Selama menjadi istri Bang Jovan, aku bisa menyisihkan uang bulanan yang ia berikan. Tidak banyak, tetapi aku rasa cukup sampai aku melahirkan nanti. Semua uang itu aku simpan di bank yang dibuatkan Bang Jovan atas namanya. Gajian dari kantor pun sudah otomatis masuk ke rekeningku, karena Bang Jovan sangat menginginkan aku bahagia selama menjadi istrinya. 


Aku jarang jajan di luar karena memang gak bisa ke mana-mana jika tidak dengan mertua atau suamiku itu. 0aking jajan pesen online, tetapi itu pun gak boleh sering-sering sama mama.


Ada dua kantong sudah di tangan ini. Aku masih ingin berbelanja susu ibu hamil dan membeli satu stel baju piyama yang biasanya ada di supermarket. Empat kotak susu ibu hamil sudah ada dalam troliku, begitu juga dengan satu stel piyama bahan kaus warna ungu favoritku. Aku sekali lagi memutar di blok aneka camilan untuk memasukkan beberapa camilan ke dalam troli. 


"Boleh saya bantu, Bu," sapa salah satu petugas keamanan padaku. Aku tengah meringis saat merasakan perut ini mengejang.


"Gak papa, Pak, saya bisa. Tinggal bawa ke kasir saja. Terima kasih atas tawarannya, Pak."


"Baik, Bu, sama-sama." Aku mengangguk sambil tersenyum tipis, lalu mendorong troli menuju meja kasir yang kosong untuk kemudian belanjaanku dihitung. 


"Total semuanya empat ratus lima puluh, Bu." Aku mengangguk, lalu mengeluarkan ATM dari dompet. Sebenarnya masih ada uang cash satu juta, tetapi memang ini buat peganganku. 


"Gagal, Bu, mungkin pin salah. Silakan dicoba lagi." Aku mengerutkan kening. Pin salah? Seharusnya sudah benar karena pin tanggal lahir suamiku belum aku ganti. Sekali lagi aku mencoba dengan sangat hati-hati.


"Bu, sepertinya tidak bisa. Mungkin saldonya kosong." Aku mendelik terkejut. Tidak mungkin uang tabunganku enam puluh jutaku kosong. 


"Kalau begitu, baju ini, susunya dua kotak saja, Mbak. Kayaknya saldo saya habis." Petugas pun kembali menghitung belanjaanku.


"Dua ratus dua puluh lima, Bu." Aku membayar dengan uang cash satu juta yang ada di tangan ini. Lalu dengan cepat aku berjalan menuju bilik tunai mandiri. Aku harus tahu kenapa ATM ini tidak bisa digunakan. 


Saldo Anda

Rp, 5.000,00


"Hah, lima ribu?" tiba-tiba saja jantung ini berdetak cepat.  Tidak mungkin Bang Jovan yang melakukan ini. Bang Jovan tidak mungkin tega dan licik seperti ini. 


Aku pun segera mengecek M-banking dan ternyata saat muncul data mutasi, di rekeningku ada dua kali transaksi penarikan kemarin dan tadi pagi. Total sejumlah enam puluh dua juta lima ratus ribu. Kaki ini pun seperti tidak bertulang. Aku terkejut bukan main dan tidak percaya akan musibah lain yang saat ini aku hadapi. Kenapa Bang Jovan mengambil uang tabunganku? Itu bukan uangnya. Itu tabunganku dan sisa tabungan dari sejak aku sebelum nikah dengannya. Tangis ini pun tidak bisa ditahan. Aku menangis bagaikan anak kecil yang kehilangan duit. 


"Bu, ada apa?" tanya salah satu penjaga toko menghampirku,  yang tokonya berada di dekat ATM.


"Mbak, tabungan saya diambil suami saya, hu ... hu ..."


"Waduh, tega sekali! Coba cek sekali lagi, Mbak? Kenapa suami Mbak mencuri uang tabungan, Mbak? Jangan nangis, Mbak. Coba langsung telepon suami Mbak saja. Tanyakan perihal ini. Siapatahu ada yang menyalahgunakan buku tabungan Mbak." Aku mengangguk tanpa bisa merespon dengan ucapan terima kasih. 


Dengan tangan gemetar, aku menelepon Bang Jovan. Kubuka kembali blokiran suamiku itu. Namun, berkali-kali mencoba, panggilanku tidak juga diangkat olehnya. Aku semakin kesal, tetapi aku tidak mau menyerah. Diantara tatapan bingung pengunjung mall, aku terus saja menghubungi nomor suamiku, tetapi panggilanku seperti diabaikan. 


Kini, aku berusaha menelepon ke nomor sekretarisnya. Memang suamiku bukan direktur, tetapi ia difasilitasi asisten dalam bekerja. Silvia namanya dan biasa aku panggil Mbak Silvi. 


"Halo, assalamualaikum, Mbak Silvi."


"Halo, wa'alaykumussalam, Bu Mila. Ya ampun, apa kabar, Bu? Gimana kandungannya?"


"Saya sedang kurang baik, Mbak Silvi. Apa suami saya ada di kantor?" 


"Oh, Bu Mila lagi sakit. Semoga lekas sehat ya, Bu. Pak Jovan tidak ke kantor kayaknya hari ini, Bu, beliau sedang meeting di Bogor. Mungkin Pak Jovan lupa bilang pada Ibu ya?"


"Oh, meeting di Bogor. Iya, saya belum diberitahu. Ya sudah, terima kasih ya Silvi. Assalamualaikum." 


Selanjutnya aku menelepon nomor rumah mertuaku. Aku harap mama mertuaku bisa memberikan sedikit penjelasan.Bang Jovan pasti bercerita apapun itu pada mamanya, sehingga mustahil jika ibu mertuaku itu tidak tahu. 


"Halo, assalamualaikum."


"Halo, wa'alaykumussalam. Ibu Bu Mila ya."


"Iya, Bik, apa mama ada di rumah? Apa ada Bang Jovan di rumah?"


"Nyonya ada, Pak Jovan gak ada, Bu. Pergi sejak subuh. Mau saya panggilkan Bu Dira?" 


"Iya, Bik, tolong panggilkan mama."


"Sebentar ya, Bu."


Aku pun menunggu cukup lama, hingga panggilan itu terputus sendiri. Sekali lagi aku coba melakukan panggilan dan suara mama mertuaku yang terdengar dingin di seberang sana.


"Ada apa lagi?!" aku terhenyak kaget saat suara ketus itu ia lontarkan padaku.


"Mama, saya cuma mau tanya, kenapa rekening saya kosong? Saya mau beli susu hamil, mau bayar pakai kartu, tapi saldonya kosong. Apa Mama tahu?"


"Loh, loh, rekening kamu, itu bukannya rekening Jovan? Uang di dalam sama semua punya anak saya, terus kenapa kamu malah tanya ke mana? Ya jelas ditarik anak saya. Buat apa dia bermurah hati pada wanita peselingkuh!"


"Ma, itu uang saya, bukan uang Bang Jovan. Memang ada sebagian uang di sana adalah sisa uang bulanan dari Bang Jovan kasih, tetapi sisanya uang saya, Ma. Itu uang tabungan saya dari sejak gadis. Saya minta dikembalikan!" Aku berteriak histeris. Masa bodo orang-orang memperhatikanku dengan tatapan iba.


"Menurut kamu, saya harus percaya ucapan kamu? Maaf aja ya, semua yang ada di rekening itu adalah uang anak saya. Silakan kamu mendesah di ranjang kakak angkat kamu, biar kamu bisa punya uang enam puluh juta lagi!"


"Astaghfirullah, Anda sungguh keterlaluan! Saya minta dalam waktu satu jam, uang tabungan saya enam puluh juta dikembalikan!"


"Oh, kamu kurang ajar sekali panggil saya dengan sebutan Anda? Tidak akan dikembalikan. Pokoknya itu uang anak saya!"


"Kembalikan atau saya ke kantor polisi untuk melaporkan tindakan kekerasan yang Anda lakukan kemarin pada saya! Saya kali ini tidak main-main, Bu Dira yang terhormat!"

Bersambung

Di aplikasi KBM sudah tamat ya. Versi e-book juga suda tersedia di play store.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top