10. Menantang

"Tidak akan mudah bercerai denganku, Mila. Kamu ingin segera menikah dengan Rendi ya? Itukan maksud kamu memaksaku mengurus surat cerai? Agar kamu bisa hidup bahagia dengan kakak angkat bajingan kamu itu!" 

"Astaghfirullah, terserah kamu, Bang. Percuma bicara dengan orang gila karena aku pun bisa jadi ikutan gila!"


Napasku naik-turun karena begitu marah atas statement yang diucapkan suamiku. Langsung saja kublokir nomornya dan nomor mertuaku. Aku tidak mau digangu oleh fitnah keji atas kehamilan ini. Bisa jadi nanti membahayakan bayiku. 


Bisa-bisanya ia terus bersikeras mengatakan bahwa bayi ini adalah bayiku dengan Mas Rendi. Jika otaknya bisa berpikir dengan jernih, tentu saja ia bisa tahu dan bisa cek sendiri, kapan aku punya waktu lama bisa keluar dari rumah. Mertuaku begitu protektif padaku karena ia sangat menginginkan aku hamil. 


Setelah aku hamil, ia malah semakin ketat menjagaku. Di satu sisi aku senang karena begitu disayang mertua, tetapi di sisi lain, aku terkekang. Jangankan selingkuh, beli baso di depan gang saja, mertuaku harus ikut. Belanja bulanan ke mall juga ikut. Aku ke toilet mall, ikut juga, aku ijin solat juga ikut, padahal mertuaku tidak rajin juga solat saat di rumah. Mama benar-benar menjagaku dan tidak membiarkanku sendirian kecuali saat di kamarku. 


Terkadang aku ingin me time ke salon. Makan seafood kesukaanku. Jalan ke mal beli pernak-pernik seperti ikat rambut, bandana, dan menikmati waktu sendiri. Namun, mertua dan Bang Jovan tidak mengijinkanku melakukan hal yang membuatku senang.


Harusnya Bang Jovan bisa bertanya pada mamanya dan bukan terus menyalahkanku.


Ah, dari pada aku pusing memikirkan suami yang keras kepala, lebih baik aku memasak. Di kulkas masih ada sayuran seperti kol, wortel, udang pun ada. Aku akan memasak capcay saja untuk makan siang dan makan malamku hari ini. 


Tok! Tok!


"Siapa?" tanyaku saat pintu rumah diketuk. Hati ini mendadak tidak tenang. Apakah ada orang iseng lagi? Kenapa tidak mengucap salam dan menjawab pertanyaanku?


Suara ketukan kembali terdengar. Baru juga aku nyalakan api kompor, sudah aku matikan lagi karena ingin membukakan pintu untuk tamuku. 


"Sia ... eh, Mbak Kinan. Mari masuk, Mbak!" Aku terkejut saat tamu yang mengetuk pintu adalah calon kakak iparku. Senyum yang ia berikan seperti senyuman yang dipaksakan.


"Aduh, Mbak Kinan seperti orang lain saja. Biasanya juga langsung masuk." Aku tersenyum, sembari mempersilakan tamuku untuk duduk.


"Kalau dulu, saya langsung masuk karena saya pegang kunci rumah ini dan gak ada kamu di sini. Sekarang, Mas Rendi gak kasih saya pegang kunci," jawabnya datar. Aku menjadi tidak enak hati. 


"Gak papa, Mbak. Mbak kan calon nyonya rumah ini, jangan sungkan, Mbak."


"Nanti kalau kamu udah gak di sini lagi, baru aku gak sungkan. Kamu gak berniat lama tinggal di sini kan?" tanyanya to the point.


"Sampai melahirkan, Mbak. Usia kehamilan saya sudah enam bulan, sisa tiga bulan lagi. Kalau sudah melahirkan dan bayi saya usia empat puluh hari, baru saya ...."


"Kelamaan, Mila. Jujur aku cemburu kamu tinggal di sini karena kalian bukan mahram." 


"Maafkan saya ya, Mbak. Saya gak punya rumah untuk saya menumpang sampai saya melahirkan," jawabku jujur. Terserah dia mau terima atau tidak, aku hanya berpegang teguh pada pesan Mas Rendi, bahwa Mbak Kinan gak punya hak memintaku keluar dari rumah orang tuaku.


"Ah, iya, rumah ini juga masih atas nama saya dan Mas Rendi, jadi sepertinya saya berhak atas rumah ini juga. Tinggal sama-sama kita. Saya janji gak akan menyusahkan Mbak Kinan dan Mar Rendi." Wanita itu bangun dengan cepat. 


"Kamu dan Rendi itu sama-sama keras kepala!" Mbak Kinan melangkah keluar rumah dengan wajah marah. Jika saja ada tempat lain, tentunya aku tidak mau mengganggu Mas Rendi. Aku juga malu padanya. Dahulu Bang Jovan begitu bucin padaku saat kami masih pacaran, tetapi aku malah dibuang orang yang dahulunya begitu mencintaiku. 


Aku kembali menutup pintu, lalu menguncinya. Kulanjutkan acara masak yang tadi sempat tertunda. Semua aktivitas rumah tangga aku lakukan dengan penuh suka cita. Fokusku saat ini adalah bayiku. Jika ia sudah lahir ke dunia, maka aku pun bisa bekerja untuk menafkahinya. Lalu untuk mengurusnya, aku bisa bayar pembantu. Namun, itu nanti, bukan sekarang. Lelah mengerjakan pekerjaan rumah, aku pun terlelap. Entah berapa lama aku tertidur, karena mataku terbuka karena suara ketukan di depan pintu. Siapa lagi sih? Pikirku.


Dengan langkah masih lemas dan sempoyongan, aku berjalan menuju ruang tamu. Sebelum anak kunci diputar, aku mengintip siapa tamuku. Ibu mertua? Lekas aku memutar anak kunci untuk membuka pintu.


"Mama, ya Allah, masuk, Ma," kataku mempersilakan dengan ramah. Wajah mertuaku ditekuk dengan garis rahang yang tegas, menandakan ia sedang menahan emosi. Namun, mama bergeming dan tetap di tempatnya.


"Jangan panggil saya mama lagi karena kamu sudah bukan menantu saya. Ini sisa barang kamu yang ada di rumah. Rumah saya harus steril dari barang mantan karena Jovan akan segera menikah lagi." 


Bruk!


Mama melemparkan tas jinjing tidak terlalu besar itu ke arah kakiku. Aku tertawa miris. Kutatap wajah mertuaku dengan tatapan menantang. 


"Saya harap, Ibu dan anak Ibu yang suka fitnah itu akan mendapat ganjaran atas apa yang sudah kalian perbuat pada saya. Saya juga gak butuh suami gak waras seperti Bang Jovan! Kalian memang pantas mendapat balasan dari Tuhan!"


Plak! Plak!


"Berani sekali kamu bicara gak sopan pada saya?!" Pekik wanita setengah baya itu histeris, setelah melayangkan dua tamparan di pipi ini. 


Aku merasakan pedih yang amat sangat di kedua sudut bibirku, tetapi aku gak boleh lemah. Cukup sudah aku bersabar  pada suami dan juga orang tuanya. Kuberanikan diri untuk menatap wajah mertuaku. Senyuman sinis pun segera aku berikan padanya. Matanya masih berkilat marah. 


"Ke kantor polisi pun saya berani, Bu. Tamparan ini adalah buktinya!"

Bersambung

Buat kalian yang mau mampir di aplikasi KBM bisa banget ya. Udah tamat juga di sana. Versi e-book juga tersedia di google Play Store.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top